• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perlakuan A Suhu (ºC) 24 27-28 28-29.5 25-30 pH 6 6 6 6.5-8.5 DO (mg/l) 1.60 5.28 4.053 >5 Nitrat (ppm) 0.024 1.098 2.059 20 Amoniak (ppm) 0.006 0.017 0.029 0.2 TSS (ppm) 0.032 0.146 0.231 <50 Perlakuan B Suhu (ºC) 24 27-28 28-30 25-30 pH 6 6 6 6.5-8.5 DO (mg.l) 1.60 5.76 4.373 ≥5 Nitrat (ppm) 0.024 0.977 2.232 20 Amoniak (ppm) 0.006 0.019 0.031 0.2 TSS (ppm) 0.032 0.168 0.292 <50 4.2 Pembahasan

Hasil pengukuran kualitas air perlakuan A dan B menunujukkan angka kisaran suhu yang baik dalam pemeliharaan ikan mas yaitu berkisar 24-30ºC

(Tabel 4.1). Suhu merupakan parameter yang dapat mempengaruhi

kelulushidupan, pertumbuhan dan juga kesehatan ikan. Menurut Mukaminan (2011) kisaran suhu optimum untuk kehidupan ikan yaitu berkisar antara 25-32ºC,

namun hasil penelitian oleh Ridwantara, et.al (2019) menunjukkan bahwa ikan mas mampu beradaptasi dengan kisaran suhu 20ºC dan suhu 24 ºC dimana suhu ini merupakan angka dibawah suhu optimal untuk pertumbuhan ikan mas sedangkan suhu dengan 29ºC merupakan suhu yang ideal untuk pertumbuhan ikan mas. Ridwantara, et.al (2019) juga melanjutkan bahwa penurunan suhu sebesar 1ºC per hari tidak akan membuat ikan mas menjadi stress karena perubahan tidak terjadi secara drastis.

Derajat keasaman mempunyai pengaruh yang besar pada organisme perairan terutama jika pH terlalu rendah taupun terlalu tinggi. Kisaran pH yang dihasilkan selama penelitian baik pada perlakuan A dan perlakuan B memperoleh nilai pH 6. Menurut Sabrina, et.al (2018) nilai pH yang tinggi (>9) akan mengakibatkan pertumbuhan ikan menjadi terhambat sedangkan pH yang rendah (<4,5 -6,5) akan menjadi racun bagi ikan, mengalami pertumbuhan terhambat, dan ikan akan menjadi sensitive dengan bakteri dan parasite. Hal serupa dikemukakan oleh Kordi dan Tanjung (2007) bahwa dalam budidaya pada pH 5 masih dapat ditolerir pada ikan, tetapi menghambat pertumbuhan. Effendi (2003) juga menambahkan semakin meningkatnya pH dan suhu perairan menyebabkan persentase ammonia bebas terhadap ammonia total semakin meningkat. Nilai pH pada air tergolong angka yang masih layak bagi ikan mas, hal ini diduga karena kadar amoniak rendah dan oksigen yang melimpah membuat pH air menjadi stabil. Kadar amoniak rendah dikarenakan pakan yang diberikan dicerna baik oleh ikan mas sebagai sumber energi dan untuk proses metabolisme di dalam tubuh ikan.

20

Kandungan oksigen terlarut yang tersaji pada tabel 4.1 menunjukkan hasil yang layak untuk kehidupan ikan mas. DO tertinggi diperoleh oleh perlakuan A yaitu mencapai 4.053 ppm dibandingkan dengan perlakuan B yaitu 4.373 ppm. Menurut Saptarini (2010) kandungan oksigen terlarut yang sesuai untuk pembudidaya ikan yaitu berkisar antar 5 mg/l, dan kisaran DO yang dapat membuat ikan menjadi stress berkisar antara 3-4 mg/l. Hasil pengukuran oksigen terlarut tergolong stabil dikarenakan adanya pompa air dengan system resirkulasi yang baik sehingga kebutuhan oksigen terlarut tetap terjaga. Kestabilan kandungan oksigen juga dikarenakan suhu pada perairan yang masih stabil karena pakan yang diberikan mampu dicerna baik oleh ikan dan tidak banyak yang terbuang dan menjadi toksik.

Nitrat merupakan salah satu zat yang menunjang kesuburan dan menjadi faktor penentu kualitas suatu perairan. Oleh karena itu jika konsentrasi nitrat melebihi baku mutu yang telah ditentukan maka dipastikan akan terjadi menurunnya kualitas perairan tersebut dan akan berdampak negative pada biota air. Kandungan nitrat tertinggi diperoleh pada perlakuan pakan daun gamal terfermentasi MOL bonggol pisang (perlakuan B) yaitu sebanyak 2.232 mg/l, sedangkan pada perlakuan pakan daun gamal tanpa fermentasi MOL bonggol pisang (perlakuan A) menghasilkan nitrat sebanyak 2.059 mg/l. Nilai nitrat yang diperoleh masih dalam kisaran yang layak bagi ikan, menurut Boham (2004) nitrat akan mengakibatkan kematian jika lebih dari 50 mg/l dan akan nitrat akan menjadi racun jika lebih dari 100 mg/l. Angka yang diperoleh pada pengukuran nitrat baik perlakuan A dan B masing-masing memiliki angka yang masih ditolerir

oleh kehidupan ikan mas, hal ini diduga karena nilai angka pada pengukuran amoniak yang masih stabil sehingga nilai nitrat rendah dan kualitas air tetap terjaga.

