• Tidak ada hasil yang ditemukan

Wacana tentang gerakan mahasiswa telah banyak tertuang dalam buku-buku maupun jurnal serta tulisan-tulisan yang dipublikasikan maupun yang tidak dipublikasikan, apalagi pada masa reformasi dan pasca reformasi banyak sekali penelitian tentang gerakan mahasiswa mengingat gerakan mahasiswalah yang menjadi pahlawan tumbangnya rezim orde baru Soeharto. Melalui penelusuran yang dilakukan oleh peneliti banyak sekali ditemui buku-buku yang berbicara mengenai gerakan mahasiswa. Namun disini peneliti akan membatasi buku yang akan dijadikan acuan pustaka dalam penulisan skripsi ini antara lain:

Buku karya Andi Rahmat dan Mukhamad Najib dengan judul Gerakan

Perlawanan Dari Masjid Kampus12 merupakan karya yang ditulis oleh pelaku sejarah sendiri sehingga buku ini mampu menggambarkan gerakan KAMMI secara utuh sebagai gerakan mahasiswa yang lahir pada masa reformasi dan proses terbentuknya dari forum silaturrahmi lembaga dakwah kampus (FS –

12

Andi Rahmat dan Muhammad Najib, Gerakan perlawanan dari masjid kampus Yogyakarta: Profetika. 2007

LDK ), buku ini lebih banyak berbicara mengenai kondisi gerakan mahasiswa dan perjuangan KAMMI pada masa reformasi.

Literatur yang lain adalah skripsi mahasiswa Sosiologi Universitas Indonesia, Ali Said Damanik yang kemudian karyanya dipublikasikan dalam bentuk buku yang berjudul Fenomena Partai Keadilan13, buku ini lebih menyoroti pada transformasi gerakan tarbiyah menjadi partai politik, gerakan tarbiyah sendiri merupakan cikal bakal lahirnya organisasi KAMMI karena KAMMI memang dibentuk oleh aktivis dakwah kampus.

Sebuah buku dengan judul KAMMI Dan Pergulatan Reformasi;Kiprah

Politik Aktivis Dakwah Kampus Dalam Perjuangan Demokratisasi ditengah Gelombang Krisis Nasional Multi Dimensi14, buku yang ditulis oleh Mahfudz Sidiq ini adalah sebuah tesis yang disusun untuk menamatkan studinya pada Program Pasca Sarjana Ilmu Politik Universitas Nasional Jakarta. Dalam buku ini dijelaskan bagaimana KAMMI sebagai salah satu elemen gerakan mahasiswa yang turut meninggalkan tinta sejarah dalam menumbangkan rezim orde baru Soeharto serta peran perubahan yang dimainkanya pada era yang disebut transisi demokrasi selama kurun waktu tiga tahun pertama setelah kelahirannya (1998-2001).

Sebuah skripsi karya Edi Supriyanto Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dengan judul Gerakan Mahasiswa Dalam Mewujudkan

Demokratisasi Di Indonesia (Studi Atas Peranan HMI-MPO Cabang

13

Ali Said Damanik, Fenomena Partai Keadilan, Bandung: Teraju. 2003

14

Mahfudz Sidiq, KAMMI dan Pergulatan Reformasi: Kiprah Politik Aktivis Dakwah

Kampus Dalam Perjuangan Demokrasi Ditengah Gelombang Krisis Nasional Multi Dimensi,

Yogyakarta Tahun 1998-2004.15 dalam skripsi ini diuraikan bagaimana dinamika gerakan mahasiswa pada rentangan tahun 1998-2004 dan pergulatannya dalam memperjuangkan tegaknya demokrasi di Indonesia dan penelitian ini difokuskan pada HMI-MPO Cabang Yogyakarta.

Meskipun banyak penelitian tentang gerakan mahasiswa khususnya yang berbicara mengenai organisasi KAMMI, tentu menggunakan fokus penelitian yang berbeda-beda, skripsi yang akan peneliti susun ini merupakan penelitian lapangan yang lebih memfokuskan pada dinamika gerakan dan Peran sosial organisasi KAMMI terutama yang ada di propinsi DIY sebagai bagian dari gerakan sosial dan gerakan mahasiswa Islam yang mempunyai konstruksi intelektual yang berbeda dan mempengaruhi peran-peran sosial yang menjadi fokus garapan dan konsentrasi isu yang diperjuangkan serta relevansinya dalam upaya perwujudan masyarakat madani di Indonesia

E. Kerangka Teori a. Gerakan Sosial

Untuk menganalisis penelitian yang akan dilakukan, tentunya dibutuhkan pemetaan yang jelas untuk membedah objek studi ini. Penelitian ini akan menggunakan pendekatan sosiologis yakni gerakan mahasiswa dilihat sebagai entitas sosial yang mengupayakan adanya perubahan.

