• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN AL-KUTUB AS-SITTAH DENGAN FIQH A Latar Belakang Penentuan Hierarki al-Kutub as-Sittah

A. Teks Nas, Refleksi Nilai Profan atau Sakral

Memang diakui, Islam berkaitan dengan Arab, baik itu bahasa maupun budayanya. Akan tetapi, mengindentikkan Islam dengan Arab adalah kesalahan karena sama saja meminggirkan Islam sebagai ajaran universal. Pemahaman dan pengamalan Islam hanya diukur dari penampilan seperti layaknya bagian dari komunitas Arab yang mengesankan tingginya dimensi spiritual mereka.1 Simplifikasi Islam

terhadap budaya Arab telah membuat Islam terhambat ke seluruh masyarakat global.2 Hal ini masih

ditambah dengan kaburnya benang merah antara ajaran Islam dan budaya atau yang profan dan yang sakral. Pemetaan terhadap kluster-kluster yang terdapat dalam ajaran Islam tersebut akan memudahkan untuk mengembangkan ijtihad yang sesuai dengan kebutuhan umat Islam dan masyarakat secara umum. Konsep maslahat yang dikembangkan sekarang ini masih sangat mentah karena hanya berbicara pada aspek ideal. Hal itu karena konsep maslahat masih berdasarkan spirit yang tidak terencana dalam melihat realitas.3 Parahnya, masih ada kecenderungan kuat soal supremasi Arab sebagai pihak yang otoritatif dalam

memahami syariat Islam.4

Bagi umat Islam, orisinalitas teks al-Qur’an maupun hadits secara sains lebih diakui validitasnya dibandingkan dengan teks lain di luar Islam. Akan tetapi, sering kali klaim ini menjadi justifikasi bagi supremasi pemegang otoritas dalam menafsirkan Islam.5 Bagi umat di luar Arab, seperti Indonesia, tentu

miris melihat budaya kekerasan yang ditampilkan media-media yang membudaya di Timur Tengah sebagai pusat Islam.6 Hal itu menimbulkan tampilan Islam cenderung keras sehingga resistensi budaya luar

terhadap Islam menguat. Tidak dapat dipungkiri bahwa citra Islam yang identik dengan kekerasan digerakkan oleh pihak-pihak tertentu. Namun, terdapat semacam justifikasi ketika realitas kekerasan terjadi di pusat penyebaran awal Islam tersebut.7

Kajian fiqh yang terkadang bersifat lokal tidak akan mungkin bisa berkembang bila masih menganggap supremasi Arab sebagai otoritas tertinggi dalam penafsir ajaran Islam.8 Supremasi Arab

sering kali dirasakan dalam tataran justifikasi penafsiran terhadap teks, lihat saja kajian fiqh yang terkadang sangat Arab oriented, seperti yang berkaitan dengan bersuci dianggap sebagai kajian fiqh yang bersifat general.9 Di lain pihak, masalah yang menyangkut tentang suksesi maupun pertanggungjawaban

terhadap penggunaan kekayaan negara yang diasumsikan sebagai permasalahan krusial terasa diabaikan. Jumlah umat Islam yang dewasa ini yang menembus angka milyaran mayoritas tinggal di luar daerah Timur Tengah secara faktual harus berhadapan dengan sistem kehidupan yang selalu dikontrol oleh paham sekuler.10 Sikap kompromi yang dilakukan terhadap nilai-nilai sekuler yang berlaku hampir di setiap

Negara harusnya dapat dijadikan salah satu sumber fiqh sekarang ini.11 Penerimaan umat Islam terhadap

sistem sekuler yang berlaku di banyak negara bisa menjadi korpus fiqh yang berharga bila diejawantahkan dalam bentuk tertulis.12 Penafsiran terhadap teks nas akan lebih adaptif terhadap realita sosial yang terjadi

di masyarakat Muslim.13 Kajian fiqh kontemporer sebenarnya tidak harus menunggu terbentuk dewan

fatwa di suatu daerah maupun negara, karena setiap Muslim di dunia ini harus bernegosiasi dengan kenyataan yang mereka hadapi setiap hari. Sekarang yang dibutuhkan bagaimana sikap kompromi tersebut mendapat justifikasi dari nas sehingga memberikan jaminan legal dalam mempraktikkannya.14

