• Tidak ada hasil yang ditemukan

D. Pidana dan Pemidanaan

3. Teori Tujuan Pemidanaan

3. Untuk keperluan pemeriksaan, hakim ketua sidang dapat menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwa anak-anak.

4. Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat 2 dan ayat 3 menyebabkan batalnya putusan demi hukum.

5. Hakim ketua sidang dapat menentukan bahwa anak yang belum mencapai umur tujuh belas tahun tidak diperkenankan menghadiri sidang.

3. Teori Tujuan Pemidanaan

Pada dasarnya terdapat tiga pokok pemikiran tentang tujuan yang ingin dicapai dengan suatu pemidanaan, yaitu mencakup hal-hal sebagai berikut:

a. Memperbaiki pribadi dari penjahatnya itu sendiri.

b. Membuat orang menjadi jera melakukan kejahatan-kejahatan. c. Membuat penjahat-penjahat tertentu menjadi tidak mampu

untuk melakukan kejahatan-kejahatan yang lain, yakni penjahat-penjahat yang dengan cara-cara lain yang sudah tidak dapat diperbaiki kembali.

Secara khusus tujuan hukum pidana adalah sebagai upaya pencegahan untuk tidak dilakukannya tindak pidana atau mencegah kejahatan, dengan jalan melindungi segenap kepentingan dari pada subyek hukum dari pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab. Perlindungan tersebut diwujudkan melalui pemberian sanksi dengan penderitaan, nestapa atau segala

39 sesuatu yang tidak mengenakkan secara tegas kepada pihak-pihak yang telah terbukti melanggar hukum.

Tujuan dasar dari adanya pidana bagi seseorang yang telah melanggar norma-norma hukum pidana adalah dengan pertimbangan untuk membalas si pelaku tindak pidana.

Terdapat berbagai teori yang membahas alasan-alasan yang membenarkan adanya penjatuhan hukuman (sanksi) yaitu sebagai berikut:

1. Teori Absolut atau Teori Pembalasan

Menurut Hamzah menyatakan bahwa:34

“Tujuan pembalasan disebut juga sebagai tujuan untuk memuaskan pihak yang dendam baik masyarakat sendiri maupun pihak yang dirugikan atau menjadi korban kejahatan”. Soesilo juga menerangkan bahwa:35

“Pidana adalah suatu pembalasan berdasar atas keyakinan zaman kuno, bahwa siapa yang membunuh harus dibunuh. Dasar keyakinan ini adala “TALIO” atau “QISOS” dimana orang yang membunuh itu harus menebus dosannya dengan jiwanya sendiri. Ini berarti bahwa kejahatan itu sendirilah yang memuat unsur menuntut dan membenarkan dijatuhkannya pidana”. Sedangkan menerangkan bahwa:36

“Bahwa keadilan itu, merupakan kenyataan kemerdekaan. Sehubungan dengan itu maka kejahatan merupakan ke tidak adilan yang berarti merupakan tantangan terhadap hukum dan

34Op.Cit, P. A. F. Lamintang, Hal 53. 35Ibid, Hal 54.

40 keadilan. Oleh karena itu, keadaan tantangan terhadap hukum itu harus dilenyapkan dengan ke tidak adilan pula, yaitu dengan pidana, karena pidana itu merupakan ke tidak adilan pula”. 2. Teori Relatif atau Teori Tujuan

Teori ini mencari dasar hukum pidana dalam menyelenggarakan tertib masyarakat dan akibatnya, tujuan pidana untuk prevensi terjadinnya kejahatan. Wujud pidana itu berbeda-beda, yaitu menakutkan, memperbaiki. Menurut Teori relatif atau teori tujuan menyatakan “pidana bukanlah untuk melakukan pembalasan kepada pembuat kejahatan, melainkan mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat”.

