• Tidak ada hasil yang ditemukan

METODE PENELITIAN

F. TEKNIK ANALISIS DATA

Data yang dikumpulkan dari subyek penelitian akan dilakukan penilaian. Setelah dilakukan terapi selama 4 minggu, kemudian di evaluasi dengan menggunakan cheklist. Kemampuan komunikasi dan interaksi social ditentukan dengan skore pada jawaban cheklist. Untuk pertanyaan positif, jawaban “ya” diberi skore 1 dan jawaban “tidak” diberi skore 0. Untuk pertanyaan negatif, jawaban “ya” diberi skore 0 dan jawaban “tidak” diberi skore 1. Dari semua jawaban dijumlahkan kemudian dianalisis menggunakan uji beda yaitu uji T dengan menggunakan program SPSS 17 untuk mengetahui perbedaan antara

38

variable independen dan dependen sebelum dan setelah diberikan suatu perlakuan dengan nilai kemaknaan p ≤ 0,05 maka ada pengaruh yang signifikan antara variable independen dan variable dependen.

39 BAB IV

HASIL PENELITIAN dan PEMBAHASAN

A. HASIL PENELITIAN 1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Cakra Autis Center terletak di jln. Sri Kana no 59 Surabaya. Di tempat tersebut terdapat 15 ruang terapi, 1 ruang sosialisasi, 1 ruang kantor, 1 ruang gudang dan 2 kamar mandi. Sistem terapi yang dilakukan dengan menggunakan metode Lovaas dan one on one di mana dalam satu ruang terdapat satu terapis dan satu anak autis. Jumlah terapis dalam Cakra Autis Center sebanyak 17 orang, 2 orang tenaga kebersihan.

2. Pada bab ini akan disajikan hasil penelitian dan analisa data. Penyajian penelitian ini merupakan data umum dari karakteristik anak autis dan data khusus anak autis. Penelitian dilakukan pada responden autis yang menjalani teraphi di Cakra Autis Center. Dengan sampel penelitian sebanyak 24 anak.

40 a. Karakteristik Responden

Gambar 3. Usia anak autis pada kelompok perlakuan

Berdasarkan diagram diatas dapat diperoleh informasi bahwa dari 12 responden kelompok perlakuan , usia < 3 tahun sebanyak 1 anak (8,3 %), usia 3 – 5 tahun sebanyak 8 anak (66,70 %), usia 5 – 10 tahun sebanyak 3 anak (25 %).

41

Berdasarkan diagram diatas dapat diperoleh informasi bahwa dari 12 responden kelompok kontrol , usia 3 – 5 tahun sebanyak 10 anak (83,3 %), usia 5 – 10 tahun sebanyak 1 anak (8,3 %), dan usia > 10 tahun sebanyak 1 anak (8,3 %).

Gambar 5. Jenis Kelamin anak autis pada kelompok kontrol

Berdasarkan diagram diatas dapat diperoleh informasi bahwa dari 12 responden kelompok kontrol , jenis kelamin laki – laki sebanyak 11 anak (91,70 %) dan jenis kelamin perempuan sebanyak 1anak (8,3 %).

42

Gambar 6. Jenis Kelamin anak autis pada kelompok perlakuan Berdasarkan diagram diatas dapat diperoleh informasi bahwa dari 12 responden kelompok perlakuan , jenis kelamin laki – laki sebanyak 10 anak (83,3 %) dan jenis kelamin perempuan sebanyak 2 anak (6,7 %).

Tabel 4. Terapi Yang Di Dapat Pada Anak Autis

Biomedik Lovas Gelombang otak

Jumlah % Jumlah % Jumlah %

Kontrol 12 100% 12 100% -

Perlakuan 12 100% 12 100% 12 50 %

Sumber: data observasi responden Berdasarkan tabel 4. dapat diperoleh informasi bahwa dari 24 responden autis, baik kelompok kontrol maupun kelompok perlakuan semuanya mendapatkan terapi biomedik dan Lovas, dan hanya 12 responden (sebagai kelompok perlakuan) yang mendapatkan terapi audio brainwave.