Realitas sosial yang dihadapi umat Islam di dunia sering sekali berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya, streotype yang sering dikaitkan dalam masalah-masalah tertentu di dalam fiqh akan lebih fair dalam menilainya. Adanya marjinalisasi terhadap peran perempuan di dalam fiqh klasik sering sekali dianggap sebagai permasalahan umum di dalam fiqh, padahal lebih cenderung sebagai masalah lokal

bangsa Arab.15 Bagi negara-negara di luar Arab, seperti Indonesia, peran untuk mencari nafkah tidak mem-

batasi porsi yang lebih besar antara suami dan istri. Paradigma pemahaman hukum bahwa seorang perempuan harus ditemani oleh muhrimnya bila berpergian jauh tidak berlaku bagi TKW Indonesia di luar negeri yang jutaan jumlahnya. Di sini juga tampak sikap ambivalen pemerintah negara-negara mayoritas Muslim, bahkan yang mengklaim sebagai negara Islam, yang mendorong penerimaan TKW ke negara mereka.16

Di Indonesia sendiri, dalam rentang waktu yang lama sampai saat ini, kecuali di Aceh, sejak ditandatangani perjanjian Helsinski, perempuan yang berada di jajaran kepolisisan maupun TNI dilarang mengenakan jilbab ketika bertugas.17 Belum pernah MUI mengajukan keberatan terhadap peraturan itu,

bahkan tidak dilakukan class action di pengadilan terhadap peraturan tersebut. Tampaknya bagi masyarakat Musim Indonesia aparat keamanan perempuan lebih memiliki kewibawaan yang mendekati nilai-nilai maskulin bila tidak mengenakan jilbab. Hal tersebut berbeda dengan negara mayoritas Muslim lainnya di belahan bumi yang lain yang cenderung membolehkan atau mewajibkan pengenaan jilbab bagi perempuan yang bertugas sebagai aparat keamanan.18

Fiqh klasik hampir tidak pernah membicarakan pola hubungan kerja antara laki-laki dan perempuan, yang merupakan gambaran marjinalisasi perempuan karena dianggap tidak memiliki akses ekonomi dalam masyarakat Arab umumnya.19 Hal tersebut sangat kontras dengan kondisi kekinian yang mustahil bila

membatasi hubungan kerja antara laki-laki dan perempuan.20 Tidak dapat dipungkiri banyak laki-laki dan

perempuan yang bukan muhrim bekerja di ruangan tertutup, sementara nas jelas-jelas melarangnya. Di negara-negara Muslim konservatif, negara masih membatasi perempuan pada pekerjaan-pekerjaan tertentu.21 Sementara itu, batasan tersebut tidak mungkin diterapkan di negara-negara lain dengan

persamaan hak di depan hukum maupun keadilan bagi semua. Agaknya aneh bila ada negara yang membuat peraturan yang cenderung melakukan opressi terhadap perempuan dengan alasan nas, padahal Khadijah, istri Nabi, adalah seorang pengusaha besar pada masanya yang selalu harus berhubungan kerja dengan banyak laki-laki. Secara tidak langsung sebenarnya Islam tidak membatasi peran sosial perempuan.22

Agaknya kajian fiqh dalam memahami pola hubungan antara laki-laki dan perempuan akan lebih maju jika merujuk pada negara-negara plural seperti Indonesia sehingga akan memperkaya khazanah hukum.23 Kaum Muslim melihat pentingnya legalitas dalam melakukan sesuatu sehingga sikap kompromi

umat Islam akan lebih bermakna jika mendapatkan legalitas dari pihak yang diakui otoritasnya.24

Seharusnya sudah saatnya menjadikan daerah-daerah di luar Timur Tengah sebagai bagian penting dalam melahirkan produk-produk fiqh. Permasalahan fiqh yang terjadi lebih kaya karena harus berhadapan dengan lingkungan yang tidak ideal sehingga negosiasi terhadap lingkungan tersebut akan melahirkan produk fiqh yang cocok dengan daerah tersebut.25 Di sini kajian fiqh diharapkan sebagai wasit bagi umat

Islam dalam menentukan rule of conduct sehingga permainan tetap menarik, tetapi harus dilakukan sesuai aturan yang berlaku.26

Selama ini, dalam konteks wilayah kajian fiqh klasik, belum selesai dalam memetakan rumusan teritori pemerintahan Islam.27 Konsep fiqh tentang ini hanya memahami pada tataran ideal, yaitu umat

