• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Tepung Daun Lamtoro ( Leucaena leucocephala )

Kale (1987) menyatakan bahwa lamtoro adalah tumbuhan leguminosa tropis, berasal dari Amerika Tengah. Tumbuhan ini disebarkan oleh orang-orang

Mayan dan Zapotec ke seluruh Amerika Tengah. Klasifikasi Leucaena

leucocephala menurut Brewbaker dan Hylin (1965) adalah, salah satu spesies dari genus Leucaena yang termasuk sub Famili Mimosoideae, Famili Leguminoseae, sub ordo Rosicae, Ordo Resales, Sub Klas Dycotyledonea, Klas Angiospermopsidae, sub Divisio Spermatophyta, Divisio Traceophyta dan sub Kingdom Embryobionta.

Lamtoro (Leucaena) terdiri atas 53 spesies yang digolongkan ke dalam 10 spesies yang telah dikenal. Walaupun seluruh spesies tersebut mungkin sangat berguna bagi daerah tropis, tetapi hanya Leucaena leucocephala yang telah dimanfaatkan secara luas (NAS 1994). Tanaman lamtoro tumbuh baik di daerah dengan curah hujan tahunan antara 1000 - 3000 mm. Sementara Garcia et al.

(1996) menyarankan agar tanaman lamtoro ditanam di daerah yang curah hujannya lebih dari 750 mm per tahun dan ketinggian lebih dari 1500 m dpi. Selanjutnya dinyatakan pula bahwa tanah yang sesuai dengan tanaman ini adalah tanah yang netral atau tanah basah (padang penggembalaan ternak), dimana lamtoro dan rumput makanan ternak ditanam menjadi satu dengan perbandingan yang tepat. Menurut Bray et al. (1997) tanaman lamtoro dapat ditanam dengan menggunakan berbagai sistem penanaman misalnya sebagai pagar pencegah erosi, penahan angin atau batas tanah pekarangan. NAS (1994) menyebutkan bahwa pada umumnya tanaman lamtoro dapat menghasilkan bahan kering dari unsur-

unsur yang dapat dimakan (daun dan ranting-ranting kecil) sebesar 6-8 ton per hektar per tahun atau sekitar 20 - 80 ton bahan segar per hektar pertahun.

Tabel 2. Perbandingan komposisi asam amino dan makro, mikro serta mineral, antara tepung ikan (TI), bungkil kedelai (TBK) dan tepung daun lamtoro (TDL).

Profil asam amino esensial TI (g/16g N) TBK (g/16g N) TDL (g/16g N) Arginin 4,60 6,94 1,02 - 5,25 Histidin 2,00 2,64 0,40 - 1,44 Isoleusin 3,00 5,01 1,24 - 6,65 Leusin 5,50 7,54 1,60 - 6,65 Lisin 6,20 6,28 1,28 - 6,07 Metionin 1,60 1,38 0,23 - 1,19 Penilalanin 3,20 5,03 1,07 - 3,92 Treonin 3,10 4,92 0,87 - 5,07 Triptopan 2,30 1,18 0,24 - 0,38 Valin 3,20 4,72 1,01 - 6,29

Makro & mikro mineral

Kalsium (%) 4,00 0,28 0,37 - 2,52 fosfor (%) 2,60 0,68 0,07 - 1,47 Sodium (%) 0,87 0,08 0,00 - 0,04 Potassium (%) 0,70 1,92 0,80 - 1,99 Magnesium (%) 0,25 0,27 0,42 - 0,56 Klorin (%) - 0,04 Mangan (mg/kg) 2,00 32,20 7,00 - 10,6 Iron (mg/kg) 246 186,50 181,00- 407,00 Tembaga (mg/kg) 111 53,50 21,00 - 29,90 Cupper (mg/kg) 11,0 19,90 42,10 - 60,00 Selenium (mg/kg) - 0,04 - lodin (mg/kg) - 0,05 -