15

Edi supriyanto, ”Gerakan Mahasiswa Dalam Mewujudkan Demokratisasi Di

Indonesia; Studi Atas Peranan Hmi-Mpo Cabang Yogyakarta Tahun 1998-2004”, Skripsi Fakultas

Salah satu aspek pembahasan penting dalam wacana demokratisasi adalah peran kekuatan-kekuatan oposisi yang ada ditengah masyarakat sipil, Huntington secara jelas menyebutkan peran intelektual perkotaan sebagai kekuatan oposisi yang paling penting.16 Mahasiswa merupakan salah satu elemen yang merepresentasikan sebagai kaum intelektual perkotaan. Dalam kasus Indonesia, jika kita menilik kembali sejarah Bangsa maka tidak akan terlepas dari peran gerakan mahasiswa didalamnya.

Gerakan mahasiswa dalam hal ini bisa dilihat sebagai entitas dari gerakan sosial (social movement) mengingat gerakan mahasiswa merupakan kelompok oposisi yang menginginkan adanya perubahan. Wacana gerakan sosial selalu diidentikkan dengan upaya menciptakan perubahan baik itu perubahan secara evolusioner maupun revolusioner. Gerakan juga identik dengan upaya resistensi (penentangan) atas kondisi yang menindas.

Secara jelas gerakan didefinisikan sebagai proses penyusunan kekuatan dari pihak-pihak yang menghendaki perubahan dan secara bertahap menggelar tindakan-tindakan nyata17. Adapun mengenai karakteristik gerakan bisa dipetakan dalam dua kategorisasi, antara lain: 1) gerakan sebagai suatu reaksi spontan; sebab-sebab yang tidak begitu

jelas (tidak mempunyai rumusan yang jelas) menggunakan jaringan

16

Mahfudz Sidiq, KAMMI Dan Pergulatan Reformasi, hlm. 45

17

Timur Mahardika, Gerakan Massa: Mengupayakan Demokrasi dan Keadilan

informasi yang tidak tertata (bukan dikonstruksi secara sengaja); terhadap suatu keadaan tertentu.

2) Gerakan sebagai langkah-langkah terorganisir dengan tujuan, strategi dan cara-cara yang dirumuskan secara jelas, sadar dan didasarkan pada suatu analisa sosial yang kuat18

Dalam konteks gerakan mahasiswa karakteristik yang kedua lebih sesuai sebagai kategori gerakan mahasiswa, dengan alasan gerakan mahasiswa mempunyai organisasi yang jelas serta visi, misi perjuangan yang telah dirumuskan secara jelas pula, mengingat mahasiswa merupakan manusia terdidik yang merepresentasikan kaum intelektual, selanjutnya gerakan yang dilakukan oleh mahasiswa ini disebut sebagai gerakan sosial19

Secara umum gerakan sosial memiliki arti yang sangat luas, Giddens (1993) menyatakan bahwa gerakan sosial adalah suatu upaya kolektif untuk mengejar suatu kepentingan bersama; atau gerakan mencapai tujuan bersama melalui tindakan kolektif (collective action) diluar lingkup lembaga-lembaga yang mapan20

Senada dengan apa yang diungkapkan Giddens, Tarrow (1998) mendefinisikan gerakan sosial sebagai politik perlawanan yang terjadi ketika rakyat biasa yang bergabung dengan para kelompok masyarakat

18 Timur Mahardika, Gerakan Massa: Mengupayakan Demokrasi, Hlm. 15-16

19

Gerakan mahasiswa disebut sebagai gerakan sosial karena karakter gerakannya yang tidak ingin langsung merebut kekuasaan melainkan mempermasalahkan persoalan moralitas dan isu –isu populis untuk membela kaum tertindas.

