• Tidak ada hasil yang ditemukan

TATA PEMERINTAHAN YANG BAIK (GOOD GOVERNANCE)

Dalam dokumen SAMBUTAN KAROPEG SETJEN KEMHAN (Halaman 136-188)

Setelah membaca Bab ini, calon peserta Diklat diharapkan mampu memahami dan menjelaskan tentang pengertian dan sistem pertahanan negara, prinsip-prinsip penyelenggaraan pertahanan negara, obyek pertahanan negara, pelaku penyelenggara pertahanan negara. A.

Pengertian. Faktor-faktor yang mendorong perlunya penerapan good governance adalah tuntuan globalisasi yang melanda dunia pada tahun 1990an. Globalisasi adalah kecenderungan semakin terbukanya komunikasi antar bangsa (negara-bangsa) dan kebudayaan yang diakibatkan oleh semakin majunya teknologi komunikasi, sehingga: 1.

Meningkatnya pengetahuan mengenai dunia luar dan masuknya gagasan dan nilai-nilai dari dunia luar ke Indonesia.

358 2.

Negara (pemerintah) kerapkali tidak mampu menyaring arus informasi dari dunia luar. 3.

Tumbuhnya gagasan-gagasan global di dunia luar seperti demokrasi, hak asasi manusia, masyarakat sipil, dan sebagainya.

Governance adalah tata pemerintahan, penyelenggaraan negara, atau pengelolaan (management), dimana intinya bahwa kekuasaan tidak lagi sematamata dimiliki atau menjadi urusan pemerintah. Kata governance memiliki unsur kata kerja yaitu governing yang berarti bahwa fungsi oleh

pemerintah bersama institusi lain (LSM, swasta & warga negara). Dalam penyelenggaraan pemerintahan ketiganya perlu terjalin sinergi atau keseimbangan/kesetaraan dan multi arah (partisipatif). Governance without government berarti bahwa pemerintah tidak selalu diwarnai dengan lembaga, tetapi termasuk dalam makna proses pemerintahan. Good Governance adalah tata pemerintahan yang baik, dan atau cara menjalankan fungsi pemerintahan yang baik, bersih dan berwibawa (struktur, fungsi, manusia, aturan, dll.). sedangkan Clean Government adalah pemerintah yang bersih dan berwibawa. Dan Good Corporate Governance diartikan tata pengelolaan perusahaan yang baik dan bersih. Intinya adalah Government adalah Lembaga atau badan yang

menyelenggarakan pemerintahan negara. Sedangkan Governance adalah tindakan atau pola dari kegiatan penyelenggaraan pemerintahan. B.

Konsep Good Governance. Perspektif governance mengimplikasikan terjadinya pengurangan peran pemerintah, tetapi pemerintah sebagai institusi tidak bisa ditinggalkan begitu saja.

359 Timbul pertanyaan, bagaimana negara (pemerintah) menempatkan diri dan bersikap ketika berlangsung proses governing dalam konteks governance? Atau bagaimana pemerintah berperan dalam mengelola negara atau publik? Setidaknya terdapat enam prinsip yang ditawarkan yang dapat dijadikan acuan untuk menjawab pertanyaan tersebut, yaitu: a.

Dalam kolaborasi yang dibangun, negara (baca: pemerintah) tetap bermain sebagai figur kunci namun tidak mendominasi, yang memiliki kapasitas untuk mengkoordinasi (bukan memobilisasi) aktor-aktor pada institusi-institusi semi pemerintah dan non pemerintah, untuk mencapai tujuan-tujuan politik.

b.

Kekuasaan yang dimiliki negara harus ditransformasikan, dari yang semula dipahami sebagai “kekuasaan atas” menjadi “kekuasaan untuk”, dalam rangka menyelenggarakan kepentingan, memenuhi kebutuhan, dan menyelesaikan masalah publik.

c.

Negara, NGO, swasta, dan masyarakat lokal merupakan aktor-aktor yang memiliki posisi dan peran yang saling menyeimbangkan (untuk tidak menyebut setara).

d.