3. Teori Gabungan

Teori gabungan ini timbul oleh karena teori pembalasan dan teori tujuan dianggap mempunyai kelemahan, untuk itu dikemukakan keberatan-keberatan terhadap kedua teori tersebut, yaitu:

1) Keberatan terhadap teori pembalasan

a. Penjatuhan pidana semata-mata hanya untuk pembalasan dapat menimbuilkan ke tidak adilan.

b. Apabila memang dasar pidana hanya untuk pembalasan, mengapa hanya negara yang berhak menjatuhkan pidana.

41 c. Pidana hanya sebagai pembalasn tidak bermanfaat bagi

masyarakat.

2) Keberatan terhadap teori tujuan

a. Pidana hanya ditujukan untuk mencegah kejahatan baik yang ditujukan untuk menakut-nakut umum maupun yang ditujukan kepada orang yang melakukan kejahatan, sehingga akan dijtuhkan pidana yang berat. Hal ini menimbulkan ke tidak adilan.

b. Pidana berat itu tidak akan memenuhi rasa ke adilan, apabila kejahatan itu ringan’

c. Kesadaran hukum masyarakat membutuhkan kepuasan. Oleh karena itu pidana tidak dapat semata-mata ditujukan hanya untuk mencegah kejahatan atau membinasakan penjahat.

Jadi, baik masyarakat maupun penjahatnya harus diberikan kepuasan yang sesuai dengan peri keadilan. Oleh karena itu teori pembalasan dan teori tujuan ini harus digabungkan menjadi satu, sehingga akan menjadi praktis puas, dan seimbang sebab pidana bukan hanya sebagai penderitaan tetapi juga harus seimbang dengan kejahatannya.

42 E. Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Pidana

Berdasarkan Pasal 28 dan Pasal 31 UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Perubahan atas Undang Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiaman ( untuk selanjutnya disebut UU No.48 Tahun 2009 ). Hakim adalah pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam UU No.48 Tahun 2009. Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa. Hakim diberi fungsi UU No.48 Tahun 2009 untuk menerima, memeriksa, dan memutus dalam menyelesaikan perkara tindak pidana, selalu dituntut untuk memberikan putusan yang sebenar-sebenarnya dan seadil-adilnya serta dalam menjatuhkan pidana selalu memperhatikan aspek-aspek lain baik terdakwa maupun masyarakat.

Di dalam KUHAP, putusan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum menurut cara yang diatur di dalam undang-undang (Pasal 1 butir 11 KUHAP). Berdasarkan Pasal 195 KUHAP syarat syahnya suatu putusan adalah apabila diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum, hal ini di maksudkan agar masyarakat dapat mengetahui duduk perkara yang sebenarnya dan juga dapat memantau apakah

43 jalannya persidangan sesuai dengan ketentuan-ketentuan KUHAP atau tidak. Menurut ketentuan Pasal 193 KUHAP, putusan pidana dijatuhkan apabila pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya.

Putusan pemidanaan merupakan putusan yang membebankan suatu pidana kepada terdakwa karena perbuatan ayang didakwakan terbukti secara sah dan meyakinkan (prinsip minimum pembuktian) bahwa terdakwa bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan itu. Apabila pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan maka pengadilan menjatuhkan pidana (Pasal 193 ayat 1 KUHAP). Berdasarkan Pasal 183 KUHAP yang mengatur tentang kesalahan terdakwa telah terbukti dengan sekurang-kurannya dua alat bukti yang sah yang memberi keyakinan kepada hakim maka terdakwa dapat dinyatakan sebagai pelaku tindak pidana.

Pembentuk undang-undang dalam beberapa rumusan tindak pidana merumuskan alasan penghapusan pidana, yaitu keadaan khusus yang maksudnya (yang harus dikemukakan “tetapi tidak harus dibuktikan”) oleh terdakwa dan apabila dipenuhi, menyebabkan meskipun terhadap semua unsur tertulis dari rumus tindak pidana telah dipenuhi tidak dapat dijatuhkan pidana.

