• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

A. Teori Belajar

1. Teori Belajar dari Jean Piaget

Piaget adalah contoh psikolog yang menggunakan filsafat konstuktivisme dalam penelitian proses belajar. Menurut Jean Piaget (dalam Ruseffendi, 1993 : 84-85) tahap-tahap perkembangan berfikir anak melalui empat tahap. Adapun empat tahap perkembangan berfikir anak tersebut adalah:

1. Tahap Sensori Motor Intelegence yaitu lahir sampai usia 2 1 1

tahun atau 2 tahun.

Dalam sebaran usia 0 tahun samapai 2 tahun, tahap sensasi (rabaan) dan geraak merupakan hal-hal yang penting dalam pengalamannya dan ia (anak) belajar berdasarkan pengalaman berfikir dengan perbuatan ataau berfikir dahulu sebelum bertindak.

2. Tahap Pra Operasi yaitu tahap persiapan ke arah mengorganisir pengerjaan-pengerjaan yang konkrit atau kerja praktek.

a. Sebaran dari 4 1

1 tahun atau 2 tahun sampai 4 tahun tahap di

mana representase dimungkinkan bila dalam bentuk bahasa, permainan imaginasi dan gambar.

b. Sebaran usia dari 4 tahun sampai 7 tahun ataau 8 tahun mulai berfikir intuitif kalau pertmbangannya tentang besar, bentuk, dan hubungannya dengan benda-benda didasarkan pada interpresentasi dan pengalamnannya (presepsi sendiri) tanpa masuk akal.

3. Tahap Operasi Konkrit sebaran usia dari 7 tahun atau 8 tahun sampai 11 atau 12 tahun, tahap bilamana pekerjaan-pekerjaan, dapat dilakukan dengan bantuan benda-benda konkrit atau dalam keadaan terteantu.

4. Sebaran usia dari 11 atau 12 tahun tahap pengerjaan-pengerjaan dan yang logis dikerjakan tanpa bantuan benda-benda konkrit.

Melihat persebaran usia anak dan perkembangan mental anak dapat disimpulkan bahwa: (1) belajar matematika dapat dimulai pada usia muda apabila anak telah “siap” belajar atau disesuaikan dengan perkembangan mental anak (usia bukan merupakan penghalang untuk belajar), (2) untuk lebih memudahkan anak belajar matematika harus dimulai dari yang konkrit (kerja praktek) ke arah yang abstrak, (3) pada tahap pra oprasional anak dapat berpindah dengan cepat ke tahap

operasional konkrit apabila anak dilatih dengan mainan yang dapat mengembangkan daya berfikir anak.

Siswa SD yang rata-rata berusia 7 –11 tahun, sesuai tahap perkembangan berfikir di atas berada pada tahap operasi konkrit. Pada tahap ini, merupakan perkembangan intelektual yang paling penting. Cara berfikir logis siswa pada tahap ini masih didasarkan pada bantuan benda-benda konkrit. Pengerjaan-pengerjaan logika dapat dilakukan berorientasi ke objek-objek atau peristiwa-peristiwa yang langsung di alami siswa. Pengalaman siswa masih konkrit dan masih terkait dengan pengalaman pribadi.

Pada prinsipnya pengajaran matematika agar berhasil harus dimulai dari operasi konkrit atau kerja praktek dilanjutkan ke operasi semi konkrit terus ke semi abstrak dan terakhir ke operasi abstrak.

2. Teori Belajar dari Bruner

Jerome Bruner (dalam Hudoyo, 1981) berpendapat bahwa belajar matematika yang cocok ialah belajar tentang konsep-konsep dan srtuktur-struktur yang terdapat di dalam bahasan yang dipelajari serta mencari hubungan-hubungan antara konsep-konsep dan struktur-struktur. Teori belajar Bruner menyatakan bahwa belajar matematika akan berhasil jika proses pembelajaran diarahkan pada konsep-konsep dan struktur yang termuat pada pokok bahasan yang akan diajarkan, disamping hubungan yang terkait dengan konsep-konsep dan strukur.

