1.8 Sistematika Penulisan Skripsi
2.1.2 Teori Belajar
Teori belajar adalah konsep-konsep dan prinsip-prinsip belajar yang bersifat teoritis dan telah teruji kebenarannya melalui eksperimen. Beberapa teori belajar yang melandasi pembahasan dalam penelitian ini antara lain:
2.1.2.1Teori David Ausubel
Teori ini terkenal dengan belajar bermaknanya dan pentingnya pengulangan sebelum belajar dimulai. Ia membedakan antara belajar menemukan dengan belajar menerima. Pada belajar menerima siswa hanya menerima, jadi tinggal menghafalkannya, tetapi pada belajar menemukan, konsep ditemukan oleh siswa, jadi tidak menerima pelajaran begitu saja. Selain itu untuk dapat membedakan antara belajar menghafal dengan belajar bermakna. Pada belajar menghafal, siswa menghafalkan materi yang sudah diperolehnya, tetapi pada belajar bermakna materi yang telah diperoleh itu dikembangkan dengan keadaan lain sehingga belajarnya lebih dimengerti (Suherman et al., 2003: 32).
Teori belajar bermakna Ausubel ini sejalan dengan inti pokok konstruktivisme. Teori ini menekankan pentingnya siswa mengasosiasikan pengalaman, fenomena, dan fakta-fakta baru ke dalam sistem pengertian yang telah dipunyai. Trianto (2007: 25) menyatakan bahwa dalam membantu siswa menanamkan pengetahuan baru dari suatu materi, sangat diperlukan konsep-konsep awal yang sudah dimiliki siswa yang berkaitan dengan konsep-konsep yang akan dipelajari. Sehingga jika dikaitkan dengan model pembelajaran berdasarkan masalah, dimana siswa mampu mengerjakan permasalahan yang autentik sangat
memerlukan konsep awal yang sudah dimiliki siswa sebelumnya untuk suatu penyelesaian nyata dari permasalahan yang nyata.
Dalam penelitian ini, teori belajar David Ausubel berhubungan erat ketika siswa melakukan kegiatan pemecahan masalah dan diskusi pada kelompok, mereka selalu mengkaitkan pengetahuan baru dengan pengertian-pengertian yang telah mereka miliki sebelumnya.
Teori belajar bermakna Ausubel menuntut kemampuan guru untuk memahami pengetahuan dasar yang telah dimiliki siswa. Hal ini diperlukan karena proses asimilasi pengetahuan yang telah dimiliki siswa dengan pengetahuan baru yang diperoleh akan berjalan baik jika siswa memiliki pengetahuan awal yang cukup. Dengan kata lain siswa memerlukan bimbingan, agar dapat belajar dengan efektif.
Dalam aplikasinya di lapangan guru harus meyakinkan bahwa siswa telah memiliki pengetahuan prasyarat yang diperlukan untuk dapat memahami pengetahuan baru yang akan dipelajari. Dengan demikian guru harus menyampaikan materi prasyarat pada awal pembelajarannya di kelas. Hal tersebut juga menuntut guru untuk mampu mengelola pembelajaran yang sistematis dan terprogram.
2.1.2.2Teori Piaget
Piaget terkenal dengan teori perkembangan mental manusia atau teori perkembangan kognitif. Perkembangan kognitif sebagian besar bergantung kepada seberapa jauh siswa memanipulasi dan aktif dalam berinteraksi dengan lingkungan. Kemampuan kognitif berkembang melalui tahap sensori motorik
(sensory-motor-stage) sejak manusia lahir sampai usia 2 tahun, tahap pra-operasional (preoperational-stage) dari usia 2 tahun sampai 7 tahun, tahap operasi kongkrit (cooncrete-operational-stage) dari usia 7 tahun sampai 11 tahun, dan tahap operasi formal (formal-operational-stage) usia 11 tahun keatas (Suherman et al., 2003: 37).
Menurut Piaget, anak memiliki rasa ingin tahu bawaan dan secara terus menerus berusaha memahami dunia di sekitarnya. Rasa ingin tahu ini memotivasi anak untuk secara aktif membangun tampilan dalam otak anak tentang lingkungan yang anak hayati. Pada saat anak tumbuh semakin dewasa dan memperoleh lebih banyak kemampuan bahasa dan memori, tampilan mental anak tentang dunia menjadi lebih luas dan lebih abstrak. Sementara itu, pada semua tahapan perkembangan, anak perlu memahami lingkungannya sendiri, memotivasi anak untuk menyelidiki dan membangun teori-teori yang menjelaskan lingkungan itu (Ibrahim & Nur, 2005: 17-18).