Negara harus mampu mendesain ulang struktur dan kultur organisasinya agar siap dan mampu menjadi katalisator bagi institusi lainnya untuk menjalin sebuah kemitraan yang kokoh, otonom, dan dinamis.

e.

Negara harus melibatkan semua pilar masyarakat dalam proses kebijakan mulai dari 360 formulasi, implementasi, dan evaluasi kebijakan, serta pemberian pelayanan politik. f. C.

Negara harus mampu meningkatkan kualitas responsivitas, adaptasi dan akuntabilitas publik dalam penyelenggaraan kepentingan, pemenuhan kebutuhan, dan penyelesaian masalah publik.

Unsur-Unsur Utama Good Governance. Pada umumnya unsur-unsur utama Good Governance adalah :

D. 1.

Akuntabilitas, Aparatur sebagai penanggungjawab dan penanggung gugat atas segala tindakan dan kebijakan yang ditetapkan.

2.

dan diketahui umum. 3.

Keterbukaan, memberikan kesempatan kepada rakyat untuk mengajukan tanggapan dan kritik terhadap pemerintah.

4.

Aturan hukum, adanya jaminan kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat terhadap setiap kebijakan publik yang ditempuh.

Prinsip-Prinsip Good Governance. Menurut UNDP (United Nation Development Program), good governance memiliki sepuluh prinsip sebagai berikut: 1.

Partisipasi. Setiap orang mempunyai hak suara yang sama dalam proses pengambilan 361 keputusan (kebebasan berserikat, berpendapat dan ber-partisipasi). 2.

Aturan hukum. Kerangka aturan hukum dan peraturan perundang-undangan harus berkeadilan, ditegakkan dan dipatuhi.

3.

Transparansi. Kebebasan aliran informasi, dapat diakses secara bebas oleh masyarakat, sebagai alat pengawasan masyarakat kepada pemerintah.

4.

Daya tanggap. Setiap lembaga dan prosesnya diarahkan untuk melayani berbagai pihak (stake holders).

5.

Berorientasi konsensus. Pemerintah bertindak sebagai penengah bagi berbagai kepentingan yang berbeda untuk mencapai konsensus atau kesepakatan.

6.

Berkeadilan. Pemerintah memberikan kesempatan yang sama kepada semua rakyat untuk meningkatkan dan memelihara kualitas hidup.

7.

Efektifitas dan efisiensi. Setiap proses kegiatan untuk menghasilkan sesuatu sesuai kebutuhan dengan sumda yang tersedia.

8.

kewajiban

Ada pula yang menyebutkan sepuluh prinsip, mirip dengan pendapat di atas, yakni: 1. Partisipasi, warga memiliki hak (dan mempergunakannya) untuk menyampaikan pendapat, 362 bersuara dalam proses perumusan kebijakan publik, baik secara langsung maupun tidak langsung. 2.

Penegakan hukum, hukum diberlakukan bagi siapapun tanpa pengecualian, hak asasi manusia dilindungi, sambil tetap dipertahankannya nilainilai yang hidup dalam masyarakat.

3.

Transparansi, penyediaan informasi tentang pemerintah(an) bagi publik dan dijaminnya kemudahan di dalam memperoleh informasi yang akurat dan memadai.

4.

Kesetaraan, adanya peluang yang sama bagi setiap anggota masyarakat untuk beraktifitas/ berusaha.

5.

Daya tanggap, pekanya para pengelola instansi publik terhadap aspirasi masyarakat. 6.

Wawasan ke depan, pengelolaan masyarakat hendaknya dimulai dengan visi, misi, dan strategi yang jelas.

7.

Akuntabilitas, laporan para penentu kebijakan kepada para warga. 8.

Pengawasan publik, terlibatnya warga dalam mengontrol kegiatan pemerintah, termasuk parlemen. 9.

Efektivitas dan efisiensi, terselenggaranya kegiatan instansi publik dengan menggunakan sumber daya yang tersedia secara optimal dan bertanggung jawab. Indikatornya antara lain: pelayanan mudah, cepat, tepat, dan murah.

363 10.

