• Tidak ada hasil yang ditemukan

komposisi Perlakuan

A. Latar Belakang

II. TI JAUA PUSTAKA

A. Pengomposan

Pengomposan merupakan penguraian bahan organik secara biologis dengan hasil akhir berupa produk yang cukup stabil dalam bentuk padatan komplek (Haug 1980). Proses pengomposan yang sempurna akan menghasilkan produk yang tidak mengganggu baik selama penyimpanan maupun aplikasinya, seperti bau busuk, bakteri patogen.

Temperatur dan pH pada timbunan kompos akan meningkat dengan cepat pada minggu

pertama. Tahap awal pengomposan temperatur akan meningkat hingga di atas 40 & 70oC. Mikroba

yang aktif pada kondisi ini adalah mikroba termofilik, yaitu mikroba yang tahan pada temperatur

tinggi. Mikroba&mikroba menggunakan oksigen untuk mengurai bahan organik menjadi CO2, uap air,

humus, dan energi (panas). Sebagian dari energi yang dihasilkan tersebut digunakan untuk pertumbuhan dan gerak, sisanya dibebaskan menjadi energi. Setelah sebagian besar bahan telah terurai, temperatur akan berangsur&angsur mengalami penurunan. Selama proses pengomposan akan terjadi penyusutan volume maupun biomassa bahan (Isroi 2008).

Terdapat tiga kelompok yang berperan selama pengomposan, yaitu bakteri, , dan

kapang. Fungsi bakteri akan mengurai senyawa golongan protein, lipid, dan lemak pada kondisi

termofilik serta menghasilkan energi panas. dan kapang selama pengomposan berada

pada kondisi mesofilik dan termofilik berfungsi untuk mengurai senyawa&senyawa organik yang kompleks dan selulosa dari bahan organik (Metcalf dan Eddy 1991).

Menurut Gaur (1983), reaksi kimia yang terjadi selama pengomposan seperti pada Gambar 1. Persyaratan karakteristik bahan baku yang sesuai untuk proses pengomposan seperti pada Tabel l.

Gula [CH2O)x] x CO2 + H2O + energi

Protein [N&organik] NH4+ NH2& NO3& + energi

Sulfur organik [S] + x O2 SO3& + energi

Fosfor organik H3PO4 Ca(H2PO4)2

Kaseluruhan reaksi : Aktivitas mikroorganisme

Bahan organik CO2 + H2O + nutrisi + humus + energi

Tabel 1. Karakteristik bahan baku untuk proses pengomposan

Karakterstik Bahan Baik Ideal

C/N ratio 20/1 – 40/1 25/1 – 30/1

Kandungan air 40 – 65 % 50&60%

Kosentrasi oksigen >5% > 5 %

Ukuran partikel (inci) 1/8 – ½ Bervariasi

pH 5.5 – 9.0 6.5 – 8.5

Temperatur (oC) 43 – 65.5 54 – 60

Sumber : Rynk (1992)

3 Faktor&faktor yang mempengaruhi proses pengomposan antara lain:

1. Nilai C/N

Kandungan karbon dan nitrogen dalam bahan baku akan mempengaruhi proses pengomposan. Hal ini disebabkan mikroba menggunakan C untuk energi dan pertumbuhan, sedangkan N, P, dan K penting untuk protein, reproduksi, dan katalisator. Organisme membutuhkan kandungan C sebanyak 25 kali lebih dari pada N (Djaja 2008).

Pada pengomposan dibutukan keseimbangan substrat antara karbon dan nitrogen. Selama

pengomposan sebagian karbon akan berubah menjaadi CO2, oleh sebab itu di dalam sel kandungan

karbon harus jauh lebih besar dari nitrogen. Bahan yang mengandung nitrogen terlalu sedikit tidak akan mampu menghasilkan panas untuk membusukkan bahan dengan cepat.

Selama proses pengomposan sejumlah amonium terbentuk dari perombakan protein dan asam amino. Amonium yang terbentuk dapat mengalami tiga hal, yaitu digunakan oleh mikroorganisme untuk berkembangbiak, sebagian hilang melalui penguapan dan sebagaian lagi diubah menjadi nitrat (Haug 1980).

