• Tidak ada hasil yang ditemukan

............................................................................................................... TI

II.TINJAUAN PUSTAKA

A. MIKROBIOTA SALURAN PENCERNAAN MANUSIA

Saluran pencernaan manusia dimulai dari mulut, kerongkongan, lambung, usus halus, dan usus besar yang panjangnya dapat mencapai 16 kaki (Groff & Groper 2000). Mikrobiota di dalam saluran pencernaan manusia jumlahnya mencapai lebih dari 1014 mikroorganisme dengan sekitar 1000 spesies. Akan tetapi hanya sekitar 30−40% dari seluruh spesies yang mendominasi 95% populasi (Ray & Bhunia 2008).

Sedangkan di dalam usus manusia terdapat sekitar 100 spesies yang disebut dengan mikrobiota usus. Berat keseluruhan bakteri-bakteri tersebut dapat mencapai 1−1,5 kg atau 1/50 sampai 1/60 berat tubuh orang dewasa. Mikrobiota usus dapat tumbuh pada kondisi anaerob dan berkoloni pada bagian-bagian tertentu dari sistem pencernaan manusia (Yughuci et al. 1992). Fungsi utama dari mikrobiota usus yaitu aktivitas metabolik yang menyebabkan penyimpanan energi dan nutrisi, efek nutrisi bagi epitel usus, dan perlindungan atas inang terhadap serangan bakteri merugikan (Harish & Varghese 2006).

Usus merupakan sebuah ekosistem kompleks yang terdiri atas tiga komponen yang saling berhubungan yaitu sel inang, nutrisi, dan mikrobiota. Fungsi usus antara lain untuk proses pencernaan makanan, penyerapan zat gizi, dan pertahanan terhadap serangan dari luar. Komponen pertahanan usus terdiri atas 3 jenis yaitu mikrobiota, mucosal barrier, dan sistem imun lokal (Bourlioux et al. 2002). Pada dasarnya usus terdiri atas usus halus dan usus besar. Usus halus terdiri atas duodenum, jejunum, dan ileum. Panjang duodenum kurang lebih 0.3 m, sedangkan panjang jejunum dan ileum sekitar 2.7 m. Pada duodenum terjadi sekresi dari hati, empedu, dan pankreas. Usus halus merupakan tempat utama proses pencernaan dan penyerapan zat gizi (Groff & Groper 2000).

Manusia mulai memiliki mikrobiota pada saluran pencernaan sejak dilahirkan dari kandungan. Janin hidup dan tumbuh dalam kondisi steril dalam kandungan. Janin akan terekspos oleh mikroba yang berasal dari saluran genital, feses, mikroba kulit ibunya, dan lingkungan setelah dilahirkan (Brassart & Schiffrin 2000). Selain itu, mikrobiota pada saluran percernaan juga terbentuk dari

 

makanan yang masuk. Saliva merupakan sumber utama masuknya bakteri ke dalam lambung. Bakteri tersebut berasal dari gigi, gusi, jaringan mulut, bersama dengan makanan dan objek lain, yang meliputi Streptococci, Veiilonella, Fusobacteria, Lactobacilli, Bacteroides, Bifidobacteria, Staphylococci, dan khamir (Mitsuoka di dalam Wood 1999).

Saliva membawa bakteri-bakteri tersebut masuk ke dalam lambung. Kondisi pH lambung pada saat istirahat di bawah 3 sehingga tidak ada bakteri yang tumbuh. Akan tetapi pada saat makanan masuk akan terjadi kenaikan pH lambung yang memungkinkan terjadinya proliferasi bakteri (Rowland 1988). Jumlah bakteri yang ada di dalam lambung kurang dari 103/ml isi lambung (Mitsuoka di dalam Wood 1999). Bakteri Gram positif fakultatif seperti Lactobacilli dan Streptokoki paling umum ditemukan di dalam isi lambung. Jumlah bakteri yang diisolasi antara 101−102/ml isi lambung (Fuller 1992).