Profesionalisme, tingginya kemampuan dan moral para pegawai pemerintah, termasuk parlemen. Selanjutnya seorang pengamat mencoba mengkaji kadar penyelenggaraan pemerintahan yang baik di Indonesia, beliau menyimpulkan bahwa ada beberapa pertanyaan yang perlu diperhatikan,

apabila Indonesia akan menciptakan pemerintahan yang baik, antara lain: 1. Bagaimana relasi/hubungan antara pemerintah dan rakyat.

2.

Bagaimana kultur pelayanan publik. 3.

Bagaimana praktik KKN. 4.

Bagaimana kuantitas dan kualitas konflik antara level pemerintah. 5.

Bagaimana kondisi kabupaten/kota. tersebut

di

provinsi,

Dari kajian yang dilaksanakan maka ditemukan ciri pemerintahan yang buruk, tidak efisien dan tidak efektif, dengan ciri-ciri sebagai berikut: 1.

Relasi antara pemerintah dan rakyat berpola serba negara. 2.

Kultur pemerintah sebagai tuan dan bukan pelayan. 3.

Patologi pemerintah dan kecenderungan KKN. 4.

Kecenderungan lahirnya etno politik yang kuat. 364 5. E.

Konflik kepentingan antar pemerintah.

Good Governance Bidang Pertahanan Negara. Tata pemerintahan yang baik (good governance) adalah kunci sistem penyelenggaraan pemerintahan modern dan demokratis yang terdiri dari dua pilar yaitu akuntabilitas dan transparansi. Hal ini juga harus diterapkan dalam bidang keamanan yang mencakup aspek pertahanan. Saat ini perkembangan demokrasi baik dalam konteks

penyelenggaraan pemerintahan maupun penghormatan atas hak-hak rakyat dalam melakukan pengawasan dan memenuhi kepentingankepentingan mereka telah melahirkan suatu pemahaman bahwa reformasi sektor pertahanan negara (keamanan nasional) merupakan prasyarat

penyelenggaraan pembangunan, demokrasi, dan perdamaian yang berkelanjutan. Salah satu

alasannya adalah karena dengan good governance akan lebih mudah memahami dan membaca arah kebijakan pertahanan negara (keamanan nasional), bahkan terdapat ruang untuk melakukan

pengawasan dan koreksi atas suatu perkembangan kebijakan pertahanan negara baik yang dilakukan oleh aktor politik domestik maupun dalam hubungannya dengan negara lain. F.

Langkah-Langkah Good Governance. Good governance dalam bidang pertahanan melihat pertahanan sebagai kewenangan pemerintah, suatu pandangan yang menyatakan bahwa

penyelenggaraan pertahanan merupakan kewenangan otoritas politik yang memegang monopoli atas keputusan penggunaan instrumen kekerasan yang bertanggung jawab untuk memenuhi kepentingan keamanan

365 (pertahanan Negara) baik keamanan negara maupun keamanan masyarakat dan individual. Dalam pandangan ini pertahanan, yang merupakan bagian dari keamanan, dilihat sebagai bagian dari sektor publik untuk mengelola dua pelaku atau komponen utama bidang pertahanan yaitu alat/instrumen pertahanan negara dan lembagalembaga politik sipil yang bertanggungjawab atas pengelolaan dan kontrol terhadap alat-alat atau alat pertahanan tersebut. Dalam perspektif

governance, hubungan antara aparat dan lembaga-lembaga politik sipil ini “should be the subject to the same standards of efficiency, equity, and accountability as any other (public) service” Ini adalah aspek pertama good governance yaitu akuntabilitas yang menuntut adanya pertanggungjawaban pemerintah kepada rakyat dalam sistem politik demokrasi dalam mengelola sektor pertahanan. Hal ini sekaligus mensyaratkan adanya mekanisme pertanggungjawaban semua institusi dan aktor pertahanan. Dengan demikian, institusi dan alat pertahanan harus bertanggungjawab kepada otoritas politik yaitu eksekutif, kementerian yang membidangi masalah pertahanan, parlemen dan beberapa komisi parlemen yang relevan, kewenangan kehakiman, dan badanbadan pengawasan misalnya komisi hak azasi manusia dan ombudsman sesuai dengan mekanisme politik negara tersebut. Peran dari badan-badan ini adalah untuk memberi jaminan bahwa penyelenggaraan pertahanan dikelola melalui cara yang efisien dan efektif dan dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan standar universal demokrasi dan hak azasi manusia. Jadi, pertahanan tidak hanya menjadi kewenangan