b. KEMAMPUAN KOMUNIKASI

Tabel 5. Hasil Kemampuan Komunikasi

Meningkat Tidak meningkat Total Responden

Jumlah % Jumlah % Jumlah %

Perlakuan 12 100 % - - 12 100%

Kontrol 4 33,3 % 8 66,7 % 12 100%

Dari tabel 5. dapat diperoleh informasi bahwa setelah 4 minggu dilakukan perlakuan, pada kelompok perlakuan terdapat 12 anak (100%) terjadi peningkatan kemampuan komunikasi. Dan pada kelompok kontrol ada 4 anak (33,3 %) yang

43

mengalami peningkatan dalam kemampuan komunikasi dan 8 anak (66,7%) tidak terjadi peningkatan kemampuan komunikasi. Dari data di atas diolah menggunakan uji beda (Paired Sample T Tes) dengan bantuan SPSS 17 di dapatkan hasil sebagai berikut :

Tabel 6. Hasil uji statistik kemampuan komunikasi pasca perlakuan kelompok perlakuan dan kelompok kontrol pada anak Autis di Cakra Autis Center Surabaya

Perlakuan Kontrol

Pengamatan

T hitung (Significancy) T tabel T hitung T tabel 4 minggu -13,385 (0,000) -2,201 -2,803

(0,017)

-2,201

Berdasarkan pada hasil analisis pada tabel 6. perhitungan uji Paired Sample T test menggunakan bantuan software SPSS 17 dapat diketahui bahwa Nilai t hitung 4 minggu terapi sebesar -13,385 sedangkan t tabel -2,201. Karena nilai –t hitung < -t tabel (-13,385 < -2,201) dan significancy < 0,05 (0,000 < 0,05) maka Ho ditolak. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan rata – rata antara sebelum dan sesudah terapi.

c. KEMAMPUAN INTERAKSI SOSIAL

Tabel 7. Hasil Kemampuan Interaksi Sosial (Kelompok Perlakuan)

Meningkat Tidak meningkat Total Responden

Jumlah % Jumlah % Jumlah %

Perlakuan 12 100 % - - 12 100%

44

Dari tabel 7. dapat diperoleh informasi bahwa setelah 4 minggu dilakukan perlakuan, pada kelompok perlakuan terdapat 12 anak (100%) terjadi peningkatan kemampuaninteraksi sosial. Dan pada kelompok kontrol ada 2 anak (16,7 %) yang mengalami peningkatan dalam kemampuan interaksi sosial dan 10 anak (83,3 %) tidak terjadi peningkatan kemampuan interaksi sosial. Dari data di atas diolah menggunakan uji beda (Paired Sample T Tes) dengan bantuan SPSS 17 di dapatkan hasil sebagai berikut :

Tabel 8. Hasil uji statistik kemampuan interaksi sosial pasca perlakuan kelompok perlakuan dan kelompok kontrol pada anak Autis di Cakra Autis Center Surabaya

Perlakuan Kontrol

Pengamatan

T hitung T tabel T hitung T tabel 4 minggu -13,385 (0,000) -2,201 -4,000 (0,002) -2,201

Berdasarkan pada hasil analisis pada tabel 8 perhitungan uji Paired Sample T test menggunakan bantuan software 17 dapat diketahui bahwa Nilai t hitung 4 minggu terapi sebesar -13,385 sedangkan t tabel -2,201. Karena nilai –t hitung < -t tabel (-13,385 < -2,201) dan significancy < 0,05 (0,000 < 0,05) maka Ho ditolak. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan rata – rata antara sebelum dan sesudah terapi.

