• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III KETENTUAN IZIN DINAS KESEHATAN DAN INDUSTRI

B. Industri Rumah Tangga

3. Izin Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)

Badan pengawas obat dan makanan (BPOM) mengeluarkan izin atau sertifikasi layak tidaknya obat dan makanan yang beredar di masyarakat umum untuk dikonsumsi.36 Bagi pengusaha di bidang obat-obatan dan makanan, izin ini bermanfaat untuk memperlihatkan kepada konsumen bahwa produk yang mereka hasilkan adalah produk yang tidak berbahaya bagi tubuh dan lingkungan, serta memiliki kandungan sesuai dengan yang dipaparkan oleh perusahaan.

Persyaratan administrasi

a. Nama dan alamat perusahaan

b. Nama-nama produk yang didaftarkan c. Foto kopi KTP

d. Spesifikasi yang akan diedarkan, seperti surat-surat perdagangan, komposisi dan mutu produk.

Prosedur :

a. Mengambil dan mengisi formulir yang disediakan oleh BPOM pada masing-masing kota atau provinsi

b. Menyerahkannya kembali setelah mengisinya dan dilengkapi dengan ketentuan-ketentuan yang sudah ada.

c. Melengkapi berbagai persyaratan yang belum diselesaikan

d. Menunggu beberapa hari kemudian, apakah permohonan itu diterima atau tidak

36

Henry S, Siswosoediro, Buku Pintar Perizinan dan Dokumen, (Jakarta : Visimedia, 2008), hal 58

BAB IV

PERTANGGUNGJAWABAN PRODUSEN YANG TIDAK MEMILIKI IZIN DINAS KESEHATAN

A. Aspek Perdata, Pidana dan Administrasi Dalam Perlindungan Konsumen Pelaku usaha (produsen) dalam proses produksinya melalui beberapa tahap. Antara lain, tahap penyelidikan, perencanaan, pengelolaan, pengemasan dan pengepakan. Pada masing-masing tahap tersebut, produsenlah yang mengetahui persis apa yang telah dilakukan. Jika kemudian produk yang dipasarkan itu menyebabkan kerugian bagi konsumen, maka produsen tidak boleh mengelak dari tanggung jawabnya. Ketentuan ini terdapat perkecualian, misalnya terjadi sabotase dari pihak ketiga atau kesalahan terjadi pada konsumen itu sendiri.

Pasal 6 UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen telah mengatur ketentuan mengenai hak dan kewajiban produsen. Yakni hak untuk menerima pembayaran, hak untuk mendapat perlindungan hukum, hak untuk melakukan pembelaan diri, hak rehabilitasi nama baik, dan hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Hak-hak itu dapat dipakai produsen apabila kewajiban-kewajiban pelaku usaha sudah dilaksanakan dengan baik. Jika belum maka pelaku usaha tidak layak menerima hak tersebut tetapi justru harus berhadapan dengan hukum untuk mempertanggung jawabkan kewajiban-kewajiban sebagai pelaku usaha. Kewajiban pelaku usaha itu diatur dalam Pasal 7 UU Nomor 8 Tahun 1999.

Tanggung jawab pelaku usaha timbul karena adanya hubungan antara produsen dengan konsumen. Pelaku usaha dapat dikenakan pertanggung jawaban

apabila barang-barang yang dibeli oleh konsumen terdapat menderita kerugian, produknya cacat dan berbahaya, dan bahaya terjadi tetapi tidak diketahui sebelumnya.

Tanggung jawab produk oleh banyak ahli dimasukkan dalam sistematika hukum yang berbeda. Ada yang mengatakan tanggung jawab produk sebagai bagian dalam hukum perikatan, hukum perbuatan melawan hukum (trot law), hukum kecelakaan (ongevallenrecht, casuality law), dan ada yang menyebutkannya sebagai bagian dari hukum konsumen. Pandangan yang lebih maju mengatakan tanggung jawab produk ini sebagai bagian hukum tersendiri (product liability law).