Pada pengomposan dengan nilai C/N yang tinggi akan memakan waktu yang lama, terutama jika bahan utamanya adalah bahan yang mengandung kadar selulosa yang tinggi (sisa gergajian kayu, ranting, ampas tebu, dan lainnya). Menurunkan nilai C/N diperlukan perlakuan khusus, misalnya menambahkan mikroorganisme selulotik atau dengan menambahkan kotoran hewan yang mengandung banyak senyawa nitrogen. Bila nilai C/N terlalu rendah maka perlu dinaikan dengan menambahkan bahan yang kaya karbon, seperti jerami, sekam, atau serbuk& serbuk kayu (Dalzell 1987).

2. Ukuran Partikel dan Porositas

Ukuran partikel bahan menentukan ukuran dan volume pori&pori bahan. Proses pengomposan akan semakin cepat bila bahan memiliki ukuran yang semakin kecil karena dapat memperluas permukaan bahan yang kontak langsung dengan mikroorganisme. Namun kelemahannya, ukuran partikel bahan yang sangat kecil dapat memperlambat proses pengomposan karena timbunan tidak terkena udara akibat pemampatan bahan.

Secara langsung ukuran partikel dapat mempengaruhi porositas dari timbunan kompos. Porositas merupakan ruang diantara partikel yang terbentuk di dalam timbunan kompos. Ruang antar partikel ini merupakan areal untuk sirkulasi air dan udara (Isroi 2008).

3. Temperatur Pengomposan

Aktivitas mikroba akan meningkatkan temperatur timbunan kompos. Terdapat hubungan antara peningkatan temperatur dengan konsumsi oksigen. Temperatur yang tinggi akan meningkatkan konsumsi oksigen sehingga mempercepat proses pengomposan. Temperatur

pengomposan yang optimum berkisar antara 30 & 60oC. Temperatur di atas 60oC dapat membunuh

sebagian mikroba, patogen tanaman, dan benih gulma. Temperatur yang terlalu rendah mengakibatkan kondisi mikroorganisme dalam keadaan dorman yang menghambat proses pengomposan (Indriani 1999).

Selama proses pengomposan ada tiga tahapan berbeda dalam kaitannya dengan suhu yang diamati, yaitu mesofilik, termofilik, dan tahap pendinginan. Pada tahap awal mesofilik suhu

proses akan naik dari suhu lingkungan ke 40oC dengan adanya kapang dan bakteri pembetuk asam.

Suhu proses akan terus meningkat ke tahap termofilik antara 40&70oC, pada suhu ini proses

4 penurunan aktivitas mikroorganisme dan penggantian dari mikroorganisme termofilik dengan bakteri dan kapang mesoflik (Metcalf dan Eddy 1991).

4. Aerasi

Kondisi lingkungan yang cukup oksigen dapat mempercepat proses aerasi pengomposan. Aerasi terjadi bila temperatur mengalami peningkatan yang menyebabkan udara hangat keluar dan masuknya udara dingin ke dalam timbunan pengomposan. Proses anaerob akan terjadi bila aerasi terhambat yang dapat menyebabkan timbulnya bau yang tidak sedap dari hidrogen sulfida sehingga perlu dilakukan pembalikan untuk mencegah hal tersebut terjadi (Isroi 2008).

Persyaratan konsentrasi optimum dari oksigen di dalam massa kompos antara 5& 15 persen volume. Peningkatan kandungan oksigen melewati 15 persen, misalnya akibat pengaliran udara yang terlalu cepat atau terlalu sering dibalik akan menurunkan temperatur dari sistem. Setidaknya diperlukan kandungan oksigen lebih dari 5 persen untuk menjaga kestabilan kondisi aerobik (Metcalf dan Eddy 1991).

5. Kelembaban

Kelembaban optimum berkisar antara 40&60% memegang peranan yang sangat penting dalam suplai oksigen yang dapat mempengaruhi proses metabolisme mikroba. Kondisi lingkungan yang lembab kurang dari 40% dapat menyebabkan kehilangan panas sehingga aktivitas mikroba akan berkurang. Sedangkan apabila kelembaban di atas 60% volume udara menjadi berkurang, akibatnya aktivitas mikroba menurun dan terjadi proses anaerobik yang menghasilkan bau (Isroi 2008).

