• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teratogenik

Dalam dokumen M. Haviz. Belajar dengan embriologi (Halaman 65-71)

PENGARUH KAFEIN TERHADAP PERKEMBANGAN

FETUS MENCIT (

Mus musculus

L.) SWISS WEBSTER

PADA TAHAP ORGANOGENESIS

Acknowledgments:

Beberapa istilah penting dalam bab ini adalah caffeine, mice fetuses, organogenesis,

malformation

Tulisan ini telah dipublikasikan di Jurnal IMPASJA Volume 2 No. 2 September 2006: 13-20, ISSN:1829-9997, dengan menuliskan M. Haviz sebagai author

The aim research is effect of caffeine to development of Musculus L. Swiss Webster fetuses in organogenesis. The pure caffeine be consumptived orally dissolved aquabidestilata. The dosis 0.6; 07; 0,8 mg/kg body weight was given at 9, 10, 11 dan pregnan days, and control just given aquabidestilata. The result showed that caffeine is embriotocsic and low terratogenic. It caused reproduction and external malformation. The result was higher differently (P<0.01) with control. However, the caffeine be consumptive orally orally at 9, 10, 11 and 12 pregnan days was effect to the development of Mus musculus L. Swis Webster fetuses in organogenesis.

PENDAHULUAN

Kafein sering digunakan sebagai obat dan aditif dalam berbagai minuman dan makanan. Penggunaan yang berlebihan, diduga akan menimbulkan efek fisiologis yang negatif dan bahkan cacat lahir. Pemberian kafein dengan intra peritoneal bersifat embriotoksik menimbulkan malformasi hematoma, cleft

palate, kelainan rangka (Ekamawati, 1991). Dan diduga secara oral juga akan

menimbulkan efek negatif yang sama. BAHAN DAN METODE

Pemeliharaan Hewan Uji

Mencit (Mus musculus L.) Swiss Webster dipelihara dalam kandang hewan modifikasi terbuat dari bak plastik berukuran 30 x 15 x 15 cm beralas sekam dan ditutupi dengan kawat. Botol minuman modifikasi diletakkan diatas kawat secara terbalik diisi dengan air yang telah dimasak. Makanan berupa pellet diberikan secara ad libitum. Pemeliharaan mencit – mencit betina dan jantan dipisahkan sebelum mencapai umur dewasa seksual.

Mencit yang diambil untuk penelitian adalah mencit – mencit dara yang sedang estrus dengan berat badan 25 – 30 gram. Kemudian mencit – mencit dara tersebut bersama satu ekor mencit jantan disatu-kandangkan pada pukul 17.00 WIB untuk dikawinkan. Dan keesokan paginya pada pukul 06.00 WIB, jika ditemukan sumbat vagina (vaginal plug) maka mencit dianggap telah bunting 0 hari (Taylor, 1986; Rugh, 1968).

Persiapan Kafein

Kafein (Merk) yang digunakan adalah berupa serbuk (pure) dilarutkan dalam pelarut aquabidestilata. Dosis yang diberikan kepada mencit adalah 0.6; 0.7; 0.8 mg/kg berat badan (bb). Sedangkan untuk kontrol diberikan aquabidestilata. Ke-empat perlakuan tersebut diulang sebanyak 6 kali ulangan. Kafein diberikan per-oral kepada mencit saat hari ke-9, 10, 11 dan 12 kebuntingan dengan syringe tuberkulin 26G yang dimodifikasi dengan syringe berukuran 5 ml.

Penampilan Reproduksi

Pada saat 18 hari kebuntingan, mencit ditimbang dengan timbangan analitik (XL 410 gram). Kemudian mencit tersebut dibunuh dengan dislokasi leher, dibedah diatas disecting set. Kemudian uterus dipotong dan dibuka untuk dilakukan pengamatan terhadap fetus. Kemudian dilakukan penghitungan terhadap jumlah fetus hidup, jumlah embrio diresorpsi, jumlah fetus mati dan penghitungan berat badan fetus.

Malformasi Eksternal

Kelainan eksternal fetus diamati dengan memeriksa seluruh tubuh fetus bagian luar. Pemeriksaan diawali dari bagian kepala, kemudian dilanjutkan ke badan dan ekor, dan terakhir di kedua ekstremitas.

Analisis Statistik

Data yang diperoleh dianalisa dengan Kruskal Wallist Test. Kemudian dilanjutkan dengan Wilcoxon Rank Sum Test (Wilcoxon dan Wilcox, 1965). HASIL DAN PEMBAHASAN

Penampilan Reproduksi

Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah embrio diresorpsi mengalami jumlah peningkatan di setiap perlakuan (Tabel 5.1). Perlakuan 0.0 mg/kg.bb (kontrol) ditemukan tidak berbeda dengan perlakukan 0.6 mg/kg.bb. Tetapi keduanya berbeda nyata dengan perlakuan 0.7 mg/kg.bb dan 0.8 mg/kg.bb. Antara perlakuan 0.7 mg/kg.bb dengan 0.8 mg/kg.bb ditemukan tidak berbeda nyata.