Dasar gugatan untuk tanggung jawab produk dapat dilakukan atas landasan adanya pelanggaran jaminan (breach of warranty), kelalaian (negligence, dan tanggung jawab mutlak (strict liability)37

Keefektivan hukum bila dikaitkan dengan badan-badan penegak hukumnya, maka menurut G.G Howard dan R.S Summers ada faktor yang mempengaruhinya :

a. Undang-undangnya harus diterapkan dengan baik. Kaidah-kaidah yang bekerja mematuhi tingkah laku itu harus ditulis dengan jelas dan dapat dipahami dengan penuh kepastian;

b. Mereka yang bekerja sebagai pelaksana hukum harus menunaikan tugasnya dengan baik dan harus menafsirkan peraturan tersebut secara

37 Nur Khalimatus Sa’diyah SH, alumni FH Universitas Wijaya Kusuma Surabaya, peserta Program Magister Ilmu Hukum Universitas Airlangga, diakses tanggal 1 Juni 2013

seragam dan sedapat mungkin senafas dengan bunyi penafsiran yang mungkin dicoba dilakukan oleh warga masyarakat yang terkena;

c. Aparat penegak hukum harus bekerja tanpa jenuh untuk menyidik dan menuntut pelanggar-pelanggar.

Berbagai peraturan yang berkaitan dengan upaya perlindungan konsumen pada dasarnya sama dengan peraturan-peraturan lain yang ketentuannya mengandung ide-ide atau konsep-konsep yang boleh digolongkan abstrak, yang idealnya meliputi ide tentang keadilan, kepastian dan kemanfaatan sebagaimana diungkapkan oleh Gustav Radbruch. Oleh karena itu, persoalan konsumen untuk memperoleh perlindungan sebagai bagian dari suatu sistem hukum akan berkaitan dengan upaya mewujudkan ide-ide tersebut, bahkan seringkali negara harus ikut campur tangan karena adanya kekuatan pengaruh yang menuntut hal demikian agar bekerjanya hukum dapat efektif, khususnya dalam hal ini adalah mengenai penyelenggaraan struktur hukum yang berupa lembaga-lembaga penegak hukum sebagai sarana bagi pihak yang dirugikan untuk memperoleh keadilan. Dengan demikian diharapkan sistem hukum dalam upaya perlindungan konsumen dapat berjalan dengan baik.

Keterlibatan negara atau pemerintah saja belum dapat menjamin terpenuhinya atau berjalannya suatu sistem hukum karena dalam suatu sistem hukum menurut Lawrence M. Friedman meliputi tiga hal yaitu substansi hukum, struktur hukum dan kultural hukum, a legal system is actual operation is complex organism in which sructure, substance and culturale interaction. Dalam kaitannya fungsi hukum sebagai sarana rekayasa sosial (social engineering) agar hukum

(termasuk Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999) bisa menentukan corak hidup masyarakat (yang dalam hal ini corak hidup masyarakat selaku konsumen maupun pelaku usaha) bukanlah hal yang mudah, sebab banyak faktor yang mempengaruhinya, di samping bahwa dalam setiap individu akan tergantung pada pilihan-pilihan individu secara rasional untuk taat atau tidak taat kepada ketentuan hukum yang berlaku (Undang-undang No 8 Tahun 1999). The law, for Pound should act so to assure the maximum amount of fulfillment of interests in a society.38 Individu akan selalu memilih aktifitas yang menguntungkan baginya dan menghindari yang paling merugikan baginya di dalam area of choice menuntut tingkat rasional (yang paling baik). Perilaku rasional ini paling tidak berorientasi pada perilaku kebiasaan, nilai-nilai etik dan kebutuhan-kebutuhan individu.

Agar hukum dapat berfungsi sebagai sarana rekayasa sosial bagi masyarakat konsumen dan pelaku usaha maka dapat dipakai pula pendekatan dengan mengambil teori Robert Seidman, yaitu bahwa bekerjanya hukum dalam masyarakat itu melibatkan tiga komponen dasar yakni pembuat hukum/ Undang-undang, birokrat pelaksana dan pemegang peran.

