• Tidak ada hasil yang ditemukan

Untuk menguji kemurnian hasil penelitian ini, terlebih dahulu dilakukan kajian pustaka untuk menguatkan bahwa penelitian ini belum pernah diteliti sebelumnya, yakni dengan memaparkan secara singkat mengenai beberapa karya tulis ilmiah sebelumnya yang fokus pada pembahasan talak. Oleh karena itu penulis akan memaparkan beberapa analisis terhadap beberapa karya tulis ilmiah terdahulu yang fokus pada pembahasan talak.

Skripsi dengan judul Nafkah Masa Tunggu istri yang ditalak Bai’in Kubra> Dalam Keadaan Hamil Menurut Kompilasi Hukum

20

Islam yang disusun oleh Rizal Zulkarnain33 Dalam Skripsi Tersebut disebutkan bahwa seorang istri yang telah ditalak dengan talak ba’in, baik ba’in sughra> maupun ba’in kubra>, maka bekas istri tersebut hanya akan mendapatkan nafkah selama masa ‘‘iddahnya dari bekas suaminya selagi mantan istri tersebut tidak melakukan nusyuz dan tidak dalam keadaan tidak hamil.34

Adapun skripsi selain yang telah dipaparkan oleh peneliti adalah skripsi dengan judul Praktik Nikah Pasca Talak Ba’in di Bengkulu Tengah yang disusun oleh Reka Anita.35 Dalam Skripsi ini menjelaskan bahwa subyek yang diteliti melakukan praktek nikah pasca talak ba’in yang tidak sesuai dengan prosedur hukum agama dan undang-undang yang berlaku di negara Indonesia dikarenakan kurangnya pengetahuan dari masyarakat setempat. Ini disebabkan karena kurangnya sosialisasi dari pemerintah setempat terhadap masyarakat setempat tentang hukum pernikahan yang berlaku. Dampak dalam bidang religius, praktek nikah pasca talak ba’in di Desa Linggar Galing Kecamatan Pondok Kubang Kabupaten Bengkulu Tengah merupakan perbuatan yang tidak sesuai dengan hukum agama dan hukum yang berlaku di Indonesia.

33 Rizal Zulkarnain, Nafkah Masa Tunggu istri yang ditalak Bai’in Kubra> Dalam Keadaan Hamil Menurut Kompilasi Hukum Islam, Skripsi Hukum, Perpustakaan Universitas Jember, 2014

34 Psl. 149 (b), 152 KHI Indonesia

35 Reka Anita, Praktek Nikah Pasca Talak Ba’in di Bengkulu Tengah, Skripsi Syariah, Perpustakaan STAIN Salatiga, 2012

21 Telaah selanjutnya peneliti melihat pada sebuah skripsi yang disusun oleh Aliyatul Hikmah yang berjudul Analisis Pendapat Imam asy-Syâfi'i tentang Hak Waris Istri yang Dithalâq Bain oleh Suami yang sedang Sakit Parah.36 Dalam skripsi ini dijelaskan mengenai orang sakit yang menjatuhkan talak ba’in kemudian meninggal karena penyakitnya, dalam hal ini Imam asy-Syâfi'i dan fuqaha lainnya berpendapat bahwa istrinya itu tidak menerima warisan, sedaangkan Imam Malik dan segolongan fuqaha lainnya berpendapat bahwa istri yang telah diceraikan tersebut tetap mendapatkan warisan. Fuqaha yang menetapkan istri menerima warisan terbagi menjadi tiga golongan. Golongan pertama (Imam Abu Hanifah dan at-Tauri) berpendapat bahwa istri menerima warisan selama ia masih berada dalam masa ‘iddah (ketika suaminya meninggal). Golongan kedua (Imam Ahmad dan Ibnu Abi Laila). Berpendapat bahwa istri mendapat warisan selama ia belum kawin lagi. Golongan ketiga berpendapat bahwa istri menerima warisan tanpa dibedakan apakah ia masih berada dalam masa ‘iddah atau tidak, dan apakah ia sudah kawin lagi atau belum. Ini adalah pendapat Imam Malik dan al-Laits.

