• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LEMBAGA PERWAKILAN RAKYAT

C. Teori Lembaga Perwakilan

Sistem pemerintahan yang demokratis yang dilaksanakan dalam sistem

perwakilan, keberadaan lembaga perwakilan rakyat dipandang sebagai suatu

19

keniscayaan dalam penyelenggaraan sistem pemerintahan ini. Lembaga negara ini

merupakan badan yang berwenang sebagai pelaksana kekuasaan negara dalam hal

menentukan kebijakan umum yang mengikat seluruh rakyat. Lembaga perwakilan

atau lembaga legislatif saat ini banyak negara disebut dengan nama parlemen.20

Perbincangan teoritis mengenai struktur organisasi parlemen ini biasanya

dikenal dengan adanya dua sistem, yaitu sistem unikameral dan bikameral. Sistem

unikameral terdiri atas satu kamar, sedangkan sistem bikameral mempunyai dua

kamar yang masing-masing mempunyai fungsi sendiri-sendiri.21

1. Sistem Unikameral

Dalam susunan lembaga perwakilan satu kamar (unikameral) tidak dikenal

dengan adanya kamar (chamber) yang terpisah berupa Majelis Rendah (lower house) dan Majelis Tinggi (upper house). Dalam model unikameral, hanya ada satu kamar di lembaga legislatif. Dalam kutipannya Jimly Ashiddiqie

menyebutkan bahwa majelis legislatif dalam sistem unikameral itu terpusat pada

satu badan legislatif tertinggi dalam struktur negara. isi aturan mengenai tungsi

dan tugas parlemen unikameral ini beragam dan bervariasi dari satu negara ke

negara lain, tetapi pada pokoknya serupa bahwa secara kelembagaan fungsi

20

Reni Dwi Purnomowati, Implementasi Sistem Bikameral Dalam Parlemen Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2005), h. 10.

21

legislatif tertinggi diletakkan sebagai tanggung jawab satu badan tertinggi yang

dipilih oleh rakyat.22

Negara-negara yang berukuran kecil lebih menyukai untuk satu kamar

daripada dua kamar, seperti masalah keseimbangan kekuatan politik sangat kecil

kesulitannya untuk memecahkannya daripada dalam suatu negara besar. Di

negara-negara kesatuan sosialis, sistem bikameral dipandang membawa pada

komplikasi-komplikasi, penundaan-penundaan, dan biaya-biaya, dengan sedikit

kompensasi yang menguntungkan.23

Meskipun mampu menjalankan fungsi legislasi, model unikameral ini

kurang mampu menggagas idealitas fungsi lembaga parlemen. Tanpa kamar

satunya kontrol adalah cabang kekuasaan lainnya. Tanpa mekanisme kontrol

internal tersebut, kualitas fungsi parlemen dalam hal legislasi, representasi,

kontrol, anggran maupun pengisian jabatan publik menjadi berkurang. Namun

demikian, menurut Dahlan Thaib, kelebihan sistem unikameral akan lebih capat

meloloskan undang-undang karena hanya ada satu kamar badan perwakilan.24

Proses legislasi dalam model unikameral pada sistem pemerintahan hanya

menyisakan kemungkinan saling kontrol antara kamar tunggal legislatif dengan

eksekutif. Karena selesai di satu kamar, proses legislasi di lembaga legislatif bisa

22

Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2013, cet. Ke-2), h.233.

23

Abdy Yuhana, Sistem Ketatanegaraan Indonesia ...., h. 59-60

24

keluar dari kemungkinan terjadinya deadlock antarkamar seperti di sistem bikameral. Tidak hanya itu, jika presiden menolak (veto) rancangan

undang-undang yang telah disetujui lembaga legislatif, penolakan legislatif (override) cukup diputuskan di satu kamar saja. Artinya, proses legislasi dalam sistem

unikameral menjadi lebih sederhana dan cepat jika dibandingkan dengan

lembaga legislatif bikameral.25

2. Sistem Bikameral

Teori klasik Aristoteles dan Polybius yang mengargumentasikam bahwa

pemerintahan yang baik adalah gabunngan antara prinsip demokrasi dan oligarki.