Bahan anti nutrien Asam pitat Mimosin

Sumber ; Hertrampf dan Pascual (2000)

TDL merupakan sumber daya hayati lokal yang potensial untuk digunakan sebagai salah satu sumber protein nabati dalam pakan ikan karena mengandung protein sekitar 34,38 % (Agbede dan Alevator 2004); 25 - 30% (NAS 1994); 24,2% (Sutardi 1981); 24% (Scott et al. 1982), yang merupakan nilai tertinggi dibandingkan sumber protein nabati lainnya. Komponen asam amino essensial TDL, bungkil kedelai dan tepung ikan dapat dilihat pada Tabel 2. Dimana kisaran nilai yang ada memperlihatkan kemiripan ketersediaan asam

amino essensial dibandingkan bungkil kedelai, walaupun masih jauh dari kandungan asam amino tepung ikan. Tepung daun lamtoro juga merupakan sumber vitamin A dengan kandungan β-karoten yang relatif tinggi serta kandungan xantofil yang merupakan sumber pigmentasi pada kulit dan kuning telur (Hertrampf dan Pascual 2000).

Pemanfaatan bahan baku pakan ikan nila dari daun tumbuhan khususnya daun lamtoro dibatasi dengan tingginya kandungan neutral detergent fiber (NDF) sebesar 39,5% dan acid detergent fiber (ADF) sebesar 35,10% (Garcia et al. 1996). Serat kasar merupakan komponen karbohidrat yang kaya akan lignin dan selulase yang sukar dicerna. Selulase merupakan kerangka sel tanaman yang terdiri dari rantai D-Glukosa dengan derajat polimerasi sebesar lebih kurang 14.000 (Schlegel 1994). Degradasi polisakarida yang terdapat pada dinding sel tanaman yang merupakan bagian terbesar komponen serat kasar yang kadarnya bervariasi bergantung kepada jaringan tanaman, jenis tanaman dan umur tanaman (Amin 1997). Pada manusia fungsi utama selulase adalah untuk menyediakan bahan bulky

(tidak dapat dicerna) yang dapat meningkatkan efisiensi kerja saluran pencernaan yang fungsinya dapat disamakan dengan fungsi serat dalam pakan ternak (Djojosoebagio dan Pilliang, 1996).

Pemanfaatan TDL di dalam pakan dibatasi pula oleh adanya mimosin yang merupakan asam amino heterosiklik (a-amino-(3(N-(3-hidroxy-4- piridon)(asam propionat). Berbagai usaha yang dilakukan untuk menurunkan daya racun mimosin dalam daun lamtoro adalah dengan pemanasan, penambahan garam sulfat, penambahan senyawa analog mimosin, pencucian, mendapatkan varietas baru yang rendah kandungan mimosinnya. Murthy et al. (1994) melaporkan bahwa pengeringan dengan matahari sampai menjadi bahan kering lebih dari 90%. kemudian dilanjutkan pengovenan pada suhu 100 °C selama 12 jam, dilanjutkan perendaman dalam air selama 12 jam serta inkubasi dalam larutan 5% NaOH, menghasilkan penurunan mimosin terbaik dan kehilangan protein yang terkecil. Setelah dicobakan ke ayam broiler dapat memberikan pertambahan bobot badan dan konversi pakan yang tidak berbeda dengan kontrol. Pada ikan O. mossambicus, Wee dan Wang (1987) menyatakan bahwa dengan kadar protein 50% penggunaan TDL yang direndam dalam air sebanyak 20% dalam pakan

dapat memberikan pertumbuhan harian sebesar 2,2%, sedangkan pada kadar yang sama TDL yang tidak direndam memberikan pertumbuhan harian sebesar 1,1%. Penaflorida et al. (1992) menyatakan bahwa perendaman daun lamtoro selama 30 - 48 jam dapat menurunkan mimosin hingga 90%. Sedangkan penelitian Widyastuti (2001) menunjukkan bahwa ayam broiler yang ransum dasarnya dicampur TDL 10% dengan perlakuan pemanasan kering/oven pada suhu 70°C selama 12 jam memberikan respon pertumbuhan yang terbaik. Dinyatakan pula bahwa metode ini dinilai paling ekonomis dan mudah diterapkan dibanding pemanasan lembab atau penambahan komponen zat besi.