7. Kadar Air

Kadar air berpengaruh pada aktivitas mikroorganisme dalam mendekomposisi bahan organik. Kandungan air di bawah 30%, reaksi biologis dalam pengomposan akan berjalan dengan lambat. Pada kadar air yang terlalu tinggi, ruang antara partikel menjadi penuh, sehingga mencegah gerakan udara dalam tumpukan. Kandungan air optimum dari bahan kompos adalah

50&60% (Dalzell . 1987). Selama proses pengomposan sebagian air akan teruapkan sehingga

perlu dilakukan pengaturan dengan penyemprotan, misalnya bersamaan proses pembalikan kompos, untuk menjaga kondisi air yang optimum selama proses pengomposan (Ricahard 1996). 6. Nilai pH Pengomposan

Nilai pH pengomposan optimum berkisar antara 6.5 sampai 7.5. Proses pelepasan asam selama pengomposan akan menurunkan pH, sedangkan proses pembentukan amonia dari bahan yang mengandung nitrogen akan meningkatkan nilai pH. Kompos yang sudah matang memiliki nilai pH yang mendekati netral (Isroi 2008).

Pengontrolan pH agar tetap pada kondisi optimal perlu dilakukan karena keasaman yang terlalu rendah menyebabkan kenaikan konsumsi oksigen yang mengakibatkan hasil yang buruk terhadap lingkungan (Murbandono 1983). Pengontrolan pH dapat dilakukan dengan penambahan kotoran hewan, urea, atau pupuk nitrogen untuk menurunkan pH dan pemberian kapur dan abu dapur untuk menaikkan pH (Hadiwiyoto 1983).

5

B. Metode Pengomposan

Metode pengomposan terdiri dari beberapa metode, diantaranya p

, dan (Koehler&Munro 2001). Percobaan pengomposan yang

dilakukan selama penelitian adalah menggunakan metode Perbedaan masing&masing

metode pengomposan tersebut seperti uraian di bawah ini. 1. Metode

Sistem merupakan proses pembuatan kompos yang paling sederhana dan paling

umum dilakukan. Sistem ini memanfaatkan sirkulasi udara secara alami, sehingga tumpukan bahan baku dapat melepaskan panas untuk mengimbangi pengeluaran panas yang ditimbulkan sebagai hasil proses dekomposisi bahan organik oleh mikroba.

Sistem merupakan sistem pengomposan yang telah banyak dilakukan untuk

membuat pupuk dengan bahan baku, seperti kotoran ternak, sampah kebun, lumpur selokan, sampah kota, dan lain&lain. Pengaturan temperatur, kelembaban, dan oksigen perlu dilakukan pada

sistem ini dengan cara pembalikan secara periodik. Proses pembalikan inilah

membedakannya dari sistem pembuatan kompos yang lain. 2. Metode

Prinsip pengomposan ini hampir sama dengan sistem , tetapi dalam sistem ini

dipasang pipa yang dilubangi untuk mengalirkan udara.

Aerasi tersebut dapat dilakukan secara

pasif maupun aktif. Aerasi secara pasif akan mengurangi proses pembalikan dengan menggunakan pipa berlubang yang diletakan pada bagian dasar tumpukan kompos ataupun reaktor pengomposan.

Aerasi secara aktif menggunakan aerator sebagai sumber aerasi yang dialirkan ke dalam pipa. Walaupun secara teoritis pembalikan tidak perlu dilakukan pada metode ini, namun pembalikan tersebut harus tetap dilakukan sesekali untuk mendapatkan sirkulasi udara yang optimum, meratakan kadar air, dan mengoptimalkan dekomposisi bahan oleh mikroorganisme. Aerasi yang diberikan secara aktif membutuhkan waktu pengomposan yang lebih singkat dibandingakan dengan aerasi secara pasif. Berdasarkan hasil penelitian Yamada dan Kawase (2006), menunjukkan bahwa tingkat aerasi optimum untuk pembuatan kompos menggunakan

bahan baku dan serbuk gergaji adalah 2 liter udara/m2/ kg berat kering.

3.

