• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teori Postkolonialisme

Dalam dokumen Metodologi Penelitian Sastra Akbar (Halaman 83-86)

KARYA PRAMUDYA ANANTA TOER Abstrak

A. Teori Postkolonialisme

Kata postkolonialisme berasal dari dua kata, yaitu post dan kolonialisme. Menurut Oxford English Dictionary (OED), kolonialisme berasal dari kata Latin: Colonia = pertanian- pemukiman. Sianipar (2004: 16) mengatakan, bahwa istilah kolonialisme mempunyai arti penaklukan dan penguasaan atas tanah dan harta penduduk pendatang. Sementara itu, Fanon (1967: 18) mengatakan, kolonialisme adalah dehumanisasi rakyat di daerah koloni, artinya orang yang terjajah diperlakukan sebagai benda dengan tujuan untuk membangun kompleks inferioritas. Itulah sebabnya, Said mendefinisikan diri sebagai seorang humanis dari pada dipandang sebagai seorang pelopor kajian postkolonial. Baginya, dengan spirit humanistiklah pencerahan dan emansipasi manusia akan tercapai. Pendapat Said sangat relevan dengan Fanon, karena dalam kolonialisme beroperasi proses dehumunisasi, sedangkan Said menentang dehumanisasi dengan proses humanisasi. Said memang bukan satu-satunya pemikir yang mempelopori kajian postkolonial. Paling tidak ada Aime Cesaire dan Frantz Fanon yang telah melakukan kajian yang sama dengan bukunya From Discourse on Colonialism (1955) dan The Fact of Blackness (1952). Akan tetapi, kajian pertama yang mengritik ideologi kolonial secara diskursif hanyalah buku Orrientalisme-nya Said. Gagasan Said mendapat sambutan yang hangat dan ide-idenya menjadi rujukan dasar Homi K. Bhaba dengan ide mimikrinya, dan Gayatri Spivak dengan konsep subalternya.

Aschroft dalam Ratna (2006: 207) mengatakan, bahwa teori postkolonial lahir sesudah kebanyakan negara-negara terjajah memperoleh kemerdekaannya. Teori postkolonial mencakup seluruh khazanah sastra nasional yang pernah mengalami kekuasaan imperial sejak awal

kolonisasi hingga sekarang. Sastra yang dimaksudkan di antaranya Afrika, Australia, Bangladesh, Canada, Karibia, India, Malaysia, dan Indonesia. Bila dikaitkan dengan hal di atas, maka Indonesia sebagai negeri yang pernah dijajah telah menyediakan hasil karya sastra yang sangat relevan dengan teori postkolonial. Karya sastra tersebut mengungkapkan banyak hal terkait dengan wacana postkolonial maupun orientalis. Dari wacana tersebut orang akan menemukan relasi-relasi antara penjajah dan terjajah. Beberapa karya sastra yang telah dianggap relevan dengan wacana poskolonial adalah Salah Asuhan karya Abdoel Muis, Manusia Bebas karya Suwarsih Djoyopuspito, Max Havelar karya Multatuli, dan lain-lain.

Ratna (2006: 219) mengatakan, bahwa bila dikaitkan dengan tujuannya, maka wacana postkolonial adalah wacana yang mewakili sistem ideologi Timur untuk menanamkan pemahaman ulang sekaligus memberikan citra diri yang baru terhadap bangsa Timur mengenai hegemoni Barat. Sedangkan wacana orientalisme adalah wacana yang mewakili sistem ideologi barat dalam kaitannya untuk menenamkan hegemoni terhadap bangsa Timur. Teori pasca- kolonial melibatkan pembicaraan mengenai aneka jenis pengalaman seperti migrasi, perbudakan, penekanan, resistensi, representasi, perbedaan, ras, gender, tempat, dan respon-respon terhadap wacana agung yang berpengaruh dari kekuasaan imperial Eropa seperti sejarah, filsafat, linguistik, dan pengalaman dasar dalam berbicara dan menulis yang dengannya keseluruhan hal di atas mewujud.

Meskipun demikian, studi-studi yang didasarkan pada fakta historis kolonilisme Eropa berdampak pada aneka efek material yang ditimbulkan oleh kolonialisme itu. Dengan pengertian demikian, teori postkolonial tidak mengacu kepada segala bentuk marginalitas yang tidak berkaitan dengan proses kolonialisme yang historis (Aschroft dalam Faruk, 2007: 14-15).

