• Tidak ada hasil yang ditemukan

TATAKRAMA SEORANG GURU DI DALAM PELAJARANNYA

Dalam dokumen Adabul Alim Wal Muta’Allim (Halaman 102-112)

Seorang guru ketika menghadiri ruangan mengajar (kelas) hendaknya membersihkan dirinya dari hadats dan kotoran, memakai harum‐haruman dan memakai baju (pakaian) yang selayaknya sesuai dengan mode ketika itu dengan tujuan mengagungkan nilai ilmu dan menghormati syari‘at. Juga harus berniat mendekatkan diri kepada Allah dan menyebarkan ilmu serta menegakkan agama Allah menyampaikan hukum‐hukum Allah yang diamanatkannya dan diperintahkan menjelaskannya. Sebaiknya juga bermaksud menunjukkan kebenaran dan mengembalikan kepada kebajikan. Berniat berkumpul bersama untuk berdzikir kepada Allah, selain kepada kawan‐kawan muslimin dan mendo‘akan Ulama‘ Salaf.

96 Apabila dia keluar dari rumahnya sebaiknya berdo‘a sebagaimana do‘a Nabi Muhammad SAW:

“Ya Allah…. aku berlindung kepada‐Mu dari tersesat atau disesatkan, tergelincir atau tergelincirkan, mendholimi atau didholimi, bodoh atau dibodohi maha mulia kekuasaan‐MU dan agung pujian‐Mu tiada Tuhan selain Engkau.”

Kemudian berdo‘a :

“Dengan menyebut nama Allah, aku beriman kepada Allah dan berpegang teguh kepada‐Nya,tawakal kepada‐Nya tiada kekuatan daya upaya kecuali dari Allah. Ya Allah tetapkanlah hatiku, tunjukkanlah kebenaran pada lisanku, dan ku selalu mengingat‐Mu.”

Apabila telah sampai di hadapan para hadirin maka hendaknya mengucapkan salam lalu duduk menghadap kiblat jika memungkinkan dengan tenang dan tawadhu‟ serta khusyu‟, baik dengan bersila atau yang lainnya yang penting sopan. Dan hendaknya menjaga badannya dari desakan atau main‐main atau memandang kesana kemari tanpa tujuan. Hendaknya juga menjauhi gurauan atau banyak tertawa, karena hal itu mengurangi wibawa atau kehormatan. Tidak boleh mengajar ketika sangat lapar, haus, susah, marah, ngantuk atau sangat dingin atau sangat panas.

Hendaknya duduk di tempat yang bisa dilihat oleh seluruh hadirin dengan tetap menghormati hadirin yang lebih senior baik dari segi keilmuan, umur, ataupun kedudukan. Dan mengutamakan sesuai dengan ukuran sebagai imam sholat.

97 menghormatinya dengan tutur kata yang yang lembut, wajah berseri‐seri dan menghormati.

Hendaknya juga ketika akan berdiri di hadapan pembesar kaum muslimin dengan memuliakannya dan memandang para hadirin sesuai kebutuhan, menatap wajah pada orang yang diajak bicara walaupun dia lebih rendah karena jika tidak demikian maka termasuk orang‐orang yang sombong.

Guru memulai belajar dengan membaca sesuatu dari Al‐Qur‘an untuk mencari barokah dan berdoa setelah itu untuk dirinya, para hadirin juga seluruh muslimin dan orang yang me-waqaf-kan jika itu memang madrasah tanah waqaf sebagai balasan kebaikan perbuatan dan didoakan semoga tercapai cita‐citanya, berlindung kepada Alah dari syaitan yang terkutuk, menyebut nama Allah dan memujinya, sholawat kepada nabi, keluarga, serta sahabatnya serta meminta ridho kepada muslimin terdahulu.

Apabila pelajaran itu banyak maka dahulukan yang paling utama dan yang paling penting. Berawal dari tafsirul Qur‘an kemudian Hadits, Usuluddin, Usul Fiqih, kitab‐kitab mazhab, dan nahwu dan diakhiri dengan kitab‐kitab kecil agar bisa dimanfaatkan oleh para hadirin untuk membersihkan hatinya. Guru meneruskan pelajarannya dengan sesuatu yang terkait, berhenti pada tempat yang seharusnya berhenti, jangan menyebutkan pelajaran yang masih diragukan dan menunda jawaban di pertemuan yang lain atau mungkin menyebutkan, meninggalkan semuanya karena itu merupakan matsadah (kerusakan) apalagi dalam kelas terdapat

orang‐orang tertentu atau orang‐orang awam, tidak

memperpanjang pelajaran hingga membosankan dan tidak meringkasnya sehingga murid merasa kurang, jangan membahas

98 satu bab yang tidak pada tempatnya. Maka jangan mendahulukan dan mengakhirkan kecuali dipandang ada baiknya.