Bekerjanya hukum dapat dikatakan baik dan efektif bila melibatkan tiga komponen dasar yaitu pembuat hukum, birokrat pelaksana dan pemegang peran. Setiap anggota masyarakat (para konsumen dan pelaku usaha) sebagaimana pemegang peran, perilakunya ditentukan oleh pola peranan yang diharapkan

38

Dragan Milovanovic, A Primer in the Sociology of Law Second Edition, (New York :Harrow and Heston Publishers, 2001), hal 89.

darinya, namun bekerjanya harapan itu ditentukan faktor-faktor lainnya. Faktor-faktor tersebut adalah39:

a. Sanksi yang terdapat dalam peraturan;

b. Aktivitas dari lembaga atau badan pelaksana hukum;

c. Seluruh kekuatan sosial, politik dan yang lainnya yang bekerja atas diri pemegang peran.

Perilaku konsumen dan pelaku usaha tentu saja juga tidak lepas dari tingkat pengetahuan, sikapnya terhadap Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999, sehingga kemudian menimbulkan niat untuk berperilaku. Fishbein dan Ajzen mengenalkan model hubungan antara pengetahuan, sikap, niat dan perilaku. Menurut Hobbs dan Freud, bahwa pada dasarnya perilaku individu manusia adalah egoistis dan karenanya cenderung memuaskan kepentingannya sendiri. Akibat dari sifat manusia yang cenderung ingin memuaskan kepentingannya sendiri itu, maka sering menimbulkan benturan-benturan dengan pihak lain yang apabila hal ini dibiarkan terus berlangsung akan menciptakan penyimpangan sosial (deviasi sosial). Dalam hal ini peranan hukum sebagai upaya pembentukan perilaku sosial dalam diri seseorang untuk mampu berbagi kepentingan dengan orang lain diperlukan.

Ketaatan yang rendah terhadap hukum juga dimungkinkan karena warga masyarakat konsumen kurang memahami norma-norma tersebut, sehingga mereka sama sekali tidak mengetahui akan manfaaatnya untuk mematuhi akidah tersebut. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Gastra Van Loon, bahwa efektifnya suatu

39

Satjipto Rahardjo, Pemanfaatan Ilmu-ilmu Sosial bagi Pengembangan Ilmu Hukum, (Bandung : Alumni1997), hal 36.

perundang-undangan secara sederhana berarti tujuannya tercapai. Hal ini sangat tergantung berbagai faktor, antara lain tingkat pengetahuan tersebut dan pelembagaan dari Undang-undang pada bagian-bagian masyarakat sesuai dengan ruang lingkup undang-undang tadi.

Perlindungan hukum menurut Philipus M. Hadjon terbagi atas dua, yaitu perlindungan hukum preventif dan perlindungan hukum represif. Perlindungan hukum preventif yaitu perlindungan hukum yang bertujuan untuk mencegah terjadinya suatu sengketa. Perlindungan hukum jenis ini misalnya sebelum Pemerintah menetapkan suatu aturan/keputusan, rakyat dapat mengajukan keberatan, atau dimintai pendapatnya mengenai rencana keputusan tersebut. Perlindungan hukum represif yaitu perlindungan hukum yang dilakukan dengan cara menerapkan sanksi terhadap pelaku agar dapat memulihkan hukum kepada keadaan sebenarnya. Perlindungan jenis ini biasanya dilakukan di Pengadilan.

Pada hakekatnya perlindungan hukum itu berkaitan bagaimana hukum memberikan keadilan yaitu memberikan atau mengatur hak-hak terhadap subyek hukum, selain itu juga berkaitan bagaimana hukum memberikan keadilan terhadap subyek hukum yang dilanggar haknya.

Perlindungan konsumen adalah merupakan masalah kepentingan manusia, oleh karenanya menjadi harapan bagi semua bangsa di dunia untuk dapat mewujudkannya. Mewujudkan perlindungan konsumen adalah mewujudkan hubungan berbagai dimensi yang satu sama lain mempunyai keterkaitan dan saling ketergantungan antara konsumen, pengusaha, dan Pemerintah.

