BAB II KAJIAN TEORI
A. Teori Konstruktivisme dalam Pembelajaran Sejarah
BAB II KAJIAN TEORI
A. Teori Konstruktivisme dalam Pembelajaran Sejarah 1. Teori Belajar Konstruktivisme
Konstruktivisme adalah salah satu aliran filsafat pengetahuan yang mempertanyakan apa itu pengetahuan dan bagaimana orang membangun pengetahuan. Pengetahuan menurut konstruktivisme merupakan konstruksi (bentukan) kognitif oleh seseorang terhadap obyek, pengalaman dan
lingkungannya. Pengetahuan bukan sekadar kumpulan fakta “barang jadi”
yang tinggal diambil, atau ditransfer dari seseorang kepada orang lain.1 Menurut teori konstruktivisme ditekankan bahwa untuk memiliki pengetahuan, tiap individu itu harus berperan aktif dalam membina pengetahuan. Jadi pengetahuan haruslah diperoleh dari tindakan mencari tahu, bukan hanya diperoleh dari menerima dari orang lain. Dalam hal membina pengetahuan itu setiap orang memiliki cara-cara yang berbeda karena kemampuan dan keinginan tiap individu itu tidak sama. Dengan aktif mencari tahu sendiri, diharapkan seseorang memperoleh hal-hal baru yang dapat membuat pengetahuan itu semakin berkembang.
Jelas bahwa bagi konstruktivisme, kegiatan belajar adalah kegiatan yang aktif, di mana pelajar membangun sendiri pengetahuannya. Pelajar mencari arti sendiri dari yang mereka pelajari. Ini merupakan proses
1
http://www.slideshare.net/nikmahnurvicalesti/teori-belajar-konstruktivisme-25983588“diakses tanggal 18 Maret 2014”
menyesuaikan konsep dan ide-ide baru dengan kerangka berpikir yang telah ada dalam pikiran mereka.2 Siswa mengelola pengertian lama dalam situasi belajar yang baru, membuat pemikiran yang logis terhadap suatu permasalahan yang dihadapinya.
Setiap pelajar mempunyai cara sendiri untuk mengerti. Maka penting bahwa setiap pelajar mengerti kekhasannya, juga keunggulan dan kelemahannya dalam mengerti sesuatu. Mereka perlu menemukan cara belajar yang tepat bagi mereka sendiri. Setiap pelajar mempunyai cara yang cocok untuk mengkonstruksikan pengetahuannya yang kadang sangat berbeda dengan teman-teman yang lain.3 Setiap pelajar memiliki kekhasannya masing-masing, tentu dalam hal ini para pelajar dimungkinkan mencoba berbagai macam cara belajar yang sesuai dengan dirinya. Artinya pengajar harus bisa mengkondisikan suasana kelas dengan situasi yang demokratis dan bersahabat. Dengan kondisi kelas yang demokratis diharapkan siswa dapat mengungkapkan hasil penalarannya dengan lebih leluasa di dalam kelas, dengan begitu siswa akan saling memperoleh ide-ide baru dari teman-temannya di kelas.
Teori belajar konstruktivisme menyatakan bahwa siswa harus membangun pengetahuan di dalam benak mereka sendiri. Setiap pengetahuan atau kemampuan atau dikuasai oleh seseorang apabila orang
2
Paul Suparno, Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan, Yogyakarta : Kanisius, 1997, hlm. 62 3
itu secara aktif mekonstruksi pengetahuan atau kemampuannya di dalam pikirannya.4
Y.R. Subakti tahun 20105 menjelaskan beberapa konsep kunci dari teori konstruktivisme, adalah :
a) Scaffolding
Scaffolding merupakan istilah yang berhubungan teknik konstruksi bangunan, yaitu susunan yang dapat berupa bambu, kayu balok atau besi sebagai tumpuan sementara ketika sedang membangun sebuah bangunan, khususnya bangunan dalam konstruksi beton. Ketika konstruksi beton dianggap sudah mampu berdiri kokoh, maka susunan bambu, kayu balok atau besi itu pun akan dicabut kembali.
Scaffolding dapat diartikan, memberikan sejumlah bantuan dalam tahap awal pembelajaran, setelah itu baru melepaskan anak untuk punya tanggung jawab sendiri dalam proses belajarnya, setelah ia menguasai bahan yang dipelajari.6
Dalam lingkungan pembelajaran, proses pembentukan makna dalam diri siswa membutuhkan dukungan guru berupa topangan (scaffolding). Topangan adalah bantuan yang diberikan dalam wilayah perkembangan terdekat (zone of proximal development) siswa. Scaffolding merupakan bantuan yang diberikan kepada siswa untuk
4
http://usd.ac.id/lembaga/lppm/f1l3/Jurnal%20Historia%20Vitae/vol24no1april2010/PARADIG MA%2 0PEMBELAJARAN%20SEJARAH%20YR%20Subakti.pdf “diakses tanggal 15 Maret 2014”
5
Ibid.,
6
http://rudicahyo.com/psikologi-artikel/zone-of-proximal-development-dan-scaffolding-pada-teori-belajar-vygotsky/“diakses tanggal 23 April 2014”
belajar dan untuk memecahkan masalah. Bantuan tersebut dapat berupa petunjuk, dorongan, peringatan, menguraikan masalah ke dalam langkah-langkah pemecahan, memberikan contoh dan tindakan-tindakan lain yang memungkinkan siswa itu belajar mandiri. Tentunya, diharapkan scaffolding ini benar-benar bisa membantu siswa dalam memecahkan suatu permasalahan yang dipelajari di kelas.