Lalu kemudian, dikemukakan oleh Robert L. Madex, Jeremy Bentham-lah yang

paling pertama mengeluarkan istilah lembaga legislatif bikameral.

Definisi bikameralisme yang dikemukakan oleh Giovani Sartori

sebagaimana yang dikutip oleh Denny Indrayana adalah:26

“Bikameralisme besebrangan dengan unikameralisme, dengan alasan bahwa

dua kamar adalah satu perangkat kontrol yang aman, dan bahwa konsentrasi semua kekuasaan legislatif pada satu lembaga saja tidak hanya berbahaya tetapi juga tidak bijaksana karena dua mata lebih baik daripada hanya satu

mata saja”.

Pilihan atas model dua kamar (bikameral) dalam lembaga perwakilan rakyat

dijelaskan C.F. Strong dengan mengutip pendapat Lord Bryce bahwa no lesson

25

Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi…,h. 234.

26

Denny Indrayana, Amandemen UUD 1945, Antara Mitos dan Pembongkaran, (Jakarta: Mizan, 2007), h. 272.

of constitutional history bas been more deeply imbided than that which teaches the use of second chamber.27Mengikuti argumentasi itu, Lord Bryce mengatakan bahwa kamar kedua (second chamber) mempunyai empat fungsi, yaitu: (a)

revision of legislation, (b) initiation of noncontroversional bills, (c) delaying

legislation of fundamental constitutional importance so as ‘to enable the opinion

of the nation to be adequately expressed upon it’ dan (d) public debate.28

Dengan adanya kamar kedua, monopoli legislasi dalam satu kamar dapat

dihindari. Karenanya, lembaga legislatif dua kamar mencegah pengesahan

undang-undang secara tergesa-gesa dan tidak direncanakan dengan matang oleh

majelis, perasaan sebagai kekuasaan yang tak terbatas pada pihak satu majelis,

kesadaran sebagai satu-satunya kekuasaan untuk dimintai nasihat dapat

menyebabkan penyalahgunaan kekuasaan dan tirani, sebaliknya setiap saat harus

ada pusat resistensi terhadap kekuasaan yang dominan dalam suatu negara.29

Bikemeral diartikan sebagai sistem yang terdiri atas dua kamar berbeda dan

biasanya dipergunakan istilah majelis tinggi (upper house) dan majelis rendah (lower house). Masing-masing kamar mencerminkan keterwakilan dari kelompok kepentingan masyarakat baik secara politik, teritorial ataupun fungsional.30

27

Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi ..., h. 235.

28

Reni Dwi Purnomowati, Implementasi Sistem Bikameral Dalam Parlemen Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2005), h. 15

29

Charles Simabura, Palemen Indonesia: Lintasan Sejarah dan Sistemnya, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h. 10.

30

Sehingga saat ini sistem bikameral diketegorikan dalam dua kelompok besar,

yaitu bikameral kuat (strong bicameralism) dan bikameral lunak (soft bicameralism). Pada strong bicameralism dalam arti kedua kamar dilengkapi dengan kewenangan yang sama-sama kuat dan saling mengibangi satu sama lain.

Sedangkan soft bicameralism diartikan bahwa kedua kamar tidak memiliki kewenangan yang sama kuat.31

Ada dua alasan para penyusun konstitusi memilih sistem bikameral. Alasan

pertama adalah untuk membangun sebuah mekanisme pengawasan dan

keseimbangan (check and balances) serta untuk pembahasan sekali lagi dalam bidang legislatif. Alasan yang kedua adalah untuk membentuk perwakilan untuk

menampung kepentingan tertentu yang biasanya tidak cukup terwakili oleh

majelis pertama. Secara khusus bikameral telah dipergunakan untuk menjamin

perwakilan yang memadai untuk daerah-daerah di dalam lembaga legislatif.

Hasil dari kesenjangan representasi di majelis kedua amat bervariasi di dalam

berbagai sistem di dunia.32

Menurut Arent Lijphart,33 ada enam perbedaan antara kamar pertama dan

kamar kedua. Dari enam perbedaan tersebut, terdapat tiga hal yang secara khusus

penting dalam membedakan apakah bikameralisme adalah suatu institusi yang

31

Jimly Ashiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Konpress, 2006), h. 186.