Jumlah fetus mati ditemukan tidak berbeda diantara ketiga perlakuan (0.6; 0.7; 0.8 mg/kg.bb). Tetapi ketiganya berbeda nyata dibandingkan dengan perlakuan kontrol (0.0 mg/kg.bb). Berbeda nyata dibandingakn dengan perlakuan kontrol (0.0 mg/kg.bb). Berbeda dengan berat badan fetus, pada parameter ini ditemukan hasil yang sama di semua perlakuan.

Tabel 5.1 Penampilan Reproduksi Mencit setelah Induknya diberi Kafein saat Umur Kebuntingan 9 – 12 Hari

Perlakuan

(mg/kb/bb) Jumlah Induk Fetus Hidup Jumlah (Ekor)

Jumlah Embrio

Diresorpsi (%) Jumlah Fetus Mati (%) Fetus Hidup Berat Badan (X ± SD) 0.0 6 62 0 (0.00)A 0 (0.00)A 1.81 ± 0.26A 0.6 6 53 2 (0.03)B 5 (0.02)B 1.45 ± 0.36B 0.7 6 55 4 (0.06)B 7 (0.02)B 1.26 ± 0.39B 0.8 6 50 4 (0.07)B 5 (0.14)B 0.10 ± 0.10B Huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (A-B: P<0.01)

Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa kafein hanya berpengaruh terhadap jumlah embrio diresorpsi dan jumlah fetus mati. Sedangkan berat badan fetus tidak dipengaruhi oleh kafein yang diberikan secara oral.

Malformasi Eksternal

Pengamatan malformasi eksternal pada fetus ditampilkan pada Tabel 5.2. Berdasarkan Tabel 2, malformasi eksternal yang ditemukan pada penelitian ini adalah hematoma saja. Persentase kejadian hematoma ditemukan meningkat seiring dengan naiknya dosis perlakuan. Persentase kejadian hematoma yang ditemukan adalah 1.85 % pada perlakuan kontrol (0.0 mg/kg.bb), 23.41 % pada perlakuan 0.6 mg/kg.bb.

Tabel 5.2 Kelainan Eksternal Fetus Mencit setelah Induknya Diberi Kafein pada Umur Kebuntingan 9 – 12 Hari Dosis

Perlakuan (mg/kb/bb)

Jumlah

Induk Fetus Hidup Jumlah (Ekor)

Kelainan Eksternal yang Ditemukan Hematoma Club

Foot Kinky Tail Eyes Clip Hipo-plasia Eksen-sefali

0.0 6 62 1 (1.85)A 0 0 0 0 0

0.6 6 53 12 (23.41)Ba 0 0 0 0 0

0.7 6 55 16 (28.93)Ba 0 0 0 0 0

0.8 6 50 27 (53.97)Bb 0 0 0 0 0

Huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (A-B: P<0.01) Huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (a-b: P<0.01)

Berdasarkan Tabel 5.2, penelitian ini ditemukan bahwa perlakuan kontrol (0.0 mg/kg.bb) berbeda nyata dengan perlakuan lain (0.6; 0.7; 0.8 mg/kg.bb). Dengan uji Wilcoxon ditemukan perlakuan 0.6 mg/kg.bb tidak berbeda dengan perlakuan 0.7 mg/kg.bb tetapi berbeda nyata dengan perlakuan 0.8 mg/kg.bb. Hasil yang sama juga ditemukan pada penelitian Ekamawati (1991), bahwa pemberian kafein dengan intraperitonial telah menimbulkan hematoma, cleft

palate, malformasi pertumbuhan rangka dan penampilan reproduksi.

Ditemukannya peningkatan jumlah embrio diresorpsi dan jumlah fetus mati serta hematoma di setiap perlakuan mengindikasikan terjadinya teratogenesitas (Lu, 1995; Manson dan Kang, 1989). Hasil-hasil ini mengindikasikan bahwa kafein termasuk jenis teratogen yang memiliki pengaruh rendah (low teratogenic).

Ditemukannya peningkatan jumlah embrio diresorpsi dan jumlah fetus mati serta hematoma pada penelitian ini memperlihatkan bahwa kafein yang diberikan secara oral kepada induk mencit mampu masuk ke dalam tubuh dan terlarut dalam darah fetus. Hal ini terjadi membran sawar fetoplasental tidak merintangi berbagai proses difusi yang terjadi saat kebuntingan (Aiache dan Guyot, 1993) sehingga transfer makanan dan zat aktif lainnya dari tubuh induk ke fetus melalui proses difusi lintas plasenta, transport aktif dan pinositosis bisa terjadi (Jhonson dan Everitt, 1988).

Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa kafein yang diberikan saat organogenesis berpengaruh terhadap perkembangan fetus. Karena kafein termasuk jenis loop diuretic (Siswandono dan Soekardjo, 1995). Diuretika jenis ini

akan menghambat enzim Na+ K+ ATPase, menghambat dan memindahkan siklus AMP serta menghambat terjadinya glikolisis (Wilson dan Gisvold, 1982). Kafein juga secara aktif menghambat kerja enzim fosfodiesterase pada siklus AMP (Mustchler, 1991).

Diduga penghambatan enzim fosfodiesterase oleh kafein akan menimbulkan malformasi penampilan reproduksi dan eksternal pada fetus mencit. Karena dengan terhambatnya siklus AMP, akan mempengaruhi pemecahan ATP menjadi cAMP. Efek selanjutnya adalah terbentuknya fosfolise, dimana enzim ini berfungsi menjadi glukosa (glukoneogenesis). Fosforilase juga akan mengaktifkan enzim proteinkinase. Kehadiran proteinkinase yang berlebihan dalam tubuh akan menimbulkan perubahan fisiologis dalam sel target. Menurut Lu (1995) salah satu mekanisme kerja teratogen adalah dengan menghambat kerja enzim-enzim yang dibutuhkan dalam metabolism tubuh. Misalnya penghambatan enzim 5-flourosilase oleh timidilat sintase dan 6-aminonikotinamid menghambat glukosa 6-fosfo dehidrogenase. Keduanya akan mengganggu diferensisasi sel (Lu, 1995).

Kafein sebagai turunan xantin, akan menghambat reseptor adenosine pada syaraf pusat (Siswandono dan Soekardjo, 1995). Sehingga diduga akan mempengaruhi sejumlah besar fungsi fisiologis tubuh. Turunan xantin akan menstimulasi miokardial jantung, sehingga akan meniggikan tekanan darah dan pelebaran arteri koroner (Linder, 1986), pelebaran pembuluh darah perifer (Foye, 1995; Ganiswana, 1995) dan vasodilatasi asteriol (Harkness, 1984). KESIMPULAN

Pemberian kafein dengan dosis 0.6; 0.7 dan 0.8 mg/kg.bb secara oral saat umur 9, 10, 11 dan 12 hari kebuntingan mempengaruhi perkembangan fetus mencit (Mus musculus L.) Swiss Webster tahap organogenesis. Diperlukan penelitian lanjutan tentang pengaruh kafein yang sama terhadap kemunculan malformasi internal.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Aiache JM and Guyot AM. 1993. Farmasetik 2, Biofarmasi (terjemahan). Surabaya: Airlangga Press.

Ekamawati Y. 1991. Pengaruh Kafein terhadap Perkembangan Embrio Mencit Albino (Mus musculus L.) Webster. Skripsi Sarjana. Bandung: ITB.

Jhonson M and Everitt B. 1998. Essential Reproduction (3th ed). Melbourne:

Blackwell Scientific Publ.

Foye WO. 1995. Prinsip-Prinsip Kimia Medisional (terjemahan). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Ganiswarna SG. 1995. Farmakologi dan Terapi (edisi 4). Jakarta: UI Press. Harkness MC. 1984. Drug Interaction Hand Book. London: Prentice Hall, Inc. Linder MC. 1986. Biokimia Nutrisi dan Metabolisme. Jakarta: UI Press.

Lu FC. 1994. 1986. Toksikologi Dasar, Organ Sasaran dan Penilaian (terjemahan). Jakarta:UI Press.

Manson JM and Kang. 1989. Test Method for Assesing Female Reproductive and

Development Toxicology. In Principle and Method of Toxicology (2nded). New York: Raven Press.

Mutschler E. 1991. Dinamika Obat (terjemahan). Bandung: Penerbit ITB. Siswandono BS. 1995. Kimia Medisional. Surabaya: Airlangga University Press. Rugh R.1968. The Mouse, Its Reproduction and Development. Meneupolis: Burges

Inc.

Taylor P. 1986. Practical Teratology. London: Academic Press.

Wilcoxon F and Wilcox RA. 1965. Some Rapid Approximate Statistic Procedures. New York: Lederle Lab.

Wilson J and Gisvold D. 1996. Kimia Medisional. Semarang: IKIP Semarang Press.

Dalam dokumen M. Haviz. Belajar dengan embriologi (Halaman 65-71)

Dokumen terkait