• Tidak ada hasil yang ditemukan

C. Perceraian Atas Perkawinan Yang Dilangsungkan Menurut Hukum Adat Tionghoa

3. Tata Cara Perceraian

a. Perceraian Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Perceraian merupakan suatu pengecualian terhadap prinsip perkawinan yang kekal yang diakui oleh semua agama.82 Perceraian hanya dapat terjadi apabila sebelumnya telah ada hubungan perkawinan sebagaimana yang dimaksudkan dalam Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Salah satu prinsip dalam hukum perkawinan nasional yang sejalan dengan ajaran agama ialah mempersulit terjadinya perceraian. Hal ini terbukti dari ketentuan Pasal 39 ayat (1) dan (2) Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksana Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974. Perceraian menurut garis hukum apapun dan dalam bentuk apapun hanya boleh dipergunakan sebagai jalan terakhir, sesudah usaha perdamaian telah dilakukan sedemikian rupa sehingga tidak ada jalan lain kecuali hanya perceraian itu. Pada kenyataannya telah terjadi pergeseran nilai dimana alasan-alasan perceraian yang telah diatur secara limitatif dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 hanya dianggap sebagai formalitas demi

82T. Jazifham,Persintuhan Hukum di Indonesia dengan Hukum Perkawinan Islam,Mestika, Jakarta, 2006, hal.54.

tercapainya keinginan untuk bercerai. Hal ini sangat erat kaitannya dengan munculnya perceraian atas pemufakatan/kesepakatan.

Definisi perceraian menurut beberapa pendapat sarjana : 1) Menurut Budi Susilo

Perceraian adalah putusnya suatu perkawinan yang sah di depan hakim pengadilan berdasarkan syarat-syarat yang ditentukan undang-undang. Oleh karena itu perlu dipahami jiwa dari peraturan mengenai perceraian itu serta akibat-akibat yang mungkin timbul setelah suami-isteri itu perkawinannya putus.83

2) Menurut Surbekti

Perceraian adalah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim, atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu.84

3) Menurut R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin

Perceraian berlainan dengan pemutusan perkawinan sesudah perpisahan meja dan tempat tidur yang di dalamnya tidak terdapat perselisihan bahkan ada kehendak baik dari suami maupun dari isteri untuk pemutusan perkawinan. Perceraian selalu berdasar pada perselisihan antara suami dan isteri.85

4) Menurut P.N.H Simanjuntak

83

Budi Susilo,Prosedur Gugatan Cerai, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2007, hal.11. 84Subekti,Pokok – Pokok Hukum Perdata,Intermasa, Jakarta, 1985, hal.23.

85R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin, Hukum Orang dan Keluarga, Alumni, Bandung, 1986, hal.109.

Perceraian adalah pengakhiran suatu perkawinan karena sesuatu sebab dengan keputusan hakim atas tuntutan dari salah satu pihak atau kedua belah pihak dalam perkawinan.86

Pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menentukan perkawinan dapat putus karena :

1) kematian 2) perceraian

3) keputusan pengadilan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mempersulit terjadinya perceraian, dengan menentukan bahwa di dalam melakukan perceraian harus ada cukup alasan bagi suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.87

Dalam Pasal 39 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa :

1) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Pengadilan, setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. 2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami isteri

tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.

3) Tata cara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan perundangan sendiri.

86

P.N.H Simanjuntak,Pokok – Pokok Hukum Perdata Indonesia, Djambatan, Jakarta, 2007, hal.53.

87Sudarsono,Lampiran Undang – Undang Perkawinan dengan Penjelasannya,Rineka Cipta, Jakarta, 1991, hal.307.

Dalam penjelasan Pasal 39 ayat (2) Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dinyatakan bahwa pelaksanaan perceraian hanya mungkin terjadi apabila :

1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.

2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut – turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.

3. Salah satu pihak mendapatkan hukuman penjara 5 (lima) tahun dan hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiyaan berat yang membahayakan pihak lain.

5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri.

6. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Pasal 209 KUH Perdata menyebutkan beberapa alasan yang mengakibatkan terjadinya perceraian, yaitu:88

1. zinah,

2. meninggalkan tempat tinggal bersama dengan itikad jahat

3. penghukuman dengan hukuman penjara lima tahun lamanya atau dengan hukuman yang lebih berat, yang diucapkan setelah perkawinan.