Selain itu pembentuk undang-undang telah menetapkan sejumlah alasan penghapus pidana umum dalam buku 1 KUHP WvS

44 Indonesia dan disamping itu melalui Pasal 103 KUHP WvS juga meliputi semua tindak pidana diluar KUHP, kecuali apabila dalam undang-undang dalam arti formal terdapat aturan yang menyimpang.

Dalam hukum pidana ada beberapa alasan yang dapat dijadikan dasar bagi hakim untuk tidak menjatuhkan hukuman pidana kepada para pelaku atau terdakwa yang diajukan ke pengadilan karena telah malakukan suatu tindak pidana. Alasan-alasan tersebut dinamakan alasan penghapusan pidana.

Alasan penghapusan pidana adalah peraturan yang terutama yang ditujukan kepada hakim. Peraturan ini menetapkan dalam keadaan apa seorang pelaku, yang telah memenuhi perumusan delik yang seharusnya dipidana, tidak dipidana. Hakim menempatkan wewenang dari pembuat undang-undang untuk menentukan apakah telah terdapat keadaan khusus seperti dirumusakan dalam alasan penghapus pidana.

Alasan-alasan penghapus pidana ini adalah alasan-alasan yang memungkinkan orang yang melakukan perbuatan yang sebenarnya telah memenuhi rumusan tindak pidana, tetapi tidak dipidana. Berbeda halnya dengan alasan yang dapat menghapuskan penuntutan, alasan penghapus pidana diputuskan oleh hakim dengan menyatakan bahwa sifat melawan hukumnya perbuatan hapus kesalahan atau kesalahan pembuat hapus. Karena adanya ketentuan

45 undang-undang dan hukum yang membenarkan perbuatan yang memaafkan pembuat.

Jadi dalam hal ini hak malakukan penuntutan dari jaksa tetap ada, tidak hilang, namun terdakwanya yang tidak dijatuhi pidana oleh hakim. Dengan kata lain undang-undang tidak melarang Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan tersangka pelaku tindak pidana ke sidang pengadilan dalam hal adanya alasan penghapusan pidana. Oleh karena hakimlah yang menentukan apakah alasan penghapus pidana itu dapat diterapkan kepada tersangka pelaku tindak pidana melalui vonisnya. Sedangkan dalam alasan penghapus penuntutan, undang-undang melarang sejak awal Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan/menuntut tersangka pelaku tindak pidana ke sidang pengadilan. Dalam hal ini tidak diperlukan adanya pembuktian tentang kesalahan pelaku atau tentang terjadinya perbuatan pidana tersebut (hakim tidak perlu memeriksa tentang pokok perkaranya). Oleh karena dalam putusan bebas atau putusan lepas, pokok perkaranya sudah diperiksa oleh hakim, maka putusan itu tunduk pada ketentuan Pasal 76 KUHP. Meskipun KUHP yang sekarang ini ada mengatur tentang alasan penghapus pidana, akan tetapi KUHP sendiri tidak memberikan pengertian yang jelas tentang penjelasan penghapus pidana tersebut. Pengertiannya hanya dapat ditelusuri melalui sejarah pembentukan KUHP (WvS Belanda).

46 Dasar atau alasan penghapusan pidana secara umum dibedakan menjadi dua jenis, yaitu alasan pembenar dan alasan pemaaf. Dalam beberapa literatur hukum pidana, dapat dilihat tentang pengertian dari alasan pembenar dan alasan pemaaf serta perbedaannya, salah satunya dalam buku Roeslan Saleh (1983:125) bahwa:37

“Apabila tidak dipidananya seseorang yang telah melakukan perbuatan yang mencocoki rumusan tindak pidana disebabkan karena hal-hal yang mengakibatkan tidak adanya sifat melawan hukumnya perbuatan, maka dikatakanlah sebagai hal-hal tersebut sebagai alasan-alasan pembenar. Perbuatan yang pada umumnya dipandang sebagai perbuatan yang keliru, dalam kejadian yang tertentu itu dipandang sebagai perbuatan yang dibenarkan, bukanlah perbuatan yang keliru. Sebaliknya apabila tidak dipidananya seseorang yanmg telah melakukan perbuatan yang mencocoki rumusan tindak pidana disebabkan karena tidak sepantasnya orang itu dicela, tidak sepatutnya dia disalahkan, maka hal-hal yang menyebabkan diatidak sepantasnya dicela itu disebut sebagai hal-hal yang dapat memaafkannya. Juga dipendeki dengan alasan-alasan pemaaf.”