Siswa SMP berusia 12 tahun sampai dengan 15 tahun. Berdasarkan tahap perkembangan kognitif Piaget, siswa SMP berada pada tahap perkembangan operasional kongkret menuju tahap operasional formal. Pada usia tersebut siswa mulai matang secara intelektual dan mampu memasuki dunia ide, berminat dalam pemecahan masalah-masalah teoritis dan abstrak, dan juga menyukai permasalahan yang menantangnya berpikir.
Prinsip Piaget dalam pembelajaran diterapkan dalam program-program yang menekankan pembelajaran melaui penemuan, pemecahan masalah dan pengalaman-pengalaman nyata, serta peranan guru sebagai fasilitator yang
mempersiapkan lingkungan dan kemungkinan peserta didik dapat memperoleh berbagai pengalaman belajar. Piaget menjabarkan implikasi teori kognitif pada pendidikan sebagai berikut.
1) Memusatkan perhatian kepada berpikir atau proses mental peserta didik, tidak sekedar kepada hasilnya.
2) Mengutamakan peran peserta didik dalam berinisiatif sendiri dan keterlibatan aktif dalam kegiatan belajar mengajar.
3) Memaklumi akan adanya perbedaan individual dalam hal kemajuan perkembangan (Sugandi, 2007: 35-36).
Dari uraian di atas dapat disimpulan bahwa kegiatan pembelajaran itu memusatkan perhatian kepada berpikir atau proses mental anak, yang tidak sekedar pada hasilnya, mengutamakan peran siswa dalam kegiatan pembelajaran, dan memaklumi perbedaan individu dalam hal kemajuan perkembangannya. Hal ini sesuai dengan pembelajaran Creative Problem Solving (CPS) yang mengajak siswa berdiskusi untuk menemukan konsep serta memecahkan masalah.
2.1.2.3Teori Bruner
Menurut Jerome Bruner sebagaimana disebutkan dalam Suherman et. al. (2003:43), dengan mengenal konsep dan struktur yang tercakup dalam bahan yang sedang dibicarakan, anak akan memahami materi yang harus dikuasainya itu. Ini menunjukkan bahwa materi yang mempunyai suatu pola tertentu akan lebih mudah dipahami dan diingat anak. Jadi, di sini siswa belajar aktif untuk menemukan prinsip-prinsip dan mendapatkan pengalaman, guru mendorong siswa
melakukan aktivitasnya. Implikasi teori yang dikemukakan oleh Bruner dalam pembelajaran adalah sebagai berikut.
(1) Guru perlu memperlihatkan fenomena atau masalah kepada anak. Hal ini dapat dilakukan melalui kegiatan wawancara atau pengamatan terhadap objek.
(2) Anak akan belajar dengan baik apabila mereka memanipulasi objek yang dipelajari, misalnya dengan melihat, merasakan, mencium dan sebagainya. Pendekatan pembelajaran diskoveri atau pendekatan pembelajaran induktif lainnya akan lebih efektif dalam proses pembelajaran anak.
(3) Pengalaman baru yang berinteraksi dengan struktur kognitif dapat menarik minat dan mengembangkan pemahaman anak. Oleh karena itu pengalaman baru yang dipelajari anak harus sesuai dengan pengetahuan yang telah dimiliki anak (Rifa’i & Anni, 2009:33).
Berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh Bruner bahwa saat proses pembelajaran siswa harus aktif untuk menemukan prinsip-prinsip dan mendapatkan pengalaman, guru mendorong siswa melakukan aktivitasnya. Ini sesuai dengan pembelajaran yang mengajak siswa menemukan konsep-konsep menemukan rumus luas dan volum Kubus dan Balok dan merupakan pengalaman yang menarik bagi siswa.