45

B. PEMBAHASAN a. Karakteristik Responden

Karakteristik responden berdasarkan usia, pada kelompok perlakuan menunjukkan bahwa terdapat 66,70 % anak autis dengan usia 3 – 5 tahun dan kelompok kontrol sebanyak 10 (83,3 %). Sesuai dengan berbagai penelitian Judith, menyebutkan bahwa autistik bisa dideteksi secara dini sejak usia 18 – 24 tahun. Pada sebagian besar kasus autisme mulai sebelum 36 bulan tetapi mungkin tidak terlihat bagi orang tua, tergantung pada kesadaran mereka dan tingkat keparahan autistik (Kaplan dan Sandock : 2000). Berdasarkan gambaran kuartal, angka kasus autis pada umur 3-5 tahun meningkat setiap kuartal dari Januari 1995 (0,6 per 1.000 kelahiran hidup) sampai dengan maret 2007 (4,1 per 1.000 kelahiran hidup). Jeffrey and Spencer dalam bukunya Psikologi Abnormal menyatakan bahwa gangguan autistik tampak mulai usia 18 – 30 bulan, namun baru pada usia sekitar 6 tahun rata – rata anak pertama kali mendapatkan diagnosis. Keterlambatan dalam diagnosis sangat merugikan, karena anak – anak autistik umumnya akan menjadi lebih baik bila memperoleh diagnosis dan penanganan lebih awal. Menurut peneliti, autistik bisa diketahui sejak dini yaitu sejak usia masih dalam gendongan. Banyak orang tua belum menyadari bahwa anaknya mengalami keterlambatan perkembangan. Orang tua sering mengatakan “Saya dulu bisa bicara usia 3 tahun”. Ketika orang tua mengalami kecurigaan terhadap perkembangan anaknya tenaga kesehatan mengatakan “tidak apa-apa perkembangan setiap anak berbeda – beda ditunggu dulu sampai usia 3 tahun, baru nanti di periksakan pada tumbuh kembang anak”. Beberapa hal inilah yang

46

menjadikan orangtua terlambat dalam menyadari bahwa anaknya mengalami katerlambatan perkembangan. Perilaku autistik bisa dideteksi secara dini usia 8 bulan, ketika anak diajak beinteraksi tetapi tidak ada respon, tidak ada kontak mata, tidak menoleh ketika ada suara, yang seharusnya anak sudah bisa mengoceh, ada senyuman pada orang lain, mengerti perintah “tidak boleh”, bisa da-da,da-da. Pada umumnya para orang tua yag mempunyai anak autistik lebih dahulu mengetahui gejala – gejala kelainan pada diri anaknya. Namun para orang tua kurang memahami terjadinya perubahan – perubahan pada susunan saraf pancaindera di otak anak mereka. Mereka juga tidak mengetahui adanya ketidakmampuan pengintegrasian pancaindera yang menunjukkan adanya ketidakefisienan yang bersifat neorologis saat pemrosesan informasi yang akan berdampak pada kesulitan perkembangan dan perilaku. Ketidakberfungsian secara neorologis tersebut terjadi pada sistem saraf pusat yang ditandai dengan ketidakmampuan otak untuk menganalisis, mengorganisasi, dan melakukan hubungan sosial. Dampak dari hal tersebut anak tidak mampu melakukan respon terhadap informasi yang datang melalui pancaindera yang ditandai dengan tidak adanya perilaku yang sesuai, berarti dan konsisten, tidak mampu memahami perbedaan – perbedaan diri, sulit ntuk merencanakan dan mengorganisasikan tindakan yang ingin dilakukan.

Berdasarkan jenis kelamin, diperoleh data pada kelompok perlakuan terdapat 83,3 % adalah anak laki-laki dan 6,7 % anak perempuan sedangkan pada kelompok kontrol terdapat 91,70 % anak laki – laki dan 8,3 % anak perempuan. Sandock dan Kaplan menyatakan bahwa gangguan autistik ditemukan lebih sering

47

pada anak laki – laki dibandingkan dengan anak perempuan. Tiga sampai lima kali lebih banyak anak laki – laki yang memiliki gangguan autistik dari pada anak perempuan. Tetapi anak perempuan yang memiliki gangguan autistik cenderung terkena lebih serius dan lebih mungkin memiliki riwayat keluarga gangguan kognitif daripada anak laki – laki. Jeferrey and Spencer menyatakan bahwa gangguan autistik lebih sering terjadi pada anak laki – laki daripada anak perempuan, saat bermain anak tampak kurang gembira, terlihat kebingungan serta sering menolak untuk turut berpartisipasi dalam kegiatan tersebut.