20

Fadillah putra, Dkk (tim penulis), Gerakan Sosial; Konsep,Strategi,Aktor,

Hambatan Dan Tantangan Gerakan Sosial Di Indonesia,( Malang : Placid's bekerjasama dengan

yang lebih berpengaruh menggalang kekuatan untuk melawan para elit, pemegang otoritas dan pihak-pihak lawan lainnya. Ketika perlawanan ini didukung oleh jaringan sosial yang kuat dan digaungkan oleh resonasi kultural dan simbol-simbol aksi, maka politik perlawanan mengarah ke interaksi yang berkelanjutan dengan pihak-pihak lawan dan hasilnya adalah gerakan sosial.21

Untuk melihat perdebatan konseptual mengenai gerakan sosial, beberapa kerangka teoritis akan dirujuk. Secara umum ada empat perspektif penting dalam mengisi perdebatan mengenai gerakan sosial. Yang pertama dan paling banyak dirujuk adalah perspektif "perilaku kolektif" (collective behavior); kedua "teori mobilisasi sumber" (resource

mobilisation theory); ketiga "proses politik" (political prosses); dan

terakhir "pendekatan gerakan sosial baru" (new social movement)22.

Untuk menjelaskan gerakan sosial, teori gerakan sosial yang sesuai dengan objek penelitian ini adalah teori gerakan sosial dengan menggunakan pendekatan perilaku kolektif yang dikembangkan oleh John McCarthy dan Mayer Zald, keduanya memberikan perhatian yang jauh lebih besar kepada pentingnya faktor peran organisasi dalam gerakan sosial, yang disebut resource mobilisation theory23

21

Fadillah putra, Dkk (tim penulis), Gerakan Sosial; Konsep, Hlm. 2

22

Daniel Hutagalung, ”Laclau dan Mouffe Tentang Gerakan Sosial”, dalam. Majalah Basis. Nomor 01-02, Tahun ke-55.edisi Januari-Februari 2006, Hlm. 40

23

Lebih jauh keduanya mendefinisikan gerakan sosial sebagai

A set of opinions and beliefs wich represents preference for changing some element of the social structure and/or reward distribution of society . a counter movement is a set of opinions and beliefs in a population opposed to a social movement

Perhatian terbesar mereka adalah pada kondisi dimana keyakinan-keyakinan ditransformasikan kepada tindakan-tindakan konkret 24

Dengan demikian penelitian ini akan menganalisa peran-peran sosial KAMMI (khususnya KAMMI Daerah Yogyakarta) sebagai sebuah perilaku kolektif dalam merespon kondisi sosial yang didasarkan pada konstruksi intelektual dan doktrin yang dibangun sehingga mempengaruhi perilaku politik serta peran sosial kemasyarakatan.

b. Masyarakat Madani

Konsep masyarakat madani disini menjadi penting sebagai tolak ukur dalam melihat peran-peran sosial yang dimainkan oleh organisasi KAMMI, (sebagai objek studi dalam penulisan skripsi ini) karena pada awal terbentuknya, visi utama dari organisasi ini adalah mewujudkan masyarakat madani di Indonesia yang merupakan antitesa dari kondisi bangsa Indonesia ketika berada dalam tekanan rezim otoriter orde baru.

Masyarakat madani mengacu pada konsep awal civil society yang pertama kali berkembang dari Barat. Konsep ini pertama kali dikembangkan oleh Cicero, seorang orator dan pujangga Roma (106-43

24

SM) yang kemudian dikembangkan juga oleh para filsuf sesudahnya seperti John Locke (1632-1704), dan Rousseau (1712-1778).

Konsep masyarakat madani juga mulai dikenal di Indonesia dan menjadi diskursus pembahasan pada sekitar tahun 1990-an. Pertamakali digulirkan oleh Dato Seri Anwar Ibrahim dalam ceramahnya pada Simposium Nasional dalam rangka Forum Ilmiah pada acara Festival Istiqlal 26 September 1995 di Jakarta, konsep yang diajukan oleh Anwar Ibrahim ini hendak menunjukkan bahwa masyarakat yang ideal adalah kelompok masyarakat yang memiliki peradaban maju25

Kemudian konsep masyarakat madani banyak dipakai oleh para cendekiawan Indonesia seperti Nurcholish Madjid, Azyumardi Azra, M. Dawam Rahardjo, AS Hikam dan lain sebagainya, dan konsep masyarakat madani yang penulis pakai sebagai kerangka dalam menganalisa objek studi ini adalah konsep dari tiga tokoh yaitu Nurcholish Madjid, M Dawam Rahardjo (keduanya mewakili muslim modernis) dan AS Hikam (representasi pemikiran muslim tradisionalis)