Alasan penghapus pidana ini dapat digunakan untuk menghapuskan pidana bagi pelaku/pembuat (orangnya sebagai subjek), dan dapat digunakan untuk menghapuskan pidana dari suatu perbuatan/tingkah laku (sebagai subjeknya). Dalam hal ini alasan penghapus pidana itu dapat dibedakan antara, tidak dapat dipidanannya pelaku/pembuat dengan tidak dapat dipidanannya perbuatan/tindakan.

37Roeslan Saleh, beberapa Asas Hukum Pidana Dalam Presfektif, Aksara Baru, Jakarta, 1983, Hal 125.

47 Dalam ajaran alasan penghapusan pidana, terdapat tiga asas yang sangat penting yaitu:38

a. asas susidiaritas;

Ada benturan antara kepentingan hukum dengan kepentingan hukum, kepentingan hukum dan kewajiban hukum, kewajiban hukum dan kewajiban hukum.

b. Asas proporsional;

ada keseimbangan antara kepentingan hukum yang dibela atau kewajiban yang dilakukan.

c. Asas “Culpa in Causa”

pertanggungjawaban pidana bagi lorang yang sejak semula mengambil risiko bahwa dia akan melakukan perbuatan pidana.

Alasan penghapusan pidana umum menurut undang-undang adalah sebagai berikut :

1. Tidak mampu bertanggung jawab 2. Daya paksa dan keadaan darurat

3. Pembelaan terpaksa dan pembelaan terpaksa melampaui batas 4. Melaksanakan peraturan perundang-undangan

5. Menjalankan perintah jabatan

Dalam praktik peradilan dan ilmu pengetahuan (doktrin) terdapat alasan penghapus pidana umum diluar undang-undang yaitu sebagai berikut:

a. Izin

b. Tidak ada sama sekali sifat tercela c. Tidak ada sifat melawan hukum materil

38http://cb96t.blogspot.co.id/2014/09/pembelaan-hukum-alasan-penghapusan.html diakses pada tanggal 30 Agustus, Hari Selasa, Pukul 21.00 Wit

48 Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia alasan peniadaan pidana diatur dalam Buku I ketentuan umum, yang mengatur mengenai:

1. Tidak mampu bertanggung jawab karena jiwannya cacat atau terganggu karena penyakit (Pasal 44)

2. Daya paksa (Pasal 48) 3. Pembelaan paksa (Pasal 49)

4. Melaksanakan ketentuan Undang-Undang (Pasal 50) 5. Melaksanakan perintah jabatan (Pasal 51)

6. Percobaan kejahatan dipidana (Pasal 53)

7. Percobaan terhadap pelanggaran terhadap tindak pidana (Pasal 54)

8. Membantu melakukan kejahatan dipidana (Pasal 56)

9. Membantu melakukan pelanggaran tidak dipidana (Pasal 60)

Dalam teori hukum pidana alasan-alasan yang menghapuskan pidana dibedakan menjadi tiga yaitu :

a. Alasan pembenaran

Adalah alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa lalu menjadi perbuatan yang patut dan benar. Tertera dalam Pasal 49 (1), 50, 51 (1).

49 Alasan penghapus pidana yang termasuk alasan pembenar yang terdapat dalam KUHP adalah:

1. Keadaan darurat, diatur dalam Pasal 48 KUHP;

Seseorang dikatakan berbeda dalam keadaan darurat (Sahetapy dan Pohan, 2007: 60) “apabila seseorang dihadapkan pada suatu dilema untuk memilih untuk melakukan delik atau merusak kepentingan yang besar”. Dalam keadaan darurat pelaku suatu tindak pidana terdorong oleh suatu paksaan dari luar, paksaan tersebut yang menyebabkan pelaku dihadapkan pada tiga keadaan darurat, yaitu Pembenturan antara kedua kepentingan hukum.