Berdasarkan terapi pada responden didapatkan bahwa 100 % mendapatkan terapi biomedik, 100 % mendapatkan terapi Lovas dan 50 % mendapatkan terapi gelombang otak. Sesuai dengan pernyataan Bonny Danuatmaja bahwa autisme adalah gangguan pervasif sehingga terapi pada anak autis harus terpadu, intensif baik terapi biomedik, terapi okupasi, terapi wicara, terapi perilaku.

b. Pengaruh terapi audio brainwave terhadap kemampuan komunikasi anak autis Berdasarkan pada hasil analisis pada tabel 6 perhitungan uji Paired Sample T test (uji t berpasangan) menggunakan bantuan sofware 17 dapat diketahui bahwa nilai t hitung 4 minggu terapi sebesar -13,385 sedangkan t tabel -2,201. Karena nilai –t hitung < -t tabel (-13,385 < -2,201) dan significancy < 0,05 (0,000 < 0,05) maka Ho ditolak. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan rata – rata antara sebelum dan sesudah terapi.

Judith H Miles, dalam “Autism Spectrum Disorders” menyatakan bahwa Autis merupakan gangguan perkembangan pervasif yang meliputi gangguan bahasa dan

48

komunikasi, perilaku repetitif dan tidak tertarik pada lingkungan (cuek) yang dapat dideteksi sejak usia 18 bulan – 24 bulan. Dari penelitiannya 50 % - 70 % anak autis mengalami retardasi mental 25 % anak autis pada usia 3 tahun sudah mulai menunjukkan perkembangan komunikasi dan usia 6 – 7 tahun mulai bisa masuk sekolah reguler. J Speech Lang Hear menyatakan bahwa anak dengan autis mengalami gangguan koordinasi vokal (gangguan komunikasi), kontak mata dan gerakan tubuh. Dalam komunikasi rata – rata anak autis menggunakan bahasa tubuh. Keterlambatan bicara karena gangguan fungsional atau karena imaturitas fungsi bicara pada anak sering dijumpai. Kelainan ini biasanya tidak berbahaya, akan membaik pada usia tertentu dan biasanya tidak memerlukan terapi khusus. Sebaliknya, keterlambatan bicara nonfungsional harus dilakukan intervensi dan terapi sejak dini. Penaganan dini tersebut dapat mengurangi gangguan dan memperbaiki prognosis. Klinisi dan orang tua harus dapat membedakan dengan keterlambatan bicara fungsional dan nonfungsional (Judarwanto ). Peneliti dari University of Cambridge yaitu Michael Lombardo yang melakukan penelitian dengan scan otak yang canggih menemukan bahwa ada bagian otak penderita autis yang memang tidak mengenali kesadaran tentang dirinya sendiri. Akibatnya jangankan untuk berkomunikasi, untuk mengenali kesadaran terhadap pribadinya saja, penderita sudah kesulitan. Peneliti tersebut menggunakan scan resonance magnetic fungsional untuk mengukur akfivitas otak. Dalam gelombang otak autisme, ADHD, epilepsi tidak menghasilkan gelombang SMR (Sensory Motor Rhytm). Para penderita di atas diantaranya autism tidak mampu berkonsentrasi atau focus pada suatu hal yang dianggap penting. Sehingga pengobatan yang tepat

49

adalah cara agar otaknya mampu menghasilkan getaran SMR tersebut. Teknologi Gelombang Otak untuk penanganan anak yang sulit fokus. Terapi ini menstimulasi belahan otak kanan dengan Gelombang Alpha dan SMR (Sensori Motor Rhytm) dan belahan otak kiri dengan Gelombang Alpha dan Beta. Penjumlahan kedua gelombang yang di terima otak kiri dan kanan menghasilkan Gelombang Beta yang berfungsi untuk konsentrasi dan fokus.