Islam diasumsikan sebagai umat yang satu dalam suatu kekhalifahan tunggal.28 Namun, kenyataannya

konsep ideal tersebut hanya bertahan pada masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin.29

Setelah itu, pemerintahan umat Islam terdiri dari beberapa Negara, yang tidak jarang terjadi peperangan antara satu negara dengan negara lainnya dalam rangka perluasan wilayah. Sering sekali suksesi di dalam sejarah pemerintahan Islam berlangsung dengan jalan pertumpahan darah. Hal tersebut mengindikasikan belum mapan konsep fiqh siyâsah dalam perjalanan sejarah.30 Sikap apatis yang terjadi

di kalangan ulama fiqh memberikan gambaran bahwa persoalan fiqh siyâsah adalah perkara yang sensitif yang cenderung mendapatkan resistensi dari pihak penguasa. Kajian fiqh tentang siyâsa masih kurang

berkembang kalau tidak ingin mengatakan bersifat stagnan. Hal tersebut disebabkan oleh tidak mencerminkan prinsip utama ajaran Islam yang memberi kesempatan bagi siapa pun yang terbaik asalkan dilakukan atas dasar musyawarah. Kajian fiqh tentang ini sudah terpasung selama berabad-abad sehingga dampaknya masih dirasakan hingga saat ini. Konsep yang dibangun masih dalam kerangka normatif secara general belum masuk ke dalam substansi di dalam kajian fiqh.

Pengaruh feodalisme keagamaan di dalam masyarakat Muslim hingga kini masih sangat terasa, dalam level global misalnya negara Saudi Arabia merasa yang paling berhak untuk mengatasnamakan umat Islam disebabkan oleh dua tempat suci berada di kota Makah dan Madinah.31 Ketika mereka menghilangkan situs-

situs bersejarah di dalam sejarah Islam tanpa melakukan kompromi dengan negara-negara Muslim lainnya merasa tidak bersalah.32 Dalam tataran local, seperti di Jakarta misalnya, adanya perlakuan khusus

terhadap mereka yang bergelar habib yang mengklaim memiliki nasab sampai kepada Nabi. Gelar habib bisa menjadikan seseorang mendapatkan status sosial yang khusus di hati banyak umat Islam. Padahal, jelas Islam tidak pernah mengajarkan kemuliaan seseorang atas dasar keturunan, tetapi didasarkan atas dasar prestasi dalam berhubungan dengan Allah dan manusia.33

Egaliterianisme adalah salah satu masalah yang belum selesai di dalam masyarakat Muslim termasuk dalam kajian fiqh. Lihat saja konsep sekufu yang terdapat dalam fiqh klasik adalah salah satu syarat di dalam pernikahan didasari oleh pemurnian ras Arab yang dianggap sebagai ras yang paling tinggi agar tidak tercampur dengan ras lainnya.34Alibi untuk alasan mendapatkan sakinah di dalam perkawinan, fiqh klasik

terjebak pada semangat nasabiyah (cauvisme) yang tinggi dibungkus dengan justifikasi penafsiran terhadap nas. Sebenarnya, masyarakat Arab memiliki permasalahan tersendiri dalam hal nasab sehingga salah satu misi utama Nabi adalah menegakkan konsep egaliterianisme. Itu merupakan hal yang sangat ditentang oleh orang-orang kafir pada masanya yang sebagian besar pembesar Arab. Mereka tidak mau dianggap selevel dengan orang-orang awam terlebih hamba sahaya. Naif bila ada sebagian umat Islam Indonesia meminta fatwa kepada ulama di Timur Tengah, sikap tersebut dipengaruhi claim perception bahwa Islam di Timur Tengah adalah Islam yang paling otoritatif.35

Masalah dalam egaliterianisme memiliki efek domino yang menyebar hampir ke seluruh kajian keislaman, termasuk kajian hadits. Tidak heran jika hierarki al-Kutub as-Sittah merupakan gambaran psikologi masyarakat feodal dari pihak penguasa yang selalu ingin mempertahankan status quo. egaliterianisme dalam teks hadits akan berpengaruh besar dalam kajian fiqh karena mendapat instrumen justifikasi dalam jumlah yang cukup banyak untuk memutuskan kasus-kasus hukum yang cenderung rumit.36 Inkonsistensi terhadap hadits menjadi refleksi dari memudarnya penghargaan terhadap sunnah

