• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tan Malaka Dan Persatuan Perjuangan

Dalam dokumen REVOLUSI DALAM REVOLUSI DI KESULTANAN SE (Halaman 107-114)

Politik Nasional Republik : 1946 –

4.3.6 Tan Malaka Dan Persatuan Perjuangan

Pada saat proklamasi kemerdekaan , Tan Malaka sama sekali tidak mengetahui realitas – realitas di Indonesia. Pertemuannya pada 24 Agustus 1945 dengan Mr. Soebardjo merupakan kontak langsungnya yang pertama dengan politik elit Indonesi sejak puluhan tahun lamanya. Brosurnya yang pertama , PARI yang rupanya ditulis awal bulan September masih dikuasai oleh impian pra perangnya yang fantastis untuk menghubungkan Indonesia dengan Australia dan negara – negara Asia Tenggara lainnya dalam republik proletariat yang disebutnya ASLIA ; suatu langkah menuju federasi dunia. Namun ia sudah melihat jalur – jalur kemerdekaan dan sosialime sebagai satu. Ia telah lama menolak paham ortodoks akan suatu revolusi borjuis dahulu. Priolitas pertama adalah mobilisasi satu partai saja ( PARI ) , satu – satunya jaminan bagi persatuan yang diperlukan dalam perjuangan yang akan dating. Begitu partai – partai itu didirikan di pusat – pusat utama : para pekerja , petani , pertahanan , pemuda , dan wanita ( dalam urutan seperti itu ) harus diorganisasi melalui suatu sistem kooperasi dan sindikat. Hanya setelah itu perjuangan dapat dimulai terhadap penghianat didalam kamp dan imprealis diluarnya. Namun rencana awal Tan Malaka untuk memberlakukan strategi jenis itu dari atas gagal ketika Sjahrir dan Soekarno menjalin apa yang kelihatannya sebagai suatu hubungan kerja pada awal Nopember. Perbedaan sikap antara kedua pemimpin tersebut dengan Tan Malaka menjadi sangat jelas pada bulan Desember ketika brosur kedua dari Tan Malaka “muslihat” diterbitkan.31

Tan Malaka yang dilahirkan di Suliki Sumatera Barat , mungkin dalam tahun 1897 dari bangsawan Minangkabau setempat dengan nama Sutan Ibrahim gelar

Datuk Tan Malaka32 ; merupakan seorang tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia

yang paling rumit. Kisah hidupnya yang heroik , baktinya yang tidak kenal lelah , pemikirannya yang brilian , dan sosoknya yang misterius menjadikan dirinya semacam legenda kalau bukan dongeng. Tidak banyak orang yang mengenalnya secara pribadi. Marxisme bukan dogma melainkan petunjuk untuk revolusi tulis Tan Malaka dalam autobiografi eksilisnya Dari Penjara Ke Penjara.33

Dalam brosur muslihat Tan Malaka menyerang asumsi pemerintah bahwa pengakuan internasional merupakan tujuan utama. Dengan mengingat Surabaya , tugas yang segera ia mengorganisasi dan mempersatukan perjuangan untuk menghalau pihak Belanda ke dalam laut. Oleh karena adanya kesempatan satu partai telah lenyap , persatuan dapat dicapai melalui suatu Volksfront ( front rakyat ) yang diorganisasi bagi perang total. Untuk memastikan komitmen maksimal bagi perjuangan pekerja – pekerja harus segera memperoleh pengawasan atas produksi dan petani – petani miskin memperoleh tanah walaupun hanya demi kerugian orang asing dan penghianat. Sekarang sama seperti tahun 1920 – an Tan Malaka siap mengobarkan prinsip – prinsip marxis maupun yang kelihatannya merintangi persatuan revolusioner yang maksimal.

