ANTIMALARIA
Penggunaan antimalaria aminokuinolin tunggal atau kombinasi dapat efektif pada sekitar 75% dari pasien CLE yang tidak memuaskan pada pemberian terapi lokal. Kemungkinan terjadinya toksisitas pada retina harus dijelaskan pada pasien dan harus dilakukan pemeriksaan oftalmologi sebelum pemberian terapi. Namun risiko terjadinya retinopati akibat penggunaan antimalaria sangat jarang, biasanya dalam 10 tahun pertama terapi, jika direkomendasikan, dosis maksimum harian agen ini tidak melebihi (hidroksiklorokuin, 6,5mg/kg/hari sesuai berat badan ideal; klorokuin, 3 mg/kg/hari). Pasien harus dilakukan evaluasi pemeriksaan oftalmologi setiap 6-12 bulan selama masa pengobatan ini.
Hidroksiklorokuin sulfat (Plaqueni), 6-6,5 mg/kg, harus diberikan rutin setiap hari, baik sekali sehari ataupun dosis terbagi dua untuk mencegah efek samping gastrointestinal. Pasien harus dijelaskan bahwa awitan hasil terapi yang baik baru tampak sekitar 2-3 bulan. Jika tidak tampak respon setelah 8-12 minggu, kuinakrin hidroklorid, 100mg/hari (saat ini tersedia di Amerika serikat hanya dalam sediaan campuran), dapat diberikan sebagai tambahan pada hidroksiklorokuin tanpa peningkatan risiko retinopati (kuinakrin tidak menyebaban retinopati). Jika setelah 4-6 minggu tidak didapatkan hasil klinis yang adekuat, sebaiknya mempertimbangan utuk mengganti hidroksiklorokuin dengan klorokuin difosfat (Aralen), 3 mg/kg untuk mencegah retinopati. Dosis mungkin perlu penyesuaian untuk pasien dengan penurunan fungsi ginjal dan hati. Di Eropa, klorokuin umumnya memberikan hasil lebih baik dibandingkan hidroksiklorokuin pada pengobatan CLE, mungkin akibat respon terapi yang cepat yang mungkin terjadi sebagai akibat dari periode waktu yang lebih pendek yang diperlukan untuk mencapai kadar darah yang stabil dengan klorokuin dibandingkan dengan hidroksiklorokuin. Hidroksiklorokuin dan klorokuin sebaiknya jangan digunakan bersamaan karena dapat meningkatkan risiko toksisitas retina. Terdapat beberapa bukti bahwa klorokiun dapat menjadi lebih retinotoksik dibandingkan hidroksiklorokuin.
Beberapa efek samping selain toksisitas retina, berhubungan dengan penggunaan antimalaria. Kuinakrin dibandingkan dengan hidroksiklorokuin atau klorokuin lebih sering mengalami efek samping, seperti nyeri kepala, intoleransi gastrointestinal, toksisitas hematologi, pruritus, erupsi obat likenoid dan deposisi pigmen kulit dan mukosa. Kuinakrin biasanya menyebabkan kekuningan pada seluruh kulit dan sklera pada individu yang berkulit terang, yang akan kembali normal ketika pengobatan dihentikan. Kuinakrin dapat menyebabkan hemolisis yang signifikan pada pasien dengan defisiensi glucose-6-phosphate dehydrogenase (efek samping ini juga telah dilaporkan jarang terjadi pada pemberian hidroksiklorokuin dan klorokuin). Setiap golongan antimalaria aminokuinolin dapat menyebabkan supresi sumsum tulang, termasuk anemia aplastik, meskipun efek samping ini sangat jarang dengan jumlah pemberian dosis rejimen saat ini. Psikosis toksik, grand mal seizures, neuromiopati dan aritmia jantung terjadi akibat penggunaan dosis tinggi dari obat ini pada masa lalu; reaksi ini jarang terjadi dengan pemberian dosis rendah harian dari rejimen yang digunakan saat ini.
dilakukan pemeriksaan hitung darah lengkap, fungsi hati dan fungsi ginjal, pemeriksaan ini harus diulang 4-6 minggu setelah terapi dimulai dan 4-6 minggu setelahnya. Dianjurkan untuk lebih sering melakukan skrining untuk toksisitas hematologi ketika kuinakrin digunakan. Pasien dengan gejala yang jelas atau gejala subklinis dari porfiria kutanea tarda sangat berisiko tinggi untuk mengalami hepatotoksisitas akut yang sering diduga suatu kasus bedah abdomen akut, ketika diterapi dengan dosis terapi antimalaria untuk CLE. Pemeriksaan kadar urin β-human
chorionic gonadotropin awalnya dianjurkan pada perempuan yang mengandung,
walaupun bukti terbaru menunjukan bahwa risiko untuk ibu hamil pada dosis rejimen antimalaria yang saat ini dianjurkan cukup sedikit.
AGEN NON IMUNOSUPRESIF PILIHAN UNTUK PENYAKIT YANG SULIT DISEMBUHKAN DENGAN ANTIMALARIA
Beberapa pasien dengan CLE yang sulit disembuhkan (SCLE lebih sulit dari DLE) memiliki respon baik terhadap pemberian diaminodiphenylsulfone (dapson). Dosis awal 25 mg per oral dua kali sehari dapat ditingkatkan hingga 200-400 mg/hari jika diperlukan. Dosis signifikan yang menyebabkan hemolisis dan atau
methemoglobinemia dapat diakibatkan dari penggunaan dapson, terutama pada
individu yang mengalami suatu defisiensi aktivitas glucose-6-phosphate
dehydrogenase, dan karenanya, pemeriksaan hitung darah lengkap dan fungsi hati
harus dilakukan secara teratur. Isotretinoin 0,5-2,0 mg/kglbb/hari dan asitretin 10-50 mg/hari juga telah digunakan, namun keberhasilannya dibatasi oleh efek sampingnya (teratogenisitas, kekeringan pada mukokutan dan hiperlipidemia). Selain itu penggunaan jangka panjang retinoid telah menjadi suatu masalah dalam pemecahan aktivitas CLE.
