• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dari seluruh rangkaian metodologi kajian ini, dihasilkan sejumlah

tentative solution. Tentative solution sesungguhnya masih merupakan sebuah hipotesa yang perlu diuji lebih lanjut kebenarannya. Tentative solution adalah hasil sementara dari seluruh proses (non-penalaran, penalaran, kontemplasi, dan

tafaqquh). Dengan dasar Al-Qur’an dan As-Sunnah yang dielaborasi dengan berbagai teori dan fakta empiris, maka tentative solution dari seluruh rangkaian espitemologi ekonomi Islam dalam persoalan APBN dan subsidi BBM adalah:

Pertama, kesalahan dari kebanyakan kita adalah membela paradigma. Paradigma yang merupakan ciptaan manusia kerap dijadikan parameter kebenaran. Padahal, jika kita renungkan, paradigma ekonomi ada yang berbenturan dengan nurani. Jika ini yang terjadi, seharusnya nuranilah yang dibela dan paradigma itu diperbaiki. Terkait dengan tudingan bahwa subsidi merupakan beban negara, seharusnya hal tersebut dibijaki secara cermat. Sesungguhnya, subsidi merupakan wujud tanggung jawab sosial negara pada warga negara. Jelas, negara memiliki tanggung jawab terbesar dalam menjamin pemenuhan kebutuhan dasar seluruh warganya.

Kedua, dalam ekonomi Islam, hukum asal subsidi adalah boleh. Namun, hukum tersebut bisa menjadi wajib jika masih ada warga negara yang membutuhkan. Dalam konteks ke-Indonesia-an, pemerintah kita sebenar berkewajiban untuk memberikan subsidi. Hal ini mengingat bahwa sebagian besar rakyat Indonesia masih membutuhkan uluran. Jika dinyatakan bahwa penerima manfaat dari subsidi BBM adalah orang kaya, maka seharusnya pemerintah membuat mekanisme tertentu agar orang kaya tidak menikmati yang bukan haknya dan orang miskin menikmati yang menjadi haknya. Dengan demikian, di tengah naiknya harga minyak mentah dunia saat ini, subsidi BBM tidak sekadar boleh, tetapi sudah wajib hukumnya, agar ketimpangan di masyarakat tidak semakin lebar.

Ketiga, ‘air, padang rumput, dan api’ merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling substansial, terlebih dalam kehidupan modern saat ini. Manusia berserikat dalam ketiganya. Pengamatan empirik menunjukkan, ketiganya menjadi pemicu konflik dan memiliki contagion effect paling signifikan dalam

mempengaruhi ekonomi masyarakat. Demi menjamin ketersediaan energi dalam jangka panjang, diharapkan pemerintah segera mempunyai kebijakan energi nasional yang terpadu yang mengikat semua pihak. Kegagalan sejumlah upaya diversifikasi energi di waktu lampau disebabkan tidak adanya konsistensi kebijakan energi dan tidak jelasnya format kebijakan harga BBM. Padahal, kalau program diversifikasi ini gagal, hal itu akan sangat membahayakan ketahanan ekonomi masyarakat dan ketahanan keamanan nasional dalam jangka panjang karena ketergantungan pada minyak impor akan terus meningkat.

Keempat, disparitas yang terlalu tinggi telah mendorong terjadinya penyelundupan BBM yang tidak hanya dilakukan oknum pejabat, tetapi juga petugas keamanan dan pengusaha. Untuk itu, yang dibutuhkan dalam hal ini adalah penegakan hukum dan bukan menyalahkan disparitas harga domestik dengan internasional.42

Kelima, penerapan pajak progresif untuk sektor yang sedang booming. Pajak

windfall profit dapat dikenai pada industri migas yang sekarang sedang menuai keuntungan melimpah untuk dialihkan sebagai subsidi masyarakat berpenghasilan rendah. Usulan radikal itu terbukti sukses dilaksanakan di Argentina. Untuk Indonesia, windfall profit dari hasil migas tidak perlu dibagi ke daerah, tetapi dapat digunakan untuk menutupi subsidi BBM.

Keenam, melakukan moratorium pembayaran utang LN atau memotong bunga obligor rekap atau memotong bunga utang. Dalam Islam, permasalahan utang memang perkara yang mubah. Tetapi jika utang tersebut mengandung unsur riba (bunga) dan membahayakan kemaslahatan negara dan masyarakat, maka Islam mengharamkan kebijakan untuk melakukan pinjaman.

Ketujuh, menasionalisasi aset-aset migas.43 Kesalahan utama pengelolaan migas kita adalah terjadinya penyimpangan dari State Business Management ke

Corporate Business Management. Negara kini menjadi korporatokrasi. Oleh karena itu, perlu diupayakan agar entitas negara dapat kembali menjadi pilar utama pengelola migas nasional. Perlu pula didesain mekanisme yang mengubah

42

Lihat catatan kaki 13.

43

Hal ini penting dilakukan karena begitu banyak pengambil kebijakan negeri ini yang mengira bahwa privatisasi menjadi kunci keberhasilan BUMN. Lihat catatan kaki 40.

sistem pengelolaan BBM, gas, batu bara, dan sumber energi lainnya kepada negara sebagai pemegang amanah dan kewajiban dari rakyat.

Kedelapan, masih banyak upaya lain yang bisa menjadi tentative solution

dalam mengatasi persoalan defisit anggaran dan subsidi BBM. Misalnya saja, memasukkan rekening non-budgeter ke dalam APBN secara resmi, memanfaatkan dana yang parkir dalam Sertifikat Bank Indonesia (SBI), mengurangi subsidi listrik pada kelompok residensial dengan daya tertentu, mengenakan harga progresif kepada konsumen yang membeli dalam volume tertentu, mewajibkan kendaraan dinas untuk menggunakan mesin maksimum 2.000 cc, memberi insentif bagi industri untuk penggunaan energi alternatif, dan masih banyak lagi.