366 government, melainkan juga merupakan governance yang harus tunduk pada prinsip-prinsip demokrasi. Akuntabilitas tersebut hanya bisa dicapai melalui aspek kedua good governance yaitu adanya transparansi yang merupakan prasyarat akuntabilitas yang efektif. Transparansi membuat publik mengetahui dan memahami pertahanan, membuat mereka mampu mengontrol perilaku aktor pertahanan. Kebijakan, perencanaan, dan penganggaran pertahanan juga harus dibuat transparan yang memberi ruang untuk terjadinya debat publik secara dinamis tentang kebijakan pertahanan negara (keamanan nasional). Tetapi, juga harus diakui bahwa transparansi bidang pertahanan selalu merupakan masalah sensitif karena harus diseimbangkan dengan aspek kerahasiaan, terlebih yang menyangkut tentang militer. Padahal, sebenarnya tidak ada satupun kebijakan yang rahasia. Karena kebijakan adalah ruang publik dan harus dipertanggungjawabkan kepada publik. Kerahasiaan dalam bidang pertahanan biasanya hanya menyangkut taktik dan strategi pada tingkat operasional. Aspek akuntabilitas dan transparansi sering diwujudkan dalam upaya-upaya menegakkan kontrol

demokratis atas militer (democratic control of armed forces). Konsep ini memang masih menimbulkan perdebatan dan bahkan melahirkan penafsiran yang berbeda. Hal ini sudah

memperdebatkan konsep objective dan subjective civilian control dan konsep profesionalisme lama dan profesionalisme baru. Tetapi, good governance dalam konteks democratic control of armed forces secara universal dipahami mengandung beberapa hal sebagai berikut :

367 1.

Alat-alat pertahanan tunduk dan bertanggungjawab kepada otoritas politik yang memperoleh legitimasi dan mandat konstitusional dari rakyat.

2.

Alat-alat pertahanan mengikuti kebijakan politik otoritas politik sipil dan harus netral secara politik. 3.

Misi dan peran kekuatan pertahanan hanya dilakukan untuk tugas-tugas yang telah digariskan secara konstitusional melalui kebijakan pertahanan negara (keamanan nasional) maupun yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.

4.

Kekuatan pertahanan memperoleh sumbersumber pendanaan hanya melalui anggaran belanja nasional (APBN) yang telah disetujui oleh parlemen. Hal ini untuk mencegah lahirnya kekuatan pertahanan yang independen terhadap otoritas politik sipil.

5.

Kekuatan pertahanan harus mematuhi rule of law, termasuk aturan-aturan internasional tentang hukum humaniter yang mengatur tentang perilaku di masa konflik. Ini mensyaratkan adanya aturan pelibatan (rules of engagement) dalam setiap operasi militer.

6.

Kekuatan pertahanan harus diintegrasikan ke dalam sistem politik dalam aturan-aturan demokrasi yang telah disepakati untuk mencegah lahirnya kekuatan militer yang bertindak seperti negara dalam negara (a state within the state). Dalam praktek hal ini akan terlihat dari bagaimana hubungan antara Presiden, Menteri Pertahanan, Panglima, dan institusi militer, dan institusi-institusi lain yang berkaitan dengan pertahanan dan militer.

368 Keenam prinsip-prinsip pokok tersebut harus dibarengi dengan penyelenggaraan pertahanan dalam kerangka sebagai berikut: Pertama, harus dibangun kerangka konstitusional dan legal yang menegaskan pemisahan kekuasaan antara pemerintah, parlemen, dan kekuasaan hukum dan menetapkan tugas, hak, dan kewajiban alat pertahanan (militer) dalam kerangka checks and balances. Kekuasaan yang terkonsentrasi pada satu tangan akan melahirkan penyalahgunaan kekuasaan termasuk penyalahgunaan alat-alat pertahanan untuk kepentingan kekuasaan. Kedua, pengembangan pengawasan sipil atas militer dalam pengelolaan sektor pertahanan (dan keamanan secara umum) oleh Kementerian Pertahanan dan Kementerian terkait dengan kekuasaan membuat kebijakan dan mengelola masalah-masalah pertahanan negara (keamanan nasional). Ketiga,

