• Tidak ada hasil yang ditemukan

URAIAN TEORITIS 2.1 Pengertian dan Teori Pembangunan Ekonomi

2.3 Teori Pembangunan Regional

Pertumbuhan ekonomi daerah yang berbeda-beda intensitasnya akan menyebabkan terjadinya ketimpangan atau disparitas ekonomi dan ketimpangan pendapatan antar daerah.Myrdal (1968) dan Friedman (1976) menyebutkan bahwa pertumbuhan atau perkembangan daerah akan menuju kepada divergensi.

Pertumbuhan regional adalah produk dari banyak faktor yang bersifat intern dan ekstern serta sosio politik. Faktor intern meliputi distribusi faktor produksi seperti tanah, tenaga kerja, dan modal. Sedangkan salah satu penentu ekstern yang penting adalah tingkat permintaan dari daerah-daerah lain terhadap komoditi yang dihasilkan oleh daerah tersebut.

Percepatan pembangunan dan pertumbuhan wilayah-wilayah strategis dan cepat tumbuh didorong sehingga dapat mengembangkan wilayah-wilayah tertinggal di sekitarnya dalam suatu sistem wilayah pengembangan ekonomi yang sinergis, tanpa mempertimbangkan batas wilayah administrasi, tetapi lebih ditekankan pada pertimbangan keterkaitan mata-rantai proses industri dan distribusi.

Upaya ini dapat terwujudnya koordinasi, sinkronisasi, keterpaduan dan kerjasama antar sektor, antar pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat dalam mendukung peluang berusaha dan investasi di daerah. Rendahnya pemanfaatan Rencana Tata Ruang sebagai acuan koordinasi pembangunan lintas sektor dan wilayah pembangunan yang dilakukan di suatu wilayah saat ini masih sering dilakukan tanpa mempertimbangkan keberlanjutannya.

Keinginan untuk memperoleh keuntungan ekonomi jangka pendek seringkali menimbulkan keinginan untuk mengeksploitasi sumber daya alam secara berkelebihan sehingga menurunkan kualitas (degradasi) dan kuantitas (deplesi) sumber daya alam dan lingkungan hidup. Selain itu, seringkali pula terjadi konflik pemanfaatan ruang antar sektor, contohnya adalah terjadinya konflik antar kehutanan dan pertambangan. Salah satu penyebab terjadinya permasalahan tersebut adalah karena pembangunan yang dilakukan dalam wilayah tersebut belum menggunakan Rencana Tata Ruang sebagai acuan koordinasi dan sinkronisasi pembangunan antar sektor dan antar wilayah.

Ada beberapa teori pertumbuhan ekonomi regional yang lazim dikenal yaitu :

Teori Basis Ekspor (Export Base Theory)

Teori ini dikemukakan oleh Douglas E.North (1955) ini merupakan model yang paling spesifik dari teori pertumbuhan ekonomi. Region yang ruang lingkup tinjauannya lebih berfokus kepada kemampuan untuk melakukan transaksi ekspor, sehingga pertumbuhan ekonomi daerah lebih banyak ditentukan oleh jenis keuntungan dan tata lokasi kegiatan tersebut.

Model teori basis ekspor ini menekankan pada beberapa hal antara lain : a. Bahwa suatu daerah tidak harus menjadi daerah industri untuk dapat tumbuh

dengan cepat, sebab faktor penentu pertumbuhan daerah adalah keuntungan komparatif (keuntungan lokasi) yang dimiliki yang oleh daerah tersebut ;

b. Pertumbuhan ekonomi suatu daerah akan dapat dimaksimalkan bila daerah yang bersangkutan memanfaatkan keuntungan komparatif yang dimiliki menjadi kekuatan basis ekspor ;

c. Ketimpangan antar daerah tetap sangat besar dipengaruhi oleh variasi potensi masing-masing daerah.

Ini berarti bahwa untuk meningkatkan pertumbuhan suatu region, strategi pembangunan harus disesuaikan dengan keuntungan lokasi yang dimilikinya dan tidak harus sama dengan strategi pembangunan pada tingkat nasional.

Teori Neo-Klasik (Neo Classic Theory)

Dalam negara yang sedang berkembang, pada saat proses pembangunan baru dimulai, tingkat perbedaan kemakmuran antar wilayah cenderung menjadi tinggi (divergence), sedangkan bila proses pembangunan telah berjalan dalam waktu yang lama maka perbedaan tingkat kemakmuran antar wilayah cenderung menurun (convergence). Hal ini disebabkan pada negara sedang berkembang lalu lintas modal masih belum lancar sehingga proses penyesuaian ke arah tingkat keseimbangan pertumbuhan belum dapat terjadi (Sirojuzilam, 2005:9).

