• Tidak ada hasil yang ditemukan

Baik. Terima kasih atas pertanyaan yang diajukan. Pertama mengenai apakah terlibat? Ya saya ikut dalam penyusunan ini, ya.

Ketiga-tiga undang itu saya ikut semuanya. Pada

undang-undang yang lama Nomor 15 Tahun 2002 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 itu penyidik hanya satu saja ya kepolisian saja ya. Jadi, yang kita akan perbagi waktu itu yang pertama kali adalah bagaimana penyidik itu jangan hanya satu karena kalau monopoli tidak begitu baik tidak ada persaingan kualitas ya. Di samping masalah kompetensi dan lain-lain. Jadi, kita usulkan di Pasal 74 bahwa penyidik tindak pidana asal berwenang menyidik TPPU sementara untuk masalah penuntutannya kami tidak prioritas memperjuangkan seperti itu kita kembalikan kepada sistem yang ada. Dalam sistem yang ada menuntut pada perkara korupsi bisa dilakukan oleh kejaksaan, bisa dilakukan oleh TPPU … oleh KPK. Kemudian ke arah perkara korupsi ini juga melahirkan perkara TPPU, maka kalau yang menuntut itu kejaksaan perkara korupsinya ada TPPU, dia bisa menuntut. Sebaliknya kalau KPK menyidik juga … menyidik perkara korupsi, menuntut korupsi, ada perkara TPPU yang lahir dari korupsi tadi, dia bisa juga menuntut, itu sistem. Sehingga dalam Pasal 76 itu ada kata penuntut umum, kami membaca penuntut umum itu bukan saja Kejaksaan Agung, tapi bisa juga penutut umum yang ada di KPK.

Jadi kembali ke sana, mengubah dari satu penyidik menjadi penyidik yang enam sekarang ya, ada polisi, kejaksaan, KPK, pajak, bea cukai, itu pun susahnya setengah mati, setengah mati karena banyak sekali resistensi. Jadi kita fokus ke sana untuk penuntutan, kita kembalikan kepada sistem yang saya sebutkan tadi, menuntut perkara korupsi, dua yang lakukan, kejaksaan dan KPK karena ada TPPU yang berasal dari korupsi, maka dalam sistem peradilan yang efisien seharusnyalah penuntutan itu digabungkan, sehingga ada perintah dalam undang-undang khususnya pada Pasal 75, diminta menggabungkan 141 KUHP, mungkin juga digabungkan, sehingga mungkin itu juga yang menjadi dasar bagi kami bahwa KPK itu berwenang juga menuntut perkara TPPU.

Berikutnya pertanyaan kedua mengenai dari Yang Mulia Pak Aswanto ya. Memang kita negara hukum ya, ya kita akui dasarnya hukum. Dasarnya undang-undang, tapi juga kita harus menyadari undang-undang itu sebagai ciptaan manusia pasti ada kekurangan, sistem hukum memberikan jalan keluar. Kalau undang-undang kurang, ada penafsiran, ada doktrin, ada konvensi, ada yurisprudensi, kita sudah tahu ini kurang sempurna. Kenapa kita enggak pakai sumber-sumber yang lain? Sudah begitu banyak yurisprudensi, begitu banyak standar internasional, kita hidup sebagai anggota masyarakat internasional.

Kenapa kita tidak merujuk ke sana?

Jadi kembali ke soal mengenai presumption of innocent.

Sebenarnya tidak ada yang dilanggar karena di dalam memeriksa perkara TPPU memang harus ada tindak pidana asal, memang harus ada, harus ada hasil kejahatan itu. Tapi tidak harus dihukum dulu pelakunya, yang penting ada dulu.

Saya ingin mengambil contoh nyata, di mana pelaku pidana asal tidak pernah dihukum, tetapi cuci uangnya dihukum, dulu ada kasus Bank Global, Irawan Salim, menggelapkan uang Bank Global Rp60 miliar, di Gatot Subroto dia sembunyikan uangnya Rp60 miliar di loteng.

