a. Siswa dibagi menjadi 4 kelompok.
b. Kelompok 1 dan kelompok 2 berjajar saling berhadapan. Begitu juga dengan kelompok 3 dan 4. Jadi terdapat 4 jajaran siswa, dengan masing-masing 2 jajaran yang saling berhadapan. Jika ada cukup ruang, mereka bisa berjajar di ruang depan atau belakang kelas. Kemungkinan lain siswa berjajar di sela-sela deretan bangku.
c. Dua siswa yang saling berpasangan dari kedua jajaran (kelompok) saling berbagi informasi.
d. Kemudian, siswa yang berdiri di ujung salah satu jajaran pindah ke ujung lainnya di jajaran yang lain, sehingga jajaran akan bergeser. Dengan begitu, masing-masing siswa mendapatkan pasangan yang baru untuk berbagi informasi. Pergeseran dilakukan terus menerus sampai semua siswa dalam kedua jajaran dapat berpasangan dengan semua anggota siswa dalam jajaran di depannya.
F. Teori Belajar yang Mendukung Metode Pembelajaran KooperatifTipe Tari Bambu dan Permainan Get, Match and Read
1. Teori Belajar Behaviorisme
Teori ini dikembangkan oleh Ivan Pavlov. Menurut teori ini, hal yang penting adalah masukan atau input yang berupa stimulus dan keluaran atau output yang berupa respon. Demikian halnya Budiningsih (2012, hlm. 20) mengemukakan bahwa:
menurut teori behavioristik, belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai akibat dari adanya interaksi antara stimulus dan respon. Dengan kata lain, belajar merupakan bentuk perubahan yang dialami siswa dalam hal
kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi antara stimulus dan respon.
Berdasarkan pendapat di atas, dapat dikatakan bahwa belajar merupakan perubahan tingkah laku sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan respon. Di beberapa tempat, behaviorisme diadopsi menjadi metodologi pengajaran bahasa yang berbentuk metode audiolingual.Metode ini ditandai dengan pemberian latihan yang terus menerus kepada siswa yang diikuti penguatan, baik itu penguatan positif maupun negatif.Menurut teori ini, manusia adalah organisme yang dapat memberikan respon karena adanya stimulus (rangsangan) yang nampak maupun tidak. Respon tersebut dipertahankan karena adanya reinforcement (penguatan). Dalam pembelajaran bahasa, organisme itu adalah siswa, sedangkan stimulus merupakan pengajaran yang diwujudkan dalam bentuk tugas atau perintah, sementara respon merupakan tingkah laku bahasa siswa sebagai reaksi terhadap pengajaran yang diberikan guru, sedangkan penguatan merupakan balikan dari guru yang diwujudkan dalam bentuk pujian.
Menurut Djuanda (2006, hlm. 9) metode audiolingual dalam pelaksanaannya memiliki lima karakteristik kunci yaitu:
a. bahasa itu ujaran, bukan tulisan; b. bahasa itu seperangkat kebiasaan;
c. ajarkanlah bahasanya, bukan tentang bahasanya;
d. bahasa adalah sebagaimana dituturkan oleh penutur asli, bukan seperti dipikirkan orang bagaimana mereka seharusnya berbicara;
e. bahasa itu berbeda-beda.
Berdasarkan uraian di atas, teori behaviorisme merupakan teori pendukung digunakannya metode pembelajaran khususnya metode audiolingual. Metode ini dilihat dari lima karakteristik kuncinya merupakan metode yang dapat mengembangkan kemampuan berbahasa siswa, sama halnya dengan metode KooperatifTipe Tari Bambu yang bertujuan untuk melatih kemampuan berbahasa siswa. Menurut teori behavioristik, stimulus yang diberikan terus-menerus, apalagi dengan cara yang menarik, maka akan menghasilkan respon yang baik pula. Begitupun dengan pembelajaran, apabila menggunakan metode dan permainan yang menyenangkan, maka akan meningkatkan perubahan tingkah laku bahasa siswa. Siswa yang awalnya tidak bisa membaca puisi, kemudian
diberi stimulus yaitu latihan terus menerus sampai akhirnya siswa tersebut berubah menjadi bisa membaca.
2. Teori Belajar Kognitif
Teori belajar kognitif, lebih mementingkan proses belajar daripada hasil belajarnya. Belajar tidak hanya sekedar melibatkan hubungan stimulus dan respon. Namun, belajar merupakan aktivitas yang melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks. Menurut Budiningsih (2012, hlm. 34):
dalam teori kognitif, proses belajar terjadi antara lain mencakup pengaturan stimulus yang diterima dan menyesuaikannya dengan struktur kognitif yang sudah dimiliki dan terbentuk di dalam pikiran seseorang berdasarkan pemahaman dan pengalaman-pengalaman sebelumnya. Berdasarkan pendapat di atas, proses belajar terjadi saat adanya menghubungkan pengetahuan awal dengan stimulus yang baru diterima. Sementara Piaget (dalam Budiningsih, 2012, hlm. 36) mengemukakan bahwa:
proses belajar akan terjadi jika mengikuti tahap-tahap asimilasi, akomodasi dan ekuilibrasi (penyeimbangan). Proses asimilasi merupakan proses pengintegrasian atau penyatuan informasi baru ke dalam struktur kognitif yang telah dimiliki oleh individu. Proses akomodasi merupakan proses penyesuaian struktur kognitif ke dalam situasi yang baru. Sedangkan proses ekulibrasi adalah penyesuaian berkesinambungan antara asimilasi dan akomodasi.