Teori postkolonial mencakup tiga kemungkinan perhatian, yaitu pertama pada kebudayaan masyarakat-masyarakat yang pernah mengalami penjajahan Eropa, baik efek penjajahan yang masih berlangsung sampai pada masa pasca kolonial, maupun kemungkinan tranformasinya ke dalam bentuk yang disebut neokolonialisme (internal maupun global). Kedua, respon perlawanan atau wacana tandingan dari masyarakat terjajah maupun yang lainnya terhadap penjajahan itu, tanpa menghilangkan perhatian pada kemungkinan ada ambiguitas atau ambivalensi. Ketiga, segala bentuk marginalitas yang diakibatkan oleh segala bentuk kapitalisme (Lo and Helen dalam Faruk, 2007: 15).

1. Konsep-konsep Postkolonialisme

Dari tiga cakupan kemungkinan perhatian teori postkolonial, maka muncullah istilah- istilah atau konsep yang sangat terkait dengan postkolonial, yaitu oposisi biner, gender dan feminisme, ideologi dan identitas, dan mimikri.

a. Mimikri

Homi K. Bhaba dalam bukunya yang berjudul Of Mimicry and Man: The Ambivalence of Colonial Discourse memperkenalkan konsep mimikri sebagai salah satu bentuk kontrol kolonial yang diturunkan oleh penjajah metropolitan, yang bekerja dengan logika pandangan kekuasan, sebagaimana dielaborasikan oleh Foucoult. Penjajah menuntut agar subjek terjajah mengadopsi penampilan luar dan menginternalisasikan nilai-nilai dan norma-norma kekuasaan yang berlaku. Dalam pengertian demikian, mimikri merupakan jalan keluar yang ditempuh oleh pihak penjajah untuk memberadabkan subyek terjajah, tanpa mengakibatkan adanya perlawanan terhadap kolonialisme sebagai hasil dari bangkitnya kesadaran yang merupakan produk pemberadaban itu sendiri (Gilbert, 1998: 120).

Bhaba (Childs dan Williams, 1997) mengemukakan, mimikri adalah sebuah strategi kuasa/pengetahuan kolonial simbolis sebuah hasrat untuk seorang Lain yang disetujui dan direvisi (ini juga merupakan strategi pengeluaran (exclusion) melalui pemasukan (inclusion) yang mengaku untuk menerima ‘pribumi yang baik’, semua hal untuk mengeluarkan dan menuduh mayoritas ‘pribumi yang buruk’). Mimikri adalah ambivalen, karena ini membutuhkan sebuah kesamaan dan sebuah ketidaksamaan: sebuah perbedaan yang hampir sama, tetapi tidak cukup membedakan. Ini bersandar pada kemiripan, pada yang dikoloni menjadi seperti yang mengolonisasi tetapi tetap berbeda. Bagi masyarakat terjajah, implikasi dari peniruan tersebut dimanifestasikan dalam praktek-praktek yang diskursif yang menunjukkan kelemahan pihak penjajah dalam hal kebenaran yang absolut. Tindakan masyarakat terjajah untuk meniru dapat pula menjadi suatu ejekan atau mockery terhadap penjajah karena mereka tidak melakukan peniruan dengan sepenuhnya setia pada model yang ditawarkan barat (Faruk, 2007: 6).

b. Oposisi Biner

Oposisi biner muncul diakibatkan cara pandang yang sengaja diciptakan oleh imperialis dalam proses kolonialisme. Oposisi biner Barat-Timur diperkenalkan Said dalam buku Orientalisme-nya. Said (2010: 46) mengatakan, istilah Timur sebenarnya bersifat kanonik. Istilah ini merujuk pada Asia atau Timur. Relasi Timur dan Eropa (Barat) diartikan bahwa Barat (Eropa) lebih kuat dari Timur. Timur adalah salah dan Barat adalah benar. Barat berperadaban dan Timur tidak beradab (Said, 2010: 58-59). Dalam proses kolonisasi akhirnya muncul oposisi biner yang sengaja diproduksi untuk membedakan antara penjajah dan yang terjajah. Istilah lain yang merupakan relasi Barat dan Timur, penjajah dan terjajah adalah pusat-pinggir, berbudaya-primiti, hitam-putih, menang-kalah, laki-laki-perempuan, dan lain-lain. Dalam aplikasinya, teori feminis menunjukkan peran konsep oposisi biner karena telah memunculkan operasi laki-laki lebih superior dari pada perempuan.

Dalam dokumen Metodologi Penelitian Sastra Akbar (Halaman 83-86)

Dokumen terkait