Secara umum konsep masyarakat madani dari ketiga tokoh tersebut mempunyai perbedaan pandangan dalam kaitan hubungan antara masyarakat madani dengan negara. Para muslim modernis yang pada masa orde baru lebih dekat dengan kekuasaan terlihat lebih bersikap kompromis dan akomodatif dengan kekuasaan negara, sedangkan kelompok muslim tradisonalis yang lebih dekat dengan aras akar rumput mengkonsepsikan

25

A. Ubaidillah dkk, Pendidikan Kewargaan, Demokrasi Ham dan Masyarakat Madani Jakarta : IAIN Jakarta. 2000, hlm. 140

civil society sebagai kekuatan yang mempunyai daya kontrol terhadap

kekuasaan negara.

Nurcholish Madjid mengkonsepsikan masyarakat madani dengan mengacu pada kerangka pengalaman historis umat Islam yakni masyarakat madinah pada masa Rosulullah. Tak lama setelah menetap di Madinah nabi bersama semua unsur penduduk madinah secara konkret meletakkan dasar-dasar masyarakat madani, dengan menggariskan ketentuan hidup bersama dalam suatu dokumen yang dikenal dengan piagam madinah (mitsaq al-madinah). Dalam dokumen itulah umat manusia untuk pertama kalinya diperkenalkan, antara lain kepada wawasan kebebasan terutama di bidang agama dan ekonomi serta tanggung jawab sosial dan politik khususnya pertahanan secara bersama.26

Menurut Madjid, masyarakat madani warisan Nabi antara lain bercirikan egalitarianisme, penghargaan kepada orang berdasarkan prestasi (bukan prestise seperti keturunan, kesukuan, ras, dan lain-lain), keterbukaan partisipasi seluruh anggota masyarakat, dan penentuan kepemimpinan melalui pemilihan bukan berdasarkan keturunan. 27

Sedangkan menurut Dawam, Keberadaan masyarakat madani tidak bisa dilepaskan dari satu dan lain bentuk kerangka otoritas antar lain negara dalam pengertian modern. Mengacu pada Wuthnow (1989) bahkan ada tiga kerangka kelembagaan dalam masyarakat madani, pertama sektor

26

Nurcholish Madjid, Menuju Masyarakat Madani. Dalam Jika Rakyat Berkuasa; Upaya

Membangun Masyarakat Madani Dalam Kultur Feodal, Bandung : Pustaka Hidayah, hlm. 322

27

negara, kedua sektor pasar dan ketiga sektor voluntir yang masing masing mempunyai ciri-ciri tersendiri.28

Esensi sektor negara adalah pemegang monopoli pemaksaan atau kekerasan, esensi sektor pasar adalah orientasi mencari laba, sedangkan esensi sektor voluntir adalah kesukarelaan yang tidak memaksa dan tidak mencari keuntungan. Esensi kelembagaan masyarakat madani adalah mekanisme pasar yang berorientasi pada laba disatu pihak dan kesukarelaan dilain pihak. Dua faktor inilah yang menyebabkan masyarakat madani mempunyai potensi untuk mandiri (self -reliance), mampu berkembang sendiri generating), dan swadaya

(self-supporting), sebagai ciri-ciri yang disebut oleh Tocqueville.29

Muhammad AS Hikam menjelaskan bahwa keberadaan civil

society yang kuat dan mandiri merupakan salah satu landasan pokok bagi

ditegakkannya sistem politik yang demokratik. Civil society disini didefinisikan sebagai wilayah kehidupan sosial yang terorganisir dengan ciri-ciri kesukarelaan, keswadayaan, keswasembadaan, dan kemandirian berhadapan dengan negara, dengan tumbuh dan berkembangnya civil society yang kuat dan mandiri, maka dimungkinkan terwujudnya

28

M. Dawam Rahardjo, Negara Dan Strategi Pemberdayaan Lembaga Swadaya

Masyarakat: Menuju Masyarakat Madani. Dalam Jika Rakyat Berkuasa; Upaya Membangun Masyarakat Madani Dalam Kultur Feodal, Bandung : Pustaka Hidayah, hlm. 307

29

kemampuan mengimbangi dua kekuatan yang cenderung intervensionis yaitu negara dan pasar.30

