• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV PENERAPAN MUSIK SEBAGAI MEDIA TERAPI

2. Terapi Karawitan

Jenis musik yang diterapkan dalam terapi musik karawitan adalah jenis musik karawitan dengan lagu-lagu daerah, seperti Gangsaran, Mayar Sewu, Projo Tamansari, Gugur Gunung, dan Caping Gunung. Hal ini seperti yang diungkapkan Warsito, S.Sn selaku instruktur musik juga menjelaskan tentang kegiatan terapi karawitan ini, sebagai berikut.

“Jenis musik yang digunakan dalam terapi karawitan ya musik-musik karawitan dengan lagu-lagu daerah, selain untuk melestrarikan kesenian tradisional, musik karawitan juga dapat mengajarkan kerjasama, komunikasi antar pemain dan menambah pelafalan

kosakata siswa melalui nembang”.

Dari hasil wawancara tersebut dapat dikatakan bahwa, dalam terapi Karawitan ini menggunakan lagu-lagu daerah yang dalam pengaplikasiannya memainkan alat musik gamelan dan bernyanyi atau nembang. Hal ini dilakukan dengan tujuan selain melestarikan kesenian tradisional, juga mengajarkan kerjasama, komunikasi, serta mengajarkan pelafalan kosakata anak.

3. Terapi Bermain Alat Musik dan Bernyanyi

Jenis musik yang digunakan pada proses terapi bermain alat musik dan bernyanyi adalah jenis musik pop dan musik anak yang cenderung bersifat komunikatif. Jenis musik pop yang diterapkan bukan hanya meliputi lagu-lagu populer terbaru, namun juga lagu-lagu lawas, atau lagu nasional sesuai keinginan atau kesukaan anak penyandang autisme. Hal tersebut seperti yang dijelaskan oleh saudara Rochmad Zaelani sebagai instruktur, sebagai berikut.

“Dalam terapi bermain alat musik dan bernyanyi, jenis musiknya

adalah jenis musik pop, lagunya seperti lagu untuk mama, lagu-lagunya Ada Band, Noah, ada juga yang suka lagu kenangan, masalahnya kan tiap siswa ada yang suka lagu Ada Band, Noah, tembang kenangan, dan lain-lain, disesuaikan dengan kesuakaan siswanya, kayak gitu. Kadang juga ada yang memainkan lagu

nasional”.

Dari hasil wawancara tersebut dapat dikatakan bahwa, dalam terapi bermain alat musik dan bernyayi, jenis musik yang digunakan adalah jenis musik pop dan musik anak. Lagu-lagu yang sering dimainkan oleh siswa adalah lagu-lagu yang sedang populer pada saat ini, seperti lagu-lagu dari grup band Noah, Ada Band, dan lain-lain. Selain itu, lagu-lagu yang juga sering dimainkan selain lagu popular pada era sekarang adalah lagu kenangan dan lagu nasional. Dalam pengaplikasian terapi bermain alat musik dan bernyayi ini lagu-lagu yang dimainkan dalam proses terapi cenderung disesuaikan dengan kesukaan tiap siswa.

B. Cara Penerapan Musik Sebagai Media Terapi Pada Anak Penyandang Autisme di Sekolah Khusus Autisme Bina Anggita Yogyakarta

Dalam melakukan kegiatan penerapan musik sebagai media terapi, Sekolah Khusus Autisme Bina Anggita Yogyakarta membagi kegiatan terapi

musik terlebih dahulu yaitu terapi “Pagi Ceria Pagi Menyapa”, terapi

karawitan, terapi bermain alat musik, dan terapi bernyanyi. Dalam proses kegiatan terapi tersebut, guru sekaligus terapis dan instruktur musik di sekolah tersebut menggunakan metode demonstrasi, metode imitasi, dan metode drill. Ketiga metode ini saling berkaitan satu sama lain dalam menunjang keberhasilan tercapainya terapi musik di sekolah tersebut. Hal ini

dapat dilihat dari hasil wawancara dengan Ana Nur Anis, S.Pd selaku guru sekaligus terapis di sekolah tersebut, sebagai berikut.