Kemudian selama proses pencernaan, isi lambung masuk ke dalam usus halus bersama dengan hasil sekresi dari pankreas dan empedu yang meliputi bikarbonat (untuk menetralisir asam lambung), empedu (untuk emulsifikasi lemak), dan enzim pencernaan lainnya seperti proteinase, lipase, dan sakaridase (Rowland 1988). Bakteri-bakteri yang mampu bertahan dari asam lambung dan garam empedu kemudian akan berkembang dengan pesat pada saat menuju ke jejunum dan akhirnya sampai ke kolon. Waktu transit di kolon yang lama (54−56 jam) memungkinkan bakteri untuk berkembang. Selain itu, di kolon terdapat nutrisi yang berasal dari sisa makanan yang tidak diserap, material dari inang (mukus dan sel mati), serta metabolit bakteri yang dapat digunakan sebagai sumber makanan (Bourlioux et al. 2002).

Lima kelompok utama bakteri yang terdapat pada saluran pencernaan manusia normal adalah Lactobacillus, Enterococcus, Bacteriodes, Enterobacteriaceae, serta kelompok bakteri Gram positif yang anaerob dan tidak berspora. Pada bagian jejunum kelima kelompok tersebut memiliki jumlah yang relatif sama sekitar 102−103 cfu/g. Jumlah bakteri pada bagian jejunum relatif rendah karena lokasinya paling dekat dengan sekresi garam empedu. Pada bagian ileum mulai terjadi pertumbuhan bakteri. Jumlah bakteri di dalam ileum sekitar

 

102 cfu/g (kelompok Gram positif) sampai 105 cfu/g (Lactobacillus dan Enterococcus) (Salminen & Wright 1998).

Beberapa jenis BAL yang mendominasi lambung dan usus adalah Lactococcus, Lactobacillus spp., Leuconostoc dan Bifidobacterium (Lambert & Hull 1996). Jumlah Lactobacillus spp. di dalam lambung adalah 101−103 cfu/ml. Jumlah Lactobacillus spp. terus meningkat setelah mencapai duodenum (102−104 cfu/ml) dan sampai di jejunum dan ileum sekitar 104−106 cfu/ml. Jumlah BAL di dalam kolon bervariasi mulai dari 105−1010 cfu/ml dan didominasi oleh Bifidobacterium spp. (Holzapfel 2006).

Sisa makanan yang tidak diserap oleh usus halus kemudian menuju ke usus besar atau kolon. Kolon merupakan ekosistem yang sarat dengan kolonisasi mikrobiota yang dapat mencapai 50 genera bakteri sehingga usus besar menjadi bagian tubuh dengan aktivitas metabolik paling tinggi. Diperkirakan 95% dari semua sel hidup dalam tubuh manusia adalah bakteri usus besar (Gibson 2000). Jumlah di dalam kolon dapat mencapai 106−107 cfu/g dan didominasi oleh Enterococcus dan Bacteroides. Sedangkan jumlah bakteri akhir di dalam feses didominasi oleh Bacteroides (109 cfu/g) (Salminen & Wright 1998).

Mikrobiota usus dibagi menjadi bakteri indigenus (autochtonous) dan transient (allochtonous). Bakteri indigenus mampu menempel pada sel usus, sedangkan tipe transient hanya melewati usus saja atau ada yang mampu mengkolonisasi sementara (temporer) pada tempat dimana bakteri bakteri indigenus spesifik telah menghilang karena faktor-faktor lingkungan (misal antibiotik). Di antara mikrobiota indigenus, beberapa spesies Lactobacillus pada jejunum dan ileum dan Bifidobacterium pada usus besar dipercaya memiliki efek yang menguntungkan pada saluran pencernaan manusia (Ray & Bhunia 2008).

Menurut Fuller (1992), mikrobiota indigenus adalah campuran yang kompleks dari populasi bakteri yang mengkolonisasi pada satu daerah tertentu dan tidak dipengaruhi oleh intervensi medis atau eksperimental atau penyakit. Saluran pencernaan bukan merupakan habitat yang homogen bagi bakteri indigenus karena perbedaan komposisi pada masing-masing bagian.