4. melukai berat atau menganiaya, dilakukan oleh si suami atau si isteri terhadap isteri atau suaminya, yang demikian sehingga membahayakan jiwa pihak yang dilukai atau dianiaya, atau sehingga mengakibatkan luka – luka yang membahayakan.

Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur akibat hukum dari perceraian yaitu :89

1. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya;

88Pasal 209 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata

2. Bapak yang bertanggungjawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut;

3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.

b. Perceraian Menurut Hukum Adat Tionghoa

Sebagian besar masyarakat etnis Tionghoa beragama Buddha atau Konghucu, dimana perkawinan menurut etnis Tionghoa barulah sah apabila telah dilakukan secara adat istiadat Tionghoa.

Perkawinan secara adat di kalangan masyarakat etnis Tionghoa kebanyakan dilakukan di Kelenteng ataupun lembaga keagamaan lainnya. Dimana pemuka agama layaknya seorang pendeta menjadi saksi dari pengikatan tali perkawinan, dan menyaksikan upacara adat sembahyang kepada Dewa Langit dan Dewa Bumi pada saat upacara pengikatan perkawinan tersebut.

Hal ini membuat lembaga keagamaan mempunyai peran yang sangat penting dalam perkawinan maupun perceraian dari masyarakat etnis Tionghoa. Sebagai akibat dari pengaruh agama yang sangat besar, pemutusan perkawinan menurut hukum adat selalu terjadi campur tangan aturan – aturan keagamaan.

Pengertian perceraian menurut adat Tionghoa adalah putusnya hubungan perkawinan antara seorang laki – laki dan seorang perempuan yang telah hidup bersama sebagai suami isteri.

Terdapat dua keadaan perceraian dalam adat istiadat Tionghoa yaitu :90 1. Pemisahan meja dan tempat tidur

Dalam keadaan ini pasangan suami isteri hidup terpisah dan berhenti untuk tinggal bersama sebagai suami isteri, tetapi masih terikat dengan perkawinan dan tidak ada kebebasan untuk menikah lagi dengan orang lain ketika pasangannya masih hidup.

2. Perceraian secara hukum/resmi

Dalam keadaan ini pasangan suami isteri telah bercerai secara hukum dan resmi. Dikatakan bercerai secara resmi, apabila perkawinan tersebut dicatatkan, dan perceraian juga dilakukan dengan keputusan Pengadilan. Pasangan suami isteri ini tidak lagi terikat hubungan perkawinan dan keduanya bebas menikah lagi dengan orang lain.

Adat Tionghoa tidak melarang terjadinya perceraian, namun tidak mendukung terjadinya perceraian. Apabila terjadi pertengkaran antara suami isteri, biasanya isteri akan kembali ke rumah orang tuanya. Kemudian dari pihak keluarga akan terlebih dahulu melakukan upaya perbaikan terhadap hubungan pasangan suami isteri tersebut. Bagi suami isteri yang sedang mengalami kegoncangan rumah tangga, dapat ditempuh dengan cara pisah meja dan tempat tidur. Upaya tersebut dimaksudkan agar kedua belah pihak lambat laun akan tumbuh rasa rindu dan menyadari kekeliruannya dan pada akhirnya akan kembali rujuk.

Dalam hukum adat Tionghoa, perceraian dianggap suatu kegagalan dan aib, membawa penderitaan bagi anak-anak yang dilahirkan, menimbulkan efek psikologis yang negatif bagi kedua pasangan suami istri. Sehingga apabila terjadi kegoncangan rumah tangga, hal tersebut akan terlebih dahulu diselesaikan secara kekeluargaan.

90Hasil wawancara dengan Bhaktiar Kamil, Ketua Majelis Agama Konghucu (MAKIN) Medan Utara, tanggal 15 April 2013

Misalnya para kerabat terdekat akan terlebih dahulu mengusut pemicu persoalan dan berusaha untuk mendamaikan pasangan yang akan bercerai.

Terhadap perceraian yang terjadi, emas kawin yang telah diberikan oleh pihak mempelai pria kepada pihak mempelai wanita tidak dapat dimintakan kembali. Karena dalam adat Tionghoa, perkawinan tidak dianggap sebagai perjanjian, melainkan sebuah kesepakatan.