Namun demikian menurut Hikam bahwa dalam strategi penguatan

civil society ini, negara tidak langsung dilihat sebagi lawan, sebagaimana

pada pengalaman negara-negara totaliter, sebab terdapat pula elemen-elemen negara yang memiliki kaitan erat dengan pertumbuhan civil society yang mandiri, pranata-pranata hukum misalnya masih merupakan ruang publik yang yang perlu didukung meskipun disana dominasi negara cukup besar. Demikian pula gerakan-gerakan kultural dan advokasi dalam masyarakat lebih diarahkan pada penciptaan secara gradual dan evolutif suatu masyarakat politik yang semakin dewasa,sehingga mampu menjadi penyeimbang dan kontrol bagi kecenderungan-kecenderungan eksesif negara31

Untuk menganalisis studi ini penulis lebih banyak menggunakan kerangka acuan dari pandangan M. AS Hikam, yang lebih menekankan aspek kemandirian masyarakat sebagai penguatan civil society. Dalam konteks organisasi KAMMI, yaitu dengan melihat relevansi peran-peran gerakan yang dimainkan oleh organisasi KAMMI Daerah Yogyakarta serta kiprahnya dalam masyarakat sebagai daya dukung dalam upaya perwujudan masyarakat madani yang ada di Indonesia.

30

Muhammad AS Hikam, Reformasi Dan Pemberdayaan Civil Society, Dalam Jika

Rakyat Berkuasa; Upaya Membangun Masyarakat Madani Dalam Kultur Feodal, Bandung :

Pustaka Hidayah, hlm. 288

31

F. Metode Penelitian a. Jenis Penelitian

Penelitian pada penulisan skripsi ini adalah penelitian lapangan (field reseach) yang diperkuat dengan tinjauan pustaka dalam artian peneliti terjun langsung ke lapangan dalam mengumpulkan data dan mengamati obyek penelitian secara langsung. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, Bogdan dan Taylor mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu tersebut secara holistik (utuh), jadi tidak boleh mengisolasi individu atau organisasi ke dalam hipotesis, tetapi memandangnya sebagai bagian dalam suatu keutuhan.32

b. Subyek dan Lokasi Penelitian

Subyek penelitian adalah subyek yang dituju oleh peneliti dan menjadi pusat perhatian atau sasaran peneliti.33 Dalam konteks penelitian ini yang menjadi sasaran peneliti adalah kader atau anggota organisasi KAMMI, meliputi anggota yang ada di komisariat atau tingkatan kampus dan Pengurus KAMMI Daerah Istimewa Yogyakarta. Adapun yang menjadi lokasi penelitian ini adalah KAMMI Daerah Yogyakarta yang membawahi beberapa komisariat di wilayah Yogyakarta.

32

Lexy J. Moleong, Metodologi penelitian kualitatif, (Bandung :PT Remaja Rosdakarya).1995, hlm. 3

33

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta : PT Rineka Cipta). 2002. hlm. 122

c. Pendekatan

Pada penelitian ini pendekatan yang digunakan adalah pendekatan sosiologis (sosiologi agama). Menurut Keith A. Robert obyek penelitian dengan menggunakan pendekatan sosiologi agama memfokuskan pada (1) kelompok-kelompok dan lembaga keagamaan; (2) perilaku individu dalam kelompok tersebut; (3) konflik antar kelompok 34

Kajian tentang perilaku meliputi (1) perilaku individu dalam hubungannya dengan keyakinan yang dianut seperti pengalaman keagamaan; (2) perilaku individu dalam hubungannya dengan kelompok; (3) perilaku individu dalam hubungannya dengan pemimpin; (4) perilaku kelompok/ jamaah dalam hubungannya dengan sistem simbol/ doktrin keagamaan tertentu; (5) perilaku kelompok dalam hubungannya dengan pemimpin; (6) stratifikasi sosial; (7) perilaku pemimpin dalam hubungannya dengan doktrin keagamaan; (8) perilaku elit agama dalam hibungannya dengan stratifikasi sosial 35.

Dalam konteks penelitian ini pendekatan perilaku yang lebih sesuai adalah pendekatan perilaku kelompok atau perilaku kolektif dalam hubungannya dengan sistem doktrin keagamaan. Jadi bentuk perilaku kolektif dilihat sebagai transformasi dari doktrin keagamaan yang dipahami oleh para aktivis organisasi KAMMI dan diterjemahkan melalui pola gerak dan pola perilaku yang khas.

