• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORI

C. Teater Epik (episches Theater)

Teater epik adalah suatu konsep teater yang baru yang ditawarkan oleh Bertolt Brecht pada tahun 1920 yang pertama diterapkan pada opera “Aufstieg und Fall der Stadt Mahoganny”. Pada saat itu dia mulai bosan dengan teater Aristotelian (teater dramatik) yang dianggapnya membuat penonton pasif karena penonton dibuat mengidentifikasikan dirinya pada tokoh yang ada dalam suatu drama (katarsis), sehingga ia membuat suatu terobosan baru dalam teater yang dikenal dengan teater epik (episches Theater). Haryati (2009:50) menjelaskan

“Das episches Theater ist eine Theaterform, in der versucht wird, das Theater durch die Einführung eines Erzählers zu “episieren”, artinya teater epik adalah sebuah bentuk teater yang di dalamnya narator mencoba untuk “mengepikkan”

sebuah teater. Dalam konsep teater epik penonton tidak diharapkan untuk bersikap pasif dan hanyut ke dalam alur cerita, tetapi dalam konsep ini penonton dituntut untuk mencermati alur atau peristiwa yang ditampilkan dalam drama secara kritis (penonton tidak membiarkan dirinya dininabobokan oleh peristiwa-peristiwa dalam drama, menurut Brecht). Tujuan teater ini adalah menimbulkan daya kritis, yaitu pandangan atau pengetahuan yang lebih baik atau baru tentang suatu hal

yang timbul pada penonton. Untuk mencapai tujuan itu Brecht menggunakan apa yang disebut V-Effekt.

Brecht(via Haryati, 2009:55) menjelaskan:

“Die Verfremdungseffekte, kurz V-Effekte, werden dagegen angewandt, um den Zuschauer der Illusion des Theaters zu berauben und über das Dargestellte nachdenken zu lassen. Er soll der Auslöser für die Reflexion des Zuschauer über das Dargestellte sein.”

Die Verfremdungseffekte (efek pengasingan), yang disingkat V-Effekt, adalah suatu cara untuk mengalihkan ilusi penonton mengenai drama/teater dan memberi kesempatan kepada penonton untuk memikirkan apa yang dipentaskan.

V-Effekt bisa berupa lagu atau nyanyian yang dinyanyikan di tengah-tengah berlangsungnya pementasan, atau monolog seorang aktor tentang hal yang dialaminya saat itu.V-Effekt ini muncul dalam tiga tataran teater, yaitu dalam naskah drama, dalam panggung, dan dalam pemeranan.

Teater epik memiliki ciri yang berbeda dengan teater Aristoltelian.

Perbedaan dari teater aristotelian dan teater epik menurut Brecht (via Haryati 2009:54-55) adalah:

Tabel 1

Teater Aristotelian Teater Epik 1. Handelnd (merupakan sebuah

kejadian)

2. Verwickelt den Zuschauer in eine Bühnenaktion (membuat penonton terhanyut dalam suatu adegan)

3. Verbrauche seine Aktivität (memakai aktivitas penonton) 4. Ermöglich ihm Gefühle

(membangkitkan perasaan penonton)

5. Erlebnis (pengalaman)

6. Der Zuschauer wird in etwas

1. Erzählend (bercerita atau narasi)

2. Macht den Zuschauer zum Betrachter(membuat penonton menjadi pengamat)

3. Weckt seine Aktivität (membangkitkan aktivitas penonton)

4. Erzwingt von ihm

Entscheidungen (memaksa penonton untuk membuat sebuah keputusan)

5. Weltbild (pandangan hidup) 6. Er wird gegenübergesetzt

hineinversetzt (membuat penonton larut dalam drama tersebut)

7. Suggestion (memberi sugesti kepada penonton)

8. Die Empfindungen werden konserviert (memasukkan sebuah sensitivitas)

9. Miterlebt (penonton dapat merasakan sesuatu dari drama tersebut)

10. Der Mensch als bekannt vorausgesetzt (manusia sebagai bahan pengandaian) 11. Der unveränderliche Mensch

(statis/tidak ada perubahan pada manusia)

12. Spannung auf den Ausgang (ketegangan pada akhir babak) 13. Eine Szene für andere (satu adegan memunculkan kejadian yang lainnya)