Teori ini mendasarkan analisanya pada komponen fungsi produksi. Unsur-unsur yang menentukan pertumbuhan ekonomi regional adalah modal, tenaga kerja, dan teknologi. Adapun kekhususan teori ini adalah dibahasnya secara mendalam pengaruh perpindahan penduduk (migrasi) dan lalu lintas modal terhadap pertumbuhan regional.

Masih belum lancarnya fasilitas perhubungan dan komunikasi serta kuatnya tradisi yang menghalangi mobilitas penduduk biasanya merupakan faktor utama yang menyebabkan belum lancarnya arus perpindahan orang dan modal antar daerah. Sedangkan pada negara-negara yang telah maju proses penyesuaian tersebut dapat terjadi dengan lancar karena telah sempurnanya fasiitas perhubungan dan komunikasi.

Teori Kumulatif Kausatif (Cummulative Causative Theory)

Teori ini dipelopori oleh Gunnar Myrnal (1957) yang mengatakan adanya suatu keadaan berdasarkan kekuatan relatif dari “Spread Effect” dan “Back Wash Effect”. Spread Effect adalah kekuatan yang menuju konvergensi antar daerah-daerah kaya dan daerah-daerah-daerah-daerah miskin. Dengan timbulnya daerah-daerah kaya, maka akan tumbuh pula permintaannya terhadap produk daerah-daerah miskin. Dengan demikian mendorong pertumbuhannya.

Akan tetapi Myrdal yakin bahwa dampak spread effect ini lebih kecil daripada back wash effect. Pertambahan permintaan terhadap produk daerah miskin tersebut terutama barang-barang hasil pertanian oleh daerah kaya tentu saja mempunyai nilai permintaan yang rendah, sementara konsumsi daerah miskin terhadap produk daerah kaya akan lebih mungkin terjadi. Para pelopor teori ini menekankan pentingnya campur tangan pemerintah untuk mengatasi perbedaan yang semakin menonjol.

Teori Pusat Lingkungan (Core Perpihery Theory)

Teori ini dikemukakan oleh Friedman sejak tahun 1966, yang melihat hubungan antara pembangunan kota (core) dan desa (periphery) disekitarnya.

Friedman berusaha untuk merumuskan suatu keadaan yang akan menciptakan suatu suasana kota di areal pedesaan, misalnya adanya kelengkapan yang memadai sebagaimana halnya diperkotaan, atau sebaliknya bagaiman pula menciptakan kehidupan dan nuansa desa di daerah kota.

2.3.5. Teori Pusat Pertumbuhan (Growth Poles Theory)

Growth Poles Theory adalah salah satu teori yang dapat menggabungkan antara prinsip-prinsip konsentrasi dengan desentralisasi secara sekaligus. Dengan demikian teori pusat pengembangan merupakan salah satu alat untuk mencapai tujuan pembangunan regional yang saling bertolak belakang, yaitu pertumbuhan dan pemerataan pembangunan keseluruh pelosok daerah. Selain itu teori ini juga dapat menggabungkan antara kebijaksanaan dan program pembangunan wilayah dan perkotaan terpadu.

Secara fungsional pusat pertumbuhan adalah suatu lokasi konsentrasi kelompok usaha atau cabang industri yang karena sifat hubungannya memiliki unsur-unsur kedinamisan sehingga mampu menstimulasi kehidupan ekonomi baik ke dalam maupun ke luar (daerah belakangnya). Secara geografis pusat pertumbuhan adalah suatu lokasi yang banyak memiliki fasilitas dan kemudahan sehingga menjadi pusat daya tarik yang menyebabkan berbagai macam usaha tertarik untuk berlokasi disitu dan masyarakat senang datang memanfaatkan fasilitas yang ada dikota tersebut, walaupun kemungkinan tidak ada interaksi antara usaha-usaha tersebut.

Tidak semua kota generatif dapat dikategorikan sebagai pusat pertumbuhan. Pusat pertumbuhan harus memiliki empat ciri yaitu adanya hubungan intern antara berbagai macam kegiatan yang memiliki nilai ekonomi, adanya multiflier effect (unsur pengganda), adanya konsentrasi goegrafis , dan bersifat mendorong pertumbuhan daerah belangnya.(Robinson, 2004:115)

Ketimpangan Antardaerah

Myrdal (1957) menyatakan bahwa tingkat kemajuan ekonomi antardaerah yang berlebihan akan menyebabkan pengaruh yang merugikan (backwash effect) mendominasi pengaruh yang menguntungkan (spread effect) terhadap pertumbuhan daerah, dalam hal ini menyebabkan proses ketidakseimbangan.pelaku-pelaku yang memiliki kekuatan pasar secara normal akan meningkat bukannya menurun sehingga mengakibatkan ketimpagan antardaerah (Arsyad :1999).

