• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teknik Pengolahan dan Analisis Data

BAB III PENDEKATAN LAPANG

3.4 Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Data primer dan sekunder dianalisis menggunakan metode data kualitatif dan kuantitatif. Unit analisis yang digunakan adalah rumah tangga petani.

Tahapan dalam pengolahan dan analisis data menggunakan metode kualitatif meliputi reduksi data, yakni penghilangan data yang tidak diperlukan serta penambahan data apabila dibutuhkan melalui penyusunan kembali fakta-fakta menurut urutan sejarah dan waktunya.

Tahapan kedua adalah penyajian data yang dimaksudkan untuk menyusun sekumpulan informasi. Data yang mengalami proses reduksi, kemudian ditampilkan dalam bentuk lebih ringkas dan sederhana dengan mengunakan tabel atau gambar untuk memudahkan pembaca. Tahapan ketiga adalah penarikan kesimpulan. Penarikan kesimpulan didasarkan atas hubungan antara konsep agraria dengan fakta di lapangan.

Pengolahan data secara kuantitatif dilakukan dengan tahapan editing dan koding data. Setelah itu dilakukan perhitungan frekuensi yang telah dikategorikan berdasarkan jawaban yang ada. Terakhir, dilakukan tabulasi silang dalam bentuk tabel dan analisis data menggunakan spearman. Sesuai Koentjaraningrat (1977), pada tahap ini data dapat dianggap selesai diproses sehingga akan disusun ke dalam sebuah pola atau format yang telah dirancang.

BAB IV

GAMBARAN UMUM LOKASI 4.1 Kondisi Umum Desa

Desa Simpang Nungki adalah salah satu desa yang termasuk dalam wilayah Kecamatan Cerbon, Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan. Desa ini berbatasan dengan Desa Bantuil di sebelah utara, Desa Sawahan di sebelah timur, Desa Sungai Tunjang di sebelah barat, dan Kecamatan Mandastana di sebelah selatan. Desa Simpang Nungki berjarak satu kilometer dari kantor kecamatan Cerbon atau sekitar lima menit jika ditempuh dengan menggunakan sepeda motor. Sedangkan jarak menuju ibu kota kabupaten atau Kota Marabahan sekitar tiga kilometer atau sekitar 15 menit dengan menggunakan sepeda motor.

Akses masyarakat menuju pusat administrasi Kabupaten Barito Kuala menjadi lebih mudah setelah dibangunnya Jembatan Rumpiang yang menghubungkan Kecamatan Cerbon dengan Kecamatan Marabahan yang dipisahkan sungai Barito.

Jarak tersebut dapat ditempuh dengan menggunakan transportasi umum berupa angkot (taksi dalam bahasa lokal) dan ojek. Angkot yang beroperasi adalah angkot dengan rute Banjarmasin-Marabahan yang lewat 30 menit sekali sampai pukul 17.00 WIB.

Desa Simpang Nungki memiliki wilayah seluas 19,5 kilometer persegi atau hanya sekitar 9,47 persen dari luas kecamatan Cerbon yang terdiri dari pemukiman, lahan terbuka, lahan pertanian, kebun, sungai, dan infrastruktur publik. Secara administratif Desa Simpang Nungki terdiri dari 8 RT yang terdiri dari dua wilayah yakni masyarakat asli pada RT 01 sampai RT 03 dan UPT (Unit Pemukiman Transmigrasi) pada RT 04 sampai RT 08. Pemukiman masyarakat lokal umumnya berada di tepi jalan utama desa. UPT atau kompleks transmigrasi sendiri dibagi menjadi 10 simpang (Ray) dan umumnya pemukiman transmigran berada di masing-masing gang. Hanya ada beberapa warung, mushola dan rumah kepala desa yang menghadap ke jalan inti. Bangunan rumah penduduk pada umumnya adalah rumah panggung terbuat dari kayu seperti rumah masyarakat asli Kalimantan.