32

Abdy Yuhana, Sistem Ketatanegaraan Indonesia …, h. 61.

33

signifikan. ketiga perbedaan yang signifikan tersebut diantaranya adalah,

Pertama, kamar kedua cenderung lebih kecil dari kamar pertama. Kedua, adalah masa jabatan legislatif kamar kedua cenderung lebih lama daripada di kamar

pertama. Ketiga, ciri-ciri umum yang lain dari kamar kedua dipilih dengan cara pemilihan umum bertahap (staggered election)

Sistem bikameral dapat digolongkan sebagai „kuat’ (strong) dan „lunak’

(soft). Dalam membagi antara parlemen kuat dan lemah Arent Lijphart membedakan menjadi tiga ciri sebagai berikut.34 Pertama, kekuasaan yang

diberikan secara formal oleh konstitusi terhadap kedua kamar tersebut. Pola yang

umum terhadap kamar kedua adalah bahwa kamar kedua cenderung subordinat

terhadap kamar kedua. Sebagai contoh, suara negatif (negatives votes) mereka pada pengusulan legislasi seringkali diabaikan oleh kamar pertama, dan dalam

paling banyak sistem parlementer kabinet bertanggungjawab secara ekslusif

kepada kamar pertama.

Kedua, kepentingan politik yang sesungguhnya dari kamar kedua tidak

hanya tergantung dari kekuasaan formalnya (dalam konstitusi), tetapi juga

bagaimana metode seleksi mereka. Semua kamar pertama paling banyak dipilih

secara langsung oleh pemilih, tetapi anggota kamar kedua paling banyak dipilih

secara tidak langsung (biasanya dibawah tingkatan dari pemerintah nasional).

Kamar kedua yang dipilih secara langsung kurang mempunyai legitimasi

34

demokratis, sehingga pengaruh politik yang sebenarnya diberikan kepada kamar

pemilihnya (popular election). Sebaliknya, pemilihan langsung kamar kedua mungkin akan mengimbangi beberapa tingkat untuk kekuasaan yang dibatasi.

Berdasarkan kedua kriteria diatas, yaitu kekuasaan formal relatif terhadap dua

kamar dan legitimasi demokrasi dari kamar kedua, legislasi bikameral dapat

diklasifikasikan semagai simetris dan asimetris bikameral. Kamar yang secara

simetris adalah bila kekuasaan yang diberikan konstitusi sama atau hanya secara

moderat tidak sama dalam hal ini.

Ketiga, perbedaan yang krusial antara dua kamar legislatif bikameral adalah

kamar kedua mungkin dipilih dengan cara atau desain yang berbeda juga sebagai

perwakilan (overrepresent) minoritas yang tertentu/khusus.

Sistem bikameral dapat digolongkan sebagai „kuat’ atau „lunak’. Andrew S.

Ellis menggolongkannya sebagai berikut.35Dalam sistem yang „kuat’, pembuatan

undang-undang biasanya dimulai dari majelis manapun, dan harus

dipertimbangkan oleh kedua kamar majelis dalam forum yang sama sebelum bisa

disahkan. Dalam sistem „lunak’, majelis yang satu memiliki status yang lebih

tinggi dari yang lain. Misalnya majelis pertama mungkin dapat

mengesampingkan penolakan atau amandemen RUU yang diajukan oleh majelis

kedua. Hal ini menyaratkan tingkat dukungan yang lebih tinggi, seperti mayoritas

absolut dari anggota-anggotanya, atau dua pertiga mayoritas dari anggota yang

35

hadir dan memberikan. Majelis kedua juga bisa dilarang atau dibatasi secara

ketat dalam menolak atau melakukan amandemen RUU Keuangan (money bills). Bila dalam majelis kedua merupakan perwakilan dari daerah-daerah, kekuatan