“Jadi dalam melakukan kegiatan terapi musik di sini pertama kali kami membagi kegiatan terapinya terlebih dahulu lalu dalam penerapanya kami menggunakan metode demonstrasi, guru sekaligus terapis dan instruktur musik memberikan contoh, lalu anak-anak menirukannya (imitasi). Tapi anak-anak tetep dibimbing agar mau mengikuti proses terapi musik. Setelah itu baru digunakan metode drill, anak-anak dilatih terus-menerus, tetapi tetap anak-anak didampingi gurunya masing-masing, secara personal.”

Dari hasil wawancara tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa, metode demonstrasi dilakukan oleh guru sekaligus terapis dan instruktur musik dalam

kegiatan terapi “Pagi Ceria Pagi Menyapa”, karawitan, bermain alat musik,

dan bernyayi. Setelah menggunakan metode demontrasi selanjutnya guru sekaligus terapis dan instruktur musik di sekolah tersebut menggunakan metode imitasi, metode ini dapat mempermudah anak penyandang autisme dalam melakukan kegiatan terapi musik yang diterapkan oleh guru sekaligus terapis dan instruktur musik, karena guru sekaligus terapis dan instruktur musik memberikan contoh terlebih dahulu lalu anak-anak menirukanya. Metode imitasi ini dirasa tepat diterapkan dalam kegiatan terapi musik mengingat karakteristik anak penyandang autisme yang tidak bisa diberikan pengarahan secara verbal.

Setelah dilakukan metode demonstrasi dan imitasi, guru dan instruktur menerapkan metode drill dalam kegiatan terapi musik. Metode drill memiliki peranan penting dalam proses terapi musik karena drill merupakan bentuk latihan yang bertujuan untuk memperdalam ketrampilan anak penyandang autisme dalam melakukan kegiatan-kegiatan terapi musik. Metode ini berupa

latihan-latihan bernyanyi, bermain karawitan, bermain alat musik, serta

kegiatan terapi “Pagi Ceria Pagi Menyapa” yang diulang-ulang hingga kemampuan anak penyandang autisme dalam kegiatan-kegiatan terapi tersebut meningkat. Dengan metode drill ini, anak penyandang autisme dapat memperdalam keterampilan dalam kegiatan terapi musik, sehingga menunjang tujuan dilakukannya terapi musik tersebut, seperti yang telah dijelaskan oleh Ana Nur Anis, S.Pd selaku guru sekaligus terapis di sekolah tersebut, yakni.

“Metode drill sangat penting digunakan, karena anak penyandang

autis itu harus diajari dengan cara berulang-ulang biar makin lancar. Misal, kayak pas terapi bernyanyi, anak-anak dilatih terus-menerus, supaya anak-anak makin lancar nyanyinya. Karena kalau lancar nyanyinya juga bisa lancar bicaranya. Metode drill juga diterapkan di terapi-terapi lainnya. Tujuanya ya sama saja, biar lebih lancar dan

terampil.”

Berdasarkan penjelasan tersebut diketahui bahwa tiga metode yang digunakan dalam proses terapi musik yang diterapkan di sekolah tersebut saling berkaitan satu sama lain. Metode demonstrasi, metode imitasi, dan metode drill sangat memberikan peranan penting dalam penerapan terapi musik yang meliputi terapi “Pagi Ceria Pagi Menyapa”, karawitan, bermain

alat musik, dan bernyayi. Adapun penjelasan cara penerapan kegiatan terapi musik tersebut sebagai berikut.

1. Terapi Pagi Ceria Pagi Menyapa

Cara penerapan terapi musik berupa “Pagi Ceria Pagi Menyapa”,

yakni guru sekaligus terapis membimbing anak penyandang autisme di sekolah tersebut untuk melakukan kegiatan bernyanyi sambil

menggerakkan aggota tubuh mereka. Terapi “Pagi Ceria Pagi Menyapa”

ini dilaksanakan setiap hari sebelum berlangsungnya kegiatan belajar mengajar dengan tujuan agar anak-anak penyandang autisme memperoleh keceriaan, pikiran mereka segar, dan semangat mereka meningkat, supaya dapat menjalankan kegiatan belajar mengajar dalam kondisi baik.