Desa Simpang Nungki merupakan bagian dari Kabupaten Barito Kuala yang terletak di garis katulistiwa sehingga memiliki curah hujan yang tinggi.

Temperatur rata-rata adalah 26-270C. Suhu maksimum adalah 27,50C pada bulan Oktober dan suhu minimum mencapai 26,50C pada bulan Juli. Curah hujan tertinggi pada tahun 2008 terjadi pada bulan Maret dan Desember, sedangkan curah hujan terendah terjadi di bulan September. Namun beberapa tahun terakhir hal tersebut sudah banyak mengalami pergeseran dan tidak dapat diperkirakan lagi.

Desa Simpang Nungki adalah salah satu desa yang terdekat dengan perusahaan PBB yakni perusahaan swasta perkebunan kelapa sawit. Desa Simpang Nungki berada pada wilayah perencanaan kebun plasma perusahaan yang pembangunannya akan direalisasikan pada akhir tahun 2011.

4.2 Kondisi Agronomi

Desa Simpang Nungki berada pada hamparan wilayah yang datar dengan kelerengan 0-2 persen, dengan ketinggian elevasi berkisar antara 1-3 meter di atas permukaan laut. Desa Simpang Nungki berada di dekat Sungai Barito dan dilewati sungai-sungai kecil baik alami maupun buatan, sehingga sistem pertaniannya sangat bergantung pada sistem pasang-surut sungai. Secara umum daerah ini ditutupi oleh tumbuhan rawa, tumbuhan jingah, rambai yang tumbuh disepanjang sungai, tumbuhan galam, dan purun tikus yang hidup berdampingan dan kadang diselingi oleh tumbuhan rumput-rumputan. Di Desa Sumpang Nungki juga dijumpai beberapa jenis fauna khas seperti beberapa jenis ikan air tawar seperti gabus, papuyu, sepat, patin, dan lain-lain yang biasa ditangkap warga untuk memenuhi kebutuhan konsumsi sehari-hari. Jenis reptil yang sering terlihat adalah ular sawah dan biawak. Hama yang banyak menyerang tanaman warga adalah tikus yang banyak muncul saat keadaan air pasang.

Jenis tanah yang ada di Desa Simpang Nungki dan Kecamatan Cerbon umumnya ada jenis yakni organosol dan tanah aluvial. Tanah Organosol berwarna coklat hitam dan sering disebut tanah gambut atau peat (bahan yang mudah terbakar). Sifat keasamannya sangat tinggi sehingga kalau ingin mempergunakan tanah ini harus dengan sistem drainage. Kemampuan tanah di daerah ini tidak

sepenuhnya datar, yakni lereng 0,2 persen yang merupakan daerah endapan.

Keadaan efektif tanah untuk alluvial lebih besar dari pada 90 centimeter tercatat hampir 60-64 persen dari luas wilayah, sedangkan daerah yang ketebalan gambutnya lebih besar dari 75 centimeter terdapat seluas 6,74 persen. Tekstur tanah 95 persen liat (halus) sedangkan drainage yang dominan yakni di daerah yang tergenang rawa. Penggunaan tanah berdasarkan peta kemampuan tanah dan jenis tanah yang diusahaakan penduduk, daerah alluvial pada umumnya digunakan untuk persawahan karena daerahnya yang cukup subur. Pada daerah organosol atau gambut juga diusahakan oleh penduduk dengan membuat handil-handil atau saluran pembuangan air sehingga daerah tersebut dapat diusahakan.

Tanaman pertanian yang dibudidayakan oleh masyarakat pada umumnya adalah padi sawah, jeruk, palawija, kelapa sawit, kelapa dalam, sagu, karet, nanas, dan lain-lain.

4.3 Kondisi Demografi

Desa Simpang Nungki adalah desa dengan penduduk terbesar ketiga di wilayah Kecamatan Cerbon. Pada tahun 2010, desa seluas 19,50 kilometer persegi ini di huni oleh 335 kepala keluarga yang tersebar pada delapan rukun tetangga.