pelaksanaan pengawasan parlemen (parliamentary oversight) bidang pertahanan dan keamanan melalui kekuasaan untuk menyetujui anggaran pertahanan, undang-undang yang berkaitan dengan bidang pertahanan, strategi dan perencanaan pertahanan, pengadaan alutsista, dan pengerahan

kekuatan pertahanan, ratifikasi perjanjian dan hukum internasional yang berkaitan dengan keamanan, pembentukan komisi pertahanan, investigasi parlemen melalui dengar pendapat

(hearing), sistem pelaporan dan sebagainya. Keempat, penegakan kontrol/pengawasan hukum atas sektor keamanan yaitu menempatkan mereka tunduk pada sistem hukum sipil, kecuali untuk hukum pidana

369 militer yang secara khusus diberlakukan untuk pelanggaran-pelanggaran militer (military offences). Kelima, pengawasan oleh publik (public control) melalui masyarakat sipil (LSM), partai politik, masyarakat akademis dalam bidang pertahanan dan keamanan, lembaga penelitian, media, dan sebagainya. Peran penting lainnya yang dilakukan oleh masyarakat adalah mendorong diskusi dan debat nasional tentang keamanan dan pertahanan. Oleh karena itu good governance dalam bidang pertahanan mensyaratkan beberapa penataan: Pertama, restrukturisasi alat pertahanan, terutama militer. Langkah ini mencakup antara lain reformasi pertahanan, reformasi militer, restrukturisasi organisasi pertahanan dan organisasi militer, termasuk di dalamnya adalah

pengembangan doktrin pertahanan dan doktrin militer, dan pengembangan profesionalisme militer. Kedua, langkah-langkah memperkuat kemampuan sipil (capacity building) dan institusinya, misalnya dengan melakukan reformasi kementerian yang menangani masalah pertahanan, termasuk

kementerian keuangan, serta mekanisme pengawasan baik di lingkungan parlemen maupun dalam lingkungan eksekutif. Langkah capacity building ini juga mencakup penguatan kapasitas parlemen dan partai politik dalam memahami dan melakukan pengawasan dalam masalah pertahanan. Kedua langkah ini juga untuk menegaskan dan memisahkan antara akuntabilitas politik dan kebijakan di satu sisi dengan akuntabilitas operasional yang harus dipenuhi melalui profesionalisme alat 370 pertahanan, baik dari aspek kompetensi/kemampuan maupun organisasi. Ketiga, langkah-langkah penataan sumber-sumber nasional untuk kepentingan pertahanan, terutama yang berkaitan dengan sumber-sumber anggaran. Transparansi dan akuntabilitas anggaran pertahanan adalah syarat mutlak bagi penyelenggaraan good governance dalam bidang pertahanan yang

mencerminkan tiga hal pokok yaitu menegaskan kontrol sipil dalam bidang pertahanan; menjaga agar anggaran pertahanan tidak melampaui kemampuan pemerintah; dan mengindikasikan prioritas kebijakan suatu negara. Dalam masyarakat di mana instrumen keamanan (militer) masih relatif independen dan otonom terhadap otoritas politik dan tidak transparan, sumber-sumber nasional dengan mudah dapat digunakan secara tidak proporsional yang merugikan kepentingan

pembangunan ekonomi dan sosial. Atau, paling tidak kegiatan bisnis militer yang tidak terkontrol bisa mendistorsi ekonomi nasional. Karena itu proses penganggaran bidang pertahanan yang transparan dan akuntabel harus melalui tahap formulasi oleh eksekutif; persetujuan oleh legislatif dalam suatu undang-undang; pengalokasian dan penggunaan serta evaluasi atas efisiensi dan efektifitas anggaran. Keempat, good governance dalam bidang pertahanan harus memperhatikan aspek/peran masyarakat dalam mengawasi kebijakan dan penyelenggaraan pertahanan yang dilakukan oleh pemerintah. Defence literacy (pengetahuan dan kesadaran) masyarakat tentang pertahanan adalah salah satu aspek fundamental dalam good governance. Masyarakat yang sadar dan mengerti tentang masalah pertahanan memainkan peran penting untuk menjamin

