bodoh dan lupa.
6. Celak
Nafi‟i mengatakan: “Ketika Ibnu „Umar sakit mata waktu dia
sedang ihram, diteteskannya ke matanya beberapa tetes remasan daun sabir. Dia mengatakan, orang berihram boleh bercelak dengan celak apa saja bila dia sakit mata, selama celak itu tidak mengandung haruman”.
(HR. Baihaqi)36
Bercelak untuk orang yang ihram hukumnya boleh (jawaz). Untuk selain pengobatan hukumnya tidak boleh, yaitu makruh. Jika memakai celak yang mengandung harum-haruman, wajib membayar fidyah, baik untuk maksud pengobatan atau tidak.
F. Thawaf (Keliling Ka‟bah).
Macam-macam thawaf:
1. Thawaf Qudum (thawaf selamat datang bagi jamaah yang haji ifrad atau qiran).
2. Thawaf Ifadah (thawaf rukun haji).
3. Thawaf Wada‟ (thawaf perpisahan ketika mau meninggalkan kota Makkah).
4. Thawaf Nafilah atau Tathawwu‟ (thawaf sunnah yang bisa dilakukan kapan saja).
5. Thawaf Nadzar (thawaf yang dilakukan karena ada nazar). Syarat-syarat thawaf adalah:
1. Suci dari hadats dan najis
Syarat thawaf antara lain adalah suci dari hadats dan najis, sama halnya dengan salah satu syarat shalat, sebagaimana hadis yang diriwayatkan dari Ibnu „Abbas bahwa Nabi bersabda:
“Thawaf itu ialah sama dengan sholat. Kecuali didalam thawaf Allah Ta‟ala menghalalkan bertutur kata. Maka siapa yang bertutur kata,
janganlah bertutur kata kecuali yang baik-baik”. (HR. Tirmidzi,
Daruquthni, dan disahkan oleh al-Hakim, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Sukn)37
Dari „Aisyah-radhiyallahu 'anha-bahwa Rasulullah masuk ke kamar „Aisyah dan didapati beliau, „Aisyah sedang menangis. Rasulullah bertanya kepadanya: “Apakah engkau haidl?” Jawab
„Aisyah:“ Betul, ya Rasulullah”. Sabda Rasulullah : “Haidl itu suatu peristiwa yang telah ditetapkan Allah harus terjadi atas setiap putri-putri Adam. Karena itu tunaikan segala kewajiban haji, kecuali engkau belum boleh thawaf di Ka‟bah, sebelum engkau mandi suci lebih dahulu”. (HR. Muslim)38
Dari kedua hadis di atas jelas, thaharah (suci) dari hadas dan kotoran adalah syarat bagi sah thawaf. Maka tidak sah thawaf orang yang berhadas, baik hadas kecil yang hanya mewajibkan wudhu maupun hadas besar yang mewajibkan mandi, seperti janabah, haid, dan nifas. Begitu pula orang yang bernajis badan atau pakaiannya, harus bersih dari najis tersebut. Demikianlah pendapat Malik, Syafi‟i serta pendapat yang mashur dari Ahmad dan Jumhur Fuqaha.
Wanita yang istihadhah boleh dan sah melakukan thawaf, karena memang darah istihadhah bukan darah haidl dan bukan juga darah nifas, bukan darah hadats besar, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Malik bahwa: „Abdullah bin „Umar
didatangi seorang perempuan yang meminta fatwa kepadanya. Kata perempuan tersebut: “Saya datang sengaja hendak thawaf di Baitullah (Ka‟bah). Tetapi sesampainya saya di pintu masjid tiba-tiba saya mengeluarkan darah. Karena itu saya pulang kembali, sehingga darah berhenti keluar. Sesudah itu saya datang pula kembali ke masjid. Tapi setibanya saya di pintu masjid darah tercurah kembali”. Maka berkata
37 Imam Tirmidhi, Sunan al-Tirmidzi, 673-674.
„Abdullah bin „Umar: “Sesungguhnya yang demikian itu adalah goncangan dari setan. Karena itu hendaklah kamu mandi, kemudian ikatkan kain pembalut di tempat keluar darah, dan sesudah itu kamu boleh thawaf.39
Kasus yang diceritakan wanita ini bukanlah kasus darah haidl atau nifas, tetapi berupa darah penyakit (istihadhah). Jadi bagi wanita yang istihadhah dihukumi sama seperti orang yang tidak berhadas besar, boleh thawaf dan shalat, dengan menjaga jangan sampai darah menetes atau terjatuh di masjid, dengan memakai pembalut wanita.