Menurut adat istiadat Tionghoa, pasangan yang telah bercerai, hubungan kekerabatan antara keluarga, sanak saudara mantan isteri dan/atau telah berakhir pula. Hanya anak ( bila ada) yang masih mempunyai hubungan dengan ayah dan/ atau ibunya.

Menurut Wahyono Darmabrata, dalam hal perceraian, maka suami isteri yang akan bercerai juga harus memperhatikan ketentuan agama. Apakah ketentuan hukum agama yang dianut suami-isteri yang bersangkutan memungkinkan atau tidak bagi pasangan suami isteri yang bersangkutan untuk bercerai. Kalau hukum agama suami isteri yang bersangkutan melarang terjadinya perceraian, maka perceraian tersebut tidak dapat dilaksanakan meskipun Undang-Undang atau hukum negara memungkinkannya.91

Menurut Bhaktiar Kamil, ikatan perkawinan di masyarakat etnis Tionghoa belakangan ini semakin rapuh karena kalangan generasi mudanya tidak lagi menghargai adat dan agama dalam kehidupan keluarga, keluarga baru yang terbentuk 91 Wahyono Darmabrata, Tinjauan Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Beserta Undang – Undang dan Peraturan PelaksanAanya, Cetakan Ke-2, Gitama Jaya, Jakarta, 2003, hal.134.

di kalangan kaum muda kurang menghargai nilai – nilai sakral perkawinan karena pemahaman terhadap makna adat dan agama semakin merosot. Zaman sekarang agama hanya dianggap sebagai formalitas hidup, umat banyak yang kurang menghargai adat dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam perkawinan.92

Pada hakekatnya perselisihan atau pertengkaran dalam keluarga yang menjurus kepada perceraian adalah disebabkan karena salah satu pihak ingin memaksakan kehendak kepada pihak yang lain. Jika dalam hal ini, salah satu pihak tidak bisa menuruti kehendak pihak yang lainnya, maka jalan yang paling bijaksana untuk ditempuh adalah salah satu pihak harus dapat mengubah pola pikir dirinya sendiri, sehingga pertengkaran tidak akan terjadi.93

Dalam Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, menentukan mengenai keabsahan perkawinan apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu serta harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Akan tetapi di dalam masalah perceraian, kecuali yang dilakukan di hadapan Pengadilan Agama bagi umat Islam, tidak ditentukan keharusan misalnya keabsahan perceraian harus memenuhi hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.

c. Syarat – Syarat Perceraian

Perceraian perkawinan adalah hanya dapat ditetapkan oleh Pengadilan Negeri dengan alasan-alasan, yaitu:94

92

Hasil wawancara dengan Bhaktiar Kamil, Ketua Majelis Agama Konghucu (MAKIN) Medan Utara, tanggal 15 April 2013

93Ibid.

1) Berzinah oleh suami istri atau istri dengan orang ketiga

2) Hal salah satu pihak meninggalkan pihak yang lain dengan sengaja;

3) Hal salah satu pihak, selama perkawinan berlangsung, mendapat hukuman perihal suatu kejahatan

4) Penganiayaan berat oleh suami atau istri, dilakukan terhadap pihak yang lain, atau suatu penganiayaan sedemikian rupa, sehingga dikhawatirkan bahwa pihak yang dianiaya itu akan meninggal dunia atau suatu penganiayaan yang mengakibatkan luka-luka yang berat pada badan pihak yang dianiaya.

5) Cacat badan atau penyakit yang timbul setelah pernikahan dilakukan sedemikian rupa sehingga suami atau istri yang menderita itu, tidak dapat melakukan hal sesuatu yang layak dalam suatu perkawinan.

6) Percekcokan di antara suami istri yang tidak memungkinkan dapat diperbaiki lagi.

Pengecualian perceraian pada masyarakat etnis Tionghoa :95 1) Istri yang melahirkan banyak anak tidak boleh diceraikan

Seorang perempuan yang melahirkan banyak keturunan bagi suaminya, tidak boleh diceraikan, karena dia telah menunaikan tugasnya sebagai isteri, membantu suaminya dalam membangun rumah tangga, sehingga isteri tersebut tidak bisa diceraikan begitu saja. Seorang suami seharusnya tetap hidup bersama dengan isterinya, mengurus dan membelanjainya walaupun tidak lagi tidur sekamar, dan isteri harus tetap dihormati sebagai isteri yang sah. Bagi suami, lebih baik menikah lagi namun hidup di rumah yang terpisah daripada menceraikan isteri pertamanya.