Selama dua bulan menyusul munculnya brosur ( yang masih anonim ) itu , Tan Malaka naik dari seorang yang tidak dikenal menjadi seorang pimpinan yang paling terkenal di Indonesia. Ia dengan kokoh didukung disatu pihak oleh murid – muridnya dari golongan pemuda semasa sebelum perang seperti Sukarni , Chairul Saleh , dan Adam Malik yang keluar dari PESINDO pada bulan Desember karena

32Anderson. Java In A Time Of Revolution Occuption And resistences , 1944 – 1946 ,

atau Revolusi Pemuda : Pendudukan Jepang dan Perlawanan Di Jawa , 1944 – 1946 , terj. Jiman Rumbo ( Jakarta : Pustaka Sinar Harapan , 1988 ) , hal. 229.

33Malaka. Madilog : Materailisme Dialektika dan Logika , ( Jakarta : Pusat Data Indikator ,

kecewa terhadap Sjahrir dan Amir serta pada pihak lainnya oleh para politisi Kaigun atau kabinet pertama yang didepak Soebardjo , Iwa Kusuma Sumantri , Yamin , dan Sajuti Melik. Pada tiga pertemuan selama bulan Januari di Purwekerto dan Surakarta kelompok itu mengorganisasikan sebuah persatuan perjuangan ( PP ) yang dengan cepat memenangkan dukungan semua organisasi kemasyarakatan utama. Menurut kata – kata Yamin , ia menarik rakyat dan perhatian perjuangan sebagai suatu magnit menarik logam disekitarnya. Progam minimum yang diusulkan oleh Tan Malaka seperti diterima persatuan perjuangan ( PP ) pada 27 Januari 1946 adalah sebagai berikut :

8. Perundingan tentang pengakuan 100 porsen merdeka ; 9. Pemerintahan Rakyat ;

10. Tentara rakyat ;

11. Mengurus para interniran Eropa ; 12. Pelucutan senjata Jepang ;

13. Penyitaan dan hak – hak milik musuh ;

14. Penyitaan industri musuh ( pabrik – pabrik , bengkel – bengkel , dan lain – lain sebagainya ) dan pertanian ( perkebunan – perkebunan , tambang – tambang , dan lain – lain ).

Di dalam menguraikan pokok pertama para juru bicara PP menekankan kemerdekaan 100 porsen merupakan prasyarat bagi perundingan. Mereka tidak bersedia mengadakan perundingan , mereka beranggapan apabila mengadakan perundingan tanpa kemerdekaan 100 porsen akan bertentangan dengan kehendak khalayak ramai. Oleh karena itu selama masih ada satu orang musuh pun dinegeri ini , selama masih ada sebuah musuh kapal di pantai negeri ini ; mereka harus terus berjuang. Walaupun hal itu kelihatannya tidak praktis di daerah – daerah

yang luas diduduki pihak Belanda di luar Jawa dan Sumatera para pemuda militan ingin mendegar percakapan perjuangan dari pemimpin – pemimpin mereka. Dua daya tarik yakni slongan “100 prosen merdeka” dan seruan bagi persatuan yang total , menyebabkan bahwa persatuan perjuangan tidak dapat dilawan. Pada kedua – dua pokok tersebut PP mengambil posisi yang langsung bertentangan dengan kabinet Sjahrir yang sangat tidak represetatif dan oleh karenanya dianggap sebagai tantangan terbuka oleh kabinet itu. Namun pemimpin – pemimpinya tidak menyerang Sjahrir secara terbuka dan partai – partai pro Sjahrir ; PESINDO dan partai sosialis ikut serta didalamnya. Memang tidak mungin bagi organisasi kemasyarakatan manapun untuk berdiri diluar PP melihat kepopuleran slongan – slongannya dan kebutuhan akan suatu forum pada tingkat keresidenan dimana badan – badan perjuangan yang kuat dapat bekerjasama. Di Sumatera Barat partai sosialis malahan mempromsikan PP setempat ; sedangan di Periangan PESINDO dengan cepat menguasainya. Di beberapa daerah terpencil terutama di Sumatera , PP menjalankan peran semi pemerintah sebagai badan perwakilan yang paling mengikuti perkembangan bagi berbagai organisasi yang memegang kuasa fisik. Walaupun kabinet pasti menentang persatuan perjuangan dimana – mana hanya tingkat nasional sifat menentangnya ketara atau diperlukan. Dua pokok terahir dari program minmum PP walaupun kurang dipulikasikan dibandingkan dengan yang pertama , juga merupakan kontradiksi atas janji pemerintah kepada kapital asing. Namun menarik perhatian bahwa mereka tidak mengandung ancaman terhadap kepentingan – kepentingan properti Indonesia dan pembenaran seluruhnya dilakukan dalam kerangka nasionalis tanpa sedikitpun menyinggung marxsme : “mengapa pabrik – pabrik dan perkebunan – perkebunan harus disita sebelum kemerdekan secara 100 porsen ?” ; “mengapakah mereka harus