Selanjutnya adalah jurnal yang ditulis oleh Moh. Afandi yang berjudul Hukum Perceraian di Indonesia: Studi Komparatif

36 Aliyatul Hikmah, Analisis Pendapat Imam asy-Sya>fi’i tentang Hak Waris Istri yang Ditalak Ba’in oleh Suami yang Sedang Sakit Parah, Skripsi Syari’ah, Perpustakaan IAIN Walisongo 2005

22

antara Fikih Konvensional, UU Kontemporer di Indonesia dan Negara-negara Muslim Perspektif HAM Dan CEDAW.37 Disebutkan dalam jurnal ini bahwa Terdapat dua bentuk perceraian yang biasa dilakukan, yang terjadi atas kesepakatan bersama antara suami dan istri, yang terkenal di antara keduanya adalah khulu’, yaitu pembatalan perkawinan oleh suami sebagai imbalan atas pengembalian sejumlah uang dari pihak istri. Bentuk kedua yang dalam beberapa maz\hab dianggap variasi dari bentuk pertama adalah mubara’ah, yaitu pembatalan perkawinan atas dasar persetujuan bersama untuk membagi harta yang diperoleh bersama selama masa pekawinan.

Tetapi bentuk perceraian yang paling sering dilakukan adalah talak, yaitu perceraian istri secara sepihak oleh suami, seperti yang telah kita maklumi bersama, bahwa dalam keadaan apa pun tidak memberikan batasan-batasan, bahkan maz\hab hanafi mengatakan bahwa ucapan talak yang dilakukan dalam keadaan mabuk pun tetap sah dan mempunyai kekuatan hukum. Demikian pula ucapan talak sebagai gurauan, sumpah atau sekedar menakut-nakuti.

Dalam jurnal ini pun tidak membahas terkait hak istri yang tertalak ba’in kubra> dan tidak dalam keadaan hamil. Namun

37 Moh. Afandi, HUKUM PERCERAIAN DI INDONESIA: Studi Komparatif antara Fikih Konvensional, UU Kontemporer di Indonesia dan Negara-negara Muslim Perspektif HAM Dan CEDAW,Jurnal Ilmiah al-Ahwal, Vol. 7, No. 2, 2014 M, (Madura : STAIN Pamekasan)

23 penelitian dalam jurnal ini memberi kontribusi yang cukup urgen terhadap penelitian yang sedang akan dibahas terkait hak istri yang tertalak ba’in kubra> dan tidak dalam keadaan hamil. Hal ini dikarenakan analisa penulis jurnal tersebut menjelaskan tentang hukum perceraian yang terjadi di Indonesia, dimana pendapat para intelektual Islam disebutkan didalamnya, sehingga dapat memberikan kontribusi penting dalam penulisan karya ilmiah ini.

Dari sedikit uraian-uraian di atas menunjukkan bahwa penelitian-penelitian tersebut berbeda dengan penelitian ini. Walaupun demikian, ada beberapa penelitian terdahulu yang tampak memberi kontribusi kajian terhadap penelitian ini menurut faham penulis. Sehingga penelitian ini selain merupakan penelitian yang belum pernah dikaji secara spesifik, penelitian ini juga merupakan penelitian lanjutan dari penelitian-penelitian terdahulu yang berfokus pada kajian tentang hak istri yang tertalak ba’inkubra>. Jika Penelitian sebelumnya telah membahas tentang permasalahan nafkah masa tunggu istri yang tertalak ba’in kubra> dalam keadaan hamil, maka penulis melakukan penelitian yang berbeda dengan penelitian sebelumnya, namun masih menyangkut tentang permasalahan apa yang didapat seorang istri yang tertalak ba’in kubra>, yakni hak istri yang tertalak ba’in kubra> dalam keadaan tidak hamil menurut perspektif Imam asy-Sya>fi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal.

24

Dokumen terkait