34

Imam Suprayogo., Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial Agama, Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2003, hlm. 61

35

d. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data yang akan dilakukan dalam penelitian ini meliputi tehnik observasi, wawancara dan dokumentasi

1. Observasi (pengamatan)

Sebagai metode ilmiah observasi biasa diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan dengan sistematik fenomena-fenomena yang diselidiki.36 Pengamatan dalam hal ini merupakan bagian penting dalam proses pengumpulan data terutama menjadi pendukung utuk meningkatkan kepekaan dalam tehnik wawancara dalam hal ini pengamatan sekaligus menjadi cara untuk melakukan cheking silang (crooscheck) hasil wawancara.37 Pengamatan atau observasi yang akan dilakukan meliputi pengamatan murni pada organisasi KAMMI selain itu pengamatan terlibat juga akan dilakukan misalnya mengikuti kegiatan yang dilaksanakan KAMMI, jika hal tersebut diperlukan. 2. Wawancara (Interview)

Wawancara merupakan metode pengumpulan data dengan jalan tanya jawab antara dua pihak. Adapun tujuan wawancra seperti ditegaskan oleh Lincoln dan Guba antara lain: mengkonstruksi mengenai orang, kejadian, kegiatan, organisasi, perasaan, moivasi, tuntutan, kepedulian, dan lain-lain.38 Dalam penelitian ini, wawancara yang akan dilakukan meliputi dua kategori antara lain wawancara

36

Sutrisno Hadi, Metodologi Research (Jilid 2). Yogyakarta : Andi. 2002, hlm. 136

37

Lihat, Moh. Soehadha, Pengantar Metode Penelitian Sosial Kualitatif, Buku Daras, Yogyakarta: Tidak Diterbitkan, 2004 hlm. 56

38

umum dan wawancara mendalam. Wawancara umum dilakukan untuk menggali data yang bersifat umum untuk kepentingan analisis yang hanya bersifat deskriptif semata.39 Sementara itu wawancara mendalam (indepth interview) dilakukan untuk menggali data yang berasal dari seorang informan kunci (key informan) menyangkut data pengalaman individu atau hal-hal khusus dan sangat spesifik.40

Wawancara umum akan dilakukan dalam mewawancarai kader atau anggota KAMMI, sedangkan wawancara mendalam akan dilakukan untuk mengajukan pertanyaan pada tokoh kunci dalam hal ini meliputi pengurus dan tokoh-tokoh senior KAMMI.

3. Dokumentasi

Dokumentasi merupakan salah satu cara pengumpulan data dengan menelusuri dokumen-dokumen yang bersifat tertulis. Dalam metode dokumentasi, peneliti menyelidiki benda-benda tertulis seperti buku-buku, majalah, dokumen, peraturan-peraturan, notulen rapat, catatan harian, dan lain sebagainya.41 Metode dokumentasi menjadi aspek yang penting dalam penelitian ini karena pendekatan historis tidak mungkin dilakukan tanpa menyelidiki data-data tertulis tentang organisasi KAMMI yang meliputi sejarah serta arsip-arsip organisasi lainnya yang akan mendukung pengumpulan data dalam penelitian ini.

39

Moh. Soehadha, Pengantar Metode Penelitian Sosial, hlm, 50

40

Moh. Soehadha, Pengantar Metode Penelitian Sosial, hlm, 50

41

e. Metode Analisis Data

Menurut Miles dan Huberman (1994:429) batasan dalam proses analisis data mencakup tiga subproses, yaitu reduksi data, display data, dan verivikasi data. Dalam penelitian kalitatif, proses analisis data itu pada hakikatnya sudah dipersiapkan pada saat sebelum dilakukan pengumpulan data, yaitu sejak peneliti melakukan perencanaan dan membuat desain penelitian, dan berlangsung pada saat pengumpulan data dan setelah secara final semua proses pengumpulan data dilakukan.42 Analisis data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analisis atau analisis deskriptif, yaitu teknik analisis data yang dilakukan dalam rangka mencapai pemahaman terhadap sebuah fokus kajian yang kompleks, dengan cara memisahkan tiap-tiap bagian dari keseluruhan fokus yang dikaji atau memotong tiap-tiap adegan atau proses dari kejadian sosial atau kebudayaan yag diteliti.43

Analisis deskriptif dalam penelitian ini dimaksudkan untuk menggambarkan secara detail dan utuh tentang gerakan yang dilakukan organisasi KAMMI Daerah Istimewa Yogyakarta.

42

Moh. Soehadha, Pengantar Metode Penelitian Sosial, hlm. 61

43

Dokumen terkait