Tanggungjawab yang dimiliki oleh suatu pihak dalam interaksinya dengan pihak lain seharusnya dipenuhi manakala akibat dari kesalahan dari perbuatannya menyebabkan kerugian bagi pihak lain. Tanggungjawab ini harus dipenuhi tidak saja atas kesalahan perbuatan dari orang yang menjadi tanggungannya atau kerugian yang ditimbulkan akibat dari barang yang berada di bawah pengawasannya, hal ini dapat dicermati dari ketentuan Pasal 1367 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Dalam ketentuan pidana masalah perlindungan konsumen juga memperoleh perhatian sebagaimana diatur dalam Pasal 204 dan 205 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Ketentuan ini terutama berkaitan dengan hak konsumen untuk memperoleh informasi secara benar.

Dari uraian tersebut maka dimensi perlindungan hukum bagi konsumen dapat meliputi berbagai aspek dan dapat dilakukan dengan berbagai instrumen, yaitu instrumen hukum perdata, instrumen hukum pidana dan juga instrumen hukum administrasi.

B. Tanggung Jawab Perdata Produsen Industri Rumah Tangga

Produsen sebagai pelaku usaha mempunyai tugas dan kewajiban untuk ikut serta menciptakan dan menjaga iklim usaha yang sehat yang menunjang bagi pembangunan perekonomian nasional secara keseluruhan. Karena itu, kepada produsen dibebankan tanggung jawab atas pelaksanaan tugas dan kewajiban itu, yaitu melalui penerapan norma-norma hukum, kepatutan, dan menjunjung tinggi kebiasaan yang berlaku di kalangan dunia usaha. Etika bisnis merupakan salah satu pedoman bagi setiap pelaku usaha. Prinsip business is business , tidak dapat

diterapkan, tetapi harus dengan pemahaman atas prinsip bisnis untuk pembangunan. Jadi, sejauh mungkin, pelaku usaha harus bekerja keras untuk menjadikan usahanya memberi kontribusi pada peningkatan pembangunan nasional secara keseluruhan.

Kewajiban pelaku usaha untuk senantiasa beritikad baik dalam melakukan kegiatannya (Pasal 7 angka 1) berarti bahwa pelaku usaha ikut bertanggungjawab untuk menciptakan iklim yang sehat dalam berusaha demi menunjang pembangunan nasional. Jelas ini adalah tanggung jawab publik yang diemban oleh seorang pelaku usaha. Banyak ketentuan di dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini yang bermaksud mengarahkan pelaku usaha untuk berperilaku sedemikian rupa dalam rangka menyukseskan pembangunan ekonomi nasional, khususnnya di bidang usaha. Atas setiap pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha maka kepadanya dikenakan sanksi sebagai akibat hukum dari pelanggaran tersebut. Pemberian sanksi sebagai akibat hukum pelanggaran ini penting, mengingat bahwa menciptakan iklim berusaha yang sehat membutuhkan keseriusan dan ketegasan. Untuk ini sanksi merupakan salah satu alat untuk mengembalikan keadaan pada keadaan semula manakala telah terjadi pelanggaran (rehabilitasi) sekaligus sebagai alat preventif bagi pengusaha lainnya sehingga tidak terulang lagi perbuatan yang sama.

Izin produksi terhadap suatu produk pangan merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi sebelum produk pangan tersebut beredar di masyarakat yang dijelaskan dalam Keputusan Kepala BPOM No. HK. 00.05.5.1640 tahun 2003 tentang Pedoman Tata Cara Penyelenggaraan Sertifikat Produksi Pangan Industri

Rumah Tangga dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu, Gizi dan Pangan Pasal 43 ayat (2). Walaupun aturan tentang izin produksi produk pangan Industri Rumah Tangga mensyaratkan agar sebelum diedarkan setiap produk pangan harus didaftarkan guna mendapatkan izin produksi, pada kenyataannya masih banyak dijumpai beredarnya produk pangan hasil olahan Industri Rumah Tangga yang beredar tanpa izin produksi.

Sanksi ini dapat berupa sanksi perdata, pidana maupun administratif. Bagi pelaku usaha, selain dibebani kewajiban sebagaimana telah diuraikan dalam bab sebelumnya ternyata juga dikenakan larangan-larangan sebagaimana diatur dalam Pasal 8 sampai dengan 17 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pasal 8 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengatur larangan bagi pelaku usaha yang sifatnya umum dan secara garis besar dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu :

a. Larangan mengenai produk itu sendiri, yang tidak memenuhi syarat dan standar yang layak untuk dipergunakan atau dipakai atau dimanfaatkan oleh konsumen.

b. Larangan mengenai ketersediaan informasi yang tidak benar, tidak akurat, dan yang menyesatkan konsumen.