Memahami konsep-konsep matematika melalui benda-benda konkret akan membantu siswa meningkatkan daya ingat, karena siswa akan mengalami proses langkah-langkah berfikir secara analisis dan kreatif.

Menurut Bruner (dalam Hudoyo, 1981), proses belajar anak terbagi dalam tiga tahap, yaitu:

1) Tahap Enaktif

Pada tahap ini, anak belajar konsep dengan menggunakan benda-benda konkret. Anak menyusun, mengurutkan, dan mulai mengutak-atik.

2). Tahap Ikonik

Pada tahap ini, anak telah mengubah, menandai, dan menyimpan peristiwa atau benda dalam pikirannya. Anak dapat membayangkan kembali atau memberikan gambaran dalam pikirannya tentang benda-benda atau peristiwa yang dialaminya atau dikenalinya pada tahap enaktif walaupun peristiwa yang dialaminya telah berlalu.

3). Tahap Simbolik

Pada tahap ini, anak dapat mengutarakan hasil pemikirannya dalam bentuk simbolik dan bahasa. Apabila ia bertemu dengan suatu simbol maka ia akan dapat mengenali simbol tersebut. Pada tahap

ini, anak sudah mampu memahami simbol-simbol dan meenjelaskan dengan bahasanya tanpa tergantung pada obyek tersebut.

3. Teori Belajar Konstruktivistik

Menurut Hudojo (1981), teori konstruktivisme menyatakan bahwa cara terbaik bagi seseorang untuk mulai belajar adalah konsep, prinsip aturan di dalam matematika adalah dengan mengkonstruksi konsep, prinsip atau aturan itu.

Menurut Bruner (dalam Hudojo, 1981 : 30), khususnya anak-anak kecil, mereka harus mengkonstruksi sendiri idea-idea tersebut; lebih baik lagi bila siswa itu menggunakan benda-benda konkrit di dalam merumuskan idea-idea tersebut. Apabila di dalam merumuskan dan mengkonstruksi idea-idea itu, siswa-siswa dibantu dengan benda-benda konkrit, mereka akan cenderung ingat idea-idea itu dan kemudian mengaplikasikannya ke dalam situasi yang tepat. Jadi, memori dapat dicapai bukan hanya karena penguatan seperti yang dikemukakan Skinner, melainkan memori itu dicapai karena siswa memanipulasi benda-benda konkrit.

Pembelajaran matematika menurut pandangan kontruktivistik (Nickson, dalam Hudojo, 2003) adalah membantu siswa untuk membangun konsep-konsep/prinsip-prinsip matematika dengan kemampuannya sendiri melalui proses internalisasi sehingga

konsep/prinsip itu terbangun kembali melalui transformasi informasi yang diperoleh menjadi konsep/prinsip baru. Transformasi itu akan terjadi jika pemahaman juga terjadi dengan schemata dalam benak siswa. Jadi dapat dikatakan bahwa pembelajaran matematika adalah membangun pemahaman. Proses membangun pemahaman inilah yang lebih penting dari pada hasil belajar sebab pemahaman akan bermakna kepada materi yang dipelajari.

Berdasarkan pendapat di atas, secara spesifik pembelajaran matematika dalam pandangan konstruktivistik mempunyai ciri-ciri antara lain sebagai berikut:

1). Siswa terlibat aktif dalam belajarnya. Siswa belajar materi matematika secara bermakna dengan bekerja dan berfikir.

2). Informasi baru harus dikaitkan dengan informasi lain, sehingga menyatu dengan schemata yang dimiliki siswa agar pemahaman terhadap informasi (materi) kompleks terjadi.

3). Orientasi pembelajaran adalah investigasi dan penemuan yang pada dasarnya adalah pemecahan masalah.

Dokumen terkait