 

Pada dasarnya ada 4 mikrohabitat pada saluran pencernaan yaitu:

1. Permukaan sel epitel; penempelan bakteri pada sel epitel biasanya dibantu oleh organel khusus seperti fimbriae

2. Lumen pada usus;

3. Lapisan dalam gel mukus pada crypt ileum, sekum, dan kolon; organisme yang menempel biasanya motil dan berbentuk spiral misalnya Borriella dan Treponema dengan kemampuan menembus media viskous seperti gel mukus 4. Gel mukus yang melapisi epitelium sepanjang saluran pencernaan

Menurut Deplancke dan Gaskin (2001), epitelium pada saluran pencernaan dilapisi oleh pelindung berupa gel mukus yang dominan tersusun dari glikoprotein mucin yang disintesis oleh sel goblet. Lapisan gel mukus merupakan struktur integral pada usus yang berfungsi untuk proteksi, lubrikasi, dan transport antara luminal contents dan epitelial lining. Lapisan ini merupakan tempat pertama perlawanan inang terhadap bakteri yang masuk ke saluran pencernaan.

Bahan penyusun mukus adalah glikoprotein yang disebut mucin. N-acetylglucosamine, N-acetylgalactosamine, fucose, and galactose adalah 4 oligosakarida utama penyusun mucin. Rantai oligosakarida mucin biasanya diakhiri oleh sialic acid atau gugus sulfat yang bertanggung jawab pada sifat polianionik pada pH netral. Mucin diklasifikasikan ke dalam subtipe netral dan asam. Mucin netral dominan pada mukosa lambung sedangkan mucin asam terdapat pada epitelium usus halus dan dominan pada usus besar (Deplancke & Gaskin 2001).

Ketebalan gel mukus berbeda-beda di sepanjang usus. Di dalam perut lapisan mukus dapat mencapai 450 µm, pada kolon ketebalan mukus meningkat secara bertahap mulai dari bagian naik usus besar dan mencapai 285 µm pada rektum. Sementara itu, usus halus dilapisi mukus tipis yang diskontinyu (Deplancke & Gaskin 2001).

Keberadaan mukus menguntungkan bagi bakteri dalam usus terutama untuk kolonisasi karena menyediakan nutrisi yang cukup bagi bakteri. Oligosakarida mucin merupakan sumber karbohidrat dan peptida, dan nutrisi eksogenik termasuk vitamin dan mineral juga terdapat dalam matriks mukus. Bakteri yang mampu mengkolonisasi mukus dapat menghindari pelepasan via

 

sifat hidrokinetik usus. Hal ini berlaku pada bakteri komensal dan bakteri patogen (Deplancke & Gaskin 2001).

Penempelan bakteri pada mukus sangat penting untuk kolonisasi sementara dan merupakan syarat bagi probiotik untuk dapat mengontrol keseimbangan mikrobiota usus. Lapisan mukosa pada usus berfungsi untuk melindungi dari mikroorganisme tertentu tetapi sekaligus juga menyediakan tempat penempelan, sumber nutrisi, dan matriks sebagai tempat proliferasi bakteri. Mukus memiliki reseptor yang mirip dengan reseptor pada sel epitel di mana bakteri dapat menempel. Mukus terus-menerus dikeluarkan ke dalam lumen dan segera diganti oleh mukus baru yang dikeluarkan oleh sel goblet. Hal ini yang menyebabkan kolonisasi pada mukus hanya bersifat sementara (Juntunen et al. 2001).

Peranan mikrobiota usus dapat dibagi dua yaitu yang aktivitasnya menguntungkan dan merugikan. Bifidobacteria, Lactobacillus spp. dan Eubacteria hanya memiliki aktivitas menguntungkan sedangkan Clostridium perfringens, Veillonella spp., dan Proteus spp. hanya memiliki efek merugikan. Beberapa bakteri usus memiliki sifat menguntungkan maupun merugikan. Contohnya adalah Bacteroides, Streptococcus spp., Escherichia coli, serta Enterococcus (Yughuchi et al. 1992).

Bakteri yang merugikan dalam usus dapat menghasilkan senyawa-senyawa karsinogen, toksin, NH3, H2S, amin, serta fenol. Berbagai pengaruh buruk yang dapat ditimbulkannya adalah penyakit-penyakit seperti diare, konstipasi, kerusakan hati, penurunan kekebalan, kanker, hipertensi, dan sebagainya (Yughuchi et al. 1992).

Sedangkan bakteri asam laktat sebagai salah satu mikrobiota normal manusia mempunyai peran yang menguntungkan bagi kesehatan manusia yaitu untuk mencegah infeksi usus yang diakibatkan oleh bakteri enterik patogen dan infeksi pada saluran urogenital, mencegah intoleransi laktosa dan pertumbuhan kanker/tumor usus, dan untuk menstimulasi sistem imun dan gerakan usus (Yuguchi et al. 1992).