Jangan mengeraskan suaranya berlebihan tampa ada perlu atau melirihkannya sehingga tidak terdengar akan tetapi sebaiknya suara itu tidak melebihi satu majlis dan tidak kurang dari jangkauan hadirin. Sesuai dengan hadits yang dirwayatkan oleh Khatib al‐badadi. Nabi bersabda :

“Sesungguhnya Allah menyukai suara yang lembut dan tidak menyukai suara yang kasar”

Apabila ada diantara mereka yang kurang begitu mendengar

maka tidak apa‐apa mengeraskan sehingga dia

mendengarkannya. Guru tidak boleh membentak‐bentaknya tetapi mengajar dengan pelan‐pelan agar dia berfikir dan mendengarkannya sebagaimana Nabi SAW merinci kata‐katanya agar dapat difahami bagi yang mendengarkannya. Nabi SAW apabila berbicara satu kalimat, bisa diulangi tiga kali untuk memahamkannya. Apabila telah selesai pada satu permasalahan maka hendaknya diam sejenak sehingga dia memulai berbicara lagi.

Menjaga majelis itu dari kesalahan, karena kesalahan bisa merubah kita dan juga harus menjaga suara yang keras atau juga tidak membahas sesuatu yang bukan bahasannya. Imam Robi‘ berkata: ―Bahwa Imam Syafi‘i jika didebat oleh seseorang tentang satu masalah maka beliau berpaling darinya, seraya berkata: ―aku sudah pernah membahasnya, kemudian sekarang terserah engkau,‖ dan lemah lembut ketika perbedaan muncul serta harus bisa mengendalikan emosi.‖

99 Hendaknya mengatakan kepada para hadirin bahwasanya berdebat itu tidak baik apalagi sudah jelas‐jelas kebenarannya, karena maksudnya berkumpul adalah mencari kebenaran, membesihkan hati dan mencari faidah. Oleh sebab itu tidak layak lagi santri berdebat karena akan menyebabkan permusuhan dan marah. Akan tetapi seharusnya pertemuan itu adalah ikhlas karena Allah SWT agar mendapatkan kesempurnaan faidah di dunia dan kebahagiaan di akhirat sebagaimana disebutkan dalam Firman Allah:        

8. agar Allah menetapkan yang hak (Islam) dan membatalkan yang batil (syirik) walaupun orang-orang yang berdosa (musyrik) itu tidak menyukainya.

Karena itu dapat difahami bahwa maksud melenyapkan kebenaran dan menunjukkan kebatilan adalah sifat bagi orang‐ orang yang suka melakukan dosa maka takutlah.

Menekankan untuk mencegah santri yang membahas melampui batas/berlebihan dalam bertata krama ketika membahas satu pelajaran, atau tidak mau menyadari setelah tampak satu kebenaran, atau menjerit‐jerit tanpa faedah atau kurang sopan kepada kehadiran yang lainnya atau kepada kawannya yang tidak hadir atau merasa sombong di hadapan seniornya. Begitu pula harus diperhatikan santri yang tidur atau yang berbicara dengan yang lainnya / tertawa‐tawa dengan salah satu hadirin atau pun mencari kawan lainnya hal itu telah disebutkan pada bab ―tata krama santri‖.

100 Apabila ditanya terhadap sesuatu yang belum diketahui maka hendaknya dijawab, ―Aku tak tahu, aku tidak mengerti karena jawaban itu juga termasuk sebagian dari ilmu.‖ Dari Ibnu Abbas apabila seorang guru salah dalam mengajar.

Muhammad Bin Hakim berkata, ―Aku bertanya pada Imam Syafi‘i tentang nikah mut‘ah, apakah didalamnya juga terdapat thalaq atau warisan atau ada kewajiban nafkah atau ada persaksian? Maka beliau menjawab, ―Demi Allah aku tidak tahu.‖ Ketahuilah bahwasanya perkataan orang yang ditanyai tentang sesuatu dan jawabannya ―aku tidak tahu‖ tidaklah mengurangi derajat orang tersebut, sebagaimana prasangka orang‐orang bodoh, tapi bahkan itu mengangkat derajatnya. Karena sesungguhnya hal tersebut adalah suatu pertanda keagungan (kebesaran) pengetahuan dan kuatnya agama dan ketakwaan kepada Tuhannya, bersihnya hati dan baiknya alasan (argumentasi) nya.

