• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

B. Kajian Unsur Intrinsik Novel Jamangilak Tak Pernah Menangis

4. Tema

Tema yang terkandung dalam Novel Jamangilak Tak Pernah Menangis adalah perjuangan yang tak kenal menyerah dari seorang perempuan bernama Molek yang berjuang menyelamatkan lingkungan hidupnya yang dirusak oleh limbah pabrik bubur kayu. Usaha yang dilakukan Molek adalah menuntut pemerintah melakukan pengerukan Sungai yang mendangkal, dan penutupan pabrik Rayon i Toba. Namun usaha Molek menuai kekerasan dari pemerintah. Kekerasan yang diterima Molek tidak membuat dia menyerah. Berikut bukti pernyataan di atas dalam kutipan:

185) “Kita ingatkan pemerintah. Tak pernah ada kata terlambat untuk menyelamatkan sungai itu. Jangan biarkan pemerintah hanya memungut pajak. Ke mana uang pajak itu dibelanjakan pemerintah kalau bukan untuk memelihara sungai? Kalau sungai itu jadi kering, timpas, dari mana kita dapat uang? Apa pemerintah juga mau membiarkan dirinya mati? Pemerintah macam apa itu…?” Molek meningkahi, (Aleida, 2004:19).

186) “Saya datang kesini tidak untuk mengemis barang sebutir pasirpun. Saya mau mempertanyakan kemana saja pajak puluhan tahun yang kami bayar. Saya mau bertemu dengan Bupati.” (Aleida, 2004:33).

187) “Berpuluh tahun suami saya dan para pedangan di kota ini, kecil maupun besar, menyerahkan pajak kepada pemerintah, ke mana saja uang itu? Mengapa tidak dipergunakan untuk mengeruk sungai? Kalau kota ini mati dan orang-orang semua pergi, apakah Bupati juga mau terbenam? Kan tidak?” (Aleida, 2004:33).

Usaha molek menyelamatkan sungai dengan cara menggugat pemerintah, tidak ditanggapi. Molek dan anaknya Hurlang kemudian menyiapkan bentuk perlawanan yang berbeda. Mereka menghimpun aspirasi rakyat dalam rapat besar di Lapangan Padang Bundar. Kutipan berikut merupakan bukti dari pernyataan di atas.

188) Manusia yang menyemut, tumpah-ruah, itulah hasil kerja Molek dan anaknya selama berminggu-minggu. Mengumpulkan penduduk untuk mendukung cita-citanya menyelamatkan kota yang sedang terancam oleh sungai yang mendangkal (Aleida, 2004:84).

Setelah menyelenggarakan rapat besar yang dihadiri oleh manusia yang memenuhi Lapangan Padang Bundar, Molek diinterogasi, Hurlang ditahan selama delapan hari dan dicambuki. Berikut ini bukti dari pernyataan di atas.

189) Molek tak kuat mempertahankan kesabaran menghadapi sikap dan kata-kata kasar yang dilontarkan interogator yang duduk ongkang-ongkang di depannya. Melonjor. Mengepulkan asap rokok sesukanya (Aleida 2004:106).

190) Seminggu setelah rapat raksasa yang disusul interogasi di markas tentara itu merupakan hari-hari yang melelahkan, membuat dengkul Molek seperti terserang semutan. Juga, hari-hari yang

mencemaskan, terutama karena Hurlang masih juga mendekam dalam tahanan (Aleida 2004:114).

191) Setelah mengamati balur-balur luka yang memanjang dari bahu, terus merembet ke bawah menjangkau bokong, menjentang serupa tali penambat perahu yang sudah lapuk sebesar ibu jari kaki di belakang anaknya itu, Molek menahan duka dan bertanya dalam desah, “Mereka lumatkan punggungmu dengan tali manila?!” (Aleida 2004:117).

Perlakuan kasar aparat keamanan karena rapat besar yang diselenggarakan Molek di Padang Bundar, tidak membuat Molek berniat menghentikan perlawanan. Molek menerima undangan dari Porsea untuk membantu perjuangan masyarakat Porsea menuntut agar pabrik yang merusak lingkungan itu ditutup. Pernyataan di atas dibuktikan dalam kutipan berikut.

192) Sesuai dengan kesepakatan yang dicapai kemarin, penduduk yang berhimpun dalam kelompok perempuan dan laki-laki, dari seluruh desa yang terhampar di daratan Porsea, berjalan kaki menuju Simpang Sigura-gura untuk kesekian kalinya berdemonstrasi menuntut Rayon i Toba supaya segera ditutup. Mereka bergerak dari Lumban Huala, Lumba Lobu, Naga Mosik, Sihiong, Silamosik, Siruar, Sosor Dolok, dan dua puluh desa lainnya yang selama dua puluh tahun belakangan ini sengsara melihat pucuk padi, kelapa dan singkong mereka memerah dan layu, serta kerbau, babi dan ikan emas mereka mati mendadak seperti disantet setan (Aleida, 2004: 211).

193) Molek memang sudah pernah menyelenggarakan pertemuan dengan dihadiri ribuan manusia. Tetapi inilah untuk pertama kalinya dia berjalan paling depan mengiringi teman-temannya dalam kesepakatan untuk menyampaikan protes ke kantor pemerintah dan di negeri orang, jauh dari kotanya (Aleida, 2004:227).

Namun usaha Molek menuai kekerasan dan hukuman penjara dari pemerintah. Berikut bukti dalam bentuk kutipan:

194) Rahma Boru Saragi alias Molek, duduk di kursi terdakwa. Pengunjung yang bersimpati memadati ruang sidang, sampai-sampai melimpah ke pekarangan. Molek dituduh menghasut penduduk untuk menyerang dan merusak kantor kecamatan dan dijatuhi hukuman penjara dua tahun (Aleida, 2004:234).

195) Seorang terdakwa lagi duduk tak jauh dari sebelah Molek, adalah anaknya sendiri, Hurlang Jamangilak, yang dituduh berada di belakang kerusuhan, dijatuhi hukuman empat tahun (Aleida, 2004:234).

Rayon i Toba adalah sebuah pabrik pulp atau bubuk kayu, yang berdiri di hulu sungai dan membuang limbah ke sungai yang menyebabkan sungai tercemar dan mendangkal dari hulu ke Muara. Kutipan yang mendukung pernyataan di atas adalah sebagai berikut:

196) Selama dua puluh tahun keberadaannya, selama itu pula Rayon i Toba ditantang supaya tutup, tetapi dia tetap saja berdiri mengepulkan gas dan mencurahkan limbah yang mencemaskan. Cuma penduduk yang selalu dikalahkan, terbunuh, dihukum, atau diusir. Dan, hanya empat hari setelah demonstrasi yang berakhir rusuh di depan kantor kecamatan, sebuah pengadilan digelar dengan tergesa-gesa di Tarutung (Aleida, 2004:234).

197) Selama dua tahun, sebatang sungai yang teraniaya harus menunda perubahan nasib yang telah diserahkannya kepada seorang perempuan yang bersumpah akan berbuat sesuatu untuk menyelamatkannya. Selama itu pula, ribuan orang yang bermukim di kedua tepi sungai itu harus menanti pulangnya orang yang telah menggerakkan dan meyakinkan mereka bahwa kota yang terancam tenggelam itu akan bisa ditolong dengan kehendak memperjuangkannya dalam niat yang padu, yang muncul dalam pikiran dan hati seluruh penduduk (Aleida, 2004:238-239).

C. Relasi Antara Manusia dengan Lingkungan Hidup: Kajian Ekokritik

Dokumen terkait