• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Tanaman Jahe

Jahe (Zingiber officinale) berasal dari Asia Pasifik yang tersebar dari India sampai Cina. Jahe merupakan rempah-rempah Indonesia yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam bidang kesehatan. Jahe merupakan tanaman obat berupa tumbuhan rumpun berbatang semu dan termasuk dalam suku temu-temuan (Zingiberaceae) (Paimin, 2008). Jahe merupakan bahan pokok yang biasa digunakan di banyak obat-obatan tradisional Cina sejak abad ke-4 SM, begitu pula orang-orang Yunani dan Romania gunakan dalam makanan (Melvin et al., 2009).

Berdasarkan ukuran, bentuk, dan warna rimpangnya ada tiga jenis jahe yang dikenal, yaitu jahe gajah atau jahe besar (var. Roscoe), jahe putih kecil atau jahe emprit (var. Amarum), dan jahe merah (var. Rubrum) (Gambar 5). Jahe merah merupakan salah satu spesies jahe yang tersebar di wilayah Indonesia. Jahe merah secara morfologis mirip dengan jahe biasa, tetapi rimpang dari jenis ini lebih kecil dan rasanya lebih pedas, berwarna merah di luarnya dengan kuning hingga merah muda di bagian dalamnya. Banyak jahe jenis tersebut yang digunakan sebagai makanan dan pengobatan tradisional untuk berbagai penyakit (Koswara et al., 2012).

Gambar 5. Jenis-Jenis Jahe (Koswara, 1995). 2.2.1 Morfologi

Jahe merupakan herbal, tegak, tinggi sekitar 30-60 cm. Batang semu, beralur, berwarna hijau. Daun tunggal, berwarna hijau tua. Helai daun berbentuk lanset, tepi rata, ujung runcing, dan pangkalnya tumpul. Panjang daun lebih kurang 20-40 cm dan lebarnya sekitar 2-4 cm. Rimpangnya bercabang-cabang, tebal dan agak melebar, berwarna merah sampai jingga. Bagian dalam rimpang berserat agak kasar, berwarna kuning muda dengan ujung merah muda. Rimpang berbau khas, dan rasanya pedas menyegarkan (Matondang, I, 2006).

2.2.2 Taksonomi Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Monocotyledonae Ordo : Musales Family : Zingiberaceae Genus : Zingiber Spesies : officinale (Paimin, 2008)

2.2.3 Komposisi Jahe

Tabel 2.1 Komponen dalam Jahe (Tim Lentera, 2002).

Komponen Jumlah

Jahe Segar Jahe Kering

Energi (KJ) 184,0 1424,0 Protein (g) 1,5 9,1 Lemak (g) 1,0 6,0 Karbohidrat (g) 10,1 70,8 Kalsium (mg) 21 116 Phospat (mg) 39 148 Besi (mg) 4,3 52 Vitamin A (SI) 30 147 Thiamin (mg) 0,02 - Niasin (mg) 0,8 5 Vitamin C (mg) 4 - Serat Kasar (g) 7,53 5,9 Total abu (g) 3,70 4,8 Magnesium (mg) - 184 Natrium (mg) 6,0 32 Kalium (mg) 57,0 1342 Seng (mg) - 5

Secara umum, komponen senyawa kimia yang terkandung dalam jahe terdiri dari minyak menguap (volatile oil), minyak tidak menguap (nonvolatile oil), dan pati. Minyak atsiri termasuk jenis minyak menguap dan merupakan suatu komponen yang memberi bau yang khas. Kandungan minyak tidak menguap disebut oleoresin, yakni suatu komponen yang memberikan rasa pahit dan pedas. Rimpang jahe merah selain mengandung senyawa-senyawa kimia tersebut, juga mengandung gingerol, 1,8-cincole, 10-dehydro-gingerdione, 6-gingerdione, arginine, a-linolenic acid, aspartic, β-sitosterol, caprylic acid, capsaicin,

chlorogenis acid, farnseal, farnesene, farnesol, dan unsur pati seperti tepung kanji, serta serat-serat resin dalam jumlah sedikit (Tim Lentera, 2002).

Berdasarkan beberapa penelitian, dalam minyak atsiri jahe terdapat unsur-unsur n-nonylaldehyde, d-camphene, d-β-phellandrene, methyl heptenone, cineol, d-borneol, geraniol, linalool, actates, dan caprylate, citral, chavicol, dan

zingiberene. Bahan-bahan tersebut merupakan sumber bahan baku terpenting dalam industri farmasi atau obat-obatan (Tim Lentera, 2002).

Diantara ketiga jenis jahe, jahe merah lebih banyak digunakan sebagai obat karena kandungan minyak atsiri dan oleoresinnya paling tinggi, sehingga lebih ampuh menyembuhkan berbagai macam jenis penyakit. Kandungan minyak atsiri jahe merah berkisar antara 2,58-3,72% (bobot kering), sedangkan jahe gajah 0,82-1,68% dan jahe emprit 1,5-3,3%. Selain itu, kandungan oleoresin jahe merah juga lebih tinggi dibandingkan jahe lainnya, yaitu 3% dari bobot kering (Koswara, 2012).

