• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kepercayaan kepada Tuhan pada dasarnya bukanlah hal yang statis, melainkan dinamis, sejalan dengan perkembangan dan perubahan diri kita seluruhnya. Tuhan Yesus mengajarkan bahwa respons orang pada pengajaran Kerajaan Allah dipengaruhi oleh banyak faktor, baik dari dalam maupun dari

52

luar diri yang mendengar dan mempelajarinya.58 Seorang ahli teori perkembangan iman di Universitas Emory, Atlanta, Georgia, Amerika, James W. Fowler, melahirkan teori perkembangan kepercayaan hasil penelitiannya. Melalui pendekatan Fowler terhadap teori perkembangan iman, dia menjelaskan bahwa iman tidaklah identik dengan “agama” (religion).

Iman merupakan kepercayaan eksistensial pribadi atau iman, dan merupakan usaha psikologis ilmiah untuk menguraikan dan menganalisis seluruh dinamika proses perkembangan tahap-tahap kepercayaan secara empiris dan teoritis. Sedangkan agama merupakan sebuah tradisi kumulatif tertentu yang bersifat historis, budaya dan kultus di mana suatu masyarakat tertentu melalui khazanah simbol, upacara, norma etis dan ekspresi estetis secara resmi59 Iman pada dasarnya merupakan hal yang menyangkut pemaknaan: menemukan makna dan membuat makna dalam diri kita dan di dunia di mana kita hidup, bergerak dan ada. Iman adalah orientasi kita terhadap kehidupan dan iman merupakan gabungan dari proses mengetahui, merasakan, menlai, memahami, mengalami dan menginterpretasikan. Iman juga merupakan kepercayaan dan kesetiaan kita terhadap sesuatu (apapun) di mana kita memberikan hati dan yang memberikan makna bagi hidup kita.60

Fowler membagi perkembangan kepercayaan manusia dalam tujuh tahap sebagai berikut:61

58 Sidjabat, B.S, op.cit., 255

59 Fowler, James, op.cit., 21-22

60 Astley, Jeff and Leslie J. Francis, Christian Perspctives on Faith Development, (Leominster, London : William B. Eerdmand Publishing Company, 1992), xviii

53

1. Tahap 0 : Kepercayaan Elementer Awal (Primal Faith) berlangsung pada umur 0-3 tahun. Pada tahap ini disebut juga sebagai iman dasar yaitu dasar-dasar iman yang diiletakkan melalui pengalaman-pengalaman awal yang diambil atau diajarkan. Iman dasar ini disebut juga kepercayaan yang belum terdiferensiasi.

2. Tahap 1 Kepercayaan Intuitif-Proyektif, berlangsung pada umur 3-7 tahun. Iman pada umur ini disebut juga iman impresionistik/imaginatif atau tidak teratur. Ciri dari iman ini adalah dunia pengalaman sudah mulai disusun oleh pengalaman inderawi dan kesan-kesan emosional yang kuat, namun diangkat ke dalam imajinasi.

3. Tahap 2 : Kepercayaan Mitis-Harfiah, berlansung pada umur 7-12 tahun. Pada umur ini yang paling berperan dalam perkembangan iman anak adalah kelompok atau institusi kemasyarakatan yang paling dekat dengannya, misalnya kelompok pembinaan agama, sekolah, atau kelompok sekolah berfungsi sebagai sumber pengajaran iman.

4. Tahap 3 : Kepercayaan Sintetis-Konvensonal, berlangsung pada umur 12-20 tahun. Pada umur ini muncul kemampuan kognitif baru, yaitu operasi-operasi formal, maka remaja mulai mengambil alih pandangan pribadi orang lain menurut pola pengambilan perspektif antar-pribadi secara timbal balik.

5. Tahap 4: Kepercayaan Individuatif-Reflektif, berlangsung pada umur 20 tahun ke atas (awal masa dewasa). Ciri dari umur ini adalah lahirnya refleksi kritis atas seluruh pendapat, keyakinan, nilai (religious) lama.