Dalam hal ini pelaku harus melakukan suatu perbuatan untuk melindungi kepentingan hukum tertentu, namun pada saat yang sama melanggar kepentingan hukum yang lain, begitu pula sebaliknya Perbenturan antara kepentingan hukum dan kewajiban hukum. Dalam hal ini pelaku dihadapkan pada keadaan apakah harus melindungi kepentingan hukum atau melaksanakan kewajiban hukum Perbenturan antara kewajiban hukum dan kewajiban hukum dalam hal ini pelaku harus melakukan kewajiban hukum tertentu, namun pada saat yang sama dia tidak melakukan kewajiban hukum yang

50 lain begitu pula sebaliknya. Dalam keadaan darurat tersebut di atas, tindak pidana yang dilakukan hanya dibenarkan jika:

a) Tidak ada jalan lain;

b) Kepentingan yang dilindungi secara objektif bernilai lebih tinggi daripada kepentingan yang dikorbankan;

2. Pembelaan Terpaksa, diatur dalam Pasal 49 ayat 1 KUHP;

Menurut Pasal 49 ayat 1 disyaratkan hal-hal yang bisa dikategorikan sebagai pembelaan terpaksa yaitu:

a) Ada serangan mendadak atau seketika itu terhadap raga, kehormatan, kesusilaan, atau harta benda;

b) Serangan itu bersifat melawan hukum; c) Pembelaan merupakan keharusan; d) Cara pembelaan adalah patut.

3. Melaksanakan ketentuan undang-undang, diatur dalam Pasal 50 KUHP;

Dalam hal ini terdapat hal dimana ada Perbenturan antara kewajiban hukum dan kewajiban hukum lainnya, artinya bahwa untuk melakukan kewajiban hukumnya, seorang harus melanggar kewajiban hukum lainnya.

51 4. melaksanakan perintah jabatan yang sah, diatur dalam

Pasal 51 KUHP;

Dari Pasal 51 ayat 1, juga harus disimpulkan bahwa tindakan untuk melaksanakan suatu perintah jabatan (ambtelijk bevel) tidak bersifat melawan hukum atau bersifat melawan hukumnya ditiadakan.

b. Alasan pemaaf

Adalah alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa, tetap melwan hukum jadi tetap merupakan perbuatan pidana, tetapi dia tidak dipidana, karena tak ada kesalahan. Tercantum dalam Pasal 49 (2), 51 (2).

a) Jenis-jenis alasan pemaaf

Alasan penghapus pidana yang termasuk alasan pemaaf yang terdapat dalam KUHP adalah:

1. Tidak mampu bertanggung jawab diatur dalam Pasal 44 KUHP;

Dalam Pasal 44 KUHP membedakan pertanggung jawaban dalam 2 kategori yaitu cacat dalam pertumbuhan dan gangguan penyakit kejiwaan.

Yang dimaksud gangguan adalah gangguan sejak lahir atau sejak remaja tumbuh dengan normal namun kemudian hari muncul kelainan jiwa. Pada dasarnya cacat

52 atau gangguan penyakit muncul pada saat perbuatan atau tindak pidana, dan ketika perbuatan itu dilakukan ada hubungan antara gangguan jiwanya dengan perbuatannya. 2. Daya paksa, diatur dalam Pasal 48 KUHP;

Dalam memori penjelasan Pasal 48 KUHP daya paksa adalah “setiap daya, setiap dorongan, atau setiap paksaan yang tidak dapat dilawan”.

Titik tolak dari daya paksa adalah adanya keadaan-keadaan yang eksepsional yang secara mendadak menyerang pembuat atau pelaku, bukan ketegangan psikis, melainkan keharusan melakukan perbuatan pidana untuk mencapai tujuan yang adil.

c. Hal memaksa (overmacht) Pasal 48:

“Tidaklah dihukum seorang yang melakukan perbuatan, yang didorong hal memaksa”.