Keseimbangan mikrobiota usus sangat dipengaruhi oleh interaksi mikroba yang ada di dalamnya dengan cara membentuk ekosistem dengan inangnya.

 

Komponen ekosistem yang ada pada usus meliputi (1) komponen biotik; yaitu mikroba indigenus dan transient, serta sel epitelium gastrointestinal yang membatasi biotop, (b) komponen abiotik; yaitu jenis diet, dan (3) komponen indigenus; meliputi saliva, sekresi atau ekskresi lambung, pankreas, hati, dan usus, termasuk enzim, hormon, mukus, garam empedu, urea, immunoglobulin, peptida, dan komponen lain. Semua komponen tersebut berinteraksi untuk menjaga kesehatan inang. Jika keseimbangan terganggu maka ekosistem menjadi tidak stabil (Raibaud di dalam Fuller 1992).

Pada manusia dewasa yang sehat, mikrobiota usus berada dalam keseimbangan walaupun terdapat perbedaan antara individu yang satu dengan individu yang lain. Komposisi mikrobiota usus berubah seiring meningkatnnya umur seseorang. Pada bayi, Bifidobacterium spp. merupakan bakteri yang paling dominan. Pada saat bayi disapih, beberapa bakteri anaerob seperti Bacteroidaceae, Eubacterium, dan Peptococcaceae mulai tampak dan akhirnya menjadi dominan. Bifidobacterium spp. akan semakin menurun jumlahnya sedangkan Clostridium perfringens, Escherichia coli, Streptococcus spp., serta Lactobacillus semakin meningkat jumlahnya (Mizutani 1992).

B. PROBIOTIK

Probiotik adalah makanan atau minuman yang mengandung mikroba hidup yang memiliki pengaruh menguntungkan terhadap kesehatan bagi yang mengkonsumsinya dengan cara meningkatkan keseimbangan mukosa usus (Oewehand et al. 1999). Beberapa manfaat konsumsi bakteri probiotik bagi kesehatan manusia menurut Schmid et al. (2006) adalah:

1. Konsumsi probiotik tertentu diketahui dapat mencegah dan meringankan diare khususnya yang disebabkan oleh rotavirus atau akibat konsumsi antibiotik. 2. Stimulasi sistem imun; beberapa studi menunjukan bahwa bakteri probiotik

dapat meningkatkan imunitas bawaan (innate immunity) maupun imunitas adaptatif (acquired immunity) dengan meningkatkan fagositosis dan aktivitas sel pembunuh alami (natural killer cell), mengubah profil sitokinin, dan meningkatkan jumlah immunoglobulin.

 

3. Penyakit radang usus (Inflamatory bowel disease-IBD); terdapat bukti yang menunjukan bahwa probiotik memiliki potensi terapi bagi penderita IBD. Studi klinis menunjukan bahwa probiotik efektif untuk meringankan infeksi pada bagian usus, seperti ulcerative colitis dan Chron’s disease.

4. Sindrom iritasi usus (Irritable bowel syndrome-IBS); hasil yang bervariasi didapatkan dari percobaan mengenai efek probiotik terhadap penyakit ini, meskipun demikian kemungkinan besar di masa depan probiotik dapat dikembangkan lebih sebagai agen pencegahan, bukan untuk penyembuhan. 5. Intoleransi laktosa; kultur bakteri (kultur yoghurt maupun kultur probiotik)

diketahui dapat meningkatkan daya cerna laktosa. Penderita intoleransi laktosa kesulitan mencerna laktosa karena konsentrasi enzim β–galaktosidase (enzim pemecah laktosa) dalam sistem pencernaannya terlalu rendah. Kultur bakteri yogurt atau kultur probiotik mampu melepaskan β-galaktosidase pada usus halus sehingga mendukung pencernaan laktosa.

6. Alergi; bakteri asam laktat tertentu disamping dapat memberi efek stimulasi imun diketahui juga dapat menurunkan respon immuninflamatory pada penderita yang hipersensitif terhadap susu. Probiotik juga telah diketahui memiliki manfaat yang baik dalam mencegah atopic eczema pada bayi.