Nabi. Hanya ada satu keyakinan ketika disepakati teks tersebut, yaitu hadits harus diperlakukan seperti teks al-Qur’an yang tidak ada perbedaan kualitas teks.37 Seyogianya tidak menggunakan terminologi hadits

terhadapnya karena akan membuat rancu umat Islam.38

Pada dasarnya, Islam membawa spirit untuk melakukan asimilasi maupun akulturasi terhadap budaya lokal, sayangnya hal tersebut terhalangi dengan penetrasi budaya Arab yang berusaha melekatkan diri di dalam Islam. Islam yang sangat adaptif terhadap budaya setempat terkadang dianggap momok bagi budaya yang membawa kearifan lokal yang sudah eksis di dalam masyarakat tersebut. Di Iran, sekarang ini ada semangat untuk menggunakan kembali kalender Persia yang dipakai sejak zaman Zoraster ribuan tahun sebelum Islam lahir.39 Semangat untuk menghidupkan simbol kebanggaan nasional tidak untuk

menjadi penyembah api, tetapi ada kesadaran untuk membedakan antara budaya dan Islam itu sendiri. Semangat ini melahirkan lompatan yang luar biasa sehingga menempatkan Iran sebagai negara yang paling maju dan mandiri di bidang teknologi di Timur Tengah. Mereka juga menggunakan kearifan lokal untuk menerjemahkan Islam ke dalam masyarakat mereka tanpa harus meniru sepenuhnya sistem pemerintahan di negara-negara lainnya di Timur Tengah.

Islam di Indonesia walaupun jauh dari Timur Tengah yang merupakan awal penyebaran Islam tetap bertahan sampai saat ini dipastikan karena mengadakan asimilasi dengan budaya lokal yang selama ribuan tahun telah eksis paham Animisme, Hindu, dan Buddha.40 Islam di Spanyol walaupun telah eksis selama

delapan abad, tetapi bisa hilang dari sana karena budaya Kristen yang telah lama eksis tidak diperlakukan sebagai tuan rumah yang harus dihormati.41 Yang terjadi pada masa pemerintahan Islam di Andalusia

(Spanyol) adalah pemindahan budaya Arab ke dalam masyarakat Spanyol.42 Sementara itu, reaksi

masyarakat Kristen Spanyol yang dimotori oleh Ratu Isabella dan Raja Ferdinand sangat tegas terhadap umat Islam, keluar dari negeri mereka atau kembali ke ajaran Kristen.43

Islam yang telah berhasil menyebar di wilayah yang sangat luas di muka bumi ini pada awalnya diterima oleh masyarakat lokal karena dianggap sebagai ajaran pembebas dari belenggu penindasan yang merenggut harga diri kemanusiaan. Merebaknya perdagangan budak serta kebanggaan yang berlebih terhadap suatu golongan merupakan hal utama yang dikikis oleh Nabi Muhammad Saw. Penerimaan mereka terhadap nilai-nilai tauhid bukan hal yang berat bagi kafir Quraisy karena nilai-nilai tauhid sudah mereka ketahui dari ajaran Nabi Ibrahim dengan simbol Ka’bah. Namun, hal yang tersulit dalam penerimaan Islam bagi mereka untuk mengakui bahwa seluruh umat manusia sama di mata Allah sehingga paham baru ini akan menghancurkan sendi-sendi struktur masyarakat mereka.44 Bangunan masyarakat

kapitalis Arab Quraisy merasa terancam bila prinsip egaliter yang dibawa Islam diterapkan di dalam masyarakat mereka.45 Konsekuensinya sirnanya sikap semena-mena yang disebabkan oleh penguasaan

terhadap harta yang berlebih, padahal masyarakat lainnya mengalami kekurangan. Bagi Arab Quraisy, penolakan terhadap nilai-nilai tauhid yang dibawa Nabi adalah suatu keniscayaan.