didistribusikan kepada massa” ? ; “sebab kalau mereka telah menjadi milik massa , rakyat akan mampu berjuang bagaikan singa kalau musuh datang kembali”. Karena tidak mepunyai waktu dan keinginan untuk menyusun suatu basis diantara massa Indonesia yang serba berkekurangan , Tan Malaka memainkan permainan politik elit yang sama seperti kabinet yang ditentangnya. Walaupun ia menyatakan dukungan post factum terhadap “revolusi – revolusi sosial” , ia malahan lebih kurang mampu dibandingkan dengan Sjahrir untuk membalikkan semtimen – sentimen pemerataan didalamnya demi keuntungannya. Dalam hal ini yang dapat dikatakan tentang PP adalah bahwa sama seperti KNI – KNI yang disusun kembali oleh Sjahrir badan itu menyediakan suatu alat untuk menjadikan pemerintahan setempat lebih reprensentatif terhadap kekuatan – kekuatan dalam masyarakat pada suatu saat tertentu yakni Januari / Febuari 1946. Keyakinan pemerintah bahwa ia harus memberikan respons yang positif terhadap unsur – unsur Belanda yang realistis Belanda pada 10 Febuari 1946 menyebabkan bahwa suatu adu kekuatan dengan PP tidak terhindar. Empat hari sebelum usul – usul itu diumumkan Sjahrir sudah mengadakan perjalanan ke Yogyakarta dimana ia mengadaka pembicaraan – pembicaraan yang tidak berhasil dengan PP dan pemimpin – pemimpin lainnya mengenai konsensi – konsensi dari pihak republik. Sebaliknya slongan PP “100 porsen merdeka” dicanangkan dan bergema dirapat – rapat raksasa diseluruh wilayah republik terutama perayaan – perayaan untuk memperingati enam bulan kemeredekaan pada 17 Febuari 1946. Panglima TRI , Jenderal Sudirman dengan tegas berbicara tentang tugas suci perlawanan pada salah satu rapat PP. Sjahrir dibanjiri dengan telegram – telegram yang menyatakan hal yang sama. Suatu mayoritas BP – KNIP menjadi yakin bahwa pemerintahan Sjahrir tidak dapat melanjutkan program – programnya dan

keanggotaanya yang ada. Pengunduran diri Sjahrir secara resmi diterima Soekarno pada 28 Febuari 1946 pada permulaan suatu rapat penting KNIP lengkap di Surakarta.