7. Kanker; beberapa kajian mengindikasikan angka kejadian kanker kolorektal yang lebih rendah dengan konsumsi produk fermentasi susu yang mengandung lactobacilli atau bifidobakteria meskipun secara tidak langsung. Sebuah studi di Jepang juga menunjukan bahwa kebiasaan mengkonsumsi bakteri asam laktat dapat menurunkan resiko kanker kandung kemih.

8. Infeksi saluran pernapasan; terdapat sedikit penurunan kejadian infeksi saluran pernapasan dan pemberian antibiotik pada kelompok anak yang mengkonsumsi susu yang mengandung L. rhamnosus GG selama tujuh minggu. Meskipun demikian masih perlu dukungan data yang lebih kuat untuk memastikan potensi probiotik melawan/mencegah infeksi saluran pernapasan. 9. Mengurangi tingkat keparahan konstipasi, memperbaiki frekuensi pergerakan

usus dan konsistensi feses.

10. Infeksi saluran urogenital; konsumsi susu fermentasi yang mengandung bakteri probiotik menunjukan penurunan resiko infeksi saluran kencing

 

berulang (recurrence) pada sebuah studi yang melibatkan kelompok penderita infeksi saluran kencing akut dan kelompok kontrol.

11. Infeksi Helicobacter pylori; kolonisasi mukosa lambung oleh Helicobacter pylori diketahui berhubungan dengan radang lambung, infeksi lambung (gastric ulcer), karsinoma lambung, dan tumor jaringan limfe (limfoma). Studi terhadap manusia telah mengkonfirmasi kemampuan beberapa galur probiotik untuk menghambat Helicobacter pylori.

12. Tingkat kolesterol; Meskipun belum menunjukan hasil yang meyakinkan, beberapa studi memperlihatkan adanya efek penurunan kolesterol LDL atas konsumsi probiotik.

Menurut Salminen et al. (2004) beberapa kriteria yang harus dipenuhi oleh probiotik adalah (1) bersifat nonpatogenik mewakili mikrobiota normal usus dari inang tertentu, aktif dalam kondisi asam lambung dan konsentrasi garam empedu yang tinggi pada usus halus, (2) mampu tumbuh, melakukan metabolisme dengan cepat dan terdapat jumlah yang tinggi dalam usus, (3) mampu melakukan kolonisasi pada beberapa bagian saluran usus untuk sementara, (4) memproduksi asam-asam organik secara efisien dan memiliki sifat antimikroba terhadap bakteri merugikan, (5) mudah diproduksi, mampu tumbuh dalam sistem produksi skala besar, dan mampu hidup selama kondisi penyimpanan.

Ketahanan terhadap asam lambung merupakan syarat penting suatu organisme untuk dapat menjadi probiotik karena pH asam lambung yang sangat rendah (sekitar 2.5) (Jacobsen et al. 1999). Penelitian yang dilakukan oleh Nuraida et al. (2008) menunjukkan bahwa sepuluh isolat yang akan digunakan dalam penelitian ini (L. rhamnosus A15, Lactobacillus A27, L. rhamnosus A29, L. rhamnosus R14, L. rhamnosus R21, L. rhamnosus R23, L. rhamnosus R26, L. rhamnosus B10, L. rhamnosus B13, dan L. rhamnosus B16) memiliki ketahanan terhadap asam yang baik dengan penurunan kurang dari 1 unit log pada pH 2.5.

Isolat BAL dari dadih yang berhasil diisolasi oleh Elida (2002) (Lactobacillus bervis ae4, Stertococcus lactis subsp. Diacetylactis abk1, Leuconosyoc mesenteroides abk1, dan Leuconostoc paramesenteroides dk7) memiliki ketahanan terhadap asam antara 70-90% dengan penurunan sebesar 1

 

log dari jumlah awal 108 cfu/ml. Sedangkan isolat BAL dari tempoyak mempunyai ketahanan yang lebih rendah yaitu sebesar 40% pada pH 2.5 (Wirawati 2002).