b) Proses Bottom Up
Pendekatan konstruktivisme dalam pengajaran lebih menekankan proses pengajaran secara bottom-up daripada top-down. Konteks bottom-up menekankan bahwa, untuk memiliki pengetahuan, tiap individu itu harus berperan aktif dalam membina pengetahuan. Jadi pengetahuan haruslah diperoleh dari tindakan mencari tahu, bukan hanya diperoleh dari menerima dari orang lain. Dalam hal membina pengetahuan itu setiap orang memiliki cara-cara yang berbeda karena kemampuan dan keinginan tiap individu itu tidak sama.
c) Zone Of Proximal Development (ZPD)
Zone of proximal development (ZPD) dimaknai sebagai jarak antara tingkat perkembangan sesungguhnya dalam bentuk kemampuan pemecahan masalah secara mandiri, dengan tingkat perkembangan potensial dalam bentuk kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan guru atau melalui kerjasama dengan teman sejawat yang lebih mampu. Siswa bekerja dalam ZPD mereka, berarti siswa tersebut
tidak dapat menyelesaikan tugas-tugasnya dan dapat terselesaikan jika mendapat bantuan dari teman sebaya atau guru.
Gambar 1 : Zone Of Proximal Development Keterangan :
1)Kemampuan awal siswa : kemampuan yang dimiliki siswa sebelum
menerima pembelajaran
2)ZPD : zona antara tingkat perkembangan aktual dan tingkat
perkembangan potensial. Tingkat perkembangan aktual tampak dari kemampuan anak menyelesaikan tugas-tugas secara mandiri.
3)Kemampuan Siswa Sekarang : kemampuan siswa memecahkan
masalah setelah mendapatkan bantuan dari teman sejawat dan gurunya.
d) Pembelajaran Kooperatif
Salah satu implikasi penting teori Vygotsky dalam pendidikan adalah perlunya kelas berbentuk pembelajaran kooperatif antar siswa, sehingga siswa dapat berinteraksi dalam menyelesaikan tugas-tugas dan dapat saling memunculkan strategi
Kemampuan Siswa
Sekarang ZPD
Kemampuan
pemecahan masalah yang efektif di dalam masing-masing ZPD mereka. Pendekatan konstruktivitis dalam pengajaran kelas yang menerapkan pembelajaran kooperatif secara ekstensif, atas dasar teori bahwa siswa akan lebih mudah menemukan dan memahami konsep-konsep yang sulit apabila mereka dapat saling mendiskusikan masalah-masalah yang mereka hadapi dengan temannya.
Model pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai tiga tujuan pembelajaran yang penting, yaitu prestasi akademik, penerimaan akan penghargaan dan pengembangan keterampilan sosial, contohnya berani mengungkapkan pendapat di depan kelas, berani bertanya, menghargai pendapat teman, dsb. Jadi, meskipun pembelajaran kooperatif mencakup berbagai tujuan sosial, namun pembelajaran kooperatif dapat juga digunakan untuk meningkatkan prestasi akademik siswa.
2. Prinsip-prinsip Pembelajaran Sejarah Berbasis Konstruktivisme Prinsip-prinsip dalam pembelajaran yang berpaham konstruktivis diantaranya adalah sebagai berikut7 :
a. Pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri baik secara personal maupun sosial;
b. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru ke siswa, kecuali hanya dengan keaktifan siswa itu sendiri untuk menalar;
7
http://usd.ac.id/lembaga/lppm/f1l3/Jurnal%20Historia%20Vitae/vol24no1april2010/
PARADIGMA%20PEMBELAJARAN%20SEJARAH%20YR%20Subakti.pdf“diakses tanggal 15 Maret 2014”
c. Siswa aktif mengkonstruksi terus menerus sehingga selalu terjadi perubahan konsep menuju ke konsep yang lebih rinci, lengkap, serta sesuai dengan konsep ilmiah;
d. Guru sekedar membantu menyediakan sarana dan situasi agar proses konstruksi siswa berjalan mulus;
e. Evaluasi dalam pembelajaran, dalam pandangan konstruktivis, evaluasi menekankan pada penyusunan makna secara aktif yang melibatkan keterampilan yang terintegrasi dengan menggunakan masalah dalam konteks nyata; menggali munculnya berpikir divergen, pemecahan ganda, bukan hanya satu jawaban benar; evaluasi harus diintegrasikan ke dalam tugas-tugas yang menuntut aktivitas belajar yang bermakna serta menerapkan apa yang dipelajari dalam konteks nyata, bukan sebagai kegiatan yang terpisah