Menurut pandangan Soekarno , Hatta , dan pemimpin – pemimpin lainya diplomasi Sjahrir merupakan satu – satunya kebijaksanaan yang praktis. Sebab itu krisis harus diselesaikan semata – mata dengan memperluas kabinet. Dipihak lain Sukarni dan Chairul Saleh mendesak atas nama Tan Malaka bahwa kebijakan – kebijakan lebih penting daripada rakyat dan bahwa program minimum PP yang jelas populer harus menjadi dasar kabinet baru. Pimpinan PP mengumumkan bahwa mereka akan memboikot suatu kabinet yang dibentuk atas dasar yang lain. Berdasarkan keyakinan kebanyakan pemimpin bahkan didalam PP sendiripun bahwa diplomasi merupakan suatu keharusan yang menyakitkan posisi perjuangan yang murni ini membuka jalan bagi isolasi dan kekalahan PP. Sjahrir berhasil membujuk empat politisi Masyumi dan satu tokoh PNI yang kurang penting untuk mengabaikan garis PP yang dipegang partai – partai mereka masing – masing. Dengan penambahan mereka kabinet baru yang dibentuknya pada 12 Maret 1946 kelihatannya akan lebih luas daripada pendahulunya tetapi mengurangi kuasa partai sosiais atas jabatan – jabatan kunci dan kebijakan – kebijakan penting. Pemerintah baru tidak secara eksplisit mengutuk program PP yang populer. Ia hanya menerima program lima butir Soekarno yang mirip bunyinya dengan yang dari PP namun cukup samar – samar sehingga menjamin kebebasan bergerak sepenuhnya. Kemelut pemerintah ini memungkinkan Soekarno untuk kembali pertama kali sejak kemerdekaan ke perannya yang menarik sebagai seorang manipulator dan wasit faksi – faksi yang bertikai. Dalam krisis pada bulan Oktober sebelumnya Soekarno telah dijadikan sasaran utama

kecaman pemuda dan “oposisi” berhasil memperoleh suatu kemenangan yang ternyata unik. Digesernya Presiden dari tanggungjawab politik secara langsung ternyata merupakan suatu berkat baginya. Ia tidak lagi dianggap oleh Sekutu sebagai penanggungjawab utama atas kekerasan pihak pemuda dan begitupun para pemuda tidak menganggapnya penanggungjawab utama bagi diplomasi. Peran itu sekarang jatuh ke tangan Sjahrir dan Amir. Soekarno dibebaskan untuk membangun citranya dijantung wilayah republik sebagai lambang pusat persatuan dan kemerdekaan. Selama bulan Desember dan Januari ia terus menerus bergerak diseluruh daerah berbahasa Jawa. Dari Banten di barat sampai Malang di timur , dimana – mana ia berpidato didepan ribuan orang. Pemimpin – pemimpin utama republik lainnya : Hatta , Sjahrir , Amir , dan Tan Malaka bukan orang Jawa dalam kenyataannya bahasa maupun gayanya. Tidak satupun dari mereka yang dapat mendekati kemampuan Soekarno untuk langsung menyerukan kepada rakyat dengan menggunakan gambar dan lambang Jawa. Kemampuan Soekarno untuk menjadikan perjuangan republik sesuatu yang nyata bagi orang sederhana untuk mempesonakan orang banyak melalui keahiaannya berpidato merupakan sesuatu yang unik dan mutlak diperlukan. Pada bulan Febuari Presiden telah memperoleh kembali tanah tengah yang menyenangkan dari percaturan politik republik. Pada setiap saat krisis ia mendukung pemerintah dan diplomasi namun ia memakai bahasa perjuangan dan mengajak oposisi agar mempercayainya. “Kalau ternyata bahwa Sjahrir tidak menjaga tuntutan bagi 100 prosen merdeka yang saudara semua menghendaki , maka saya berwenang memecatnya” , ia katakana kepada orang banyak yang bertepuk tangan pada 17 Febauri 1946. Lagi pula kaum pemuda yang paling sengit menentang Sjahrir ( Barisan Benteng dan BPRI Bung Tomo disamping banyak pemimpin TRI di Jawa Tngah ) mempunyai

respek yang hangat dan lama bagi Soekarno pada bulan Oktober , mulai sekarang Soekarnolah yang akan menyelamatkan Sjahrir.34

Dalam dokumen REVOLUSI DALAM REVOLUSI DI KESULTANAN SE (Halaman 107-114)

Dokumen terkait