Evanikastri (2003) menguji ketahanan 17 isolat klinis BAL yang diisolasi dari feses bayi. Dari 17 isolat ternyata terdapat 13 yang mengalami penurunan jumlah koloni kurang dari 1 unit log/ml (paling resisten), sedangkan 4 isolat lainnya mengalami penurunan jumlah koloni antara 1.5−3.5 unit log/ml (resisten). Selain itu, BAL yang terdapat pada yogurt-yogurt tradisional ternyata tidak mampu bertahan hidup hingga usus halus. Menurut Hull et al. (1992), bakteri-bakteri yang bukan berasal dari saluran pencernaan lebih sensitif terhadap pH lambung, garam empedu, lisozim, dan senyawa antimikroba. Bakteri-bakteri ini digunakan secara luas pada produk fermentasi susu.

Jacobsen et al. (1999) menguji ketahanan 47 isolat BAL dari berbagai sumber pada pH 2.5. Dari 47 isolat tersebut hanya 29 isolat yang mampu bertahan pada pH 2.5 dan tidak ada satupun yang mampu tumbuh setelah inkubasi 4 jam. Sedangkan hasil penelitian Zavaglia et al. (1998) menunjukkan bahwa 11 dari 25 isolat klinis Bifidobacteria yang diuji pada pH 3.0 selama 1 jam berhasil hidup dalam kondisi pH rendah, dengan ketahanan lebih dari 1%.

Toleransi BAL terhadap asam disebabkan oleh kemampuannya untuk mempertahankan pH sitoplasma lebih basa daripada pH ekstraseluler. Menurut Siegumfeldt et al. (2000), pada BAL terjadi perubahan dinamis pH intraseluler seiring dengan terjadinya penurunan pH ekstraseluler sehingga tidak terjadi gradien proton yang besar. Gradien proton yang besar akan merugikan karena translokasi proton menggunakan banyak energi. Selain itu, gradien proton yang besar mengakibatkan akumulasi anion, asam organik dalam sitosol yang bersifat toksik bagi sel tersebut.

Setelah probiotik berhasil melalui lambung, mereka akan memasuki saluran usus bagian atas dimana garam empedu disekresikan sehingga ketahanan BAL terhadap garam empedu juga sangat penting. Seperti halnya ketahanan terhadap asam, menurut Zavaglia et al. (1998) dan Jacobsen et al. (1999), semua mikroba yang berhasil hidup setelah tumbuh dalam MRSA yang ditambah 0.3% oxgal, dinyatakan bersifat tahan terhadap garam empedu. Konsentrasi garam

 

empedu sebesar 0.3% merupakan konsetrasi yang kritikal untuk menyeleksi isolat yang resisten terhadap garam empedu.

Nuraida et al. (2008) melaporkan bahwa isolat L. rhamnosus R26, B10, dan B16 mempunyai ketahanan yang baik terhadap garam empedu dengan penurunan sebesar 0−1 log. Sedangkan isolat A15, A27, A29, R14, R21, R23, dan B13 mengalami penurunan sebesar 1−2.49 unit log sehingga bersifat agak tahan terhadap garam empedu.

Hasil penelitian Wirawati (2002) menunjukkan bahwa isolat BAL asal tempoyak relatif tahan terhadap garam empedu, yaitu antara 34.8−100%. Sedangkan Evanikastri (2003) menguji ketahanan 17 isolat klinis bakteri asam laktat terhadap garam empedu 0.5%. Hasilnya menunjukkan bahwa Lactobacillus G1 mempunyai ketahanan yang baik terhadap garam empedu kemudian disusul berturut-turut oleh F1, G2, M, Kk, Nkp, En6, K, F2, dan Ae1 (penurunan log 1.0 cfu/ml). Sementara itu, Lactobacillus N merupakan isolat yang paling sensitif terhadap 0.5% garam empedu.

Hasil penelitian Kusumawati (2002) menunjukkan bahwa ketahanan isolat BAL yang diisolasi dari makanan fermentasi asal Indonesia sangat tergantung pada galurnya. Pada konsentrasi 1%, Lactobacillus acidophilus FNCC 116 memiliki selisih log yang terkecil yaitu 0.73 unit log/ml dan pada konsentrasi 5% Lactobacillus plantarum To 22 memiliki selisih log yang terkecil yaitu 0.68 unit log/ml, di mana hasil tersebut tidak berbeda nyata dengan beberapa galur yang lain. Hasil penelitian Ngatirah et al. (2000) juga menunjukkan ketahanan BAL terhadap garam empedu tergantung pada jenis galurnya.