Satu hari dia suruh orang lain namanya Ibin Sumardi menukar Rp20 miliar. Uangnya yang dari loteng yang ikatan BI, baik-baik diganti dengan karet gelang. Dia tukar diam-diam, tukar ke basement, tidak ada pegawai bank, tidak ada security bank tukar ke Gunung Sahari. Ibin tertangkap, di Pengadilan Jakarta Pusat dihukum 7 tahun, di PT dihukum 5 tahun dan sudah inkracht. Dihukum, tuduhannya ada tiga. Pertama, menukar hasil kejahatan, Pasal 33 TPPU. Yang kedua, membantu menukarkan hasil kejahatan. Yang ketiga, ikut menggelapkan. Dia terkena penukaran hasil kejahatan Pasal 3 cuci uang.

Pelaku asalnya sampai hari ini Irawan Salim tidak pernah tertangkap, itu menunjukkan bahwa bisa pelaku cuci uang itu dihukum tanpa perlu menghukum si pidana asal. Ada contoh satu lagi kasus di Jember, seorang guru uangnya banyak sekali dalam valuta asing, kami laporkan sang guru, diperiksalah sang guru. Ditanya, “Kenapa uangnya banyak benar? Valuta asing lagi.”

“Uang siapa ini?”

“Uang ponakan saya.”

“Dimana?”

“Di Jakarta.” Apa kerjaanya? Tidak jelas.

Lalu ditanyalah oleh penyidik, kerjaan si anaknya ini, ponakannya ini ternyata dia seorang tukang. Dia mencuri di rumah salah seorang pejabat di Cinere. Uang itu dia sembunyikan di Jember. Sang guru diproses, dihukum, saya jumpa dengan pengacara, dihukum, sementara ponakannya sampai hari ini tidak dihukum. Kenapa tidak dihukum?

Karena dia damai dengan penyidik. Mungkin damai itu indah dia pikir, tidak dihukum. Pamannya dihukum, itu bukti bahwa pelaku cuci uang bisa dihukum walau pelaku pidannya tidak dihukum. Tidak harus dihukum dulu pelaku tindak pidana asal, banyak sekali yurisprudensi.

Jadi kalau dikatakan akan melanggar presumption of innocent, kalau menurut saya tidak sama sekali. Kalau kita melihat Pasal 183 KUHP negative watelijk, orang tua dihukum saja kan sangat suah menghukum orang. Ada dua alat bukti, semua unsur terpenuhi, ada tindak pidana, terdakwa bersalah, dan hakim harus yakin, baru bisa menghukum orang, kalau ini dipakai tidak ada yang jalan, dan ketidakmampuan si terdakwa membuktikan asetnya, bukan berasal dari tindak pidana, tidak cukup untuk menghukum dia, tidak cukup, harus dibuktikan juga unsur-unsur lainnya, subjeknya, mens rea-nya, actus reus-nya, sama ya perbuatan-perbuatan dan termasuk kesalahannya, itulah tugas dari jaksa penuntut umum membuktikan. Dia hanya membuktikan objeknya saja, yaitu hartanya bukan berasal dari tindak pidana. Jadi menurut saya tidak

bertentangan dengan presumption of innocent bahwa dari sudut predicate crime atau pun dari sudut tindak pidana pencucian uang.

Dua-duanya harus dibuktikan di pengadilan, kalau dua-duanya didakwakan, harus dibuktikan dua-duanya. Kalau ditanya bagaimana jalan keluarnya? Sebenarnya sudah, kalau kita mengikuti negara-negara common law, walaupun tidak sepenuhnya kita menganut stare decisis, dengan adanya yurisprudensi demikian banyak, harusnya kita harus memperhatikan yurisprudensi itu.

Kalau mau lebih sempurna lagi lebih ideal, kalau Undang-Undang KPK diperbaiki, Undang-Undang TTPU diperbaiki, ini dibuat eksplisit kewenangan itu menuntaskan sebuah permasalahan. Demikian terima kasih.

43. KETUA: HAMDAN ZOELVA

Masih ada tambahan atau dianggap sudah cukup? Rasanya sudah dijawab. Cukup ya, Prof? Cukup ya.

Baik, Pihak Terkait akan memberikan keterangan dalam sidang selanjutnya karena ini sudah hampir jam 16.00 WIB.

44. PIHAK TERKAIT: FIRMANSAH ARIFIN

Dokumen terkait