Metode pengomposan yang memerlukan waktu relatif lama karena proses dekomposisi berjalan lambat. Akan tetapi, metode ini sesuai untuk material organik yang memiliki porositas tinggi sehingga difusi oksigen dapat berlangsung secara pasif dan proses ini memiliki pemeliharaan yang sederhana.

4. !

Metode pengomposan dilakukan dalam suatu bangunan kontainer atau bejana dengan pemberian aerasi secara otomatis menggunakan mesin. Metode ini pun memiliki periode pengomposan singkat dan membutuhkan sedikit lahan. Akan tetapi, membutuhkan biaya tinggi dan pengontrolan proses yang lebih ketat.

6

C. Kompos

Kompos merupakan bahan yang terdiri dari material organik yang telah terdekomposisi menjadi unsur&unsur pembentuknya. Penggunaan kompos lebih menguntungkan daripada penggunakan pupuk kimia. Hal ini disebabkan pupuk kimia mempunyai efek samping yang merugikan, yaitu semakin menurunnya tingkat kesuburan tanah dan bahaya residu bahan kimia

terhadap kesehatan manusia (Indrasti . 2005).

Kompos merupakan zat&zat hara yang dapat memulihkan kesuburan tanah. Salah satu manfaat kompos dapat memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Sifat fisik tanah yang semula padat dapat menjadi gembur sehingga pengolahan lahan menjadi lebih mudah. Penyebab tanah yang menjadi gembur yaitu adanya senyawa polisakarida yang dihasilkan oleh mikroorganisme pengurai serta miselium dan hifa yang berfungsi sebagai perekat partikel tanah (Chaniago 1987). Selain meningkatkan unsur hara, kompos juga membantu mencegah kehilangan unsur hara yang cepat hilang ( N, P, K), yang mudah hilang oleh penguapan atau oleh perkolasi. Bahan organik dalam kompos dapat mengikat unsur hara yang mudah hilang dan menyediakannya bagi tanaman (Marsono 2001). Komponen unsur hara dalam kompos domestik seperti pada Tabel 2.

Tabel 2. Komponen bahan yang terdapat dalam kompos domestik

No Komponen Hara Satuan Minimum Maksimum

1 Air % & 50

2 Temperatur oC Temperatur air tanah

3 Warna Kehitaman

4 Bau Bau tanah

5 pH unit 6.8 7.47 6 Bahan Organik % 27 58 7 Nitrogen % 0.40 & 8 Karbon % 9.8 32 9 P2O5 % 0.10 & 10 C/N 10 20 11 K2O % 0.20 &

Sumber : SNI 19&7030&2004

Selain bermanfaat bagi tanaman, sistem pengomposan juga memiliki beberapa keuntungan antara lain bisnis pengomposan yang ekstensif dapat menyerap tenaga kerja. Keuntungan pengomposan yang lebih bersifat lokal adalah penurunan jumlah limbah yang tertimbun di lahan dan

jumlah kebutuhan lahan untuk pembuangan limbah juga akan berkurang (Suprihatin 2008).

D.

merupakan endapan lumpur yang mengandung sejumlah mikroorganisme yang

dihasilkan dari proses pengolahan limbah cair. yang digunakan pada penelitian adalah

yang berasal dari " primer dan " sekunder. Skema pengeluaran limbah seperti

7

memberikan keuntungan ganda, yaitu menghindari biaya pembuangan dan mendapatkan

produk yang dapat dijual seperti kompos, pupuk pelet, dan sebagai briket bahan bakar.

dapat dimanfaatkan jika karakteristiknya memenuhi persyaratan, seperti kandungan air rendah, pH netral, kandungan organik rendah, dan tidak mengandung bahan beracun dan berbahaya. seringkali harus harus dicampur dengan bahan&bahan lain, seperti serbuk kayu, jerami, dan

bahan penyerap lainnya. Perbandingan antara dan bahan tambahan biasanya berkisar 75% :

25% (BPLHD 2006).

Secara umum, pada suatu industi mengandung tiga unsur hara makro, yaitu nitrogen,

fosfor, dan kalium. Jika salah satu unsur dari ke tiga unsur makro tersebut ada dalam jumlah yang tinggi, maka dua unsur yang lain akan berada dalam konsentrasi yang rendah (Sulistijorini 2003).