Selain mimosin bahan nutrien lain yang terkandung dalam TDL adalah mio-inositol heksakisfosfat (C6H18O24P6) yang umum disebut asam fitat

mempunyai rumus kimia dan struktur cincin yang mirip dengan glukosa yang berikatan dengan fosfor untuk membentuk struktur asam fitat. Struktur asam fitat dapat dilihat pada Gambar 1 Asam fitat mempunyai struktur yang stabil dan mengandung kira-kira 2/3 fosfor tanaman dalam bentuk fosfor organik (Ravindran et al. 2000).

Gambar 1. Struktur molekul asam fitat (Ravindran et al. 2000)

Sifat antinutrien asam fitat didasarkan pada kemampuannya untuk bergabung dengan mineral bervalensi dua, seperti Ca, Zn, Mg dan Fe dan membentuk fitat mineral yang tidak larut (Wodinski dan Ullah 1996). Sifat anti nutrien yang lain adalah kemampuan asam fitat untuk berikatan dengan protein, vitamin dan polisakarida. Kelompok fosfor yang terikat fitat dapat membentuk ikatan elektrostatik dengan asam-asam amino atau dengan asam amino bebas dari residu lisin dan arginin yang terdapat pada molekul protein (Cheryan 1980). Kompleks fitat-mineral-protein dalam bentuk kation multivalent membuat jembatan antara kelompok fosfat pada molekul fitat dan

kelompok terminal karboksil pada protein atau kelompok karboksil bebas dari residu aspartat dan glutamat dalam molekul protein (Cheryan 1980). Fitat dapat mengikat protein dan mineral di dalam digesta, sangat potensial untuk menghambat aktifitas enzim-enzim pencernaan seperti protease dan tripsin (Conrad et al. 1996). Penelitian lain menyatakan bahwa interaksi antara asam fitat dan protein akan menurunkan bioavailability protein pada legum (Davies 1982). Fosfor terikat fitat tidak dapat dimanfaatkan ternak dan terbuang dalam feses sehingga akan meningkatkan kandungan fosfor dalam tanah dan air. Mekanisme kerja asam fitat mengikat mineral dapat dilihat pada Gambar 2.

.

Gambar 2. Mekanisme asam fitat mengikat mineral (Cheryan 1980)

Penelitian untuk mereduksi fitat dalam bahan baku pakan dilakukan dengan menambahkan enzim fitase yang merupakan enzim yang mampu mengkatalisasi reaksi hidrolisis asam fitat dan menghasilkan orthofosfat anorganik dan senyawa inositol yang lebih rendah. Enzim fitase ini terdapat

pada jaringan hewan, tanaman dan mikroba (Baruah et al. 2004).

Mekanisme fitase untuk memotong ikatan tersebut dapat dilihat pada Gambar 3. Wodinski dan Ullah (1996) mengemukakan bahwa terdapat 2 jenis enzim fitase yaitu 3-fitase dari fungi (seperti jenis komersial yang dijual sekarang yang berasal dari fungi Aspergilus niger) dan fitase yang berasal dari tumbuhan. Jenis mikroba yang menghasilkan fitase didapatkan dalam rumen

yaitu adalah Selenomona ruminantium (Yanke et al. 1998) dan yang terbaru adalah

Mitsuokella jalaludinii (Lan et al. 2002).

Gambar 3. Mekanisme hidrolisis fosfat oleh enzim fitase (Applegate et al. 2004).

Dokumen terkait