• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tanah Asal

Dalam dokumen Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (Halaman 29-38)

Bilamana Zainuddin telah sampai ke Padang Panjang, negeri yang ditujunya, telah diteruskannya perjalanan ke dusun Batipuh, karena menurut keterangan orang tempat di bertanya, disanalah negeri ayahnya yang asli. Seketika dia mengenalkan diri kepada bakonya (keluarga dari pihak ayah), orang laksana kejatuhan bintang dari langit, tidak menyangka-nyangka akan beroleh seorang anak muda yang begitu gagah dan pantas, yang menurut adat Minangkabau dinamai "anak pisang". Maklumlah, orang di sana masyhur di dalam negerinya orang baru. Tetapi basa basi itu lekas pula bosan. Oleh karena yang kandung tidak ada lagi, apalagi ayahnya tidak bersaudara

perempuan, dia tinggal di rumah persukuan dekat dari ayahnya. Mula-mula datang, sangatlah gembira hati Zainuddin telah sampai ke negeri yang selama ini jadi kenang-kenangannya. Tetapi dari sebulan ke sebulan, kegembiraan itu hilang, sebab rupanya yang dikenang-kenangnya berlainan dengan yang dihadapinya. Dia tidak beroleh hati yang sebagai hati Mak Base, tidak mendapat kecintaan ayah dan bunda. Bukan orang tak suka

kepadanya, suka juga, tetapi berlain kulit dan isi. Jiwanya sendiri mulai berasa, bahwa meskipun dia anak orang Minangkabau tulen, dia masih dipandang orang pendatang, masih dipandang orang jauh, orang Bugis, orang Mengkasar.

Untuk pehindaran muka yang kurang jernih, maka bilamana orang ke sawah, ditolongnya ke sawah, bila

26

orang ke ladang, dia pun ikut ke ladang. Dalam pada itu menambah pelajaran perkara agama tidak dilupankannya. Zainuddin seorang yang terdidik lemah lembut, didikan ahli seni, ahli syair, yang lebih suka mengalah untuk kepentingan orang lain.

Sesudah hampir enam bulan di tinggal di dusun Batipuh, bilamana dia pergi duduk-duduk ke lepau tempat anak muda-muda bersenda gurau, orang bawa pula dia bergurau, tetapi pandangan orang kepadanya bukan pandangan sama rata, hanya ada juga kurangnya. Sehingga lama-lama insyaflah dia perkataan Mak Base seketika dia akan berlayar, bahwa adat orang di

Minangkabau lain sekali. Bangsa diambil dari ibu. Sebab itu, walaupun seorang anak berayah orang Minangkabau, sebab di negeri lain bangsa diambil dari ayah, jika ibunya orang lain, walaupun orang Tapanuli atau Bengkulu yang sedekat-dekatnya, dia dipandang orang lain juga. Malang nasib anak yang demikian, sebab dalam negeri ibunya dia dipadang orang asing, dan dalam negeri ayahnya dia dipandang orang asing pula. Tak dapat Zainuddin mengatakan dia orang Padang, tak kuasa lidahnya menyebutkan dia orang Minangkabau. Dan dia tidak berhak diberi gelar pusaka, sebab dia tidak bersuku. Meskipun dia kaya raya, misalnya, boleh juga dia diberi gelar pinjaman dari bakonya tetapi gelar itu tak boleh diturunkan pula kepada anaknya. Melekatkan gelar itu pun mesti membayar hutang kepada negeri,

27

alim ulama. himbaukan di labuh nan golong, di pasar nan ramai.

Pada sangkanya, semula jika dia datang ke Minangkabau, dia akan bertemu dengan neneknya, ayah dari ayahnya. Disanalah dia akan memakan harta benda neneknya dengan leluasa sebagai cucu yang menyambung keturunan. Padahal seketika dia datang itu, setelah dicarinya neneknya itu, ditunjukan orang di sebuah di Ladang Lawas, bertemu seorang tua di sebuah surau kecil. Gelarnya Datuk Panduka Emas, dia hanya

tercengang-cengang saja sambil berkata: "Oh...rupanya si Amin ada juga meninggalkan anak di Mengkasar." Cuma sehingga itu pembicaraan orang tua itu, dan tidak ada tambahnya lagi. Dia tak kuasa hendak menahan cucunya tinggal dengan dia, sebab mesti mufakat lebih dahulu dengan segenap keluarga. Padahal sedangkan pihak si Amin Pandekar Sutan, sudha jauh perhubungan keluarga, apalagi dengan anak yang datang dari "Bugis" ini.