Berikut ini merupakan komposisi bahan yang terkandung pada seperti pada Tabel 3.

Tabel 3. Komposisi Pabrik GulaPT Sindang Laut, Cirebon

No Parameter Satuan Hasil Pemeriksaan

Unsur Makro 1 Bahan organic % 31.92 2 Kadar Air % 62.95 3 Nitrogen % 3.79 4 Karbon % 23.18 5 Fosfor % 1.86 6 Nilai C/N 6.12 7 Kalium % 1.74 Unsur Mikro 8 Kalsium % 1.83 9 Magnesium % 0.11 10 Besi % 1.41 11 Alumunium % 1.02 12 Mangan % 0.15 Limbah Cair Separasi Minyak Ekualisasi Koagulasi & Flokulasi Clarifier Primer # $ Clarifier Sekunder Air Bersih #

8

Berdasar komposisi tersebut, dapat dimanfaatkan sebagai kompos karena memiliki

kandungan nitrogen yang merupakan salah satu faktor penyubur tanah. Meskipun berpotensi sebagai

pupuk, namun mempunyai beberapa sifat yang kurang baik yaitu, tekstur yang halus dan

terdapatnya kandungan logam berat.

Menurut Arrifudin (2001), karakteristik sangat tergantung dari jens industri, tambahan

bahan kimia, dan sistem dari sludge. Umumnya komposisi dalam

sekitar 20&40 %, kandungan air 60&80 %, dan VSS (Volatile Suspended Solid) sekitar 60&90 %,

sedangkan C/N ratio dengan basis C sekitar 6&15 %.

Tekstur yang sangat halus menjadi faktor yang perlu diperhatikan dalam aplikasi

lumpur sebagai pupuk pada jenis tanah yang bertekstur halus (dominan dengan debu dan liat), karena akan mempengaruhi aerasi dan ketersediaan air tanah yang dapat menunjang pertumbuhan tanaman. Selain itu, sifat kimia lumpur dari industri pangan yang berbeda, juga akan berbeda bergantung dari bahan baku, bahan penolong, proses produksi, dan proses pengolahan limbah cair (Sulistijorini 2003).

E. Abu Ketel

Abu ketel atau abu pembakaran ampas tebu merupakan hasil perubahan secara kimiawi dari pembakaran ampas tebu murni. Ampas tebu digunakan sebagai bahan bakar untuk memanaskan

boiler dengan temperatur mencapai 550&600oC dan setiap pembakaran 4&8 jam dilakukan

pengangkutan atau pengeluaran abu dari dalam boiler, karena jika dibiarkan tanpa dibersihkan akan terjadi penumpukan yang akan mengganggu proses pembakaran ampas tebu berikutnya.

Proses pembakaran ampas tebu berlangsung pada (pengapian) dan " (ruang

pembakaran) dimana ampas tebu yang dijatuhkan dari corong ke . Di inilah akan terjadi

timbunan ampas tebu yang menyerupai kerucut bahan bakar (Hernawati dan Indarto 2010).

Limbah abu ketel pabrik gula belum banyak dimanfaatkan, penanganan limbah abu ketel hanya dibiarkan saja pada lahan yang luas (Gambar 3). Abu ketel dapat dimanfaatkan kembali karena karena mengandung mineral anorganik atau unsur&unsur logam yang merupakan unsur hara atau nutrisi yang diperlukan tanaman (Purwati 2007). Menurut Misran (2005), Limbah abu ketel dapat

dicampurkan dengan beberapa zat lain untuk dijadikan menjadi pupuk (" ). Senyawa

kimia abu ketel yang dominan adalah SiO2 (silika) sebesar 70,97 %. Berikut ini merupakan komposisi

bahan yang terkandung pada abu ketel Pabrik Gula PT Sindang Laut, Cirebon. Tabel 4. Komposisi bahan yang terkandung pada abu ketel

No Parameter Satuan Hasil Pemeriksaan

Unsur Makro 1 Bahan organik % 4.23 2 Kadar Air % 62.95 3 Nitrogen % 0.03 4 Karbon % 2.30 5 Fosfor % 0.23 6 Nilai C/N 76.67 7 Kalium % 0.85 8 Kalsium % 0.20