2.1.2.4Teori Vygotsky
Ada empat pinsip kunci dari teori Vygotsky, yaitu: (1) penekanan pada hakikat sosiokultural dari pembelajaran (the sociocultural nature of learning),
(2) zona perkembangan proximal (zone of proximal development), (3) pemagangan kognitif (cognitive apprenticenship), dan (4) perancah (scaffolding) (Trianto, 2007: 27).
Pada prinsip yang pertama Vygotsky menekankan pentingnya interaksi sosial, yaitu interaksi individu tersebut dengan orang lain, merupakan faktor terpenting yang mendorong atau memicu perkembangan kognitif seseorang. Vygotsky yakin bahwa fungsi mental yang lebih tinggi umumnya muncul dalam kerjasama antar siswa.
Prinsip kedua dari Vygotsky adalah ide bahwa siswa belajar paling baik apabila berada dalam zona perkembangan proximal mereka, yaitu tingkat perkembangan sedikit di atas tingkat perkembangan anak saat ini.
Prinsip ketiga dari teori Vygotsky adalah menekankan pada kedua-duanya, hakikat sosial dari belajar dan zona perkembangan. Siswa dapat menemukan sendiri solusi dari permasalahan melalui bimbingan dari teman sebaya atau pakar.
Prinsip keempat, Vygotsky memunculkan konsep scaffolding, yaitu memberikan sejumlah besar bantuan kepada siswa selama tahap-tahap awal pembelajaran, dan kemudian mengurangi bantuan tersebut untuk selanjutnya memberi kesempatan kepada siswa untuk mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar segera setelah ia dapat melakukannya. Bantuan tersebut dapat berupa bimbingan atau petunjuk, peringatan, dorongan, ataupun yang lainnya.
Prinsip-prinsip teori Vygotsky ini merupakan bagian kegiatan pembelajaran dalam model Creative Problem Solving, melalui kerja kelompok kecil (smalldiscussion). Peran kerja kelompok ini adalah untuk mengembangkan
kemampuan aktual siswa, dengan kerja kelompok maka beberapa ide pemecahan masalah yang didapatkan siswa dapat dikumpulkan kemudian digeneralisasikan atau disimpulkan secara bersama dalam kelompok itu. Guru berperan sebagai fasilitator yang akan membantu siswa apabila mengalami kesulitan dalam proses pemecahan masalah.
2.1.2.5Teori Van Hielle
Teori belajar yang telah dijelaskan sebelumnya adalah teori belajar yang
dijadikan landasan proses belajar mengajar matematika, sedangkan pada bagian ini akan dijelaskan bagaimana teori belajar khusus dalam bidang geometri yaitu teori belajar Van Hielle. Menurut Van Hielle, tiga unsur utama dalam pengajaran geometri yaitu waktu, materi pengajaran, dan metode pengajaran yang diterapkan, jika ditata secara terpadu akan dapat meningkatkan kemampuan berfikir anak kepada tingkatan berfikir yang lebih tinggi.
Van Hielle menyatakan bahwa terdapat lima tahap belajar anak dalam belajar dalam geometri yaitu: tahap pengenalan, tahap analisis, tahap pengurutan, tahap deduksi, dan tahap akurasi yang akan diuraikan sebagai berikut (Suherman, 2003: 51):
(1) Tahap Visualisasi (Tahap 0)
Tahap ini disebut juga tingkat pengenalan. Pada tingkat ini, siswa memandang sesuatu bangun geometri sebagai suatu keseluruhan dan belum memperhatikan komponen-komponen dari masing-masing bangun. Dengan demikian, meskipun pada tingkat ini siswa sudah mengenal nama suatu bangun, siswa belum mengamati ciri-ciri dari bangun itu.
(2) Tahap Analisis (Tahap 1)
Tahap ini dikenal sebagai tingkat deskriptif. Pada tahap ini siswa sudah mengenal bangun-bangun geometri berdasarkan ciri-ciri dari masing-masing bangun. Dengan kata lain, pada tingkat ini siswa sudah terbiasa menganalisis bagian-bagian yang ada pada suatu bangun dan mengamati sifat-sifat yang dimiliki oleh unsur-unsur tersebut.
(3) Tahap Abstraksi/Deduksi Informal (Tahap 2)
Tahap ini disebut juga tingkat pengurutan. Pada tahap ini, siswa sudah bisa memahami hubungan antar ciri yang satu dengan ciri yang lain pada suatu bangun. Pada tahap ini, siswa juga sudah bisa memahami hubungan bangun yang satu dengan bangun yang lain.