Peningkatan pendapatan per kapita memang menunjukkan tingkat kemajuan perekonomian suatu daerah. Namun meningkatnya pendapatan per kapita tidak selamanya menunjukkan bahwa distribusi pendapatan lebih merata. Sering kali di negara-negara berkembang dalam perekonomiannya lebih menekankan penggunaan modal dari pada penggunaan tenaga kerja sehingga keuntungan dari perekonomian tersebut hanya dinikmati sebagian masyarakat saja. Apabila ternyata pendapatan nasional tidak dinikmati secara merata oleh seluruh lapisan masyarakat, maka dapat dikatakan bahwa telah terjadi ketimpangan.

Dalam pembangunan ekonomi regional, Williamson (1965) meneliti hubungan antara disparitas regional dengan tingkat pembangunan, ditemukan bahwa selama tahap awal pembangunan , disparitas regional menjadi lebih besar dan pembangunan dan pembangunan terkonsentrasi didaerah-daerah tertentu. Pada tahap yang lebih matang, dilihat dari pertumbuhan ekonomi, tampak adanya keseimbangan antardaerah dan disparitas berkurang dengan signifikan.

Ketimpangan antardaerah juga disebabkan oleh mobilisasi sumber-sumber daya yang dimiliki oleh suatu daerah. Sumber-sumber daya yang dimiliki oleh suatu daerah. Sunber-sumber daya tersebut antara lain akumulasi modal, tenaga kerja, dan sumber daya alam yang dimiliki. Adanya heterogenitas dan beragam karakteristik suatu wilayah menyebabkan kecenderungan terjadinya ketimpangan antardaerah dan antarsektor ekonomi suatu daerah. Melihat fakta ini dapat dikatakan bahwa disparitas regional merupakan konsekuensi dari pembangunan itu sendiri.

Pembangunan yang dilakukan di suatu wilayah saat ini masih sering dilakukan tanpa mempertimbangkan keberlanjutannya. Keinginan untuk memperoleh keuntungan ekonomi jangka pendek seringkali menimbulkan keinginan untuk mengeksploitasi sumber daya alam secara berlebihan sehingga menurunkan kualitas (degradasi) dan kuantitas (deplesi) sumber daya alam dan lingkungan hidup. Selain itu, sering pula terjadi konflik pemanfaatan ruang antar sektor.

Salah satu penyebab terjadinya permasalahan tersebut karena pembangunan yang dilakukan dalam wilayah tersebut belum menggunakan Rencana Tata Ruang sebagai acuan koordinasi dan sinkronisasi pembangunan antar sektor dan antar wilayah. Oleh karena itu, sangat penting untuk memanfaatkan rencana tata ruang sebagai landasan atau acuan kebijakan spasial bagi pembangunan lintas sektor maupun wilayah agar pemanfaatan ruang dapat sinergis, serasi, dan berkelanjutan. Rencana Tata Ruang Wilayah disusun secara hirarkis dari tingkat Kabupaten, Kecamatan, Kota dan Desa.

Pendapatan per kapita suatu daerah banyak digunakan tolak ukur untuk mengukur ketimpangan dalam suatu daerah. Pendapatan ini tidak dilihat dari tingginya melainkan apakah pendapatan itu terdistribusi secara merata atau tidak ke seluruh masyarakat.

Tinjauan Tentang Konsep Pembangunan Wilayah

Secara harafiah kita dapat mengartikan kata pembangunan itu sebagai suatu proses aktifitas yang dilaksanakan untuk mencapai suatu tujuan yang hasilnya harus lebih baik untuk masa yang akan datang dibandingkan dengan kondisi sebelumnya. Wilayah disini berarti Kabupaten, jadi pembangunan wilayah adalah suatu proses daerah untuk meningkatkan kondisi yang harus lebih baik pada saat ini dan dimasa yang masa datang dibandingkan dengan masa yang lalu ( Tarigan, 2004:28)

Pengertian region adalah wilayah atau daerah, walaupun demikian bukan berarti konsep “space” menjadi satu-satunya unsur yang paling dominan dalam studi ekonomi regional, karena dalam studi itu tidaklah mungkin mengabaikan

konsep-konsep tradisional ekonomi, seperti permintaan (demand), penawaran (supply), harga (price), struktur produksi (production structur), perhitungan tingkat pendapatan nasional (national income account), teori konsumsi (consumption theory), teori investasi (investement theory), dan lain-lain yang tidak mungkin dapat dipisahkan.