Perceraian tidak serta merta memutuskan hubungan pertalian keluarga antara pihak keluarga mantan suami dan mantan isteri. Jika hubungan perkawinan tersebut terjadi karena pertalian yang disatukan karena hubungan darah, maka

95Hasil wawancara dengan Bhaktiar Kamil, Ketua Majelis Agama Konghucu (MAKIN) Medan Utara, tanggal 15 April 2013

pertalian keluarga tidak akan putus karena perceraian. Jika pasangan suami isteri tersebut mempunyai keturunan, tidak menjadi masalah anak laki – laki atau perempuan, maka anak-anak tersebut akan meneruskan pertalian keluarga tersebut. Perkawinan yang berakhir dengan perceraian bisa disatukan kembali meskipun pada prakteknya jarang terjadi.

2) Isteri yang sedang hamil tidak boleh diceraikan

Suami harus bertanggung jawab atas bayi yang berada dalam kandungan isterinya, karena ia merupakan bapak dari benih yang dikandung isterinya itu. Bayi harus lahir terlebih dahulu sebelum suami mengambil keputusan untuk bercerai karena menceraikan isteri yang sedang hamil, di dalam adat Tionghoa merupakan suatu perbuatan yang sangat tidak terpuji. Jika keputusan bercerai merupakan inisiatif dari isteri, maka terdapat kemungkinan bahwa anak yang dikandung merupakan benih dari hasil pergaulan bebas dengan laki – laki lain. Namun kepastian mengenai perceraian tetap harus menunggu hingga lahirnya bayi tersebut. Dan kemudian akan dipastikan siapakah bapak dari anak yang dilahirkan tersebut.

d. Proses Perceraian Secara Adat Tionghoa

Berikut adalah proses perceraian secara adat Tionghoa :96

1. Kerabat-kerabat terdekat dan sanak keluarga dari keluarga pihak suami dan pihak istri akan dikumpulkan terlebih dahulu. Pemuka agama akan terlebih dahulu menanyakan alasan perceraian dan berusaha mendamaikan kedua belah pihak

dengan mengerahkan segala akal pikiran untuk mendamaikan pasangan yang merasa tidak bisa hidup bersama lagi dan ingin bercerai. Kerabat – kerabat dekat ataupun sanak keluarga yang hadir, biasanya berumur lebih tua dan dihormati dalam keluarga sehingga mereka menggunakan pengaruh mereka dengan memberi nasehat, teguran untuk memulihkan kembali hubungan yang retak dan berusaha untuk menyelamatkan perkawinan dari perceraian. Jika usaha untuk mendamaikan pasangan tersebut tidak berhasil, akan diadakan pembicaraan resmi mengenai perceraian.

2. Dipilih kerabat-kerabat yang menjadi penengah untuk menjembatani proses perceraian, dan akan dibicarakan mengenai akibat dan tanggung jawab yang akan timbul dari perceraian. Perundingan mengenai kesepakatan mengenai hak asuh anak, pembagian harta bersama, biaya-biaya hidup anak, penghidupan anak biasanya melalui proses perundingan yang sangat panjang. Perundingan tidak jarang berakhir pada perselisihan. Apabila terjadi perselisihan, maka persoalan akan diserahkan kepada orang tertua yang dihormati untuk diselesaikan. Penyelesaian persoalan yang demikian dengan segala konsekuensinya akan diputuskan oleh orang tua tersebut tanpa memerlukan persetujuan kedua belah pihak. Biasanya suami juga akan memberi biaya hidup kepada mantan isterinya hingga mantan isterinya tersebut menikah kembali dengan laki – laki lain.

3. Pengumuman perceraian

Pengumuman perceraian dilakukan di media massa yang menyatakan berakhirnya hubungan suami isteri sehingga tidak ada keterkaitan lagi satu sama lain. Hal ini

dilakukan sebagai formalitas untuk mengukuhkan proses perceraian dan menjadikan bukti atas kesepakatan pengakhiran hubungan perkawinan antara kedua pasangan suami isteri tersebut. Biaya pengumuman perceraian biasa ditanggung oleh kedua belah pihak secara adil, namun bisa juga tergantung kesepakatan kedua belah pihak.

D. Kedudukan Harta Perkawinan Dalam Hal Terjadinya Perceraian Antara

Dokumen terkait