Penduduk Desa Simpang Nungki terdiri dari 625 laki-laki dan 613 perempuan.

Gambar 2. Perkembangan Jumlah Penduduk Kecamatan Cerbon Tahun 2005-2009

Pertambahan penduduk Kecamatan Cerbon dalam jumlah besar pada tahun 2007 terjadi karena adanya penempatan peserta program transmigrasi pada beberapa

0

desa di wilayah Kecamatan Cerbon. Desa di wilayah Cerbon yang menjadi tujuan program transmigrasi adalah Desa Simpang Nungki dan Desa Sawahan. Hal tersebut juga menyebabkan lonjakan tajam jumlah penduduk Desa Simpang Nungki pada tahun 2007. Namun, jumlah penduduk pada Kecamatan Cerbon pada tahun 2008 kembali menurun karena adanya peserta transmigran yang pergi meninggalkan daerah tersebut. Perkembangan jumlah penduduk Kecamatan Cerbon dapat dilihat pada gambar 2 di atas.

Sebagian besar masyarakat Desa Simpang Nungki bekerja sebagai petani sawah dan perkebunan. Hal tersebut sesuai dengan kondisi wilayah yang cukup mendukung kegiatan pertanian. Sawah pasang surut yang banyak terdapat pada Kecamatan Cerbon mampu membuat Kecamatan Cerbon berada di posisi ke-8 penyumbang beras terbesar Kabupaten Barito Kuala yakni sekitar 5,32% dari total produksi beras Kabupaten Barito Kuala. Mata pencaharian utama penduduk dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Gambar 3. Mata Pencaharian Penduduk Kecamatan Cerbon Tahun 2010 Berdasarkan data profil Kecamatan Cerbon tahun 2009, mata pencaharian utama penduduk sangat beragam. Namun berdasarkan data lapang, seluruh masyarakat Desa Simpang Nungki yakni sebanyak 355 Kepala Keluarga memiliki lahan dan mengusahakan pertanian di samping pekerjaan utama. Sebagian besar penduduk

Petani PNS

Buruh Pensiunan

Karyawan Swasta Peternak/ Nelayan

TNI/Polri Pedagang

Mengurus Rumah Tangga Pelajar/mahasiswa lain-lain

dengan mata pencaharian utama sebagai petani juga menjadi buruh di dua perusahaan besar swasta dalam bidang perkebunan kelapa sawit yang beroperasi di sekitar Desa Simpang Nungki. Hal tersebut dilakukan saat masa tanam padi selesai, sehingga petani memiliki banyak waktu luang untuk mengerjakan hal-hal lain untuk menambah pendapatan.

4.4 Sarana dan Prasarana

Sarana dan prasarana yang terdapat di Desa Simpang Nungki sudah cukup lengkap. Sarana kesehatan terdiri dari satu puskesmas dan satu polendes dengan tenaga medis satu bidan. Masyarakat juga bisa memanfaatkan jasa dua dukun kampung yang terdapat di Desa Simpang Nungki. Sarana pendidikan terdiri dari satu Sekolah Dasar, satu Madrasah Tsanawiyah (MTs), dan satu Sekolah Menengah Pertama (SMP). Tenaga pengajar setingkat SD berjumlah 14 orang.

Tenaga dan setingkat SMP terdiri dari 19 orang. Sarana ibadah yang tersedia adalah berupa langgar sebanyak empat buah. Kegiatan-kegiatan keagamaan selain ibadah wajib juga sering dilaksanakan di langgar-langgar tersebut seperti pengajian rutin. Hampir seluruh masyarakat lokal yang tinggal di Desa Simpang Nungki masih memiliki hubungan kekerabatan. Sehingga kegiatan pengajian dan selamatan juga rutin di laksanakan bergiliran di rumah warga. Hal ini membuat hubungan baik antara warga semakin terjalin. Kegiatan serupa juga sering di laksanakan di kompleks transmigran. Rasa senasib dan sepenanggungan membuat masyarakat memiliki hubungan yang masih sangat dekat.