BAB IV PENUTUP

Krisis keuangan negara terjadi salah satunya diakibatkan oleh kekhilafan perencanaan tujuan pembangunan yang terlalu mementingkan pembangunan ekonomi, bukan pada pembangunan manusia secara keseluruhan. Tujuan pembangunan ekonomi seharusnya tidak hanya ditumpukan pada pertumbuhan ekonomi saja, tetapi juga harus merespon asas pemerataan, kebersamaan, kekeluargaan, dan keadilan. Untuk itu, dibutuhkan aspek etik-religius yang membawa pesan-pesan moral yang mengedepankan penghormatan atas nama kemanusiaan.

Kini, Indonesia yang sudah berada dalam cengkeraman debt-trap dan

culture-trap sulit melepaskan diri dari hegemoni neoliberal. Liberalisasi, globalisasi, dan pasar-bebas yang merupakan wujud baru dari imperialisme baru telah menciptakan disempowerment dan impoverishment terhadap bangsa dan negara Indonesia. Yang terjadi saat ini adalah ‘pembangunan di Indonesia’ dan bukan ‘pembangunan Indonesia’. Pembangunan di Indonesia secara nyata bukan menggusur kemiskinan, tetapi justru menggusur orang miskin.

Epistemologi Islam menyempurnakan pengetahuan yang dicapai oleh indra dan akal manusia dengan wahyu yang merupakan kalamullah. Di tengah-tengah hegemoni pemikiran-pemikiran liberal dan konvensional lainnya yang banyak dianut pengambil kebijakan negeri, terdapat sejumlah kebijakan yang

sesungguhnya membawa maslahat namun justru dipandang secara konseptual sebagai sebuah distorsi. Kesalahan kebanyakan dari kita adalah membela paradigma pemikiran-pemikiran tersebut. Paradigma yang merupakan ciptaan manusia kerap dijadikan parameter kebenaran. Padahal, jika kita renungkan, paradigma tersebut ada yang berbenturan dengan nurani. Jika ini yang terjadi, seharusnya nuranilah yang dibela dan paradigma itu diperbaiki. Inilah esensi dari epistemologi ekonomi Islam yang menyertakan kalamullah sebagai pijakan berpikir dan berperilaku ekonomi.

Ekonomi Islam berpegang teguh bahwa negara memiliki tanggung jawab untuk menjamin pemenuhan kebutuhan dasar seluruh warganya. Oleh karena itu, subsidi menjadi kewajiban jika terdapat warga yang membutuhkan. Dalam konteks ini, pemerintah Indonesia sebenarnya memiliki tanggung jawab sosial untuk memberikan subsidi. Hal ini mengingat bahwa sebagian besar rakyat Indonesia masih membutuhkan intervensi pemerintah.

Terkait dengan subsidi BBM, jelas pemerintah memiliki kewajiban moral lebih kepada warga negara. Hal ini mengingat bahwa BBM merupakan wujud lain dari ‘api’ yang dalam epistemologi ekonomi Islam merupakan kebutuhan dasar masyarakat di mana masyarakat berserikat di dalamnya. Jika dinyatakan bahwa penerima manfaat dari subsidi BBM adalah orang kaya, maka seharusnya pemerintah membuat mekanisme tertentu agar penerima manfaat adalah yang berhak. Kalaupun akhirnya terpaksa harus memilih opsi menaikkan BBM, maka pemerintah harus menjamin terselamatkannya masyarakat menengah ke bawah, utamanya masyarakat miskin, dari berbagai potensi dampak buruk. Jika pemerintah tidak siap untuk itu, maka jangan memilih opsi tersebut.

Ke depan, tentu semua sepakat bahwa subsidi harus dihilangkan. Dihilangkannya subsidi tentu harus dikarenakan sudah tidak adanya lagi warga yang membutuhkan subsidi. Itu artinya, rakyat Indonesia sudah mandiri dan mampu berdaya dalam ekonominya.

Untuk saat ini, jelas hal tersebut belum bisa terwujud. Sebab, ekonomi rakyat yang berada di sekitar garis kemiskinan masih cukup besar. Dalam Islam dikenal kaidah fiqih “mencegah kerusakan lebih diutamakan daripada menegakkan kebenaran”. Jika penyelamatan APBN adalah sebuah kebenaran,

maka penyelamatan APBN harus dinomorduakan karena potensi terciptanya kerusakan di masyarakat akibat kenaikan harga BBM tetap lebih besar. Ongkos sosial dan ekonomi yang harus ditanggung masyarakat jauh lebih besar dari uang yang bisa dihemat dalam APBN. Hal ini perlu ditekankan dalam memilih opsi subsidi BBM karena contagion effect dari kenaikan harga BBM, yang merupakan wujud pengurangan subsidi, memperpuruk ekonomi mereka. Disparitas ini memberi hukum wajib bagi pemerintah Indonesia untuk intervensi melalui subsidi ataupun mekanisme lain yang bisa menjamin terselamatkannya kehidupan mereka. Untuk itu, pemerintah harus membuat perencanaan dan kebijakan yang komprehensif agar masyarakat ke depan tidak bergantung dengan subsidi BBM dan tidak terancam kehidupannya jika terjadi pengurangan atau penghapusan subsidi. Jelas, dibutuhkan cetak biru dan strategi agar masyarakat berdaya dan berangsur melepaskan diri dari subsidi BBM. Untuk itu, pembangunan haruslah menempatkan manusia sebagai substansial dan bukan residual. Pembangunan manusia haruslah menjadi target utama pembangunan.

Dokumen terkait