Dan argumen (pendapat) tersebut sudah diriwayatkan dari golongan Ulama‘‐Ulama‘ Salaf tedahulu. Dan sesungguhnya orang menganggap semua itu mudah (meremehkannya) maka dia adalah orang yang lemah agamanya dan sedikit sekali pengetahuannya. Karena sesungguhnya dia takut jatuhnya martabat/derajatnya dihadapan orang‐orang yang hadir (audiens). Dan kebodohan ini adalah tipisnya (minimnya) agama orang tersebut. Dan ketika kesalahannya sudah tersebar (terkenal) antara orang‐orang maka sesuatu perkara yang akan membuatnya lari berpaling pasti menimpanya. Dan dia akan menyikapi terhadap orang‐orang dengan cara menjahui hal tersebut (kesalahannya).

101 Allah mengajarkan ahlak kepada para ulama‘ dengan saripati kisah perjalanan Nabi Musa dengan Nabi Khidir. Ketika itu Nabi Musa tidak menolak untuk menimba ilmu lagi di kala ditanya, ―Apakah ada orang yang lebih pandai dari pada engkau dibumi ini?‖

Hendaknya kasih sayang ditunjukkan pula kepada orang baru yang hadir di majelis itu dan mempersilahkannya dengan lapang dada. Karena orang yang baru datang itu biasanya asing dan bingung, jangan memandanginya terus karena itu membuat dia merasa tercela. Apabila salah seorang senior bergegas dalam memecahkan masalah maka hendaknya menahan dahulu sehingga duduk matang. Dan apabila dia datang dengan membawa suatu masalah maka jelaskan maksudnya. Apabila salah satu senior menghadap sedangkan waktu telah habis dan jama‘ah bergegas meninggalkan ruangan maka tunggulah hingga orang tersebut duduk di majelis agar tidak merasa malu dengan bubarnya jama‘ah tersebut.

Hendaknya menjaga perasaan jama‘ah tentang waktu yang telah ditentukan baik datang maupun pulang kecuali ada uzur atau kesulitan. Ketika pelajaran mulai usai maka katakanlah ―Wallahua‟lam‖ (Allah lebih mengetahui) setelah sebelum itu mengucapkan kata‐kata yang menunjukkan pada akhir pelajaran seperti kata‐kata ―Kini kita tutup dulu, adapun selanjutnya pertemuan yang akan datang Insya‘ Allah‖ atau senada dengan itu. Agar kata‐kata Wallahua‟lam ikhlas sebagai dzikir kepada Allah dan diketahui maksudnya.

Hendaknya pula ketika memulai pelajaran dibuka dengan Basmalah. Agar terasa bahwa mengingat Allah pada awal dan

102 akhir pelajaran. Hendaknya pula diam sejenak tatkala para hadirin yang berdiri karena disitu ada beberapa faidah yang tercermin dalam sebuah tata krama diantaranya yaitu menghindari desak‐desakkan, mengantisipasi bila ada seseorang yang bertanya. Menghindari desakan kendaraan jika memang membawa kendaraan.

Ketika akan berdiri hendaknya berdo‘a sebagaimana yang terdapat dalam sebuah hadits untuk melebur dosa:

Maha suci Engkau ya…. Allah dengan memuji‐Mu aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Engkau dan aku mohon ampunan serta bertaubat kepada‐Mu.

Jika memang tidak menguasai materi maka jangan memegang fak itu atau mengajarkan sesuatu yang dia tidak tahu karena itu semua termasuk mempermainkan agama dan merendahkan diri di hadapan manusia. Nabi bersabda :

Barang siapa yang menganjurkan sesuatu yang dia belum tahu bagaikan orang yang memakai baju yang sangat hina.

Sebagian Ulama‘ berkata :

Barang siapa menampakkan sesuatu yang belum waktunya sama juga dia menampakkan nafsunya.

Dari Abdurrohman RA berkata :

Barang siapa yang mencari kedudukan yang belum waktunya, maka dia akan selalu terhina karena walaupun sedikit dari situ akan nampak beberapa mafsadah (kerusakan) karena para

103

hadirin akan selalu meneliti kebenaran dan menolongnya dan mencegah orang yang salah.

Dikatakan Dari Hanifah RA ketika suatu saat disalah satu forum yang ada dimasjid, mereka saling berdebat tentang bahasan Fiqih maka Abu Hanifah berkata :

Apakah mereka mempunyai kepala, mereka menjawab tidak, maka beliau berkata lagi, mereka tidak akan mengerti selamanya bahwa diantara mereka ada yang benar dan ada yang salah.

105

BAB IX

MENERANGKAN TENTANG TATAKRAMA

Dalam dokumen Adabul Alim Wal Muta’Allim (Halaman 102-112)