9 Tabel 4. Komposisi bahan yang terkandung pada abu ketel (lanjutan)

No Parameter Satuan Hasil Pemeriksaan

Unsur Mikro 9 Magnesium % 0.15 10 Besi % 0.52 11 Alumunium % 0.76 12 Mangan % 0.05 (a) (b)

Gambar 3. (a) Tempat pengeluaran abu ketel (b) Areal timbunan abu ketel

10

III. METODOLOGI PE ELITIA

A. Bahan dan Alat

Bahan baku utama pengomposan yang digunakan dalam penelitian adalah abu ketel dari

mesin boiler dan yang berasal dari pengolahan air limbah pabrik gula PT Rajawali II unit

Jatitujuh, Majalengka Jawa Barat. Abu ketel dan yang digunakan merupakan bahan yang telah

tertimbun selama 4&5 bulan di areal pabrik yang bersangkutan. Abu ketel dan yang digunakan

selama penelitian seperti pada Gambar 4. Bahan kimia yang digunakan dalam penelitian adalah bahan

kimia untuk analisis kadar nitrogen, kadar karbon, kadar fosfor total, dan kadar kalium (K2O).

Peralatan yang digunakan untuk penelitian ini terdiri dari peralatan untuk pengomposan dan analisis kimia di laboratorium. Alat yang digunakan selama proses pengomposan terdiri dari:

1. Reaktor

Reaktor yang digunakan untuk proses pengomposan berbahan plastik dilengkapi dengan tutup, berkapasitas 30 liter. Reaktor yang digunakan untuk penelitian terdiri dari 12 buah yang terdiri dari:

& sebanyak tiga buah reaktor untuk perlakuan aerasi aktif dan 3 buah sebagai pengulangan,

& sebanyak tiga buah reaktor untuk perlakuan aerasi pasif dan 3 buah sebagai pengulangan.

Setiap reaktor dilengkapi dengan lubang kecil yang ditutup dengan sumbat gabus. Lubang kecil ini berfungsi sebagai tempat pengambilan sampel dan pengamatan temperatur yang terletak dibagian bawah, tengah, dan atas reaktor. Selain itu, reaktor pun dilengkapi dengan dua buah pipa paralon berdiameter ½ inci yang diletakan secara horizontal pada bagian bawah dan tengah. Pada pipa bagian dalam reaktor diberi lubang kecil disetiap permukaanya. Pipa paralon berfungsi sebagai tempat mengalirnya udara. Desain reaktor, dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Desain reaktor kompos

(a) (b) (c)

Gambar 4. (a) Bahan baku abu ketel

(b) Bahan baku

(c) Bahan baku abu ketel dengan pencampuran

25 cm 70 cm 10 cm B Keterangan : A : reaktor B : kompresor C : kompos D : lubang sampel (Ø = 2cm) E : pipa paralon aerasi ½ inci F : selang

G : kran

H : pipa paralon ½ inci

A H D G C F E

11 2. Rangkaian pipa dan selang untuk aliran udara

Rangkaian pipa paralon atau selang berfungsi untuk mengatur dan mengalirkan udara dari sebuah kompresor menuju reaktor yang digunakan untuk perlakuan aerasi aktif. Pipa paralon induk dibagi ke dalam enam aliran yang dipasang secara paralel, dimana setiap cabang terdapat dua cabang pipa yang terhubung dengan selang menuju reaktor. Rangkaian selang pun dilengkapi dengan kran dan penjepit untuk mengatur udara yang masuk ke dalam reaktor. Rangkaian pipa dan selang dapat dilihat pada Gambar 6.

3. Kompresor

Kompresor merupakan alat untuk menyuplai udara dari atmosfer, lalu dialirkan menuju reaktor untuk perlakuan aerasi aktif. Kompresor yang digunakan selama penelitian dapat dilihat pada Gambar 7(a).