Kegiatan dalam terapi “Pagi Ceria Pagi Menyapa” ini berupa kegiatan

bernyanyi sambil bertepuk tangan, menepuk-nepuk paha, dan menghentak-hentakkan kaki secara bersamaan. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Ana Nur Anis, S.Pd selaku guru sekaligus terapis di sekolah tersebut, sebagai berikut.

“Pagi ceria pagi menyapa, gunanya untuk mempersiapkan anak-anak agar dapat mengikuti pelajaran dengan ceria. Kadang-kadang kan ada anak yang dari rumah dalam keadaan bad mood, disini dibikin ceria dulu dengan bernyanyi dan menggerakan tubuh mereka secara bersama-sama. Itu kebiasaan kita, dari pertama datang ke sekolah itu

harus senang dulu supaya dapat mengikuti pelajaran dengan baik.”

Pada penerapan terapi “Pagi Ceria Pagi Menyapa” pada anak

penyandang autisme, guru sekaligus terapis menggunakan tiga metode, yaitu metode demonstrasi, imitasi, dan drill. Pada metode demonstrasi guru memberikan contoh pada kegiatan terapinya. Kemudian guru menerapkan metode imitasi, yaitu anak penyandang autisme tersebut dibimbing untuk menirukan apa yang sudah dicontohkan oleh guru sekaligus terapis. Setelah itu diterapkan metode drill, yaitu anak penyandang autisme dibimbing oleh guru untuk melakukan latihan menggerak-gerakkan anggota tubuh sesuai ritme secara berulang-ulang.

Gambar 2. Kegiatan terapi “Pagi Ceria Pagi Menyapa” di bawah

bimbingan guru (dok. Dani, 2015)

Terapi “Pagi Ceria Pagi Menyapa” berupa kegiatan bertepuk tangan, menepuk paha, dan menghentak-hentakkan kaki, yang secara tidak langsung mengajarkan pemahaman ritme kepada anak. Selanjutnya, guru sekaligus terapis juga mengajarkan berhitung kepada anak untuk menghitung setiap ketukan dari kegiatan terapi gerak tubuh ini, sehingga membentuk pola irama yang diinginkan. Selain melatih psikomotorik anak penyandang autisme, kegiatan ini juga melatih kemampuan anak dalam menghitung.

Contoh pola irama dalam kegiatan terapi gerak tubuh: XXXX OOOO YYYY XXXX OOOO YYYY

Keterangan: X simbol untuk bertepuk tangan. O simbol untuk menepuk-nepuk paha. Y simbol untuk menghentak-hentakkan kaki.

Selanjutnya, setelah anak terbiasa dengan permainan tersebut, kegiatan-kegiatan terapi itu dilakukan bersamaan dengan kegiatan bernyanyi. Artinya, anak penyandang autisme melakukan kegiatan gerak

tubuh, tepuk tangan, tepuk paha, dan menghentakan kaki sambil bernyanyi sesuai ritme lagu.

Permainan lain dalam terapi “Pagi Ceria Pagi Menyapa” adalah memperagakan suatu lagu dengan gerakan. Contoh paling sederhana dalam kegiatan ini adalah anak memperagakan lagu kepala-pundak-lutut-kaki, ketika bernyanyi anak belajar menyentuh bagian tubuh yang dinyanyikan. Adapun lagu lain yang sering diterapkan dalam terapi ini adalah burung kakak tua, topi saya bundar, satu-satu aku sayang ibu, yang dinyanyikan dengan memperagakan isi lirik dari lagu-lagu tersebut.