Resistensi terhadap Islam ataupun hukum Islam bukan hanya terjadi di negara-negara di luar Islam bahkan juga terjadi di negara-negara mayoritas Muslim.46 Di Mesir misalnya, penolakan yang berakhir

dengan penggulingan terhadap Presiden Morsi yang merupakan presiden pertama terpilih secara demokratis dilakukan karena adanya kekhawatiran terhadap dominasi paham Ikhwanul Muslimin di sana. Adanya ketakutan yang dirasakan masyarakat Mesir umumnya terhadap ajaran Islam yang ketat akan diberlakukan di Mesir. Umat Islam di dunia ini telah menyaksikan bagaimana label Islam digunakan untuk melakukan opressi terhadap orang-orang yang tidak sepaham seperti yang terjadi pada masa pemerintahan Taliban di Afganistan misalnya yang sangat kaku menerapkan ajaran Islam.47 Dalam konteks Indonesia,

tampaknya umat Islam sendiri banyak menentang ketika simbol-simbol hukum Islam mulai masuk ke dalam ranah publik.48 Lihat saja pemberlakuan undang-undang pornografi dan porno aksi ketika masih

dalam RUU (Rancangan Undang-Undang) saja menimbulkan polemik dan demontrasi. Ketika disahkan ternyata undang-undang tersebut tidak dipatuhi oleh masyarakat, hal itu muncul karena hukum Islam dikhawatirkan akan dijadikan alat untuk menekan pihak lain atas nama agama.49 Semboyan Islam sebagai

rahmat bagi semua menjadi kabur ketika ormas tertentu menggunakan kekerasan dengan dalih memberantas kejahatan.

Nilai pembebas yang seyogianya melekat di dalam hukum Islam berubah menjadi hal yang menakutkan bagi banyak orang.50 Hal itu karena Islam yang diterima masyarakat sebagai bentuk operessi

terhadap nilai-nilai yang mereka miliki. Sikap resistansi ini muncul adalah hal yang wajar sebagai manusia yang merasa terancam dari penetrasi dari luar. Akan tetapi, hal tersebut akan lain responnya bila menjadi budaya lokal sebagal brand ambassador dari ajaran Islam itu sendiri. Penolakan beberapa negara Eropa terhadap full hijab sehingga semacam aib bagi Barat yang selama ini sangat mengagungkan prinsip kebebasan dengan konsep multi-kulturalnya.51 Apabila dipahami alasan di balik larangan tersebut maka

dapat dimengerti karena di Barat sistem masyarakat yang open society. Tampilan perempuan Muslim yang full hijab mengesankan ketertutupan mereka terhadap lingkungan sehingga mengganggu proses interaksi di tengah masyarakat.52

Umat Islam sepakat terhadap nilai-nilai tauhid dan kemanusiaan yang terdapat di dalam nas al- Qur’an dan hadits. Anehnya, ketika nilai-nilai tersebut diimplementasikan ke dalam hukum fiqh terdapat resistensi dalam mempraktikkannya. Seakan adanya kesenjangan yang cukup dalam antara Islam yang diklaim sebagai rahmatan lil alamin ketika diwujudkan dalam bentuk fiqh. Fiqh yang mengatur sampai ke wilayah privat sering sekali mendapat perlawanan dari internal umat Islam terlebih bila terdapat justikasi nas. Sering sekali fiqh klasik tidak memberikan ruang otonom sebagai individu dalam merespon hukum, Kasus-kasus yang di luar mainstream dianggap sebagai penyimpangan terhadap hukum.

Supremasi Arab sangat kuat dalam mempengaruhi hukum Islam, sehingga fatwa-fatwa hukum yang lahir di luar kekuasaan bangsa Arab kurang mendapatkan legitimasi hukum yang kuat.53 Pada abad

pertengahan, ada tiga kerajaan besar Islam yang eksis menjadi negara super power, yaitu Turki Utsmani, Safawi, Mughal.54 Besarnya kekuasaan politik yang mereka kuasai tidak sebanding dengan produk hukum

yang mereka hasilkan.55 Adanya resistensi orang-orang Arab yang merasa tidak pantas berada dalam kekua-

saan Muslim lainnya sehingga menimbulkan stagnasi dalam melahirkan produk hukum fiqh. Hal itu disebabkan oleh masih kuatnya legitimasi bangsa Arab terhadap produk fiqh yang dihasilkan yang tertanam di sanubari umat Islam.

Pertarungan entitas Arab dan di luar Arab selalu terjadi dalam masyarakat Muslim hal tersebut melemahkan struktur entitas Muslim secara keseluruhan. Sampai saat ini pertarungan entitas tersebut belum selesai sehingga agak sulit mengharapkan kebangkitan fiqh bila masih tidak mengakui otonomi hukum di dalam masyarakat Muslim secara general. Bahkan, ketika pasca kekuasaan al-Mutawakkil masa Abbasiah seiring dengan munculnya kekuasaan kerajaan-kerajaan Islam lainnya silih berganti tetap mempertahankan simbol kekhalifahan Abbasiah. Kekhalifahan ini dianggap sebagai simbol legitimasi bagi eksistensi kerajaan lainnya, hal tersebut didasari kekhalifahan Abbasiah perwujudan kekuasaan murni bangsa Arab.