4. % meter

% meter merupakan alat yang digunakan untuk mengukur laju aliran udara yang berasal

dari kompresor menuju reaktor pada perlakuan aerasi aktif. % meter yang digunakan selama

penelitian dapat dilihat pada Gambar 7(b). 5. Timbangan

Timbangan digunakan untuk mengukur berat bahan baku kompos yang akan digunakan sebelum dimasukkan ke dalam reaktor. Timbangan yang digunakan memiliki kapasitas 10 kg. Timbangan yang digunakan selama penelitian dapat dilihat pada Gambar 7(c).

6. Saringan

Saringan digunakan untuk mengayak bahan baku kompos agar diperoleh ukuran yang seragam. Saringan terbuat dari kawat yang berukuran 25 mesh. Saringan yang digunakan selama penelitian dapat dilihat pada Gambar 7(d).

7. Termometer

Termometer alkohol digunakan untuk mengukur temperatur bahan selama pengomposan.

(a) (b) (c)

Gambar 6. (a)(b)(c), Rangkaian pipa atau selang aliran udara (a) Kompresor (b)% meter (c) Timbangan (d) Saringan

Gambar 7. Peralatan pengomposan

12

B. Metode Penelitian

1. Penelitian Pendahuluan

Penelitian pendahuluan bertujuan untuk menentukan kandungan yang terdapat pada bahan

baku kompos, yaitu abu ketel dan . Pengujian pendahuluan yang dilakukan meliputi analisis

karbon organik, kadar nitrogen, dan temperatur. Berdasarkan data analisis kadar karbon dan nitrogen dapat diketahui nilai C/N dari bahan baku kompos. Data yang dihasilkan dari penelitian pendahuluan digunakan untuk menentukan persentasi pencampuran bahan baku.

2. Penelitian Utama

Penelitian utama meliputi proses pengomposan yang dilakukan selama sebulan. Sebelum memulai proses pengomposan dilakukan proses persiapan bahan baku. Berikut ini diuraikan langkah& langkah persiapan bahan baku sampai proses pengomposan.

a. Penyaringan Bahan Baku

Bahan baku kompos yang terdiri dari abu ketel dan diayak menggunakan saringan kawat

sehingga ukurannya seragam. b. Penimbangan Bahan Baku

Bahan baku yang telah disaring, lalu dilakukan penimbangan sesuai dengan berat masing&masing komposisi pengomposan yang telah ditentukan.

c. Pencampuran Bahan Baku

Abu ketel dan yang telah ditimbang, kemudian dicampurkan secara merata sampai

homogen. Setelah pencampuran homogen, bahan baku kompos dimasukkan ke dalam reaktor. d. Proses Aerasi

Bahan baku yang telah berada di dalam reaktor siap untuk dilakukan perlakuan aerasi aktif dan pasif. Perlakuan aerasi aktif merupakan pengomposan dengan penambahan udara yang berasal dari kompresor. Pengomposan dengan penambahan udara dilakukan selama seminggu pertama, kemudian pada minggu kedua hingga minggu terakhir pengomposan, penambahan udara dihentikan, dilanjutkan dengan pemberian udara secara alami. Laju aliran udara yang digunakan pada aerasi akif 2 liter/menit/kg (berat kering) untuk setiap reaktor.

Pengomposan dengan perlakuan aerasi pasif dilakukan selama sebulan, perlakuan ini tidak diberi penambahan udara dari awal hingga akhir pengomposan. Udara yang digunakan pada perlakuan aerasi pasif hanya berasal dari udara yang mengalir secara alami.

Selama pengomposan dilakukan pengamatan temperatur yang dilakukan setiap hari, sedangkan analisis kadar air, kadar nitrogen, pH, dan kadar karbon dilakukan setiap seminggu. Pengamatan temperatur dilakukan dengan cara menghitung temperatur rata&rata dari tiga titik lubang pada reaktor menggunakan termometer alkohol. Termometer dimasukan kedalam lubang, kemudian didiamkan selama satu menit. Setelah itu, termometer dicabut dari lubang dan hasil temperatur dapat dibaca pada skala yang tertera pada termometer.

Analisis kimia lainnya dilakukan dengan menggunakan peralatan yang terdapat di laboratorium. Setelah proses pengomposan selesai, dilakukan pengujian karakteristik mutu kompos, meliputi analisis kadar air, karbon organik, kadar nitrogren, temperatur, pH, kadar fosfor, dan kadar

Dokumen terkait