Jalan desa sudah di aspal, namun saat ini keadaannya sudah sangat rusak karena alat-alat berat perusahaan masuk ke area kebun melalui jalan desa tersebut.

Jalan desa yang terdapat pada kompleks transmigran belum pernah di aspal namun pada tahun 2009 jalan tersebut dilapisi dengan pasir dan batu menggunakan biaya dari program PNPM Mandiri. Sebagian besar masyarakat Desa Simpang Nungki sudah memiliki kendaraan pribadi berupa sepeda motor untuk memudahkan transportasi ke luar desa. Namun, masyarakat juga masih menggunakan klotok (kapal motor kecil) untuk transportasi karena dianggap lebih efisien untuk beberapa hal.

4.5 Konteks Unit Pemukiman Transmigrasi Simpang Nungki

Unit Pemukiman Transmigran (UPT) Simpang Nungki dibuka pada tahun 2005 sebagai salah satu daerah tujuan program transmigrasi. Masuknya peserta transmigrasi ke Desa Simpang Nungki dilakukan dalam tiga tahapan, yakni tahun 2005, 2006, dan 2007. Daerah asal transmigran beragam yakni Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan daerah lain di luar jawa, masyarakat lokal dari Desa Simpang Nungki dan daerah lain di Kalimantan Selatan. Masing-masing kepala keluarga mendapatkan rumah dan tanah seluas 1,5 hektar (satu hektar lahan usaha dan 0,5 hektar untuk lahan pekarangan). Fasilitas lain yang didapat adalah peralatan dapur dan jatah hidup yang diterima sebulan sekali selama satu tahun yang terdiri dari beras, minyak goreng, gula, ikan asin, sabun cuci, garam, minyak tanah, kacang hijau, dan kecap. Transmigran juga mendapatkan bantuan alat-alat pertanian yang sesuai dengan kondisi wilayah dan saprodi (sarana produksi) seperti pupuk dan bibit (sayur, buah, dan padi).

Suatu wilayah akan dinyatakan layak untuk dihuni transmigran, setelah ada kunjungan dari petugas terkait dan perwakilan transmigran untuk menilai apakah wilayah dan fasilitas yang tersedia sudah cukup layak untuk ditinggali.

Seperti jalan, saluran air, kondisi rumah, keadaan lahan, dan lain-lain. Namun, setelah semua dinyatakan layak dan pemberangkatan transmigran di laksanakan, masih ada transmigran yang pergi meninggalkan rumah dan tanahnya. Data jumlah tansmigran tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 4.1 Transmigran UPT Simpang Nungki Tahun 2011

Kategori Jumlah (KK) Persentase (%)

Transmigran Bertahan 121 37.23

Transmigran Pergi 204 62.77

Jumlah 325 100.00

Transmigran yang pergi meninggalkan UPT Simpang Nungki sebagian adalah warga lokal yang berasal dari sekitar Simpang Nungki yang lebih memilih untuk tinggal di wilayah asalnya dan tidak menggarap lahannya. Transmigran yang meninggalkan UPT Simpang Nungki kurang dari 10 tahun penempatan lebih dari

50 persen. Hal ini menyalahi aturan dan ketentuan terkait program transmigrasi 4, namun juga menjadi hal yang banyak terjadi di seluruh wilayah transmigrasi.

Alasan kepergian transmigran beragam, seperti kembali ke daerah asal, mencari pekerjaan di tempat lain yang lebih menjanjikan, ada juga yang mengajukan untuk mengikuti program transmigrasi ke daerah lain. Kurang lengkapnya fasilitas di UPT Simpang Nungki juga menjadi alasan transmigran meninggalkan tempat tinggalnya. UPT Simpang Nungki tidak memiliki jaringan listrik dan saluran air bersih. Sehingga untuk mendapatkan air bersih masyarakat harus menampung air hujan, karena air tanah diwilayah ini asam. Jumlah kepala keluarga UPT Simpang Nungki juga bertambah dengan masuknya para pendatang yang tertarik untuk mengadu nasib di wilayah tersebut. Hal ini sesuai dengan penuturan Bapak SHL (50 tahun)5 dan TTK (40 tahun)6.

