• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I I TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Teori Tentang Budaya Organisasi

2.2.1 Pengertian Budaya dan Fungsi-fungsi Budaya Organisasi

Budaya organisasi mempunyai kedudukan yang cukup signifikan, karena mempelajari bagaimana organisasi berhubungan dengan lingkungan sehingga dapat meningkatkan komitmen organisasi serta konsistensi dari perilaku anggotanya.

Sarplin dalam Lako (2004) menyatakan bahwa : “Budaya organisasi merupakan suatu sistem nilai, kepercayaan, dan kebiasaan dalam suatu organisasi yang saling berinteraksi dengan struktur sistem formalnya untuk menghasilkan norma-norma perilaku organisasi”.

Kotter dan Heskett dalam Soetjipto (2002) berpendapat bahwa budaya organisasi pada dasarnya merupakan norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku di dalam organisasi, contohnya: kesigapan dalam memberikan pelayanan kepada para

pelanggan, sedangkan nilai mencerminkan keyakinan atau kepercayaan mereka akan hal-hal tertentu yang mampu mendatangkan kesuksesan, contohnya: perhatian yang besar pada kepuasan para pelanggan. Jika keduanya dibandingkan, norma relatif lebih kasat mata dan lebih mudah untuk dirubah.

Menurut Robbins dalam Ghozali dan Cahyono (2002), Budaya organisasi merupakan persepsi bersama yang dianut oleh anggota organisasi; suatu sistem dan makna bersama. Implikasi yang lebih penting dari budaya organisasi berkaitan dengan keputusan seleksi sehingga mempekerjakan individu yang tidak sesuai dengan aturan organisasi akan menghasilkan karyawan yang kurang motivasi.

Sedangkan Hodge et al. (1996) mendefinisikan budaya organisasi sebagai konstruksi dari dua tingkat karakteristik, yaitu karakteristik organisasi yang kelihatan (observable) dan yang tidak kelihatan (unobservable). Pada level observable, budaya organisasi mencakup beberapa aspek organisasi seperti arsitektur, seragam, pola perilaku, peraturan, bahasa, dan seremoni yang dilakukan perusahaan. Sementara pada level unobservable, budaya organisasi mencakup shared value, norma-norma, kepercayaan, asumsi-asumsi para anggota organisasi untuk mengelola masalah dan keadaan-keadaan sekitarnya.

Implementasi dalam praktek bisnis, melalui budaya yang terbentu dalam organisasi muncul sikap berupa komitmen yang kuat dari para karyawan terhadap perusahaan. Komitmen ini dibangun melalui pembentukan nilai-nilai seperti menghargai orang lain, kerja keras, solidaritas sosial yang tinggi yang mempengaruhi perilaku dalam organisasi.

Harrison dalam Alwi (2001) menyatakan bahwa empat kultur tipe budaya organisasi, yaitu :

1. Budaya Kekuasaan (Power Culture)

Budaya kekuasaaan menunjukkan perilaku organisasi yang bersumber pada senioritas dan kekuasaan untuk menggerakkan orang-orang dalam organisasi. Pendekatan top-down lebih dominan daripada pendekatan bottom-up.

2. Budaya Peran (Role Culture)

Budaya peran meletakkan perhatian terhadap prosedur birokrasi yang bertumpu pada aturan, peraturan-peraturan (regulations) sebagai cara untuk menjaga stabilitas organisasi.

3. Budaya Dukungan (Support Culture)

Budaya dukungan menciptakan integrasi dan kontribusi dalam organisasi sehingga rasa kebersamaan, saling menolong lebih menonjol dalam kegiatan organisasi. 4. Budaya Prestasi (Achievement Culture)

Budaya prestasi merupakan iklim kerja yang menciptakan peluang berprestasi bagi karyawan.

Perusahaan yang berorientasi pada kepentingan pasar memerlukan budaya dukungan (support culture) dan budaya prestasi (achievement culture) sebagai cara meningkatkan motivasi dan komitmen karyawan. Budaya organisasi yang efektif adalah budaya organisasi yang mengakar kuat dan dalam. Di perusahaan yang berbudaya demikian, hampir semua individunya menganut nilai-nilai yang seragam dan konsisten.

Menurut Rivai (2004), budaya melakukan sejumlah fungsi di dalam sebuah organisasi, yaitu :

1. Budaya mempunyai suatu peran menetapkan tapal batas, artinya budaya menciptakan perbedaan yang jelas antara satu organisasi dengan organisasi yang lain.

2. Budaya memberikan identitas bagi anggota organisasi.

3. Budaya mempermudah timbulnya komitmen yang lebih luas pada kepentingan individu.

4. Budaya itu meningkatkan kemantapan sistem sosial.

5. Budaya sebagai mekanisme pembuat makna dan kendali yang memandu serta membentuk sikap dan perilaku karyawan.

Dari keterangan di atas, maka disimpulkan bahwa budaya bernilai untuk organisasi atau karyawan, budaya meningkatkan komitmen organisasi dan konsisten serta perilaku karyawan.