371 transparansi dan akuntabilitas pemerintahan bidang pertahanan. penyelenggaraan

Salah satu langkah penting dalam kaitan ini adalah perlunya konsultasi dan perdebatan publik tentang masalah-masalah kebijakan pertahanan nasional serta penerbitan dokumen-dokumen

kebijakan negara dalam bidang pertahanan, misalnya dengan diterbitkannya buku putih pertahanan. Buku putih pertahanan tidak hanya merupakan pernyataan kebijakan pertahanan suatu pemerintah, melainkan juga memberi ruang bagi publik untuk memperdebatkan masalah-masalah pertahanan.

Good governance dengan demikian mencakup hubungan antara tiga komponen utama yaitu TNI sebagai instrumen kekerasan, DPR sebagai institusi yang mengelola dan mengawasi instrument kekerasan, dan Kementerian Pertahanan sebagai struktur yang menegakkan dan mengatur hubungan semua aktor bidang pertahanan. Hubungan-hubungan tersebut harus menegaskan pengaturan tentang perumusan kebijakan, pelaksanaan kebijakan, dan pengawasan kebijakan (policy formulation, implementation, and oversight). G.

Keadaan di Indonesia. Sejak reformasi tahun 1998 berbagai upaya untuk membangun good

governance bidang pertahanan telah dilakukan. Secara politis, hal itu dilakukan dengan pemisahan organisasional antara polisi dan TNI yang kemudian ditetapkan secara formal melalui Tap MPR No. VI dan No. VII/2000. Pada tahun 2002 lahir Undang-undang No. 3/2002 tentang Pertahanan Negara sebagai kerangka legal pengelolaan masalah pertahanan yang memberikan kewenangan kepada masing-masing aktor pertahanan. Secara lebih khusus,

372 tahun 2004 lahir Undang-undang No. 34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia yang menegaskan kewenangan dan tempat TNI dalam ketatanegaraan Indonesia dalam menjalankan fungsinya sebagai komponen utama pertahanan. Langkah-langkah awal ini ditujukan untuk

melepaskan militer dari keterlibatan politik. Politik dan kebijakan pertahanan menjadi kewenangan Kementerian atau Menteri Pertahanan. Militer hanya bertanggungjawab secara operasional dan pengembangan kemampuan teknis dan operasional untuk kepentingan operasi militer. Aspek lain yang menjadi agenda penting pengembangan good governance sejak gelombang reformasi adalah memberi kekuasaan pengawasan yang lebih besar kepada DPR dalam bidang pertahanan dan keamanan. Jadi, sejak reformasi terdapat upaya untuk menegaskan pemilahan kewenangan dan pertanggungjawaban aktor dalam hal pembuatan kebijakan, implementasi kebijakan, dan pengawasan kebijakan dalam bidang pertahanan: 1.

Bidang Kebijakan Secara institusional-legal kebijakan pertahanan telah ditempatkan sebagai kewenangan Kementerian Pertahanan. Kementerian Pertahanan adalah kepanjangan tangan dari Presiden sebagai pemegang otoritas politik sipil dalam bidang pertahanan dengan kewenangan dalam bidang pembuatan kebijakan (policy) dan pengelolaan (management). Undang-undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara sangat jelas telah menegaskan kewenangan tersebut. 373 Demikian pula halnya dengan Undang-undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa pemerintah Indonesia melindungi segenap bangsa dengan konsekuensi perlunya perumusan kebijakan