Dengan diterapkannya terapi “Pagi Ceria Pagi Menyapa” ini, anak

penyandang autisme yang memiliki karakteristik tidak mau mengenal orang-orang di sekitarnya, menjadi lebih aktif untuk berinteraksi dengan lingkungan sosialnya dengan cara bernyanyi dan menggerakan tubuh mereka secara bersama-sama. Kegiatan-kegiatan pada terapi “Pagi Ceria Pagi Menyapa” ini berfungsi untuk melatih psikomotorik anak penyandang autisme, mengajarkan pemahaman ritme, melatih kemampuan berhitung anak, melatih konsentrasi anak, melatih pelafalan kosa kata, dan membuat

perasaan anak menjadi gembira. Kegitan terapi “Pagi Ceria Pagi Menyapa” dapat dilakukan dengan berbeagai variasi sesuai pengajaran guru sekaligus terapis di sekolah tersebut.

2. Terapi Karawitan

Proses terapi musik berupa kegiatan terapi karawitan, yakni guru sekaligus terapis dan instruktur musik membimbing anak penyandang

autisme di sekolah tersebut untuk bermain karawitan. Terapi karawitan diterapkan dengan tujuan untuk mengembangkan keterampilan anak penyandang autisme di bidang musik, menunjang anak penyandang autisme untuk bersosialisasi dan bekerja sama. Dengan bermain musik secara kolektif, mengajarkan komunikasi dengan teman mainnya, dan mengembangkan pelafalan kosakata anak yang didapatkan dari nembang atau bernyanyi. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Ana Nur Anis, S.Pd selaku guru sekaligus terapis di sekolah tersebut, sebagai berikut.

“Tujuan terapi karawitan, mengajarkan kerjasama, coba kalau nggak

kerja sama, nggak bisa. Mengajarkan komunikasi, misal kalau ada temannya main kok belum berhenti padahal lagunya sudah berenti nanti temanya akan memberi tau, berhenti-berhenti gitu. Sehingga

menimbulkan komunikasi.”

Terapi karawitan merupakan kegiatan terapi yang membutuhkan ketrampilan lebih dari anak-anak penyandang autisme di sekolah tersebut. Anak-anak yang menjalani kegiatan terapi karawitan ini biasanya anak-anak yang memiliki nilai akademik yang baik. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Ana Nur Anis, S.Pd selaku guru sekaligus terapis di sekolah tersebut, sebagai berikut.

“Tiap ketukan di gamelan itu kan berbeda-beda, kalau ada anak-anak yang memiliki kemampuan yang lebih, artinya untuk kemampuan akademiknya agak bagus, itu kami tempatkan di bonang. Kalau saron itu anak yang bisa menghitung satu sampai tujuh, saron kan

manut notnya saja.”

Lebih lanjut Warsito, S.Sn selaku instruktur musik juga menjelaskan tentang kegiatan terapi karawitan ini, sebagai berikut.

“Kalau untuk karawitan itu tujuannya untuk ngasih keterampilan,

Anak autis kan susah ngajarinnya, jadi harus dibimbing secara tegas. Soalnya gini, kalau anak-anak autis di-treatment kayak anak-anak biasa tidak bisa, tapi kalau anak yang benar-benar tidak bisa dibimbing secara tegas ya tetep nggak bisa dipaksa. Jadi membimbing yang bisa dibimbing, yang tingkat autisnya nggak parah. Untuk anak autis yang parah, ada treatment sendiri, seperti dibimbing kegiatan yang dasar-dasar terlebih dahulu seperti diminta diam, duduk, dan lain-lain. Tapi untuk anak yang mengikuti terapi karawitan rata-rata adalah anak yang bisa dibimbing, bisa dikasih

intruksi, walaupun nggak sempurna, gitu.”

Terapi karawitan yang dilakukan di Sekolah Khusus Autisme Bina Anggita Yogyakarta adalah untuk membimbing anak penyandang autisme supaya lebih aktif lagi serta mengasah ketrampilan mereka. Dalam proses terapi karawitan di sekolah tersebut, bentuk gamelan dikemas secara menarik agar anak penyandang autisme di sekolah tersebut tertarik untuk memainkannya. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Ana Nur Anis, S.Pd selaku guru sekaligus terapis di sekolah tersebut, sebagai berikut.