“Transmigran banyak meninggalkan UPT dengan alasan sarana dan prasarana yang kurang baik. Padahal fasilitas yang diberikan sudah cukup lengkap untuk pemukiman yang baru dibuka termasuk fasilitas terkait pertanian.

Keadaan wilayah juga sudah dijelaskan sebelum mereka diberangkatkan. Mereka sudah diberi pelatihan-pelatihan pertanian agar dapat bertahan di tempat yang baru. Tapi banyak yang pindah ke tempat lain. Bahkan memalsukan data untuk mengikuti program transmigrasi ke daerah yang baru. Itulah yang membuat dia tidak berhasil padahal teman-teman yang tetap bertahan dapat berhasil.

Karena dia kan harus mulai lagi dari awal untuk adaptasi dan lain-lain.”

“ Yah disini ya seperti ini mbak. Panas, kering, tanah dan airnya asam. Tidak seperti di Jawa yang enak. Untuk

4 Aturan dan ketentuan program transmigran dapat dilihat pada Lampiran

5 Bapak SHL adalah kepala bagian Transmigrasi di Dinas Sosial, Tenaga Kerja, dan Transmigrasi Kabupaten Barito Kuala. Hasil wawancara tanggal 28 April 2011.

6 Bapak TTK adalah salah satu transmigran yang bertahan. Hasil wawancara 26 April 2011.

Program-program pengembangan masyarakat transmigran juga beragam, seperti kredit usaha kecil, PNPM Mandiri, dan bantuan pengembangan perkebunan dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan. Bantuan dana dari program PNPM Mandiri digunakan masyarakat untuk melapisi jalan Unit Pemukiman Transmigrasi dengan pasir dan batu. Bantuan pengembangan perkebunan dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan berupa pembagian bibit karet dan kelapa sawit serta saprodi yang menunjang program tersebut.

BAB V

DINAMIKA STRUKTUR AGRARIA UNIT PEMUKIMAN TRANSMIGRASI (UPT) SIMPANG NUNGKI 5.1 Masa Pra Masuknya Komoditas Kelapa Sawit (2005 – 2006) 5.1.1 Sejarah Unit Pemukiman Transmigrasi Simpang Nungki7

Desa Simpang Nungki adalah salah satu desa di wilayah Kecamatan Cerbon yang memiliki lokasi strategis, yakni dekat dengan jalan kabupaten yang menghubungkan Kabupaten Banjar dengan Kabupaten Barito Kuala. Namun, jumlah penduduk yang kecil dan pola pikir masyarakat lokal yang masih tradisional membuat wilayah tersebut sulit berkembang. Bapak EDS (50 tahun) selaku tokoh Desa Simpang Nungki yang juga bekerja sebagai pegawai kecamatan mendapatkan informasi dari Dinas Transmigrasi Barito Kuala bahwa akan dipilih beberapa wilayah untuk dijadikan lokasi transmigrasi. Tokoh masyarakat baik di tingkat desa maupun kecamatan mengoordinasikan hal tersebut dan mengajukan permohonan kepada dinas terkait. Para tokoh berpendapat bahwa dengan dibukanya Unit Pemukiman Transmigrasi di Desa Simpang Nungki, maka wilayah tersebut dapat lebih cepat berkembang. Persiapan suatu wilayah untuk dijadikan tujuan transmigrasi berlangsung dalam beberapa mekanisme, seperti pelepasan dan pembukaan lahan, pembangunan sarana dan prasarana dan pengecekan apakah tempat tersebut sudah layak untuk dihuni atau belum.

Peserta program transmigrasi memiliki komposisi yang berbeda sesuai dengan periode berlangsungnya program tersebut. Saat ini, komposisi yang digunakan adalah 50 persen penduduk lokal dan 50 persen adalah pendatang.