Kerajaan besar seperti Turki Utsmani demi memperluas wilayah kekuasaannya mulai dari wilayah tradisional tempat lahirnya Islam di Timur Tengah sampai Eropa menggunakan simbol “Utsman” agar mendapat legitimasi dari orang-orang Arab. Bagi orang-orang Arab, kata-kata Utsmani memberikan dampak psikologi lebih diterima dibandingkan berada dalam kekuasaan Safawi yang identik dengan Persia. Padahal, pusat Turki Utsmani lebih jauh dibandingkan dengan Kerajaan Safawi yang lebih dekat sehingga asumsi di atas dianggap benar. Apalagi Kerajaan Mughal yang kurang merepresentasikan simbol Arab di dalamnya, sementara itu pengalaman bangsa Mughal dalam berinteraksi dengan pusat budaya Hindu sangat berharga dijadikan sebagai bahan kajian fiqh yang cukup berharga.56 Pada masa Sultan Ali Akbar,

merupakan masa yang termasyhur dan paling jaya pada masa pemerintahannya, karena dia mampu meyakinkan orang-orang Hindu diperlakukan sebagai tuan rumah yang dihormati di negerinya sendiri. Langkah sinkretisme antara Islam dan Hindu yang bernama dîn ilâhi merupakan produk fiqh pada masa Ali Akbar zaman Mughal yang patut diberi apresiasi yang tinggi.57 Langkah tersebut bisa memberi spirit

positif bagi terciptanya harmonisasi antara Islam sebagai ajaran pendatang dengan kearifan lokal yang sudah eksis. Sangat disayangkan semangat fanatisme semu yang mengatasnamakan kemurnian Islam sering digunakan tameng untuk membungkam langkah-langkah fiqh lokal yang sangat berharga ini. Padahal, sejarah telah membuktikan pada zaman Ali Akbar inilah puncak peradaban dihasilkan pada masa Kerajaan Mughal, ketika seluruh elemen masyarakat tanpa membedakan etnis dan agama berkomitmen dalam memberikan kemajuan kepada negeri tercinta.

Pengalaman interaksi Islam dengan budaya lokal yang pernah terjadi di masa lampau hendaknya dapat dijadikan statuta hukum yang dapat digunakan dalam menyelesaikan permasalahan yang berkaitan hubungan antara Islam dengan masyarakat di luar Islam. Sikap tak ramah banyak negara di luar Islam terhadap umat Islam mengindikasikan adanya kesan yang yang keliru terhadap Islam yang ditampilkan oleh golongan tertentu. Kenyataannya the silent majority di kalangan umat Islam sangat moderat terhadap

pihak di luar Islam.58 Gambaran buruk tentang patung Buddha Bamiyan tertua di dunia merupakan cagar

alam yang diledakkan dan disiarkan oleh pemerintah Taliban menambah buruknya pemahaman pihak luar terhadap ajaran Islam.

Pengalaman buruk di dalam masyarakat Islam terjadi ketika ada sekelompok masyarakat yang membawa label untuk memurnikan ajaran Islam dengan memberangus kearifan lokal. Sikap puritanisme ini sudah sejak lama ada dan sering disamarkan dengan misi nasabiyah arabisasi yang sampai saat ini cukup kuat dirasakan, termasuk di Indonesia. Biasanya jurus bid‘ah adalah senjata mereka yang sangat ampuh untuk menghancurkan buah interaksi Islam dengan kearifan lokal. Kelompok puritanisme ini sering melangkah terlalu jauh sehingga memandulkan kreasi umat Islam dalam melahirkan fiqh-fiqh lokal yang bisa memberikan solusi pada masyarakatnya. Semangat puritanisme ini biasanya miskin terhadap karya-karya hukum yang ada karena mereka kurang mau berkompromi terhadap nilai-nilai lokal yang ada.59 Sangat disayangkan semangat puritanisme tersebut tidak memberi solusi terhadap persoalan hukum

yang dibutuhkan masyarakat terlebih lagi ada kesan yang tersirat gerakan itu menginginkan agar kembali