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, dalam teori kognitif, pengalaman pengetahuan yang telah ada sebelumnya (skemata) dimanfaatkan untuk mendapatkan pengetahuan baru. Untuk menerima pengetahuan, siswa dapat menggunakan skematanya yang sudah dimiliki, sehingga pengetahuan baru dapat dipahami dan terjadilah proses asimilasi. Namun, tidak menutup kemungkinan, siswa harus mengubah skematanya sesuai dengan pengetahuan baru tersebut, sehingga terjadilah akomodasi. Pada proses akomodasi, kemungkinan dapat terjadi ketidakseimbangan (disequilibrium) yaitu terjadi kebingungan saat skemata awal dengan pengetahuan yang baru tidak selaras.
Menurut Djuanda (2006, hlm. 12) “Ditinjau dari sudut pandang kognitif, belajar juga dapat disikapi sebagai asimilasi dan akomodasi yang bermakna, sehingga dapat menghasilkan pemahaman, pengahayatan dan keterampilan.” Jadi, belajar merupakan suatu proses yang bermakna. Menurut teori kognitif, proses
belajar seseorang akan mengikuti tahap-tahap perkembangan sesuai dengan umurnya. Menurut Piaget (dalam Budiningsih,hlm. 39):
pada tahap operasional konkret, tahap berpikir anak sudah dapat dikatakan maju. Anak sudah tidak memusatkan diri pada karakteristik perseptual pasif. Untuk menghindari keterbatasan berpikir anak perlu diberi gambaran konkret, sehingga ia mampu menelaah persoalan. Sungguhpun demikian, anak usia 7-12 tahun masih memiliki masalah berpikir abstrak. Berdasarkan pendapat tersebut yang menjelaskan bahwa anak usia 7-12 tahun (usia SD) masih berpikir konkret. Dengan kata lain, anak akan mengalami kesulitan memahami segala sesuatu apabila secara abstrak. Oleh karena itu, untuk memudahkan anak memahami pengetahuan yang diterimanya melalui proses asimilasi, akomodasi dan equilibrasi, maka diperlukan metode dan teknik pembelajaran yang tepat dalam menerapkan pembelajaran. Teknik pembelajaran yang digunakan dapat berupa permainan. Melalui permainan anak akan lebih mudah belajar, karena bermain merupakan dunia anak-anak dan mereka tentunya akan terjun langsung mengalaminya sendiri, sehingga yang mereka pelajari merupakan sesuatu yang konkret. Begitu juga dengan penggunaan metode. Penggunaan metode yang tepat sesuai dengan karakteristik materi pembelajaran akan memudahkan guru dalam mengajar anak. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Hetherington& Parke (dalam Djuanda, 2006. hlm. 86) bahwa.
bermain bagi anak berfungsi untuk mempermudah perkembangan kognitif anak. Dengan bermain akan memungkinkan anak meneliti lingkungannya dan mempelajari segala sesuatu, serta memecahkan masalah yang dihadapinya. Permainan juga dapat meningkatkan perkembanagn sosial anak. Dengan menampilkan bermacam peran orang anak berusaha menghayatinya untuk diambilnya setelah dewasa.
Sejalan dengan perkembangan kognisi atau daya pikir anak, Piaget (dalam Ismail, 2006, hlm. 36) mengemukakan tahap bermain sebagai berikut.
a. Sensory motor play (bermain yang mengandalkan indera atau
gerakan-gerakan tubuh) ( 3 atau empat bulan sampai setengah tahun) b. Symbolic atau make believe play ( 2 – 7 tahun)
c. Social play games with rules ( 8 – 11 tahun) d. Games with rules and sports ( 11 tahun ke atas)
Dengan demikian, bagi Piaget, bermain pada awalnya dilakukan hanya sekedar demi kesenangan dan lambat laun mengalami pergeseran. Bukan hanya rasa senang yang menjadi tujuan, tetapi ada suatu hasil akhir tertentu yang ingin dicapai, seperti ingin menang dan memperoleh hasil kerja yang baik.
Berdasarkan pendapat Piaget di atas, pada awalnya bermain hanya sekedar suatu kegiatan yang menyenangkan bagi anak. Namun seiring berjalannya waktu, kesenangan tersebut akan berubah menjadi suatu cara untuk mencapai tujuan tertentu. Jadi, secara tidak sadar, melalui bermain anak justru sedang belajar mempelajari sesuatu.