Menurut asumsi peneliti, terdapat gangguan komunikasi pada penderita autistik yang tentunya bisa diketahui sejak dini. Jangan biarkan anak sendiri. Dengan rangsangan dari gelombang otak, orang tua harus mampu menstimulasi anak setiap saat ketika ia terbangun, sering mengajak komunikasi.

c. Pengaruh terapi audio brainwave terhadap kemampuan interaksi sosial sosial anak autis

Berdasarkan pada hasil analisis pada tabel 8 perhitungan uji Paired Sample T test menggunakan bantuan sofware 17 dapat diketahui bahwa nilai t hitung 2 minggu terapi sebesar -4,180 sedangkan t tabel -2,201. Karena nilai –t hitung < -t tabel (-5,745 < -2,201) dan significancy < 0,05 (0,002 < 0,05) maka Ho ditolak. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan rata – rata antara sebelum dan sesudah terapi. Nilai t hitung 4 minggu terapi sebesar 13,385 sedangkan t tabel -2,201. Karena nilai –t hitung < -t tabel (-13,385 < -2,201) dan significancy < 0,05 (0,000 < 0,05) maka Ho ditolak. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan rata – rata antara sebelum dan sesudah terapi.

Ginanjar mengatakan Kompleksitas spektrum autistik yang terungkap melalui penelitiannya menunjukkan bahwa untuk dapat memahami individu SA

50

dibutuhkan kerangka berpikir holistik, yaitu yang memandang setiap individu sebagai kesatuan dari taraf-taraf neurologis, biologis, psikologis, dan agama atau spiritualitas. Berbagai penelitian neurologis terdahulu dalam penelitian Andriana Soekandar Ginanjar menyatakan adanya penurunan jumlah sel Purkinje pada hemisfer serebelum dan vermis. Pada bayi baru lahir bayi autistik memiliki ukuran otak yang normal namun setelah mencapai usia 2 – 3 tahun, ukuran otak mereka membesar melebihi normal, terutama dalam lobus frontalis dan otak kecil, yang disebabkan oleh pertumbuhan white matter yang berlebihan. Sementara sel saraf yang ada lebih sedikit dibandingkan pada otak normal dan kekuatannya juga lebih lemah. Kondisi inilah yang tampaknya berkaitan dengan gangguan pada perkembangan kognitif, bahasa, emosi dan interaksi sosial. Gangguan interaksi sosial antara lain : kontak mata sangat kurang, tidak bisa bermain dengan teman sebaya, tidak bisa berempati, kurang mampu mengadakan hubungan sosial dan emosional timbal balik. Menurut DSM IV gangguan kualitatif dalam interaksi social yang ditunjukkan oleh paling sedikit dua diantara yang berikut ini : a) Ciri gangguan yang jelas dalam penggunaan berbagai perilaku nonverbal (bukan lisan), seperti kontak mata, ekspresi wajah, gesture, dan gerak isyarat untuk melakukan interaksi social. b) Ketidakmampuan melakukan hubungan pertemanan sebaya yang sesuai dengan tingkat perkembangannya. c) Ketidakmampuan turut merasakan kegembiraan orang lain. Perilaku yang ditujukan para penyandang autisme umumnya seringkali menjadi masalah besar bagi para orang tua dan caregiver (pengasuh, pendidik,dll). Perilaku itu dapat meliputi perilaku yang tidak wajar, berulang-ulang, perilaku agresif atau bahkan

51

membahayakan serta perilaku-perilaku lainnya yang sering terlihat pada mereka seperti flapping, rocking. Terapi gelombang otak mempunyai efek sebagai berikut : 1) Tenang : Memungkinkan pikiran untuk beristirahat dan bersiap-siap untuk tugas-tugas mental yang berbeda. Ini juga merupakan kondisi yang penting untuk kontemplasi dan perencanaan. Dalam hal aktivitas otak, kondisi ini setara dengan kondisi Alpha. 2) Terfokus : Memungkinkan memperhatikan tugas tertentu dan meminimalisasi gangguan. Ini sama dengan Kondisi Beta1 (SMR). 3) Alert: Memungkinkan respon yang cepat ketika kebutuhan untuk bereaksi cepat. Menurut peneliti ditinjau dari segi teori dan penelitian – penelitian yang relevan, terapi gelombang otak dapat menstimulus gelombang Sensory Motor Rythm sehingga dapat mempermudah terapi pada anak autis, anak lebih terfokus, lebih tenang dalam proses pendidikan.

52 BAB V

Dokumen terkait