pertahanan untuk tujuan tersebut. Hal ini merupakan fundamental politik dalam negara demokratis dalam arti bahwa tanggungjawab politik dan perumusan kebijakan pertahanan tidak boleh diberikan kepada instrumen pelaksana yaitu TNI. Tetapi, perlu ditegaskan bahwa menurut UndangUndang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, kebijakan pertahanan harus didahului dengan perumusan suatu kebijakan umum pertahanan negara. Perumusan ini dilakukan oleh Presiden dengan melibatkan Dewan Pertahanan Nasional yang anggotanya terdiri dari Wakil Presiden, Menteri Pertahanan, Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, Panglima TNI, dan pejabat pemerintahan dan non-pemerintahan. Kebijakan Umum Pertahanan Negara ini dioperasionalkan oleh Menteri Pertahanan dengan merumuskan Kebijakan Penyelenggaraan Pertahanan Negara dan Kebijakan Umum Penggunaan Kekuatan TNI. Sebagai pemegang kebijakan pertahanan Presiden juga memegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan Angkatan Darat. Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang dengan negara lain, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain. Presiden memutuskan pengerahan kekuatan pertahanan/ bersenjata, termasuk pengerahan

374 kekuatan bersenjata dalam keadaan mendesak. Presiden juga mempunyai kekuasaan untuk menyatakan keadaan bahaya atau keadaan darurat dan mengerahkan kekuatan militer untuk

mengatasi keadaan bahaya tersebut. Karena itulah, dalam bidang pertahanan menjadi jelas bahwa supremasi otoritas politik dalam perumusan kebijakan politik telah memperoleh kerangka legal di mana Presiden memegang tanggung jawab bidang pertahanan dengan konsekuensi kewenangan menetapkan prioritas pertahanan negara, menetapkan strategi untuk mencapainya, dan penggunaan instrumeninstrumen atau kekuatan pertahanan untuk mencapai tujuan pertahanan negara. Ini semua harusnya merupakan esensi dari Kebijakan Umum Pertahanan Negara yang sampai sekarang belum dirumuskan. Kebijakan umum pertahanan memberi arah tentang apa yang hendak dicapai pada masa pemerintahan sekarang ini dan bagaimana mencapainya. Kebijakan umum pertahanan memberikan arah tentang apa yang akan dihadapi oleh Indonesia dalam perubahan perkembangan internasional dan domestik. Di sini kebijakan umum pertahanan negara berisi penilaian tentang potensi ancaman (threat assessment) baik eksternal maupun internal atas dasar analisa lingkungan strategis dan karakter geografis Indonesia sebagai negara kepulauan. Kebijakan umum pertahanan negara juga menjelaskan penilaian tentang kapabilitas pertahanan (capability assessment) yang dimiliki dan harus dikembangkan oleh Indonesia dengan melihat perkembangan kapabilitas pertahanan

375 negara-negara lain, terutama di kawasan Asia Tenggara dan Asia Pasifik. Akhirnya, kebijakan umum pertahanan juga berisi strategi pertahanan yang menjelaskan tentang bagaimana

menghadapi perkembangan-perkembangan potensi ancaman dan lingkungan strategis yang kemudian diturunkan dalam pengembangan strategi dan kekuatan pertahanan Indonesia. Dalam merumuskan Kebijakan Umum Pertahanan Negara Presiden dibantu oleh suatu Dewan Keamanan Nasional yang di dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 disebut Dewan Pertahanan Nasional (DPN). Ke depan nama dewan ini harus diganti menjadi Dewan Keamanan Nasional (untuk

menghindari pengertian/persepsi yang keliru). Beberapa orang mengatakan untuk menjalankan fungsi dewan ini bisa digunakan Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas) yang sudah ada dan dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 101 Tahun 1999, atau paling tidak orang dapat mempertanyakan mengapa harus ada Dewan Pertahanan Nasional (DPN) sementara dalam waktu yang sama ada kabinet yang di dalamnya terdapat beberapa menteri yang membidangi masalah pertahanan dan keamanan. DPN berbeda dari Wantannas atau kabinet. Suatu dewan keamanan nasional bertugas menganalisa isu-isu ancaman, dari mana ancaman datang, dan bagaimana menghadapi ancaman tersebut. DPN memberikan nasehat kepada Presiden dalam pembuatan kebijakan umum pertahanan negara, menyusun kebijakan

376 tentang pengerahan komponen pertahanan, dan menelaah resiko dari kebijakan yang

Dalam dokumen SAMBUTAN KAROPEG SETJEN KEMHAN (Halaman 136-188)

Dokumen terkait