• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teori Dekonstruksi

Dalam dokumen Kawasaki Naomi S 701008006 (Halaman 45-49)

BAB I. PENDAHULUAN

2.3. Landasan Teori: Dekonstruksi dan Semiotika

2.3.1. Teori Dekonstruksi

2.3 Landasan Teori; Dekonstruksi dan Semiotika

Penelitian ini merupakan penelitian Kajian Budaya (Cultural Sutudies) yang membongkar makna dengan menjadikan busana tradisional (batik), khususnya Batik Solo sebagai objek materialnya. Sebagaimana paradigma Kajian Budaya yang berada pada paradigma posmodernisme, penelitian ini diposisikan dalam sistem berfikir kritis posmodernisme dengan suatu pendekatan yang merupakan sudut pandang filosofis hermeneutik kritis. Berkaitan dengan itu, teori-teori yang digunakan adalah teori-teori-teori-teori yang berkembang sekitar gagasan posmodernisme.

Dalam penelitian ini, teori Dekonstruksi dari Derrida diposisikan sebagai teori utama (grand-theory) dalam menganalisis dekonstruksi makna simbolik Batik Solo. Adapun teori Semiotika Komunikasi Visual dari Umberto Eco diposisikan sebagai teori pendukung (middle-theory) yang digunakan secara eklektik.

2.3.1 Teori Dekonstruksi

Teori dekonstruksi yang dipelopori oleh Derrida pada intinya menolak tiga tradisi berpikir strukturalis, yaitu (1) logosentrisme; (2) falosentrisme; dan (3) oposisi biner (Takahashi, 2008:50-82). Ketiga penolakan tersebut dijelaskan oleh Pitana (2010:34-36), sebagai berikut.

(1) Penolakan terhadap logosentrisme, yaitu penolakan cara pandang dalam tradisi berpikir Barat (strukturalisme, modernisme) yang menganggap akal, pikiran, logos sebagai pusat kebenaran. Suatu realitas dipandang representasi dari akal, pikiran, atau logos tersebut. Bahasa merupakan representasi dari konsepnya. Alasannya, bahasa atau teks tidak dapat dikatakan cermin atau representasi makna,

commit to user

26 konsep, atau realitas. Akan tetapi, bahasa lisan dapat diterima sebagai logosentrisme. Bahasa tulisan, teks, tidak dapat diterima karena bahasa tulisan otomatis telah terbebas dari konteks atau narasumbernya. Akibatnya, tulisan, teks, otomatis menjadi "tanda" sendiri, yang bukan mewakili suatu makna tetapi, menciptakan maknanya sendiri, dalam hubungan dengan "tanda-tanda" lain yang berada bersamanya. Ini berarti bahwa tidak ada pusat makna apa pun, kecuali praktik pemaknaan yang terjadi pada saat teks tersebut dihadapi penerima atau pembacanya. Oleh karena itu, tanda-tanda tersebut menjadi tanda-tanda yang bebas, kata-kata yang bebas, bahasa yang bebas dimaknai dan otomatis akan memunculkan makna yang beragam, plural.

(2) Penolakan terhadap falosentrisme, yakni cara pandang dalam tradisi berpikir Barat yang berpijak pada tatanan maskulin dan klaimnya bahwa yang maskulin itu bersumber pada diri sendiri dan merupakan agensi yang utuh. Akibatnya, katagori feminin sebagai sesuatu yang disingkirkan secara konstitutif dalam filsafat dan menjadikan perempuan bukan suatu esensi pada diri sendiri, melainkan apa yang dibuang atau disingkirkan.

(3) Penolakan terhadap oposisi pasangan (biner). Konsep pikiran oposisi biner ini ditolak oleh dekonstruksionisme karena realitas sesungguhnya tidak dapat ditentukan atau dipastikan sebagai sesuatu berada dalam kategori dualitas belaka. Menurut Derrida, sesungguhnya terdapat realitas-realitas yang lain yang mengantarainya atau yang sama sekali tidak dapat ditentukan. Realitas adalah tidak dualitas dikotomis, melainkan pluralitas posisi, beragam posisi, yang tidak dapat dipastikan/ditentukan dan tidak dominasional, sentralistis melainkan, menyebar dan sejajar.