dari majelis kedua bisa saja, bervariasi tergantung dari apakah RUU yang

diperdebatkan berkaitan langsung dengan daerah-daerah tersebut. Dan sebuah

sesi bersama (joint session) dari kedua majelis dapat digunakan sebagai mekanisme untuk menyelesaikan konflik sehingga sebagian besar anggota dari

majelis kedua memiliki timbangan/porsi yang lebih besar dalam pengambilan

BAB III

KEDUDUKAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH SEBELUM PERUBAHAN UNDANG-UNDANG

A. KONSEP DEWAN PERWAKILAN DAERAH SEBELUM AMANDEMEN UUD 1945

Lembaga perwakilan daerah sudah pernah terbentuk di Indonesia yang terdapat

dalam konstitusi RIS.1 Pada masa RIS, negara tetap berdasarkan pada Kedaulatan

Rakyat. Pernyataan tersebut dinyatakan dalam Konstitusi RIS pada Pasal 1 ayat (2)

bahwa: Kedaulatan Rakyat dilaksanakan oleh Pemerintah bersama dengan DPR dan

senat. Berdasarkan ketentuan ini rakyat tetap diposisikan sebagai pemilik dan

pemegang kedaulatan, namun kedaulatan rakyat tersebut dilaksanakan oleh

pemerintah bersama dengan DPR dan senat.2

Untuk di bidang legislasi, pasal 127 a Konstitusi RIS menyebutkan bahwa:

kekuasaan perundang-undangan federal dilakukan oleh pemerintah bersama-sama

dengan DPR dan Senat, dan Pasal 128 ayat (1): Usul pemerintah tentang

undang-undang disampaikan kepada DPR dengan amanat presiden dan dikirim serentak

1

Pada tanggal 27 Desember 1945, di Amsterdam, Belanda, menghasilkan sebuah perjanjian antara Indonesia dan Kerajaan Belanda dalam KMB (Konferensi Meja Bundar) yaitu Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan konstitusinya yang disebut Konstitusi RIS. Lihat Charles Simambura,

Palemen Indonesia…, h. 57.

Konstitusi RIS adalah konstitusi negara federasi dengan sistem parlementer, yang sama halnya UUDs 1945, juga masih bersifat sementara. Lihat Hendarmin Ranadireksa, Dinamika Konstitusi Indonesia,

(Bandung: Fokusmedia, 2009, edisi kedua), h. 49.

2

kepada senat untuk diketahui, Ayat (2): Senat berhak mengajukan usul

undang-undang kepada DPR. Apabila senat menggunakan hak ini, maka hal itu diberitahukan

serentak kepada presiden, dengan menyampaikan salinan usul itu, dan Ayat (4) : DPR

berhak mengajukan usul undang-undang kepada pemerintah.

Berdasarkan ketentuan tersebut, Konstitusi RIS 1949 meneguhkan praktik

pemerintahan parlementer (sistem tanggungjawab menteri) seperti yang termaktub

dalam Maklumat 14 November. Lembaga legislatifnya merupakan badan perwakilan

dengan sistem dua kamar (bicameral system) sehingga fungsi legislasi dilakukan secara bersama-sama antara pemerintah dan DPR serta senat.3

Sesudah reformasi, keinginan membentuk badan legislasi bikameral muncul

berkaitan dengan sistem politik yang sentralistik dan jarang memerhatikan aspirasi

daerah. Lembaga legislatif pada masa lalu cenderung pasif dan tidak memerhatikan

kebijakan pemerintah pusat terutama yang berkaitan dengan daerah. Sehingga sistem

bikameral dimunculkan kembali pada perubahan ke-3 dan ke-4 UUD 1945.4

Gagasan awal yang meyertai perubahan UUD 1945 bertolak dari keinginan

untuk merubah sistem perwakilan dari satu kamar (unicameral system) menjadi sistem dua kamar (Bicameral System). Di banyak negara, dua kamar parlemen dalam sistem bikameral itu terdiri dari Majelis Tinggi (Upper House). Di beberapa negara, majelis rendah biasanya diberi wewenang untuk mengambil prakarsa mengajukan

3

Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi,… , h. 115.