Masuk dalam kualifikasi larangan kedua ini adalah pelanggaran yang dilakukan pelaku usaha dalam hal izin. Di samping adanya hak dan kewajiban yang perlu diperhatikan oleh pelaku usaha, ada tanggung jawab produk (Product Liability) yang harus dipikul oleh pelaku usaha sebagai bagian dari kewajiban yang mengikat kegiatannya dalam berusaha. Sehingga diharapkan adanya

kewajiban dari pelaku usaha untuk selalu bersikap hati-hati dalam memproduksi barang/jasa yang dihasilkannya.

Tanggung jawab pelaku usaha atas kerugian konsumen dalam UUPK, diatur khusus dalam BAB VI, mulai dari Pasal 19 sampai dengan Pasal 28.

Pasal 19

(1) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.

(2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(3) Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.

(4) Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.

(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.

Pasal 20

Pelaku usaha periklanan bertanggung jawab atas iklan yang diproduksi dan segala akibat yang ditimbulkan oleh iklan tersebut.

Pasal 21

(1) Importir barang bertanggung jawab sebagai pembuat barang yang diimpor apabila importasi barang tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan produsen luar negeri.

(2) Importir jasa bertanggung jawab sebagai penyedia jasa asing apabila penyediaan jasa asing tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan penyedia jasa asing.

Pasal 22

Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (4), Pasal 20, dan Pasal 21 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian.

Pasal 23

Pelaku usaha yang menolak dan/atau tidak memberi tanggapan dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), dapat digugat melalui badan penyelesaian sengketa konsumen atau mengajukan ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen.

Pasal 24

(1) Pelaku usaha yang menjual barang dan/atau jasa kepada pelaku usaha lain bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila: a. pelaku usaha lain menjual kepada konsumen tanpa melakukan perubahan apa pun atas barang dan/atau jasa tersebut; b. pelaku usaha lain, di dalam transaksi jual beli tidak mengetahui adanya perubahan barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh pelaku usaha atau tidak sesuai dengan contoh, mutu, dan komposisi.

(2) Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebaskan dari tanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha lain yang membeli barang dan/atau jasa menjual kembali kepada konsumen dengan melakukan perubahan atas barang dan/atau jasa tersebut. Pasal 25

(1) Pelaku usaha yang memproduksi barang yang pemanfaatannya berkelanjutan dalam batas waktu sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun wajib menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas purna jual dan wajib memenuhi jaminan atau garansi sesuai dengan yang diperjanjikan.

(2) Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha tersebut : a. tidak menyediakan atau lalai menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas perbaikan; b. tidak memenuhi atau gagal memenuhi jaminan atau garansi yang diperjanjikan.

Pasal 26

Pelaku usaha yang memperdagangkan jasa wajib memenuhi jaminan dan/atau garansi yang disepakati dan/atau yang diperjanjikan.

Pasal 27

Pelaku usaha yang memproduksi barang dibebaskan dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen, apabila :

a. Barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksudkan untuk diedarkan;

b. Cacat barang timbul pada kemudian hari;

c. Cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang; d. Kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen;

e. Lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang dibeli atau lewatnya jangka waktu yang diperjanjikan.

Pasal 28

Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha. Memperhatikan substansi Pasal 19 ayat (1) Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dapat diketahui bahwa tanggung jawab pelaku usaha meliputi :

a. Tanggung jawab ganti kerugian atas kerusakan, b. Tanggung jawab ganti kerugian atas pencemaran,

c. Tanggung jawab ganti kerugian atas kerugian konsumen.

Berdasarkan hal ini, maka adanya produk barang dan/atau jasa yang cacat bukan merupakan satu-satunya dasar pertanggungjawaban pelaku usaha. Hal ini berarti, bahwa tanggung jawab pelaku usaha meliputi segala kerugian yang dialami konsumen.