Sekali itu saja Zainuddin datang kepada nenenknya setelah itu tidak lagi. Dan neneknya pun tidak pula memesa-mesankan dia.

Hatinya telah mulai jemu. Maka terbayang-bayanglah kembali di ruang matanya kota Mengkasar. Maka terbayang-bayanglah kembali dengan peradaban,

terbayang kembali lautan dengan ombaknya yang tenang, perahu Mandar, kapal yang sedang berlabuh, sehingga

28

mau dia rasanya segera pulang, bertemu dengan Mak Basenya yang tercinta.

Tetapi...ya tetapi kehendak Yang Mahakuasa atas diri manusia berbeda dengan kehendak manusia itu sendiri. Zainuddin telah jemu di Minangkabau, dan dia tidak akan jemu lagi, karena tarikh penghidupan manusia bukan manusia yang membuatnya, dia hanya menjalani yang tertulis.

Tidak berapa jauh dari rumah bakonya itu, ada pula sebuah rumah adat yang indah dan kokoh, menurut bentu adat istiadat Minangkabau, bergonjong empat, beratap ijuk dan bertatahkan timah. Diujung kedua pihak ada anjung peranginan, serambi muka bergonjong pula, lumbung empat buah berlerat di halaman.

Halamannya luas, tempat menjemurkan padi yang akan ditumbuk.

Pada buatan rumah, pada simbol pedang bersentak yang terletak di bawah gonjong kiri kanan, menandakan bahwa orang di rumah ini amat keras memegang adat lembaga, agaknya turunan regen atau Tuan Gedang di Batipuh, yang berkembang di Batipuh Atas dan Batipuh Baruh. Meskipun adat masih kuat, namun gelora pelajaran dan kemajuan agama yang telah berpengaruh di Sumatera Barat, tidak juga melepaskan rumah adat yang kokoh itu dari cengkeramannya.

29

menahan juga anak kemenakan yang perempuan

menuntut ilmu, namun halangan itu sudah percuma saja. Gadis-gadis seisi rumah itu, yang selama ini turun sekali se-jumat diiringkan dayang-dayang banyak, sekarang telah mengepit kitab, melilitkan selendang pula, pergi menuntut ilmu. Ada yang ke Ladang Lawas, ada yang ke Gunung dan ada juga yang ke Padang Panjang,

Hayati, gadis remaja putri, ciptaan keindahan alam, lambaian Gunung Merapi, yang berkumpul padanya keindahan adat istiadat yang kokoh dan keindahan model sekarang, itupun bunga di dalam rumat adat itu. Hayati, adalah nama baru yang belum biasa dipakai orang selama ini. Nama-nama gadis-gadis di Minangkabau tempo dahulu hanya si Cinta Bulih, Sabai Nan Aluih, Talipuk Layur dan lain-lain. Tetapi Hayati, adalah bayangan dari perubahan baru yang melingkari alam Minangkabau yang kokoh dalam adatnya itu.

Wahai, dari manakah pengarang yang lemah ini akan memulai menceritakan sebab-sebab hayati berkenalan dengan Zainuddin? Apakah dari sebab mereka kerap kali bertemu di bawah lindungan keindahan alam? Di sawah-sawah yang bersusun-susun? Di bunyi air mengalir di Batang Gadis menuju Sumpur?

Ataukah dari dangau di tengah sawah yang luas, di waktu burung pipit terbang berbondong? Atau di waktu habis menyabit, di kala asap jerami menjulang ke udara, dan awan meliputi puncak Merapi yang indah? Atau di waktu kereta api membunyikan peluitnya di dalam kesusahan mengharung rimba dan jembatan yang tinggi,

30

menuju Sawah Lunto dan melingkari Danau Singkarak? Dari manakah pengarang akan mulai menceritakan sebab-sebab mereka berkenalan?

Di dalam kalangan gadis-gadis di Kampung Batipuh telah menjadi buah bibir, bahwa ada seorang anak muda "orang jauh", orang Bugis dan Mengkasar, menumpang di rumah bakonya, Mande Jamilah. Anak muda itu baik budi

pekertinya, rendah hati, terpuji dalam pergaulan, disayang orang. Sungguh belajar, karena dia berguru kepada seorang lebai yang ternama. Tetapi dia pemenung, pehiba hati, suka menyisihkan diri ke sawah yang luas, suka merenungi wajah Merapi yang diamm tetapi berkata. Sayang dia orang jauh! Mula-mula Hayati berkenalan dengan dia, adalah seketika hari hujan lebat, sebab daerah Padang Panjang itu, lebih banyak hujan daripada panasnya. Mereka akan kembali ke Batipuh, tiba-tiba hujan lebat turun seketika mereka ada di Ekon Lubuk. Zainuddin ada membawa payung dan Hayati bersama seorang temannya yang kebetulan tidak berpayung.