Sekitar 115 bahan aktif telah diidentifikasi melalui berbagai proses analitik dari jahe yang segar maupun yang telah dikeringkan. Gingerol adalah bahan aktif terbanyak yang ditemukan pada jahe segar, sedangkan shogaol yang merupakan hasil proses dehidrasi dari gingerol ditemukan lebih banyak pada jahe kering. Jahe telah dibagi menjadi 14 senyawa bioaktif, yakni [4]-gingerol, [6]-gingerol, [8]-gingerol, [10]-[8]-gingerol, [6]-paradol, [14]-shogaol, [6]-shogaol, 1-dehydro-[10]-gingerdione, [10]-1-dehydro-[10]-gingerdione, hexahydrocurcumin, tetrahydrocurcumin, gingerenone A, 1,7-bis-(4’hydroxyl-3’methoxyphenyl)-5-methoxyheptan-3-one,

dan methoxy-[10]-gingerol. Proporsi dari setiap komponen dari jahe bergantung pada asalnya, proses komersialnya, dan apakah jahe tersebut kering, segar, maupun sudah diproses (Bode dan Dong, 2011).

2.2.4 Kegunaan Jahe sebagai Obat Tradisional

Berdasarkan sejarahnya, tanaman obat menjadi sumber dari senyawa obat-obatan sintetik. Produk derivat tumbuhan telah memberikan kontribusi yang besar terhadap kesehatan manusia. Begitu banyak peneliti di seluruh dunia telah

melaporkan kegunaan antimikroba dari beberapa tanaman obat dan telah mengidentifikasi bahan aktifnya (Karrupiah dan Rajaram, 2012).

Penggunaan jahe yang paling sering adalah untuk mengurangi gejala mual dan muntah. Keuntungan dan kerugian dari tanaman herbal dalam mengobati pencernaan telah dibahas dan beberapa penelitian melaporkan bahwa jahe secara umum efektif sebagai antiemetik. Efektivitas jahe sebagai antiemetik oleh karena adanya efek carminative yang dimilikinya, sehingga mampu membuang gas yang terdapat pada pencernaan. [6]-gingesulfonic acid yang terdapat pada jahe pun efektif melawan lesi lambung yang diinduksi HCl atau etanol (Bode dan Dong, 2011).

Jahe adalah tanaman obat yang dipakai di seluruh dunia. Jahe segar biasa digunakan untuk mengatasi penakit seperti batuk, mual, asma, kolik, palpitasi jantung, dispepsia, perut kembung, kurang nafsu makan, maupun rematik, sama halnya pada masa Cina Kuno. Di abad ke-19, jahe disajikan dalam bentuk jus yang dicampur dengan sedikit jus bawang segar dan madu, sebagai obat yang dikenal dapat menyembuhkan batuk dan asma (Karrupiah dan Rajaram, 2012).

Menurut Giyarto (2002), khasiat rimpang jahe adalah sebagai pelega perut, obat batuk, obat rematik, penawar racun, antitusif, laksatif dan antasida, juga sebagai antioksidan, dan serbuk jahe merah berperan sebagai anti inflamasi, bahkan menurut Winarto (2007) efek jahe terhadap kulit, yaitu dapat merangsang regenerasi sel kulit.

2.2.5 Efek Antibakteri

Jahe memiliki efek antibakteri yang sudah diteliti dan terbukti pada beberapa studi yang dilakukan di seluruh dunia. Ekstrak etanol dari rimpang jahe yang diujikan memiliki aktivitas antibakteri melawan lima jenis isolat yang didapatkan dari klinis dengan rentang zona inhibisinya diantara 4-16 mm. Hasil maksimum didapatkan pada Bacillus sp. (16,55 mm) diikuti dengan E. coli (15,50 mm) dan P. aeruginosa (14,55 mm). Sedangkan bila diujikan dengan ekstrak kasar (crude extracts), Konsentrasi Hambat Minimal atau Minimum Inhibitory Concentration (MIC) cukup rendah pada P. aeruginosayakni 67,00 μg/ml diikuti

dengan S. aureus (68,45 μg/ml) dan Proteus sp. (70,20 μg/ml). Kandungan gingerol pada jahe tersebut yang diyakini mampu menunjukkan sifat antimikroba dan antijamur. Potensi antimikroba juga dipercaya oleh karena kandungan tanin, saponin, senyawa fenol, essential oils, dan flavonoid (Karrupiah dan Rajaram, 2012).

Zingiber officinale diyakini sinergis dengan beberapa jenis obat antimikroba, seperti tetrasiklin dan netilmisin dalam menghambat protein sintesis dari Staphylococcus aureus, dengan MIC 90% yakni 3,56 mg/ml (Betoni et al., 2006). Bahkan dalam penelitian, rimpang Z. officinale memiliki aktivitas antibakteri yang baik dan bisa disamakan dengan beberapa jenis antimikroba sesuai ekstrak yang digunakan. Ekstrak metanol dari Z. officinale dapat digunakan seperti asam traneksamat, gentamisin, sefuroksin, dan metronidazol dalam pengobatan infeksi S. aureus, serta asam traneksamat dan metronidazol dalam pengobatan P. aeruginosa (Khalid et al., 2011). Ekstrak metanol yang terdapat pada tumbuhan terbukti lebih efektif dalam melawan bakteri. Semakin besar kapasitas ekstrak metanol suatu tumbuhan, maka semakin banyak jumlah bagan aktifnya yang memiliki aktivitas antibakteri. (Melvin et al., 2009).

Dokumen terkait