(4) Tahap Deduksi Formal (Tahap 3)
Pada tahap ini siswa sudah memahami peranan pengertian-pengertian pangkal, definisi-definisi, aksioma-aksioma, dan teorema-teorema dalam geometri. Pada tahap ini siswa sudah mulai mampu menyusun bukti-bukti secara formal. Ini berarti bahwa pada tahap ini siswa sudah memahami proses berpikir yang bersifat deduktif, aksiomatis, dan mampu menggunakan proses berpikir tersebut.
(5) Tahap Akurasi (Tahap 4)
Pada tahap ini siswa mampu melakukan penalaran secara formal tentang sistem-sistem matematika termasuk juga sistem-sistem geometri tanpa menggunakan model-model yang konkret sebagai acuan. Pada tahap ini siswa memahami bahwa dimungkinkan adanya lebih dari satu geometri. Sebagai contoh,
pada tahap ini siswa menyadari bahwa jika salah satu aksioma pada suatu sistem geometri diubah, maka seluruh geometri tersebut juga akan berubah. Sehingga pada tahap ini siswa sudah memahami adanya geometri-geometri yang lain di samping geometri Euclides.
Menurut Van Hielle, semua anak mempelajari geometri dengan melalui tahap-tahap tersebut, dengan urutan yang sama dan tidak dimungkin adanya tahap yang dilewati. Akan tetapi, kapan seorang siswa mulai memasuki suatu tingkat yang baru tidak selalu sama siswa yang satu dengan siswa yang lain.
Teori belajar Van Hielle sangat mendukung penggunaan model pembelajaran Creative Problem Solving (CPS) pada materi Kubus dan Balok. Karena dalam pembelajaran ini dirancang untuk memberikan orientasi geometri secara nyata, siswa dapat memperoleh pengalaman dalam menemukan dengan cara mereka sendiri dan interaksi dalam pembelajaran dapat terpenuhi.
2.1.2.6Teori Gagne
Gagne, sebagaimana disebutkan dalam (Suherman et al, 2003: 33-34) menyatakan bahwa terdapat delapan tipe belajar. Delapan tipe belajar tersebut, yaitu belajar isyarat, belajar stimulus respon, belajar rangkaian gerak, belajar rangkaian verbal, belajar memperbedakan, belajar pembentukan konsep, belajar pembentukan aturan, dan belajar pemecahan masalah.
Belajar isyarat adalah belajar yang tingkatnya paling rendah, karena tidak ada niat atau spontanitas. Contohnya menyenangi atau menghindari pelajaran karena akibat perilaku gurunya. Stimulus-respon merupakan kondisi belajar yang ada niat dan responnya jasmaniah. Misalnya siswa meniru tulisan guru di papan
tulis. Rangkaian gerak adalah perbuatan jasmaniah terurut dari dua kegiatan atau lebih dalam rangka stimulus-respon. Rangkaian verbal adalah perbuatan lisan terurut dari dua kegiatan atau lebih dalam rangka stimulus-respon. Contohnya adalah mengemukakan pendapat, menjawab pertanyaan guru secara lisan. Belajar membedakan adalah belajar memisah-misah rangkaian yang bervariasi. Pembentukan konsep disebut juga tipe belajar pengelompokan, yaitu belajar melihat sifat bersama benda-benda konkrit atau peristiwa untuk dijadikan suatu kelompok. Dalam hal tertentu diperlukan tipe belajar yang mengharapkan siswa untuk mampu memberikan respon terhadap stimulus dengan segala macam perbuatan. Kemampuan di sini terutama adalah kemampuan menggunakannya. Misalnya pemahaman terhadap rumus kuadratis dan menggunakannya dalam menyelesaikan persamaan kuadrat. Belajar pemecahan masalah merupakan tipe belajar yang paling tinggi karena lebih kompleks dari pembentukan aturan (Suherman et al, 2003: 34).
Berdasarkan uraian tersebut, teori ini mengungkapkan bahwa pemecahan masalah adalah tipe belajar yang paling tinggi. Sehingga dengan menguasai pemecahan masalah ketujuh tipe belajar lainnya secara otomatis dapat dikuasai pula.