Jadi apabila seseorang melakukan tindak kejahatan dalam keadaan terpaksa, maka dia tidak dihukum. Paksaan ini adakalanya bersifat fisik (vis absoluta) dan ada yang bersifat psikis (vis comvulsifa). Yang dimaksud dalam Pasal 48 KUHP paksaan yang bersifat psikis, bukan fisik. Vis Comvulsifa tebagi menjadi dua macam:

a. daya paksa dalam arti sempit (overmacht in enge

zin)keadaan darurat (noodtoestand), antara lain: orang

terjepit antara dua kepentingan, orang terjepit antara dan kewajiban.

53 d. Keperluan membela diri (noodweer)

Pasal 49 ayat 1:

“Tidaklah seorang yang melakukan suatu perbuatan, yang diharuskan (geboden) untuk keperluan mutlak membela badan (lijf), kesusilaan (eerbarheid), atau barang-barang (goed) dari dirinya sendiri atau orang lain, terhadap suatu serangan yang bersifat melanggar hukum dan yang dihadapi seketika itu atau dikhawatirkan akan segera menimpa.

Terpaksa dalam melakukan pembelaan ada tiga pengertian : 1. Harus ada serangan atau ancaman serangan

2. Harus ada jalan lain untuk menghalaukan serangan atau ancaman serangan pada saat itu dan harus masuk akal. 3. Perbuatan pembelaan harus seimbang dengan sifatnya

serangan.

Adapun kepentingan-kepentingan yang dapat dilakukan pembelaan adalah :

1. diri/badan

2. kehormatan dan kesusilaan 3. harta benda orang

4. Melampaui Batas Membela Diri Pasal 49 ayat 2 KUHP :

“Tidaklah kena hukuman pidana suatu pelampauan batas keperluan membela diri apabila ini akibat langsung dari gerak perasaan, yang disebabkan oleh serangan lawan”.

Pelampauan ini terjadi apabila : serangan balasan dilanjutkan pada waktu serangan lawan sudah dihentikan. Tidak

54 ada imbangan antara kepentingan yang mula-mula diserang dan kepentingan lawan yang diserang kembali.

Dalam hal ini terdakwa hanya dapat dihindarkan dari pidana apabila hakim menerima aksesnya yaitu “langsung disebabkan oleh kegoncangan jiwa yang hebat”. Hal ini sangat berhubungan dengan perasaan seseorang ketika dihadapkan pada sebuah peristiwa.

Pasal 50 KUHP :

“Tidak dikenakan hukuman pidana seorang yang melakukan perbuatan untuk melaksanakan suatu peraturan hukum perundang-undangan.

Maka sebetulnya Pasal 50 ini tidak perlu. Kenapa Pasal ini tetap dicantumkan dalam KUHP, karena untuk menghilangkan keragu-raguan. Contoh : Seorang polisi tidak melakukan tindak-tindak Pasal 333 KUHP, yaitu merampaskemerdekaan orang lain, apabila dalam menyelidiki suatu perkara pidana menangkap seorang tersangka.

e. Perintah Jabatan (Ambtelijk Bevel) Pasal 51 ayat 1 KUHP :

Tidak dikenakan hukuman pidana seseorang yang melakukan suatu perbuatan untuk melaksanakan suatu perintah, diberikan oleh seseorang alasan yang berwenang untuk memberikan perintah itu.

Pasal 51 ayat 2 KUHP :

Tidak dikenakan hukuman pidana juga dalam hal ada perintah, dikeluarkan oleh seorang pengusaha yang tidak berwenang untuk itu, namun sipelaku harus mengira secara jujur (de goedor trouw) bahwa perintah itu sah dan beres. Perbuatan yang dilakukan seorang bawahan ini harus dalam lingkungan pekerjaan jabatan.

55 BAB III

Dokumen terkait