Keresediaan lahan yang tidak terlalu luas membuat mekanisme pemberian lahan untuk penduduk lokal sedikit berbeda. Pada umumnya lahan transmigrasi berada dalam satu luasan wilayah, tapi di Desa Simpang Nungki tidak demikian.

Beberapa peserta transmigrasi lokal tidak mendapatkan bagian lahan pekarangan sebagaimana mestinya. Transmigran tersebut diperkenankan mendaftarkan lahan

7 Berdasarkan penuturan informan kunci bapak EDS selaku tokoh masyarakat dan pegawai kecamatan pada tanggal 28 April 2011

pribadi yang dimiliki dan mendapatkan ganti rugi sesuai dengan harga lahan pada saat itu.

Unit pemukiman Transmigran (UPT) Simpang Nungki dibuka pada tahun 2005. Peserta program transmigrasi datang dalam tiga tahap yakni pada tahun 2005 sebanyak 150 kepala keluarga, tahun 2006 sebanyak 100 kepala keluarga, dan pada tahun 2007 sebanyak 75 kepala keluarga. Peserta transmigrasi mendapatkan fasilitas pertanian berupa saprodi, bibit, dan lain-lain untuk menunjang kegiatan pertaniannya. Oleh karena itu, jenis komoditas masyarakat pun hampir sama yakni padi, palawija, dan sayur-sayuran seperti benih-benih yang dibagikan oleh Dinas Transmigrasi. Kondisi tersebut mulai berubah setelah satu tahun penempatan, karena transmigran lokal mulai kembali ke daerah asal setelah jatah hidup tidak lagi diberikan oleh Dinas Transmigrasi. Transmigran lokal lebih memilih untuk tinggal di rumah sendiri karena sarana dan prasarana yang tersedia lebih memadai dibandingkan di Unit Pemukiman Transmigran (UPT). Transmigran lain yang berasal dari luar Kalimantan Selatan juga mulai meninggalkan lokasi transmigrasi untuk mencari penghidupan yang lebih layak.

Beberapa transmigran memilih untuk pulang kembali ke daerah asalnya seperti Jawa dan Lombok. Hal ini sesuai dengan penuturan SRI (46 tahun) di bawah ini.8

“Masyarakat lokal tertarik mengikuti program transmigrasi karena mendapatkan jadup selama setahun.

Setelah jadup habis, ya mereka kembali lagi ke rumah mereka. Transmigran asal Jawa dan Lombok juga banyak yang kembali ke daerah asal karena tidak tahan. Sebagian besar lahan ditinggalkan begitu saja. Ada juga yang masih sering ke sini cuma untuk melihat lahan dan rumahnya saja.”

5.1.2 Sistem Kepemilikan dan Penguasaan Lahan (Tenurial System)

Transmigran Simpang Nungki mendapatkan lahan dari program transmigrasi. Masing-masing kepala keluarga mendapatkan lahan seluas 1,5 hektar dengan rincian 0,5 hektar lahan pekarangan dan satu hektar lahan usaha.

Kepemilikan lahan pada awal kedatangan transmigran masih sama, kecuali transmigran lokal yang telah memiliki lahan pribadi sebelum mengikuti program

8 Hasil wawancara dengan transmigran pada tanggal 19 April 2011

transmigrasi. Transmigran berhak untuk menggarap lahan usaha dan menempati lahan pekarangan. Bukti kepemilikan tanah (sertifikat) akan diserahkan setelah lima tahun menempati dan menggarap lahan tersebut sesuai dengan ketentuan program transmigrasi. Hal tersebut berbeda dengan masyarakat lokal yang umumnya hanya memiliki Surat Keterangan Tanah (SKT) sebagai bukti kepemilikan tanah yang dikeluarkan oleh kepala padang.