2. Menutup aurat
Di antara syarat sah thawaf ialah menutup aurat. Begitu pendapat Malik, Syai‟i, dan Jumhur. Dalilnya ialah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah , katanya:
“Abu Bakar menugaskanku dalam rombongan haji yang dipimpin Rasulullah sebelum haji wada‟ untuk mengumumkan kepada
orang banyak pada hari nahar (hari berqurban) bahwa: “Tahun yang akan datang orang musyrik tidak boleh lagi pergi haji, dan tidak boleh thawaf di Baitullah (Ka‟bah) tanpa busana”. (HR.
Bukhari, Muslim, Nasa’i dan Baihaqi. Lafazh (teks) tersebut hadis dari Muslim)40
Aurat wanita ketika sholat ialah seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan, begitu juga aurat ketika thawaf. 3. Kaum wanita tidak perlu berlari/berjalan cepat
َفْيَ٣
َ َعَ
ِءة َكِن٣ا
ٌ ْعَق
ِخْيَلبةِثْ
َ ْيَبَو
َٛ نىلا
ة
ِةَوْؿَ٧ْلاَو
.
“Kaum wanita tidak perlu berlari-lari di Ka‟bah dan tidak pula
antara Shafa dan Marwa”. (HR. Baihaqi)41
39 Ibid, 354.
40 Muslim Abu Husayn bin Hajjaj al-Naysaburi, Sahih Muslim Juz 1 (Beirut: Dar al-Fikr,1992), 331.
4. Jauh dari laki-laki
“„Atha‟ mengabarkan kepadaku, saat Ibnu Hisyam melarang kaum wanita thawaf bersama-sama kaum lelaki. „Atha‟ bertanya: “Mengapa engkau larang mereka, bukankah para istri Nabi melakukan
thawaf bersama-sama dengan kaum laki-laki?”. Tanyaku: “Apakah kejadian itu sesudah turun ayat hijab atau sebelumnya?” Jawab „Atha‟: “Setahuku sesudah turun ayat hijab”. Tanya: “Bagaimana mungkin mereka bercampur-baur dengan kaum laki-laki?” Jawab: “Sesungguhnya mereka tidak bercampur-baur”. „Aisyah thawaf di pinggir-pinggir, terpencil dari kaum laki-laki banyak, tidak bercampur baur dengan mereka”. Berkata seorang wanita:” Mari kita sentuh hajar aswad ya Ummul Mu‟min!”. “Tidak perlu”, kata „Aisyah menyatakan enggan. Padahal mereka keluar untuk thawaf dengan pakaian tertutup di tengah malam. Mereka thawaf bersama-sama dengan kaum laki-laki”. (HR. Bukhari dan Baihaqi)42
Hadis ini menunjukkan kaum wanita sebaiknya thawaf terjauh dari kaum laki-laki, dan disunatkan pada malam hari yaitu ketika tempat thawaf sepi dari laki-laki, kecuali jika situasi dan kondisi tidak mengizinkan.
Selanjutnya tentang thawaf Qudum dan Umroh: Thawaf qudum juga dinamakan thawaf tahiyyah atau thawaf alliqaa. Thawaf qudum hukumnya sunnat menurut mazhab Hanbali, Hanafi dan Syafi‟i. Sholat tahiyyatul masjid bagi Masjidil Haram adalah thawaf. Tidak wajib thawaf qudum atas orang haidl dan nifas. Thawaf qudum untuk orang-orang yang haji ifrad dan haji
qiran.
Adapun orang yang ihram umrah, dia wajib melakukan thawaf umrah. Karena thawaf umrah adalah salah satu rukun umrah. Para ulama sepakat (ijma‟) atas yang demikian.
Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid mengatakan: “Mereka
sepakat (ijma‟) bahwa orang yang haji tamattu‟ dia wajib dua kali thawaf. Pertama thawaf umrah untuk tahallul dari umrah, dan kedua thawaf ifadhah ketika tahallul dari haji pada hari nahar”.