Pernyataan selanjutnya dari Piaget (dalam Djuanda, 2006, hlm. 89) yang menyatakan pentingnya bermain bagi proses belajar anak yaitu „Bermain merupakan upaya anak dalam memanfaatkan peluang-peluang tertentu untuk mengatasi tantangan-tantangan yang dalam kenyataannya belum tentu bisa dikuasai.‟ Jadi, bermain merupakan proses memanfaatkan peluang, yang mana pada saat itu anak mengalami proses asimilasi dan akomodasi. Namun, pada saat proses akomodasi tidak menutup kemungkinan akan terjadi ekuilibrasi, yang mana siswa mengalami ketidakpahaman pada pengetahuan baru yang diterimanya, karena pengetahuan baru tersebut tidak sesuai dengan pengetahuan awal yang diterimanya.
3. Teori Belajar Konstruktivisme
Menurut teori konstruktivisme, pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas.Menurut Tim Pengembang MKDP Kurikulum dan Pembelajaran (2006, hlm. 226) “Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta konsep atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat.Manusia harus membangun pengetahuan itu untuk memberi makna melalui pengalaman yang nyata.”
Jadi, teori konstruktivisme berpandangan bahwa konsep bukanlah hal yang tidak penting sebagai bagian integral dari pengalaman belajar yang harus dimiliki siswa.Akan tetapi, bagaimana konsep pengetahuan siswa itu dapat memberikan pedoman nyata untuk diaktualisasikan dalam kondisi nyata. Oleh karena itu, dalam teori ini, unsur yang diutamakan dalam proses pembelajaran untuk menghubungkan setiap konsep dengan kenyataan adalah strategi yang digunakan, bukannya penekanan terhadap seberapa banyak pengetahuan yang harus diingat oleh siswa. implikasi bagi guru dalam menerapkan teori ini, guru harus mampu membimbing siswa mendapatkan makna dari setiap konsep yang dipelajari siswa.
Menurut Tim Pengembang MKDP Kurikulum dan Pembelajaran (2006, hlm. 227) “Pembelajaran akan dirasakan memiliki makna apabila secara langsung maupun tidak langsung berhubungan dengan pengalaman sehari-hari yang dialami oleh para siswa itu sendiri.”
Sejalan dengan pendapat di atas, menurut Djuanda (2006, hlm. 14) hal-hal yang harus diperhatikan dalam proses mengajar berdasarkan pandangan konstruktivisme meliputi.
a. Siswa harus aktif selama pembelajaran berlangsung.
b. Proses aktif ini adalah proses membuat sesuatu masuk akal, pembelajaran tidak terjadi melalui transmisi tetapi mellau interpretasi. c. Interpretasi selalu dipengaruhi oleh pengetahuan sebelumnya (skemata). d. Interpretasi juga dibantu oleh metode instruksi yang memungkinkan negosiasi pikiran (bertukar pikiran) melalui diskusi, tanya jawab dan lain-lain.
e. Tanya jawab didorong oleh kegiatan inkuiri para siswa. Jadi, kalau siswa tidak bertanya/tidak bicara pada waktu diskusi, berarti siswa tidak belajar secara optimal.
f. Proses belajar mengajar tidak sekedar pengalihan pengetahuan, tapi juga pengalihan keterampilan dan pengetahuan.
Maka dari itu, guru harus kreatif dan inovatif dalam menerapkan strategi, pendekatan, model, media, metode dan teknik pembelajaran yang membuat siswa mampu memaknai konsep pengetahuan yang diterimanya agar siswa aktif mencari dan menemukan sendiri kaitan antara konsep yang dipelajari dengan pengalamannya.
4. Teori Bermain
Teknik pengajaran dengan menggunakan permainan mengacu pada beberapa teori bermain yang dikemukakan oleh para ahli.Definisi bermain berkaitan erat dengan teori yang mendasari fungsinya.Menurut Djuanda (2006, hlm. 89) “Dari sejumlah teori, dapat dikemukakan tujuh teori utama, yaitu teori surplus energi, teori relaksasi, teori preparasi atau insting, teori rekapitulasi, teori pertumbuhan dan perkembangan, teori penyaluran emosi dan teori kognitif.” a. Teori surplus energi. Dalam pandangan ini, kegiatan bermain dilakukan untuk
meyalurkan energi yang berlebihan.
b. Teori relaksasi. Dalam pandangan ini, bermain merupakan penyaluran energi dengan tujuan menjadikan diri lebih segar dan santai.
c. Teori preparasi atau insting. Dalam pandangan ini, bermain merupakan suatu perilaku instingtif. Bermain merupakan kegiatan alamiah yang menjadi bagian dari proses pertumbuhan dan perkembangan anak.
d. Teori rekapitulasi. Dalam pandangan ini, bermain merupakan hubungan antara kegiatan bermain dengan evolusi kebudayaan, maksudnya anak berperilaku seperti orang dewasa selama masa transisi antara zaman berburu hingga zaman modern seperti sekarang.
e. Teori pertumbuhan dan perkembangan. Dalam pandangan ini, bermain
merupakan salah satu cara untuk mengembangkan berbagai kemampuan anak.
f. Teori penyaluran emosi. Dalam pandangan ini, bermain merupakan
pengekspresian dari suatu harapan dan upaya pengendalian pengalaman-pengalaman yang menegangkan.
g. Teori kognitif