Berbicara mengenai tanggung jawab, maka tidak lepas dari prinsip-prinsip sebuah tanggung jawab, karena prinsip tentang tanggung jawab merupakan perihal yang sangat penting dalam perlindungan konsumen. Secara umum prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat dibedakan, yaitu :

a. Prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan (liability based on fault), yaitu prinsip yang menyatakan bahwa seseorang baru dapat diminta

pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya.40

Prinsip ini adalah prinsip yang cukup umum berlaku dalam hukum pidana dan perdata. Dalam KUH Perdata, khususnya Pasal 1365, 1366 dan 1367 prinsip ini dipegang secara teguh. Pasal 1365 KUH Perdata lazim dikenal sebagai Pasal tentang perbuatan melanggar hukum, yang mempunyai empat unsur pokok, yaitu: 1. Adanya perbuatan

2. Adanya unsur kesalahan 3. Adanya kerugian yang diderita

4. Adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian.

Kesalahan adalah unsur yang bertentangan dengan hukum. Pengertian “ hukum “ tidak hanya bertentangan dengan Undang-undang, tetapi juga kepatutan dan kesusilaan dalam masyarakat. Secara common sense, asas tanggung jawab ini dapat diterima karena adalah adil bagi orang yang berbuat salah untuk mengganti kerugian bagi pihak korban. Dengan kata lain, tidak adil jika orang yang tidak bersalah harus mengganti kerugian yang diderita orang lain. Mengenai pembagian beban pembuktiannya, asas ini mengikuti ketentuan Pasal 163 HIR atau 283 Rbg dan Pasal 1865 KUH Perdata. Disitu dikatakan, barang siapa yang mengakui mempunyai hak, harus membuktikan adanya hak atau peristiwa itu. Ketentuan diatas juga sejalan dengan teori umum dalam hukum acara, yakni asas audi et altarem partem atau asas kedudukan yang sama antara pihak yang berperkara.

40

Innosentius Samsul, Perlindungan Konsumen Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab Mutlak, (Jakarta : Universitas Indonesia, Fakultas Hukum Pascasarjana2004), hal 48.

b. Prinsip praduga untuk selalu bertanggungjawab (Presumption of libility), yaitu prinsip yang menyatakan tergugat selalu dianggap bertanggung jawab sampai ia dapat membuktikan, bahwa ia tidak bersalah, jadi beban pembuktian ada pada tergugat. Pembuktian semacam ini lebih dikenal dengan sistem pembuktian terbalik.

UUPK rupanya mengadopsi system pembuktian ini, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 19, 22, 23 dan 28. Dasar pemikiran dari teori pembuktian terbalik ini adalah seseorang dianggap bersalah, sampai yang bersangkutan dapat membuktikan sebaliknya. Hal ini tentu bertentangan dengan asas hukum praduga tidak bersalah (presumption of innocence) yang lazim dikenal dalam hukum. Namun, jika diterapkan dalam kasus konsumen akan tampak, asas demikian cukup relevan. Jika digunakan teori ini, maka yang berkewajiban untuk membuktikan kesalahan itu ada dipihak pelaku usaha yang digugat. Tergugat ini harus menghadirkan bukti-bukti dirinya tidak bersalah. Tentu saja konsumen tidak lalu berarti dapat sekehendak hati mengajukan gugatan.

c. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab (Presumption of nonliability), yaitu prinsip ini merupakan kebalikan dari prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab, di mana tergugat selalu dianggap tidak bertanggung jawab sampai dibuktikan, bahwa ia bersalah.

d. Prinsip tanggung jawab mutlak (Strict libility).

Prinsip ini sering diidentikkan dengan prinsip tanggung jawab absolute (absolute liability). Kendati demikian ada pula para ahli yang membedakan kedua

terminologi di atas. Ada pendapat yang mengatakan, strict liability adalah prinsip tanggung jawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai factor yang menentukan. Namun ada pengecualian-pengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskan dari tanggung jawab, misalnya keadaan force majeur. Sebaliknya, absolute liability adalah prinsip tanggung jawab tanpa kesalahan dan tidak ada pengecualiaannya. Selain itu ada pandangan yang agak mirip, yang mengaitkan perbedaan kedua pada ada tidaknya hubungan kausalitas antara subjek yang

Dokumen terkait