Dekonstruksi Derrida sebagai teori utama dalam penelitian ini digunakan dalam melakukan analisis. Analisis pertama, yang merujuk pada teori Derrida untuk menganalisis sebab terjadinya dekonstruksi makna simbolik Batik Solo dengan menggunakan teori dekonstruksi Derrida yang memandang (mengabstraksikan) realitas sebagai realitas ciptaan (produksi, konstruksi) atau diciptakan kembali (reproduksi, rekonstruksi). Dalam istilah “konstruksi”, realitas itu adalah suatu konstruksi realitas baru sebagai hasil dari konstruksi realitas sebelumnya yang didekonstruksi. Artinya, setiap proses dekonstruksi harus diikuti dengan rekonstruksi atau sebaliknya (Piliang, 2003:244-247, 2011:257-267,

commit to user

27 Pitana, 2010:36-37). Untuk menemukan realitas yang sebenarnya, dekonstruksi memiliki tiga konsep teoretis, yaitu traces (jejak-jejak), present-abscent (kehadiran dan ketidakhadiran), dan differance (penangguhan) (Al-Fayyadl, 2005:7-164, Lubis, 2004:101-122, dan Norris, 2009).

Dekonstruksi pada analisis pertama dengan mengedepankan

present-abscent (kehadiran dan ketidakhadiran) dan differance (penangguhan)

dimaksudkan untuk mengetahui dan memahami kejelasan sebab terjadinya dekonstruksi makna simbolik Batik Solo dengan membongkar metafisika kehadiran Batik Solo sebagai busana tradisional Jawa.

Pada analisis kedua, proses terjadinya dekonstruksi makna simbolik Batik Solo dilakukan dengan mengedepankan teori dekonstruksi yang memandang realitas sebagai sesuatu yang bersifat organik dan decentering. Organik yang dimaksud adalah pemikiran yang memandang segala jaringan saling berhubungan. Derrida telah membuat suatu penegasan bahwa “sekecil apa pun unsur jaringan yang ada dipandang sebagai entitas” (Al-Fayyadl, 2012, 75-77, Pitana, 2010:37-38). Sementara itu, decentering adalah struktur tanpa pusat dan tanpa hierarki. Artinya, tidak ada sesuatu yang lebih penting daripada yang lain, asal unsur dan pusat tidak lagi memiliki prioritas utama (Al-Fayyadl, 2012, 77-78).

Kerja dekonstruksi dilakukan dengan memahami dan mengkaji teks yang semula dianggap kurang penting misalnya, masyarakat Solo sebagai pelaku kegiatan yang menciptakan dan memakai Batik Solo, tema minor yang berkaitan dengan keberadaan masyarakat Solo. Dalam kaitan inilah, dekonstruksi mengedepankan konsep detotalistis, yaitu pemikiran yang memandang segala

commit to user

28 sesuatu secara keseluruhan yang berdampingan, berada bersama, saling bekerja sama tanpa peleburan atau meleburkan diri, kecuali hanya membaur, yakni totalitas tanpa perbedaan hanya ilusi (Pitana, 2010:37-38).

Dekonstruksi dalam analisis kedua mengedepankan traces (jejak-jejak) yang mengacu pada pengertian bekas-bekas terciptanya suatu realitas. Dalam hubungannya dengan konsep jejak, dekonstruksi mengganti konsep sejarah (historisisme) dengan silsilah (Pitana, 2010:38). Sejarah tidak menyatakan hal yang natural karena dihasilkan dari pergeseran perspektif, fakta-fakta, dan, bahkan pemahaman-pemahaman, yang bersifat subjektif dan kultural (Rudyansjah, 2009:48-54). Hal ini mengacu pada perbedaan konseptual terhadap sejarah. Perbedaan ini dapat dijelaskan sebagai perbedaan konsep antara “sejarah (history)” dan “kesejarahan (historicity), yaitu perubahan dari “sejarah ideal (ideal history)” ke “sejarah faktis/empiris (factical/empirical history). Sejarah ideal yang dimaksud adalah sejarah yang dipahami dalam metafisika Barat. Hal itu merupakan sejarah mutlak dengan tujuan tertentu, yaitu satu-satunya sejarah yang benar, realitas universal. Di samping itu, sejarah faktis menyatakan bahwa sejarah dipahami sebagaimana dialami oleh individu atau sekelompok orang. Sejarah ini selalu berubah, mengalami pasang-surut, dan tidak selama konsisten. Dalam pandangan Derrida, memperlakukan sejarah faktis sebagai konsekuensi yang mempunyai implikasi mendalam pada tataran etis untuk melampaui sejarah sebagai institusi dan cita-cita teleologis (Al-Fayyadl, 2009:203-219). Sebagaimana Norris (2006:159),

commit to user

Dalam dokumen Kawasaki Naomi S 701008006 (Halaman 45-49)

Dokumen terkait