14. Wachstum (urutan kejadiannya jelas)

15. Geschehnisse linear (memiliki kurva lurus)

16. Evolutionäre

Zwangsläufigkeit (perubahan pelan)

17. Der Mensch als Fixum (kepribadian tokoh tetap) 18. Das Denken bestimmt das

Sein (pemikiran menentukan eksistensi)

19. Gefühl (perasaan) 20. Idealismus (idealisme)

(membuat jarak atau tidak membiarkan penoton larut dalam drama)

7. Argument (membuat penonton memberikan argumen)

8. Bis zu Erkenntnissen getrieben (berupa pengetahuan)

9. Studiert (penonton dapat belajar dan menelaah isi drama) 10. Der Mensch ist Gegenstand der Untersuchung (manusia menjadi topik analisa)

11. Der veränderliche und verändernde Mensch (penonton dapat mempelajari sesuatu dari drama tersebut)

12. Spannung auf den Gang (ketegangan pada setiap babak) 13. Jede Szene für sich (setiap

adegan menjelaskan kejadian sebelumnya)

14. Montage (penonton harus menganalisa untuk mengerti drama yang mereka tonton 15. In Kurven (memiliki kurva

bergelombang)

16. Sprunge (perubahan cepat terjadi)

17. Der Mensch als Prozeβ(setiap tokoh berproses)

18. Das gesellschaftliche Sein bestimmt das Denken (eksistensi masyarakat menentukan pemikiran)

19. Ratio (memiliki rasio)

20. Materialismus (materialisme)

Dari tabel di atas dapat kita lihat bahwa teater Aristotelian dan teater epik bertolak belakang pada penyampaiannya kepada penonton. Selain perbedaan tersebut, cara untuk mengetahui apakah sebuah drama tersebut merupakan teater epik adalah ciri-ciri dari teater epik tersebut yaitu:

1. Dasar sosial-ekonomi untuk teater tersebut adalah pertunjukan, pokok persoalan, dan keterlibatan penonton.

2. Gaya permainan/produksi menjadi komentar untuk keadaan sosial; tujuannya adalah untuk menghasut atau mempengaruhi perubahan sosial.

3. Penulis sebagai produser, sebagai pembuat produksi lainnya.

4. Menghancurkan ilusi dari teater

5. Teater dialektikal: penuh pertentangan, elemen yang bergemuruh (musik, teks atau komentar oleh aktor contohnya) sebagai jalan untuk menjelajahi ide-ide dan kontradiksi alam seseorang.

6. Pada teori, pertunjukan Brecht adalah “anti-ilusi”. Dapat dilihat sebagai reaksi untuk teater akhir abad 19, dengan tekanannya pada sebuah hiburan (pertunjukan), hiburan yang realisme atau hiburan yang memasuki alam khayal (pertunjukan jenaka dan melodrama)

7. Sebaliknya, tujuan dari Brecht (dibantu oleh banyak penulisan teoretikal) adalah untuk penonton agar masuk pada kejadian teatrikal – untuk mengobservasi secara objektif, mempertimbangkan, menghasilkan sikap kritis yang tidak terpengaruh yang mendorong/memimpin pada aksi sosial.

Brecht mengatakan bahwa “poin pokok dari teater epik adalah mungkin keseruannya lebih sedikit pada perasaan dibanding alasan penonton.

8. Diantara praktek-praktek yang lainnya, Brecht telah menghasilkan Verfremdungseffektatau efek alinasi (jangan mengambil sesuatu yang dianggap pasti, lihatlah diluar kenyataan).

(http://academic.evergreen.edu/curricular/ppandp/PDFs/Brecht-a%2520brief%2520overview)

Dapat disimpulkan bahwa teater epik adalah sebuah terobosan baru pada seni drama khususnya teater yang diperkenalkan oleh Bertolt Brecht untuk membangkitkan aksi-aksi dari penonton untuk berfikir dan bertindak kritis menanggapi suatu permasalahan dalam sebuah drama dan menerapkannya pada kehidupan nyata. Teater epik memaksa penonton aktif meneliti apa maksud dari sebuah pertunjukan, memberikan argument sendiri dan menimbulkan aksi nyata.