Hari hujan juga. Mula-mula mereka sangka akan lekas redanya, rupanya hujan yang tak diikuti angin yang kerap kali lama sekali. Sehingga bermenunglah anak muda itu di muka lepau orang, melihatkan titik-titik air dari atas ke tanah, menembusi pasir halaman yang terkumpul.

Kebetulan bendi pun tidak ada yang lalu. Sehingga dari pukul 2 sudah hampir pukul 4 mereka berdiri.

31

Herang dengan Zainuddin, mengapa dia tidak berangkat saja padahal dia ada berpayung?

Dia tahu akan gadis-gadis itu, orang sekampungnya sama-sama orang Batipuh, dia tahu betul, meskipun mereka belum berkenalan. Tidak sampai hatinya hendak meninggalkan mereka. Anak-anak gadis itu pun kenal akan dia, meskipun belum bertegur sapa, tetapi tak berani membuka mulut.

Hari sore juga, tiba-tiba timbulah keberanian Zainuddin, meskipun keringatnya terbit di waktu hujan, dia tampik ke muka, ditegutnya Hayati: "Encik...!

Hayati menentang mukanya tenang-tenang dan tidak menjawab, hanya seakan-akan menunggu apa yang akan dikatakannya.

"Sukakah Encik saya tolong?"

"Apakah gerangan pertolongan Tuan itu?"

"Berangkatlah Encik lebih dulu pulang ke Batipuh, marah mamak dan ibu Encik kelak jika terlambat benar akan pulang, pakailah payung ini, berangkatlah sekarang juga." "Terima kasih!," jawab Hayati.

"Janganlah ditolak pertolongan itu," kata orang lepau dengan tiba-tiba. "Orang hendak berbuat baik tidak boleh ditolak."

32

"Dan Tuan sendiri bagaimana?," jawab Hayati pula, sedang temannya yang seorang lagi menekur-nekur saja kemalu-maluan.

"Itu tak usah encik susahkan, orang laki-laki semuanya gampang baginya, pukul 7 atau pukul 8 malam pun saya sanggup pulang, kalau hujan ini tak teduh juga.

Berangkatlah dahulu!."

"Kemana payung ini kelak kami antarkan?"

"Besok saja antarkan pun tak jadi apa, ke rumah Mande Jamilah!"

"Terima kasih Tuan, atas budi yang baik itu," ujar Hayati sambil senyum, senyum bulan kehilang, entah jadi entah tidak.

"Ah, baru pertolongan demikian, Encik sudah hendak mengucapkan terima kasih!".

Kedua gadis itu pun berangkatlah di dalam hujan, berpayung berdua berlambat-lambat. Zainuddin tegak bermenung seorang dirinya, menunggu biar hujan itu reda. Dalam renungannya itu, berjalanlah pikirannya kian kemari. Ia teringat payung, teringat hujan, teringat Kota Mengkasar jika musim hujan, 40 hari lamanya tidak pernah melihat matahari. Lama-lama teringat dia kepada Hayati yang meminjam payungnya. Itulah rupanya Hayati, yang kerap kali jadi sebutan anak muda-muda temannya bermain yang jadi buah mulut dan pujian.

33

Ah, alangkah beruntungnya jika dia dapat berkenalan dengan gadis itu, berkenalan saja pun cukuplah. Mukanya amat jernih, matanya penuh dengan rahasia kesucian dan tabiatnya gembira. Kalau kiranya gadis demikian ada di Mengkasar...ah!

Hujan pun teduh, dia pun pulanglah ke Batipuh, dengan langkah yang cepat dari biasa.

Bertambah dekat kampung Batipuh, bertambah jauh dia dari kegembiraan, sebab kemanisan mulut bakonya kepadanya hanya lantaran belanja bulanan yang

diberikannya dengan tetap, kiriman dari Mak Base dari Mengkasar. Bila hari telah malam, dia pergi tidur ke surau, bersama-sama dengan lain-lain anak muda, karena demikian menurut adat. Semalam itu, Zainuddin

34

Dalam dokumen Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (Halaman 29-38)

Dokumen terkait