Menurut Sumeru dan Ana (2008) sumber utama ammonia dalam air adalah hasil perombakan bahan organik, sumber bahan organik yang terbesar dalam budidaya insentif adalah pakan. Sebagian pakan dimanfaatkan oleh ikan untuk pertumbuhan, tetapi sebagian lagi akan diekskresikan dalam bentuk kotoran padat dan amoniak terlarut (NH3) dalam air. Hasil pengukuran amoniak yang terbaik adalah pada perlakuan A mencapai 0.0029 mg/l dibandingkan dengan perlakuan B yaitu 0.0031 mg/l (Tabel 4.1). Amoniak merupakan hasil akhir dari proses metabolisme ikan, semakin tinggi nilai ammoniak berarti semakin banyak sisa pakan yang tidak tercerna dan akan menjadi racun bagi ikan. Menurut Effendie (2000) kandungan amoniak pada perairan tawar tidak melebihi 0,2 mgl/l, ini berarti kadar amnoniak pada penelitian ini masih dalam keadaan yang baik. Jumlah amoniak yang diekskresikan oleh ikan bervariasi tergantung pada kandungan protein yang terdapat pada pakan yang diberikan. Hasil hidrolisis protein juga menunjukkan bahwa perlakuan A memiliki kadar protein lebih tinggi dibanding perlakuan B. Hal ini sesuai dengan pernyataan Tacon (1995) bahwa tingkat protein optimum dalam pakan untuk pertumbuhan ikan berkisar antara 25 – 50 %.

TSS atau Total Suspended Solid merupakan salah satu faktor penting yang sangat berguna dalam menganalisis perairan dan buangan domestik yang tercemar serta dapat digunakan untuk mengevaluasi mutu air, maupun menentukan efisiensi

22

unit pengolahan. Banyaknya TSS yang berada dalam perairan dapat menurunkan kesediaan oksigen terlarut. Jika hal itu terjadi dan berlangsung lama akan menyebabkan kematian pada ikan. Nilai TSS yang diperoleh pada perlakuan A mencapai 0,231 mg/l angka yang lebih baik dibandingkan dengan perlakuan B yaitu sebanyak 0.292 mg/l (tabel 4.1). Nilai TSS pada penelitian merupakan nilai yang layak bagi ikan mas, sesuai dengan pernyataan Agus, et.al (2016) menyatakan bahwa baku mutu kandungan TSS maksimal 50 mg/l. Menurut Effendi (2003) TSS dalam jumlah yang berlebihan dapat menyebabkan penyumbatan filament insang ikan atau selaput pernapasan lainnya, sehingga asupan oksigen oleh ikan menjadi berkurang karena terlapisi oleh padatan.

Pengukuran kualitas air (suhu, pH, oksigen terlarut, amoniak, nitrat dan TSS) ikan mas pada perlakuan A dengan perlakuan B menghasilkan nilai yang masih baik bagi budidaya ikan mas. Namun dari data yang dapat dilihat pada tabel 4.1 pengukuran kualitas pada perlakuan A (pakan tepung daun gamal tanpa fermentasi MOL) lebih layak dibandingkan dengan perlakuan B (pakan tepung daun gamal terfermentasi MOL). Hal ini diduga karena kandungan nutrisi pakan tepung daun gamal tanpa fermentasi MOL bonggol pisang (perlakuan A) yang lebih sesuai dengan kebutuhan ikan mas terlihat jelas pada hasil pengukuran kadar amoniak dan TSS perlakuan A yang lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan B. Rendahnya nilai amoniak diduga karena pakan yang diberikan lebih banyak masuk ke dalam tubuh untuk keperluan proses metabolisme daripada yang terbuang.

Hasil pengukuran kualitas air sejalan dengan hasil hidrolisis protein oleh Wandi (2020) yang menunjukkan bahwa perlakuan pakan dengan penambahan tepung daun gamal tanpa terfermentasi memiliki kadar protein mencapai 21.67 %, lemak 24.5 % dan karbohidrat 2.8% dimana menurut Frikardo (2009) kebutuhan protein ikan umumnya sekitar 20%-60% dan baiknya sekitar 30-36%. Sedangkan menurut SNI (2006) kandungan pakan buatan bagi ikan mas yaitu protein sebanyak 25%-30%, lemak sebanyak 5%, dan karbohidrat sebanyak 28%.

Hasil yang diperoleh pada sintasan atau survival rate oleh Julianti (2020) juga menunjukkan hal yang sama bahwa penambahan tepung daun gamal terfermentasi mikroorganisme lokal (MOL) bonggol pisang pada pakan tidak memberikan pengaruh nyata (P>0.05) untuk semua perlakuan. Dan pada perlakuan pakan daun gamal tanpa fermentasi MOL bonggol pisang menghasilkan sintasan sebesar 94,44%, yang dimana menurut SNI (1999) standar sintasan untuk ikan mas minimal 80%. Tingginya sintasan diduga karena pakan yang digunakan sesuai dengan kebutuhan hidup ikan mas sehingga ikan mas mampu memanfaatkannya dengan baik.

24

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penggunaan pakan tepung daun gamal yang terfermentasi mikroorganisme lokal (MOL) bonggol pisang tidak berbeda dengan perlakuan pakan daun gamal tanpa fermentasi MOL bonggol pisang pada budidaya ikan mas (Cyprinus carpio).

5.2 Saran

Saran yang bisa diberikan pada penelitian ini, sebaiknya dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh penggunaan tepung daun gamal yang difermentasi mikroorganisme lokasl (MOL) bonggol pisang dengan dosis yang lebih tinggi atau dengan menggunakan metode fermentasi lainnya.

Dokumen terkait