4

Reni Dwi Purnomowati, Implementasi Sistem Biksmeral dalam Parlemen Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2005), h. 138.

rencana anggaran dan pendapatan negara, sedangkan Majelis Tinggi berperan dalam

perumusan kebijaksanaan luar negeri. Pada prinsipnya, kedua kamar majelis dalam

sistem bikameral itu memiliki kedudukan yang sederajat. Satu sama lain tidak saling

membawahi, baik secara politik maupun secara legislatif. Undang-undang tidak dapat

ditetapkan tanpa persetujuan bersama yang dilakukan oleh suatu panitia bersama

ataupun melalui sidang gabungan di antara kedua majelis itu.5

Salah satu konsekuensi dari gagasan dua kamar (yang terdiri dari DPR dan

DPD), diperlukan penamaan wadah bagi Badan Perwakilan yang mencerminkan dua

unsur perwakilan tersebut seperti negara-negara yang menganut bicameral system.

Sehubungan dengan itu, maka nama yang digagaskan untuk badan perwakilan dua

kamar di Indonesia adalah tetap menggunakan nama Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).6

Perubahan terhadap UUD 1945, dimulai pada tahun 1999, perubahan

konstitusi dalam kerangka reformasi kelembagaan merupakan bagian penting kearah

perwujudan apa yang dikenal sebagai consolidated democrazy.7

Untuk pertama kalinya perubahan UUD 1945 dilakukan pada tangggal 19

Oktober 1999 oleh MPR karena adanya penyimpangan pelaksanaan UUD 1945 pada

masa lalu bukan hanya terjadi karena faktor politik atau kepemimpinan nasional saja

5 Ni’matul Huda, UUD 1945 dan Gagasan Amandemen Ulang, (Jakarta: Rajawali Pers, 2008), h. 228.

6

Abdy Yuhana, Sistem Ketatanegaraan Indonesia …, h. 4.

7

namun juga diakibatkan oleh rumusan UUD 1945 yang memberikan peluang untuk

itu. UUD 1945 telah dijadikan instrumen politik yang ampuh untuk membenarkan

berkembangnya otoritarianisme dan menyuburkan praktik-praktik korupsi, kolusi,

dan nepotisme di sekitar kekuasaan presiden.8

Pembahasan perubahan pertama UUD 1945 tentang MPR sebagai salah satu

materi perubahan Undang-Undang Dasar. Pandangan-pandangan umum dari

fraksi-fraksi di MPR menyimpulkan beberapa poin penting dalam rangka menata lembaga

perwakilan. Poin tersebut antara lain:9

1. Reorientasi pelaksanaan kedaulatan rakyat yang selama ini berada di tangan

MPR.

2. Penataan ulang lembaga negara yaitu lembaga tinggi dan lembaga tertinggi

3. Menciptakan hubungan yang seimbang dan demokratis (check and balances). 4. Menata ulang struktur MPR yang mulai mengarah pada pemikiran penguatan

peran utusan daerah.

5. Belum membahas konsep parlemen bikameral secara mendalam.

Pembahasan perubahan kedua UUD 1945 dilakukan oleh PAH I BP MPR10.

PAH I bersidang antara 1999 sampai 2000 dan mengadakan sidang sebanyak 51 kali.

8

Charles Simambura, Palemen Indonesia …, h. 77.

9

Charles Simambura, Palemen Indonesia …, h. 82.

10

Panitia Ad Hoc I BP MPR adalah panitia yang disiapkan oleh Badan Pekerja (BP) MPR untuk membahas dan mempersiapkan Rancangan Ketetapan (Rantap) dan Rancangan Keputusan (Rantus) serta acara sidang MPR, Badan Pekerja (BP) MPR terdiri dari 45 orang anggota tetap dan 45 orang anggota pengganti.

