• Tidak ada hasil yang ditemukan

TENUN SEBAGAI WARISAN BUDAYA

4.1 Tenun di Indonesia

Manusia dan kebudayaan berkembang sesuai dengan perjalanan waktu, sehingga banyak unsur kebudayaan lama cenderung ditinggalkan bahkan dilupakan sama sekali masyarakat pendukungnya. Salah satu unsur kebudayaan yang mengalami perkembangan adalah pakaian yang digunakan oleh manusia (Syaraswati et.al, 1993/1994:1). Sejak jaman prasejarah manusia telah memakai pakaian dengan bahan kulit kayu. Hal ini diperkuat dengan ditemukannya beberapa alat yang terbuat dari batu di daerah Kalimantan Tenggara (Ampah) dan Sulawesi Tengah (Kalumpang Minanga Sipaka). Sebuah tipe dari alat ini berbentuk persegi panjang (±20 cm panjang ) dan terdiri dari gagang dan bagian pemukul. Bagian untuk memukul kulit kayu ini memuat jalur-jalur cekung yang sejajar. Alat yang ditemukan di Ampah dan Minanga Sipakka termasuk tipe tersebut yang ujung bagian pemukulnya meruncing ke atas menyerupai tanduk. Pemukul kulit kayu bertanduk, selain di kalimantan dan Sulawesi, ditemukan tersebar di kepulauan Filipina (Sartono Kartodirjo et.al, 1975:179). Di samping pakaian dari serat kayu, sejak jaman ini juga beberapa suku bangsa di Indonesia telah mengenal pembuatan kain yang memakai bahan dasar benang dari serat seratan pohon, misalnya serat pisang, serat batang/daun anggrek dan serat rumput rumputan, yang pemakaian serat-serat itu berasal dari cara menganyam serat pohon tersebut (Suhardini Chalid et.al, 2000:3). Dasar pengetahuan menganyam inilah yang mendasari cara-cara menenun dengan prinsip menjalin bagian yang lurus atau vertikal dan bagian yang melintang atau horizontal (Suwati Kartiwa, 1993:2).

Pada masa lalu manusia menggunakan pakaian untuk menutup serta melindungi tubuh. Seiring dengan perkembangan jaman maka fungsi pakaian berubah bukan hanya sekedar penutup tubuh namun dapat digunakan sebagai sarana untuk mempercantik dan memperindah penampilan. Pakaian juga dapat

mencerminkan status sosial serta lambang identitas kelompok tertentu (Syaraswati et.al, 1993/1994:1).

Manusia berusaha mengembangkan bahan pakaian dengan kualitas terbaik untuk kenyamanan pemakainya, serta untuk kebutuhan agar dapat tampil lebih

hingga saat ini. Ketrampilan membuat kain tradisional baik dengan cara rajut ataupun songket serta ikat tetap dilakukan oleh masyarakat di Indonesia. Istilah ikat dalam teknik menenun sudah dikenal di Eropa sejak abad ke-19, lewat Hindia Belanda, sehingga kata ikat terdapat dalam kamus bahasa Belanda maupun Inggris dengan arti produk tekstil hasil tenun tangan yang cara pembuatan motifnya menggunakan teknik ikat (Ensiklopedi Nasional Indonesia, 1996:243). Dalam menelusuri bentuk seni tenun, pada masa lalu motif yang biasa digunakan adalah motif-motif benda hidup naturalistis yakni motif manusia, binatang dan tumbuh tumbuhan. Menurut Galestein Daar Werd yang di kutip oleh P. Sareng Orinbao motif manusia dianggap lambang untuk panjang umur. Manusia itu mempunyai kelangsungan hidup (menghasilkan keturunan) (Orinbao, 192:42).

Selain motif manusia, menurut Th. Van der Hoop yang dikutip pula oleh P. Sareng Orinbao terdapat motif motif binatang seperti :

1. Kerbau sebagai lambang kesuburan tanah, lambang bulan sabit, 2. Motif ular melambangkan dunia bawah atau lambang air.

3. Motif kadal melambangkan dewa langit malam, motif binatang rayap dan udang melambangkan kematian dan hidup pula, tersimpul dari kebiasaan udang itu untuk bertukar kulit baru. 4. Motif kodok melambangkan curah hujan.