Program pembuatan sertifikat gratis oleh pemerintah daerah Kabupaten Barito Kuala sedang berlangsung, namun masyarakat Desa Simpang Nungki harus menunggu giliran. Masyarakat harus mengajukan permohonan kepada Badan Pertanahan Nasional untuk pembuatan sertifikat tersebut. Pengajuan permohonan dilakukan oleh pemerintah desa terkait. Namun banyak masyarakat yang belum memiliki kesadaran tentang pentingnya sertifikat tanah. Sehingga pemerintah desa harus berusaha untuk memberikan pengertian kepada masyarakat.

Seluruh rumah tangga yang ada di Desa Simpang Nungki khususnya transmigran memiliki lahan pertanian. Namun, pada masa ini telah terbentuk beberapa lapisan status sosial masyarakat. Hal tersebut dikarenakan transmigran juga menggarap lahan masyarakat lokal melalui sistem bagi hasil dan juga menjadi buruh pertanian untuk menambah penghasilan. Saat ini status sosial masyarakat terdiferensiasi dalam beberapa lapisan atau kategori yang terdiri dari lapisan tunggal dan lapisan majemuk. Lapisan status tersebut adalah sebagai berikut:

1. petani pemilik, yakni petani yang menguasai lahan melalui pola pemilikan tetap;

2. pemilik+penggarap, yakni petani yang menguasai lahan tidak hanya melalui pemilikan tetap tetapi juga melalui pemilikan sementara (mengusahakan lahan orang lain melalui sistem bagi hasil);

3. pemilik+buruh tani, yakni petani yang menguasai lahan melalui pemilikan tetap. Selain itu, petani ini juga menjadi buruh tani di lahan orang lain dan perkebunan besar swasta untuk menambah penghasilan; dan

4. pemilik+penggarap+buruh tani, yakni petani yang menguasai lahan tidak hanya melalui pemilikan tetap tetapi juga sementara (menggarap lahan orang lain dengan sistem bagi hasil).

Petani yang hanya memiliki status tunggal sebagai petani pemilik umumnya memiliki mata pencaharian lain selain sebagai petani seperti pedagang, pegawai pemerintah, wiraswasta, dan sebagainya. Petani yang berstatus sebagai penggarap umumnya menggarap lahan yang dimiliki oleh masyarakat lokal yang berada di luar kompleks lahan transmigran. Buruh tani adalah salah satu pilihan bagi para transmigran untuk menambah pendapatan rumah tangga. Masyarakat lebih tertarik untuk menjadi buruh tani karena resiko yang ditanggung lebih kecil dibandingkan dengan menjadi penggarap yang membutuhkan modal lebih besar.

Pemindahan kepemilikan lahan transmigran dalam kurun waktu kurang dari sepuluh tahun atau setidaknya sebelum sertifikat lahan turun adalah hal yang melanggar hukum. Proses transfer kepemilikan lahan pada masa awal penempatan masih sangat jarang terjadi. Harga tanah juga masih rendah. Harga tanah kapling (bukan lahan transmigran) tahun 2005 sekitar Rp 300.000,- sampai Rp 500.000,- per hektar. Sedangkan tanah transmigran yang telah bersertifikat sekitar Rp 1.500.000,- sampai Rp 2.000.000,- per kapling lahan usaha (dua hektar). Pada masa ini transfer kepemilikan melalui ganti rugi banyak terjadi pada kasus tanah kapling yang dimiliki masyarakat lokal. Lahan kapling adalah lahan yang dibuka oleh masyarakat lokal, sebagian besar belum memiliki sertifikat dan hanya memiliki SKT (Surat Keterangan Tanah). Lahan kapling terletak di luar kompleks pemukiman warga sekitar satu sampai tiga kilometer. Hal ini sebagaimana di jelaskan oleh SHT (45 tahun)9.

“Sebelum tahun 2007, proses jual beli banyak terjadi pada lahan kapling, karena harganya murah dan memiliki

“Sebelum tahun 2007, proses jual beli banyak terjadi pada lahan kapling, karena harganya murah dan memiliki

Dokumen terkait