Pembahasan materi perubahan UUD 1945 mulai dilakukan pada rapat ke-3 PAH I

yang dilaksanakan pada 6 Desember 1999 yang dipimpin oleh Ketua PAH I Jakob

Tobing dengan agenda Pengantar Musyawarah fraksi-fraksi.11

Pada perubahan kedua ini, keinginan untuk membentuk lembaga parlemen

dengan sistem bikameral semakin menguat. Terungkap dalam persidangan dan

rapat-rapat yang dilakukan PAH I, lebih menitik beratkan pada pembahasan mengenai

komposisi Majelis Permusyawaratan Rakyat. Perdebatan yang terjadi mengenai

sistem bikameral ini tidak hanya melibatkan anggota PAH I MPR saja, namun juga

mengundang komponen civil society lainnya. Selain itu juga dibahas hasil dan masukan dari daerah tersebut merupakan hasil kunjungan ke beberapa daerah.12

Usulan mengenai pembaharuan kelembagaan MPR di antaranya berupa

penghapusan utusan golongan peninjauan ulang wewenang MPR dan hak-hak

anggota MPR. Usulan tersebut disampaikan oleh F-PDU melalui juru bicaranya

Asnawi Latief meliputi:

Pertama, utusan daerah adalah utusan yang mewakili daerah bukan urusan partai politik, unsur birokrasi tidak boleh menjadi utusan daerah. Utusan daerah dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilu yang bersamaan dengan anggota DPR dan DPRD.

Kedua, utusan golongan dihapuskan dari keanggotaan MPR.

Ketiga, MPR hanya dapat melakukan wewenang yang telah tercantum dalam UUD.13

11

Naskah Konferhensif Perubahan UUD 1945Negara Republik Indonesia, Buku III Jilid 1, Sekjen MPR, Jakarta, h. 89.

12

Charles Simambura, Palemen Indonesia …, h. 99.

13

Pada rapat ke-7 PAH I BP MPR pada tanggal 13 Desember 1999 yang

dipimpin oleh ketua PAH I Jakob Tobing dengan agenda melakukan dengar pendapat

dengan para pakar, antara lain Roeslan Abdulgani, Dr. Pranarka, dan Dahlan

Ranuwihardjo tentang MPR hanya Roeslan Abdulgani yang mengemukakan

pemikirannya:

…kalau utusan daerah dijadikan kuat, maka kita datang pada senat sehingga kita nanti mempunyai bicameral system, satu DPR, satu senat. Yang senat ini adalah terdiri dari, umpamanya dua dari tiap-tiap provinsi atau tiga orang dari tiap provinsi. Tidak melihat besar kecilnya sehingga dengan begitu kita nanti mempunyai bicameral systemyang bisa kita jalankan itu semua…14

Mengenai komposisi MPR Dahlan Ranuwidjoyo pada intinya mengemukakan

bahwa dasar kehadiran utusan golongan adalah untuk mencerminkan representasi

fungsional di samping representasi secara politik yang dimiliki oleh DPR. Begitu pula

dengan utusan daerah kehadirannya dalam rangka mencerminkan keterwakilan secara

teriotorial. Namun demikian, ini tidak berarti dikatakan bikameral karena jika

bikameral kedudukannya sama dan sederajat.15 Dari pemaparan para pakar kelihatan

bahwa komposisi MPR yang terdiri dari DPR ditambah utusan golongan dan daerah

adalah dalam rangka untuk meng-akomodir keterwakilan seluruh rakyat Indonesia

baik secara fungsional, teritorial, dan politik. Namun, desain kelembagaannya tidak

menganut sistem bikameral.16

14

Naskah Konferhensif Perubahan UUD 1945 …, h. 100.

15

Naskah Konferhensif Perubahan UUD 1945 …, h. 104.

16

Pembahasan mengenai struktur dan komposisi MPR lebih banyak dilakukan

pada rapat ke-33 PAH I BP MPR yang membahas usulan fraksi tentang rumusan

perubahan Bab II. Theo L Sambuaga juru bicara F-PG mengemukakan hal sebagai

berikut.