2.2.2 Tingkat Dasar Budaya Organisasi

Menurut Schein dalam Lako (2004), budaya organisasi berada pada tiga tingkat, yaitu :

1. Artifact

Pada tingkat artifact, budaya organisasi memiliki ciri yaitu semua struktur dan proses organisasional dapat kelihatan. Dijelaskan bahwa seorang anggota baru memasuki suatu organisasi yang telah memiliki proses dan struktur organisasi

yang visible dan menghadpi suatu kelompok baru dengan suatu budaya baru yang asing baginya. Oleh karen itu, pendatang baru perlu belajar memberikan perhatian yang khusus kepada budaya organisasi tersebut.

2. Espoused values

Pada tingkat kedua, yaitu espoused values, para anggota organisasi mempertanyakan “apa yang seharusnya dapat mereka berikan untuk organisasi”. Pada tingkat ini, baik organisasi maupun anggota organisasi membutuhkan tuntunan strategi, tujuan, dan filosofi dari pemimpin organisasi untuk bertindak. Menurut Schein, kebanyakan budaya organisasi dapat menelusuri kembali

espoused values mereka ke para pembentuk budaya organisasi terdahulu (founders of the cultures). Pendatang baru dapat belajar dari espoused values ini, dan mempelajari maknanya dalam konteks organisasi.

3. Basic underlying assumptions

Pada tingkat basic underlying assumptions, berisi sejumlah kepercayaan atau keyakinan (beliefs) bahwa anggota organisasi mendapat jaminan (taken for granted) bahwa mereka diterima secara baik untuk melakukan sesuatu secara efisien dan efektif. Asumsi-asumsi dasar ini mempengaruhi perasaan, pemikiran, persepsi, kepercayaan dan pikiran bawah sadar anggota organisasi.

Artifacts

Espoused Values

Basic Underlying Assumptions

Sumber : Schein dalam Lako (2004)

Gambar 2.1 Level Budaya Menurut Schein

2.2.3 Membangun Budaya Organisasi Yang Efektif

Pertanyaan yang sering muncul di kalangan usahawan adalah : Budaya organisasi macam apakah yang sebaiknya dibangun untuk menciptakan iklim organisasi yang harmonis untuk mendorong kesuksesan kinerja bisnis berkelanjutan (sustainable business)? Dan bagaimanakah membangun budaya organisasi seperti itu?

Jawaban yang pasti atas dua pertanyaan tersebut memang tidak mudah. Dari sejumlah literatur yang membahas budaya organisasi, tidak ada kesamaan pandangan dan bahkan tidak ada satu penulis pun yang secara komprehensif mengungkapkan suatu model budaya organisasi yang cocok bagi suatu organisasi. Pada umumnya, hanya dikatakan bahwa model dan strategi untuk membangun suatu budaya

organisasi sangat situasional dan tergantung pada keinginan dan komitmen pelaku organisasi (pemilik, manajemen dan karyawan) yang mengelola perusahaan.

Menurut Schein dalam Lako (2004), inisiatif dan dorongan untuk membentuk atau membangun suatu budaya organisasi seharusnya berasal dari pemimpin (leaders) karena mereka memiliki potensi terbesar untuk melekatkan dan memperkuat aspek-aspek budaya melalui lima mekanisme utama, yaitu :

1. Attention, yaitu pemimpin dapat mengkomunikasikan prioritas-prioritas, nilai-nilai dan fokus perhatian mereka melalui pilihan terhadap sesuatu yang dapat ditanyakan, diukur, dikomentari, dipuji dan dikritik. Kebanyakan komunikasi tersebut terjadi selama aktivitas monitoring dan perencanaan.

2. Reaction to crisis, dimana krisis memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perilaku organisasi karena emosinalitas terhadap krisis tersebut dapat meningkatkan potensi untuk belajar tentang nilai-nilai dan asumsi-asumsi dasar organisasi.

3. Role modeling, di mana pemimpin dapat mengkomunikasikan nilai-nilai dan harapan-harapan melalui tindakan-tindakan mereka sendiri.

4. Allocation of rewards, yaitu kriteria yang digunakan untuk mengalokasikan rewards, seperti kenaikan pembayaran atau promosi tentang apa yang dinilai oleh pemimpin dan organisasi.

5. Criteria for selection and dismissal, di mana pemimpin dapat mempengaruhi budaya dengan merekrut orang-orang yang memiliki values, skills, atau sifat-sifat tertentu, atau mempromosikannya ke posisi-posisi yang memiliki autoritas.

Sedangkan menurut Lako (2004), model budaya organisasi yang ideal untuk suatu organisasi adalah yang memiliki paling sedikit dua sifat, yaitu :

1. Kuat (strong), artinya budaya organisasi yang dibangun atau dikembangkan harus mampu mengikat dan mempengaruhi perilaku para individu pelaku organisasi (pemilik, manajemen dan karyawan) untuk menyelaraskan (goals congruence) antara tujuan individu dan tujuan kelompok mereka dengan tujuan organisasi. 2. Dinamis dan adaptif (dynamic and adaptive), artinya budaya organisasi yang

dibangun harus fleksibel dan responsif terhadap dinamika lingkungan internal dan eksternal organisasi seperti, tuntutan dari stakeholders eksternal dan perubahan dalam lingkungan hukum, ekonomi, politik, sosial, teknologi informasi, dan lain-lain.

Dokumen terkait