5. Motif burung Enggang melambangkan kehidupan dan kematian, yang dihubungkan dengan kebiasaan burung enggang dimana setelah bertelur tidak mengerami telurnya namun diletakan di dalam lubang pohon, dan telur akan menetas karena suhu panas dari lubang pohon tersebut. Setelah menetas barulah induknya menjemput anaknya untuk menghirup udara bebas.

6. Motif ayam jantan melambangkan matahari, karena ayam jantan adalah binatang yanag melihat fajar menyingsing.

Sementara motif-motif binatang dari pengaruh Hindu adalah :

1. Motif gajah yang merupakan lambang kendaraan dewa. 2. Motif kuda lambang kendaraan arwah menuju alam baka. 3. Motif burung garuda lambang kendaraan dewa Wisnu.

4. Motif burung nuri melambangkan cinta, karena burung nuri dianggap pembawa berita asmara.

Selain motif binatang ada pula motif tumbuhan yakni motif pohon hayat yang melambangkan Keesaan Tertinggi, oleh orang Dayak dianggap sebagai lambang kehadiran Tuhan, orang Jawa pun menganggap demikian dan dilambangkan dengan kekayon. Pohon hayat adalah suatu tanda keterikatan suku bangsa dengan Tuhan sebagai sumber hidup. Hal ini menggambarkan hubungan yang erat antara Tuhan dengan manusia. Oleh karena itu para penenun menggunakan pohon hayat ini sebagai salah satu motif tenun karena dianggap memiliki nilai magis yang dapat melindungi si pemakai tenun tersebut (Orinbao, 1992:43-44).

Di Indonesia pembuatan kain selain dengan teknik ikat juga dikenal teknik yang lain seperti sulam, songket dan lain lain. Teknik ikat diyakini berasal dari kebudayaan timur, meskipun pembuatan motif dengan teknik ini juga dikenal oleh sebagian bangsa di Indian di Amerika Serikat. Di Indonesia, hampir tiap daerah mempunyai berbagai ragam hias (desain) khusus yang dibuat pada tenun dengan teknik ikat. Tenun ikat lungsi telah di kenal sejak jaman prasejarah, dalam kebudayaan Dongson. Pada masa ini berkembang motif baru yakni motif geometris. Motif ini sebenarnya merupakan motif untuk budaya material perunggu, namun seiring berjalannya waktu motif ini digunakan juga untuk menghias tenun ikat (Orinbao, 1992:44). Tenun ikat lungsi ini dijumpai di daerah-daerah seperti Toraja, Minahasa, Sumatra Utara, Sumba, Flores, Sawu Rote, Ndao, Lomblen, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur dan pedalaman Kalimantan Barat. Kain tenun yang berasal dari Batak, Dayak, Toraja dan Sumba kurang terpengaruh kebudayaan luar karena letaknya kurang strategis bagi lalu lintas perdagangan dengan dunia luar. Tenun ikat lungsin banyak terdapat di daerah-daerah yang kurang mendapat pengaruh Hindu, Budha dan Islam. Sementara itu tenun ikat pakan muncul sesudah orang mengenal tenun ikat lungsi dan banyak terdapat di daerah yang terpengaruh olah Hindu, Budha dan Islam. Daerah-daerah persebaran tenun ikat pakan antara lain Palembang, Pasemah, Bangka, Kepulauan Riau daratan, Jawa, Bali, Donggala, Sulawesi Tengah dan

Pegeringsingan, Bali dan popular dengan sebutan kain Geringsing. Kain ini diproduksi secara terbatas dan dipakai untuk upacara upacara ada (Ensiklopedi Nasional Indonesia, 1996:243-244). Kain tradisional merupakan kain pelengkap busana nasional bangsa Indonesia. Kain tradisional digunakan bukan saja untuk kepentingan profan namun juga digunakan dalam upacara atau pesta adat ataupun digunakan untuk kepentingan ritual. Beberapa daerah yang cukup menonjol dalam penggunaan kain tersebut adalah Jawa, Bali, NTT, Sumatera dan lain lain.

Dokumen terkait