“Gamelan dibuat beda untuk daya tarik mereka, anak melihat saja sudah senang dengan gamelan yang berbentuk pesawat, tank,

mobil-mobilan, apalagi memainkanya.”

Dalam proses kegiatan terapi karawitan yang diterapkan di sekolah tersebut terdapat tiga bentuk kegiatan, yaitu terapi karawitan sekar (penyajiannya dengan menyanyi), terapi karawitan gendhing (penyajiannya dengan memainkan instrumen gamelan), dan terapi karawitan sekar gendhing (penyajiannya dengan unsur gabungan antara menyanyi dan memainkan instrumen gamelan). Proses terapi karawitan tersebut dilakukan dengan bimbingan guru dan instruktur musik. Instruktur bertugas memberikan pengarahan pada anak penyandang autisme terkait notasi-notasi yang harus dimainkan, sedangkan guru bertugas sebagai pembimbing anak-anak itu dalam melakukan terapi karawitan tersebut. Guru menerjemahkan pengarahan instruktur kepada anak penyandang autisme dengan cara membimbing anak-anak dalam melakukan terapi karawitan. Hal tersebut seperti yang dijelaskan oleh saudara Rochmad Zaelani sebagai instruktur musik di sekolah tersebut, sebagai berikut. “Karawitan dimainkan secara berkelompok, cara pengajarannya ya

dibimbing satu-satu. Jadi instrukturnya di depan, terus tiap anak didampingi gurunya masing-masing. Nah, gurunya memegang tangan anak-anak, lalu menjelaskan intruksi dari instruktur kepada anak. Anak autis kan perhatiannya tidak seperti anak pada umumnya, jadi fungsinya guru di situ biar anak lebih perhatian, sama menerjemahkan intruksi dari intrukstur sekaligus membimbing anak

Gambar 4. Instruktur memberikan pengarahan kepada anak penyandang autisme dalam kegiatan terapi karawitan (dok. Dani, 2015)

Gambar 5. Guru memberikan bimbingan kepada anak penyandang autisme dalam kegiatan terapi karawitan (dok. Dani, 2015)

Guru dan intruktur dalam menerapkan terapi karawitan pada anak penyandang autisme menggunakan tiga metode, yaitu metode demonstrasi, metode imitasi, dan metode drill. Pada metode demonstrasi guru memberikan contoh menyanyikan atau memainkan komposisi lagu kepada anak penyandang autisme secara bertahap. Kemudian diterapkan metode imitasi, yaitu anak penyandang autisme tersebut dibimbing untuk

menirukan apa yang sudah dicontohkan oleh guru sehingga dapat menyanyikan atau memainkan lagu sesuai dengan pengarahan intrukstur. Setelah itu diterapkan metode drill, yaitu anak penyandang autisme dibimbing oleh guru untuk melakukan latihan menyanyi atau memainkan komposisi karawitan secara berulang-ulang. Masing-masing anak dibimbing oleh gurunya dalam bernyanyi atau memainkan alat musik gamelan, kemudian setelah bermain cukup lancar anak penyandang autisme tersebut memainkan musik karawitan secara bersama-sama dengan anak-anak yang lain, namun tetap dalam bimbingan guru mereka masing-masing. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Ana Nur Anis S.Pd selaku guru sekaligus terapis di sekolah tersebut, sebagai berikut.

“Awalnya kami menggunakan metode demontrasi, kami memberikan

contoh satu lagu dalam bermain gamelan, kemudian anak-anak kami suruh untuk menirukannya, tetapi tetap kami bimbing itu metode yang kami pakai imitasi, setelah anak-anak sudah agak bisa lalu kami menggunakan metode drill dengan mengulang-ulang lagu yang

kami ajarkan sampai lancar”.

Gambar 6. Anak-anak penyandang autisme melakuan kegiatan terapi karawitan secara kolektif di bawah bimbingan guru dan instruktur

Dokumen terkait