Pendefinisian suatu region bukanlah suatu hal yang mudah, bahkan dapat dikatakan sulit. Apakah definisi suatu region akan dilakukan berdasarkan kesatuan daerah ekonomi, daerah administrasi maupun berdasarkan kesatuan yang bersifat historis. Guna memberi kemudahan dalam analisisa, maka konsep region sering diformulasikan sesuai dengan apa yang diperlukan, yaiu sebagai cara yang sistematis dalam menampilkan unsur tempat ke dalam analisa yang ditentukan secara khusus sesuai dengan sifat dan struktur dari teori yang menggunakanya. Hal ini berarti, bahwa pengertian regional dapat berbeda-beda teregantung kepada kepada jenis teori yang diperlukan. (Syafrizal :2005)

Penyatuan pemahaman tentang sistem penataan ruang nasional sangat dpierlukan sehingga rencana tata ruang menjadi acuan kebijakan spacial bagi pembangunan lintas sektor maupun wilayah. Penyelenggaraan ernas dalam rangka mewujudkan pemahaman dan penyamaan visi serta paradigma terhadap aspek-aspek penataan ruang nasional yang menjadi dasar upaya pengambilan kebijakan di masa yang akan datang.

Perlu adanya pemantapkan kebijakan penataan ruang di pusat dan di daerah untuk mendukung dan mempercepat pelaksanaan pembangunan nasional serta kemantapan keamanan nasional. Dalam penyusunan penataan ruang

seharusnya tidak terjadi benturan dann tetap mengacu pada UU No. 24 tahun 1992 tentang tata ruang. Penataan ruang yang tepat akan menentukan keberhasilan pembangunan nasional. Akan tetapi, keberhasilan bukan semata-mata dari pembangunan ekonomi tapi juga dari aspek pertahanan keamanan dan integrasi. Jadi sangat perlu mengoperasikan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) untuk mengurangi ketimpangan pembangunan wilayah.

Dengan adanya kesepakatan mengenai region, maka akan memberikan suatu hasil akhir yang lebih baik dan maksimal. Dalam kesulitan membentuk definisi, akhirnya para ahli sepakat meninjau konsep ini oleh 3 bahagian besar yaitu :

Konsep Daerah Homogen (Homogeneus Region Concept)

Konsep ini didefenisikan atas kesamaan karakteristik dari berbagai daerah. Karakteristik ini dapat berupa pendapatan perkapita penduduk, jenis produksi utama, problem sosial, tingkat industri dan lain-lain. Dengan kata lain konsep daerah homogen didasarkan atas pendapat, adanya keseragaman baik itu ciri-ciri ekonominya, geografisnya maupun sistem sosial masyarakat yang berlaku. Jadi batasan suatu daerah dapat ditentukan oleh titik kesamaan, sifat-sifat atau ciri-ciri tersebut.

Konsep Daerah Nodal (Polarized Region Concept

Konsep ini lebih banyak menekankan pada tingkat keterkaitan antar satu daerah dengan daerah lainnya, baik diukur dalam lalu lintas barang , pendukung maupun penjumlahan modal. Batasan dari daerah model tersebut akan lebih banyak ditentukan oleh berkurangnya keterkaitan sesuatu terhadap pusat kegiatan

ekonomi yang mempengaruhinya, atau apabila pengaruh itu digantikan oleh pusat kegiatan ekonomi daerah lain.

Konsep Daerah Perencanaan Administratif (Planning Region Concept atau Administrasion Region Concept)

Konsep ini dinilai praktis serta banyak digunakan, merupakan pengelompokan daerah yang didasarkan atas kegiatan politik atau administratif. Konsep administatif apabila daerah tersebut memiliki suatu ekonomi ruang yang didasari administratif apabila daerah tersebut memiliki suatu ekonomi ruang yang didasarkan administrasi pendapatan seperti propinsi, kabupaten dan kota.

Permasalahan dalam pembangunan di suatu negara dalam masa-masa yang akan datang secara nyata masih akan tampak berkisar pada persoalan “Spasial”. Disinilah pentingnya usaha disuatu negara membuat prioritas pembangunan daerah dan wujud pengembangan wilayah disegala sektor, guna memperoleh pembangunan (Robinson, 2004:30).

Bagian integral dari pembangunan nasional diarahkan untuk mengembangkan daerah yang menyelaraskan laju pertumbuhan antar daerah, antar kota dan antar desa, antar sektor. Kebutuhan dan strategi pembangunan wilayah adalah merupakan kebutuahan dan strategi pembangunan nasional yang dipresentasikan melalui variabel kewilayahan.

BAB III

Dokumen terkait