• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TEOLOGI FEMINIS DAN PENAFSIRAN FEMINIS

C. Teologi Feminis Dalam Gereja

Kata “Gereja” berasal dari kata Yunani kyriakos, yang berarti “milik”

kepunyaan Tuhan. (Clifford, 2002:219). Proses penerjemahan yang mengubah

ekklesia/perhimpunan menjadi kyriake/ gereja menunjukkan suatu perkembangan historis yang telah menguntungkan bentuk gereja yang kyriarkhal/patriarkhal (Fiorenza, 1995: xlvii). Istilah patriarki secara harafiah berarti kekuasaan bapak/patriark (Asnath, 2012:25). Tradisi Kristen pada awalnya terjadi pro dan

kontra terhadap kepemimpinan perempuan. Pergumulan ini ditimbulkan oleh proses patriarkal bertahap dari gereja-gereja purba ( Fiorenza, 1995:82).

Satu dari sekian kritik yang dilancarkan oleh para ilmuwati sosial mengenai teologi pembebasan ditujukan kepada pemiskinan kategori- kategori seksual yang sebenarnya merupakan produk sosial yaitu gender yang menjadi sekedar hasil pencirian biologis (Zakiyuddin, 1997:70). Tidak hanya sampai di situ, melalui teologi feminis diharapkan tidak ada lagi kaum perempuan yang tertindas.

Para teolog feminis menyangkal klaim teologi yang ada sekarang, yang menyatakan diri sebagai teologi “universal.” Mereka menunjuk pada karakter tertentu misalnya kenyataan bahwa teologi itu dihasilkan lewat cara pandang lelaki dan karenanya bersifat eksklusif. Mereka mengajukan rancangan pengkajian ulang, yang akan memungkinkan masuk dan diakuinya bukan saja perempuan, melainkan juga orang-orang yang bukan kulit putih, bukan berasal dari Barat. Menurut mereka, mendobrak struktur-struktur patriarkal harus disertai sebuah perubahan pola-pola pemikiran secara radikal (Fiorenza ed, 1996:10).

Namun ditemukan bahwa telaah atas sejarah Gereja-Gereja Kristen di Eropa Barat dan Amerika menyingkapkan adanya bentuk-bentuk ungkapan yang terang dan jelas mengenai patriarkal. Seperti terungkap dalam cara para teolog dan pejabat gerejani gagal membawa Injil agar bersinggungan dengan penaklukan atas diri kaum perempuan, perbudakan orang berwarna serta kezaliman kolonialisme. Agama Kristen kadang kala menggunakan Kitab Suci untuk mendukung kejahatan-kejahatan yang ada di tengah masyarakat, dengan menafsirkan teks-teks relevan sebagai “bukti” bahwa praktik-praktik bersangkutan disetujui dan didukung oleh Allah.

Tertulianus (±160-225) menyebut perempuan sebagai “gerbang iblis”, Agustinus (354-430) berpendapat bahwa hanya lelaki sendirilah yang merupakan citra Allah; seorang perempuan adalah citra Allah hanya bersama dengan suaminya, Thomas Aquinas (1225-1274) dipengaruhi

oleh Aristoteles menyebut perempuan sebagai makhluk “cacat” dan “terkutuk”( Clifford, 2002:52-53).

Akibatnya, kaum perempuan dikucilkan dari peran kepemimpinan gerejani. Para teolog perempuan tidak hanya menyusun metodologi mereka sendiri, mereka mengikuti alur teologi pembebasan, mulai dari pilihan kaum miskin dan keikutsertaan dalam praksis pembebasan. Beberapa di antara naskah-naskah mereka menyiratkan kemiskinan perempuan sebagai materi teologi mereka. Kajian-kajian Kitab Suci teolog feminis tidak terbatas pada penemuan kembali berbagai pribadi perempuan yang dikisahkan, namun memusat pada penafsiran kembali seluruh Kitab Suci dengan memihak perempuan, menyingkap keberadaan mereka sebagai tokoh-tokoh protagonis, dalam makna yang sepenuhnya dalam tindakan penyelamatan.

Para perempuan tersebut dalam dokumennya menekankan sumbangan- sumbangan positif yang diberikan oleh gereja-gereja di Amerika Latin dalam bidang Hak Asasi Manusia (HAM) serta dalam perjuangan demi keadilan sosial, juga pentingnya teologi pembebasan dalam mengatasi situasi-situasi ketidakadilan yang menurut mereka teologi pembebasan tidak menyentuh penindasan terhadap perempuan atau mengangkatnya menjadi isu penting (Zakiyuddin, 1997:64).

Masalah dalam mengaitkan teologi feminis dengan teologi pembebasan terus muncul dalam kritik terhadap struktur-struktur Gereja. Tujuannya adalah mendorong semua bentuk kepeduliaan yang sedang dirasakan dan diwujudkan dalam tindakan oleh perempuan di tingkat lokal, nasional, regional serta global (Zakiyuddin, 1997:45). Selama dua dekade terakhir, perhatian Gereja lokal terhadap masalah seputar tema perempuan telah menunjukkan perkembangan. Peranan Gereja lokal semakin besar mewujudkan Gereja sebagai kumpulan Umat Allah. Perkembangan yang ditunjukkan Gereja lokal dalam menanggapi masalah

perempuan, memperlihatkan fakta bahwa pelayanan Gereja lokal sebagai Gereja yang hidup di tengah umat mampu menyentuh langsung serta memahami permasalahan kehidupan jemaat. Gereja Katolik pada tingkat lokal, lebih menyadari arti pentingnya kehadiran dan peran perempuan di dalam Gereja, terlebih lagi menyadari bahwa perempuan dan laki-laki memiliki kedudukan yang sama sebagai anggota dan bagian Gereja, bahkan Gereja itu sendiri (Iswanti, 2006:30-33). Dekade itu memusatkan perhatian pada pemberdayaan perempuan, hingga perempuan dapat menjadi penentu agenda kepedulian yang akan dilaksanakan oleh Gereja (Zakiyuddin, 1997:46). Perempuan-perempuan tersebut mempunyai kesadaran feminis. Kesadaran feminis adalah kesadaran yang berasal dari pengalaman bahwa penyebab mereka menjadi korban adalah karena mereka perempuan, kesadaran bahwa menjadi laki-laki lebih menguntungkan (Iswanti, 2006:6). Menurut Iswanti, teori feminis muncul akibat :

Pengalaman pribadi perempuan.