54

Pribadi sudah mampu melihat diri sendiri dan orang lain sebagai bagian dari suatu system kemasyarakatan.

6. Tahap 5: Kepercayaan Eksistensial Konjungtif, berlangsung pada umur pertengahan (sekitar umur 35 tahun ke atas). Ciri khasnya ditandai suatu keterbukaan dan perhatian baru terhadap adanya polaritas, ketegangan, paradoks, & ambiguitas dalam hidupnya. Tahap ini melibatkan kemampuan untuk terus bersama sebagai cara untuk mengungkapkan suatu kesadaran baru bahwa kebenaran lebih beragam dan kompleks dibanding yang sebelumnya diyakini.

7. Tahap 6: Kepercayaan Eksistensial yang mengacu pada Universalitas, berkembang pada umur 45 tahun ke atas. Ciri dari tahap 6 ini adalah Gaya hidup langsung berakar pada kesatuan dengan Tuhan, yaitu pusat nilai, kekuasaan dan keterlibatan yang terdalam. Ada rasa keutuhan dan keinginan untuk bertindak berdasarkan apa yang baik bagi semua orang. Mereka memiliki mimpi dan akan bertindak dengan komitmen yang mendalam, seringkali juga dengan biaya pribadi.

Kelompok usia dewasa awal menurut Fowler memiliki cara beriman Individuatif-Reflektif, yang artinya bahwa mereka mempunyai kecenderungan untuk menyatakan iman dengan menekankan pengalaman, pengertian, dan pemahaman dirinya sendiri. Mereka mampu bersikap kritis terhadap dirinya juga mengenai keyakinan (idiologi) yang diterimanya selama ini, terutama dari lingkungan terdekatnya.

55

Luasnya pergaulan, banyaknya peran, meningkatnya wawasan dan berubahnya pola nalar, mantapnya kemandirian (identitas diri), serta banyaknya krisis yang telah dilalui, dapat mengarahkan orang dewasa awal untuk menghayati imannya lebih bersifat pribadi. Oleh karena itu, tidak jarang kita melihat orang dewasa awal, khususnya dalam usia 30-40 tahun, berusaha keras membangun keyakinan dirinya sendiri, membela serta mempertahankannya. Tampaknya mereka seolah-olah telah menemukan kebenaran bagi dirinya sendiri. Adapun pandangan yang berbeda dari dirinya dianggap salah atau keliru. Mereka pun tampil sebagai orang-orang yang berpendirian keras dan fanatik, kalau yang diyakini itu benar dalam arti sesuai dengan firman Tuhan serta bersesuaian pula dengan pengalaman. Sikap dan cara beriman seperti itu tidak menjadi masalah. Namun, sebaliknya, kalau apa yang dipercayai itu keliru, mereka dapat menstransfer hal itu kepada orang lain, khususnya kepada generasi muda.62

Kepercayaan kepada Tuhan pada dasarnya bukanlah hal yang statis, melainkan dinamis, sejalan dengan perkembangan dan perubahan diri kita seluruhnya.

Oleh sebab itu, gereja patut mengajarkan tidak hanya iman yang berupa dogma atau isi ajaran Alkitab, ia juga harus mengerti cara beriman orang dewasa itu sendiri. Cara beriman dengan berbagai tahapan atau kemungkinan bentuknya, dan perjalanan yang membentuknya. Hal itu akan menolong gereja dalam memahami mengapa orang itu berbeda-beda kualitas

62 Sidjabat, B.S. op.cit., 114-115

56

berimannya. Selain itu, gereja perlu membantu warga jemaat untuk mengenali hubungan pola pikir, keputusan moral, dan pengaruh interaksi sosial serta budaya terhadap caranya memahami Allah. Artinya, sangat baik jika warga jemaat mampu bersikap kritis terhadap cara berimannya sehingga dapat belajar dari hal tersebut, lalu berkembang ke tahap berikutnya sesuai dengan perkembangan kedewasaan.63

63Ibid, 269

Dokumen terkait