Talidomid (50-200 mg/hari) sangat efektif pada CLE yang sulit membaik dengan pengobatan yang lain. Sejumlah penelitian telah menyebutkan bahwa respon kesembuhan antara 85% dan100%, dengan banyak pasien yang mengalami remisi total. Namun, aturan pemberian resep talidomid yang ketat dilaksanakan di Amerika serikat pada tahun 1998 karena efek teratogenik yang berat, menyebabkan talidomid dilarang untuk diberikan pada perempuan usia subur. Neuropati sensoris merupakan toksisitas lainnya akibat pemberian talidomid, dan 25%-75% pasien dengan CLE mengalami neuropati perifer saat mengkonsumsi obat. Kebanyakan kasus akan
kembali normal dari neuropati ketika terapi dihentikan.
Neuropati tampaknya berhubungan dengan total lama pengobatan sehingga pemberian jangka pendek lebih disukai. Sering terjadi kekambuhan setelah obat dihentikan. Rasa kantuk yang kuat serta adanya keluhan konstipasi dan efek samping ringan yang lain kadang-kadang membatasi penggunaannya, meskipun efek ini biasanya mereda dengan dosis harian yang lebih rendah. Tromboemboli merupakan efek samping yang serius dengan keadaan hiperkoagulasi yang sudah ada sebelumnya (misalnya, adanya antibodi fosfolipid).
Ahli onkologi yang menggunakan talidomid untuk mieloma multipel sering memulai terapi antikoagulasi bersamaan untuk mencegah efek samping ini. Lenalidomid (Revlamid, Celgene) merupakan suatu analog talidomid yang memberikan hasil yang baik namun memiliki efek teratogenik, neuropati perifer, tromboemboli dan juga memiliki tambahan efek samping potensial leukopeni yang rendah.
Obat-obat lain yang dilaporkan menghasilkan perbaikan dalam pengobatan CLE yang sulit disembuhkan adalah preparat emas dan klofazimin; namun manfaatnya bervariasi pada beberapa kasus dan kedua agen ini berhubungan dengan risiko efek samping yang signifikan. Vitamin E, fenitoin, sulfasalazin, danazol, DHEA dan fototerapi (fototerapi UVAI, fotoferesis) juga telah dilaporkan memberi respon untuk CLE dalam beberapa penelitian uji tanpa kontrol.
GLUKOKORTIKOID SISTEMIK
Setiap upaya harus dilakukan untuk menghindari penggunaan glukokortikoid sistemik pada pasien dengan LE yang terbatas pada kulit. Namun pada beberapa pasien tertentu yang memiliki keluhan kelainan kulit khususnya yang berat, telah menggunakan metilprednisolon dosis denyut secara intravena. Pada kasus yang tidak akut, dosis sedang harian glukokortikoid oral (prednison 20-40 mg/hari, diberikan sebagai dosis tunggal pada pagi hari) dapat digunakkan sebagai terapi tambahan selama fase loading dari terapi suatu agen antimalaria. Dosis harus dikurangi sedini mungkin pada saat yang memungkinkan karena komplikasi dari terapi glukokortikoid jangka panjang, terutama nekrosis tulang avaskular (aseptik), suatu efek samping pada pasien LE yang mana sangat rentan sekali.
memulai mengkonsumsi obat untuk mencegah osteoporosis dengan terapi steroid pada awalnya. Suatu tinjauan yang sangat bagus dan menjelaskan rekomendasi terkini untuk pencegahan osteoporosis dan efek samping lain dari glukokortikoid sistemik telah dipublikasikan. Ketika aktivitas penyakit sedang terkontrol, dosis harian harus diturunkan dari 5 mg sampai 10 mg sampai ada aktivitas kambuh lagi atau hingga dosis harian 20 mg/hari tercapai. Dosis harian selanjutnya harus diturunkan sebesar 2,5 mg (beberapa dokter lebih memilih untuk menggunakan penurunan dosis 1 mg dibawah 10 mg/hari). Terapi glukokortikoid dengan pemberian berselang sehari belum berhasil menekan aktivitas penyakit pada kebanyakan pasien dengan CLE atau SLE. Pada pasien yang memiliki penyakit dasar liver sebaiknya menggunakan prednisolon daripada prednison karena prednison membutuhkan hidroksilasi dalam hati untuk menjadi aktif secara biologis. Setiap jumlah prednison yang diberikan sebagai dosis tunggal di pagi hari mengalami aktivitas penekanan adrenal yang rendah daripada jumlah yang sama diberikan dalam dosis terbagi sepanjang hari. Namun setiap jumlah obat yang diberikan ini diminum dalam dosis terbagi dimana memiliki suatu aktivitas menekan LE yang lebih besar dibandingkan jumlah dosis yang sama diberikan sebagai dosis tunggal pagi hari.
PENCEGAHAN
Memprediksi dan mencegah manifestasi klinis awal LE, apakah itu kelainan kulit atau sistemik, tidak layak pada saat ini. Namun karena banyak pasien LE menunjukkan perburukkan aktivitas kelainan kulit mereka dengan paparan sinar UV, harus dianjurkan untuk melindungi fisik dari sinar matahari dan sumber sinar UV buatan serta penggunaan rutin tabir surya spektrum luas yang memiliki SPF 30 atau lebih besar.