…Fraksi Partai Golkar ingin mengusulkan agar Majelis Permusyawaratan

Rakyat terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Utusan Daerah dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum yang dilaksanakan secara berkala… Saudara ketua dan anggota yang terhormat. Dengan sistem

parlementer dua kamar (bikameral) sebagaimana yang diusulkan, diharapkan penyelenggaraan kehidupan bernegara akan terselenggara lebih demokratis dan checks and balances lebih terjamin… Selanjutnya kami telah mempersiapkan sistematika baru, yaitu Bab II tentang Sistematika Majelis Permusyawaratan Rakyat, Bab III tentang Sistematika Dewan Perwakilan Rakyat, dan Bab IV tentang Sistematika Dewan Utusan Daerah.17

F-PPP melalui juru bicaranya menyampaikan usulan rumusan mengenai

komposisi Majelis Perwakilan Rakyat sebanyak delapan buah. Khusus usul rumusan

mengenai komposisi MPR menjadi rumusan pertama. Usulan rumusannya berbunyi

bahwa Majelis Perwakilan Rakyat terdiri dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan

amggota Dewan Utusan Daerah yang masing-masing dipilih melalui pemilihan

umum yang diatur dengan undang-undang.18

Pada pembahasan ketiga Undang-undang Dasar 1945 khusus mengenai materi

tentang MPR pada rapat ke-12, 29 Maret 2001. Pembahasan tersebut ddengan agenda

mendengarkan keterangan tim ahli yakni Nazarudin Syamsudin yang menyatakan:

17

Naskah Konferhensif Perubahan UUD 1945 …, h. 152.

18

….Kemudian menyangkut Bab II Pasal 2, Perumusan yang dibuat oleh Badan

Pekerja itu kalau kit abaca respons daripada tim secara leeterlijk tulisannya tidak setuju, diganti dengan yang baru. Jadi sana ada ide-ide yang kami sepakati sehingga usul kami adalah sebai berikut: “Majelis Permusyawaratan

Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota dewan

Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum.”19

Selanjutnya, anggota tim ahli yaitu Prof. Jimly Asshiddiqie yang menyatakan

pendapat tentang struktur MPR, bahwa:

Kami berpendapat, pertama, struktur parlemen kita sebaiknya di masa yang akan datang kita kembangkan menjadi bikameral dengan konsekuensi MPR sebagai lembaga tertinggi negara itu mengalami penyesuaian. Majelis Permusyawaratan Rakyat akan menjadi nama dari persidangan bersama antara MPR dan DPD. MPR yang telah menjadi forum tersebut berwenang melakukan dua hal. Jadi masih ada sisa kewenangan yang masih harus diputuskan dalam joint session.20 Artinya MPR merupakan rapat gabungan

dari DPR dan DPD…

Kemudian Maswadi Rauf memberikan tanggapan yang memperjelas

mengenai konsep bikameralisme yang sudah disampaikan. Menurut beliau bahwa:

19

Naskah Konferhensif Perubahan UUD 1945 …, h. 204.

20

Sebagai lembaga gabungan/joint session antara DPR dan DPD, MPR mempunyai konsekuensi atas perubahan dari lembaga permanen, perbedaannya dari lembaga permanen menjadi lembaga gabungan diantaranya adalah:

1) MPR sebagai lembaga permanen

Kepermanenan lembaga MPR ini membawa MPR sebagai institusi yang pada akhirnya akan memiliki perangkat penuh sebagai sebuah lembaga seutuhnya, yaitu:

a) Kelengkapan administrasi dan organisasional anggota individu;

b) Kesekretariatan tersendiri dengan pengurusnya untuk menjalankan fungsinya sebagai sebuah lembaga yang mandiri;

c) Kode etik dan badan kehormatannya sendiri; d) Sistem penggajian anggota (anggaran). 2) MPR sebagai sidang gabungan (joint session)

Pengertian MPR sebagai sidang gabungan adalah bahwa MPR tidak lagi merupakan sebuat lembaga yang bersifat mandiri. Ia hanya forum pertemuan antara dua lembaga negara, yaitu DPD dan DPR. ketika sidang berlangsung, baik anggota DPR dan DPD yang bersidang bersama-sama tersebut, tetap sebagai anggota DPR dan DPD. Mereka tidak tergabung menjadi satu dalam sebuah lembaga lain (MPR). Lihat Reni Dwi Purnomowati, Implementasi Sistem …, h.175-176.

Dokumen terkait