Sumber dari pengetahuan-pengetahuan yang baru, misalnya pemerkosaan atau aborsi.

Sektor publik dan privat yang berhubungan dengan penindasan individual. Konsep tentang perempuan sebagai suatu kelas berdasar jenis kelamin. Kelompok-kelompok yang memiliki kesadaran feminis.

Selain membicarakan tentang Gereja, kaum feminis juga merasa tidak adil ketika berbicara tentang Allah. Selama berabad-abad Allah dialami dan dipahami dengan cara-cara yang berbeda oleh orang-orang yang berbeda dalam waktu dan tempat yang berbeda pula. Meskipun Gereja mengakui bahwa Allah itu

“melampaui” gender, namun bahasa yang digunakan sebagai acuan tentang Allah sangat dominan berciri maskulin. Emosi ini memiliki akar yang kuat dalam pola pengunaan nama “Bapa” secara harafiah dan eksklusif ketika berbicara tentang Allah (Clifford, 2002:157). Diantara kaum feminis yang paling kuat menentang gagasan Allah sebagai “Bapa” adalah mereka yang berpikir bahwa simbol Allah Bapa sebagai penguasa dunia yang transenden dan memutuskan untuk tidak memeluk dan menerima agama Kristen. Kaum feminis ini bersama dengan kaum feminis Yahudi yang juga menolak seorang Allah laki-laki terus memberikan kritik terhadap simbol Allah yang maskulin yang akhirnya membuat mereka keluar dari Yudaisme dan kekristenan. Mereka percaya bahwa kaum perempuan dan masyarakat pada umumnya membutuhkan seorang Allah perempuan, atau seorang Dewi. Maka mereka kembali lagi pada tradisi pra-Yahudi dan pra- Kristen, yaitu agama-agama Para Dewi. Disana mereka menyembah sosok dewi tertentu dengan karakter yang mereka kagumi, misalnya Ibu Pertiwi yang melahirkan bumi dan menjaga bumi ini.

Agama ini meluhurkan berbagai kenangan masyarakat yang berciri matrilineal (warisan diturunkan melalui garis perempuan) dan matriarkat (kaum perempuan menduduki tempat berkuasa di dalam keluarga dan masyarakat) (Clifford, 2002:159).

Keyakinan bahwa agama-agama kuno yang didominasi oleh para dewi benar-benar memberi pengasuhan, kelembutan dan kedamaian tentu saja hal yang menarik bagi banyak perempuan, namun menimbulkan banyak pertanyaan. Romantisme agama Para Dewi ini bersifat problematis. Oleh karena itu, para perempuan penganut agama Para Dewi ini membutuhkan lebih banyak proyeksi idealis atas dunia kesetaraan yang dipimpin oleh seorang perempuan. Ketika

kaum perempuan membayangkan Allah sebagai suatu realitas keilahian yang berjenis kelamin laki-laki, maka mereka cenderung berelasi dengan Allah sebagai “yang lain” dan bukan sebagai “yang sama dengan aku”. Gambaran-gambaran yang ditarik dari pengalaman kaum perempuan dapat memperkuat ikatan kemesraan yang dipunyai kaum ini dengan Allah. Bagaimanapun, nilai-nilai dan aspirasi-aspirasi gender perempuan tidak dicakup dalam Allah tadi, maka perempuan menjadi tidak mempunyai kemungkinan untuk menyadari keberadaan diri mereka sendiri yang “tidak menjadi lelaki”. Supaya mampu meneguhkan dan menyadari keberadaan diri perempuan, maka para perempuan tersebut mau tidak mau menamai sosok Allah secara feminin. Menurut Ruether, seorang teolog Katolik Roma keyakinan agama Para Dewi “tidak tepat secara historis dan rancu secara ideologis.” Ajaran itu menolak kemungkinan adanya sumber daya positif di dalam tradisi alkitabiah menyangkut simbol-simbol tentang Allah yang sepadan dengan pengalaman kaum perempuan. Kritikan ini layak ditujukan kepada Agama Para Dewi sebagai berhala. Bahasa tentang Allah secara intrinsik bertalian dengan dunia dan pengalaman “keduniawian” manusia yang secara sangat mendasar dipengaruhi oleh konteks historis dan sosial kita (Clifford, 2002:160). Di dalam tradisi Kristen, Allah sebagai Bapa memainkan suatu peran yang penting. Penggunaan analogi ini tidak lepas dari pengalaman manusia tentang relasi dengan seorang ayah.

Pendekatan relasional antara laki-laki dan perempuan dapat dijelaskan berdasarkan kisah penciptaan manusia (Kej 2:4-25). Allah menciptakan manusia pertama, Adam dan kemudian Allah menjadikan “penolong” baginya yang

“sepadan” dengan dia dan menamai dia perempuan. Kerukunan hidup antara laki- laki dan perempuan sejak awal merupakan bentuk pertama persekutuan antar pribadi. Sebab dari kodratnya yang terdalam manusia bersifat sosial, dan tanpa berhubungan dengan sesama, ia tidak dapat hidup atau mengembangkan potensinya (GS art 12).