Semakin tinggi konsentrasi garam empedu, maka jumlah sel Lactobacillus yang mati juga akan meningkat (Ngatirah et al. 2000; Kusumawati 2002). Hal ini disebabkan karena peningkatan aktivitas enzim β-galaktosidase terhadap garam empedu, sehingga meningkatkan permeabilitas membran sel. Bila permeabilitas membran sel meningkat maka banyak materi intraseluler yang keluar dari dalam sel. Bila hal ini berlangsung terus-menerus akan menyebabkan lisis sel bakteri. Menurut Smet et al. (1995), beberapa Lactobacillus mempunyai enzim dengan aktivitas untuk menghidrolisa garam empedu (bile salt hydrolase, BSH). Enzim

 

ini mampu mengubah sifat garam empedu sehingga menjadi tidak bersifat racun bagi BAL.

Selain ketahanan terhadap asam lambung dan garam empedu, kemampuan penempelan dan kolonisasi merupakan syarat penting bagi bakteri probiotik. Menurut Harish dan Varghese (2006), probiotik dapat mempengaruhi kesehatan inang melalui penempelan dan kolonisasi bakteri pada usus, menekan pertumbuhan atau penempelan/invasi epitel oleh bakteri patogen dan produksi senyawa antimikroba, meningkatkan fungsi perintang saluran cerna, mengatur transfer antigen dari diet, dan stimulasi imunitas mukosa dan sistemik inang

Ray dan Bhunia (2008) juga menyebutkan bahwa organisme probiotik harus memiliki kemampuan untuk menempel pada sel epitel saluran pencernaan, berkompetisi dengan bakteri patogen enterik yang menempel pada sel epitel saluran pencernaan, tahan dan mampu melakukan multiplikasi pada saluran pencernaan tanpa mengganggu keseimbangan mikrobiota normal, memproduksi metabolit yang bersifat antibakteri, koagregasi, membentuk mikrobiota normal saluran pencernaan, dan aman bagi inang. Sampai saat ini, sesuai dengan kriteria evaluasi tersebut ada 5 galur Lactobacilli yang efektif sebagai probiotik yaitu (1) L. acidophilus NCFM, (2) L. casei Shirota, (3) L. casei CRL431, (4) L. rhamnosus GG, dan (5) L. reuteri MM53.

Penempelan mikroorganisme pada permukaan epitel merupakan tahap inisiasi patogenesis yang sangat penting pada proses terjadinya infeksi pada saluran pencernaan. Kemampuan penempelan yang baik sangat diperlukan untuk mencegah terkikisnya bakteri akibat sekresi inang dan pergerakan lumen (Gibson et al. 1997). Penempelan BAL pada sel epitel usus sangat dibutuhkan untuk kolonisasi pada saluran pencernaan, mencegah eliminasi karena gerakan peristalsis usus, dan memungkinkan terjadinya kompetisi yang menguntungkan (Kos et al. 2003).

Kolonisasi adalah keadaan di mana populasi bakteri pada saluran pencernaan jumlahnya stabil sepanjang waktu tanpa perlu penambahan bakteri secara periodik baik melalui pemberian secara oral atau dengan cara lain. Kolonisasi berarti bahwa bakteri yang berkolonisasi mampu melakukan

 

multiplikasi pada saluran pencernaan dengan laju yang sama pada saat pengujian secara fisik (Fuller 1992).

Kemampuan kolonisasi sangat diperlukan terutama ketika saat pengobatan dengan antibiotik spektrum luas. Antibiotik dapat mengganggu keseimbangan mikrobiota usus dan menurunkan resistensi kolonisasi sehingga memungkinkan pertumbuhan bakteri patogen enterik seperti Clostridium difficile (Schmid et al. 2006).

Faktor-faktor yang mempengaruhi penempelan bakteri pada permukaan usus yaitu:

1. Adhesin

Adhesin pada bakteri dapat berupa protein atau nonprotein. Adhesin akan mengenali permukaan epitel spesifik, intestinal mukus, atau struktur interselular. Adhesin pada bakteri akan menempel pada reseptor adhesin yang ada pada membran epitel sel usus. Reseptor adhesin dapat berupa protein atau glikoprotein. Reseptor pada permukaan usus tersebut akan memerangkap bakteri ke dalam mukus (Ballongue 2004).

Adhesin berupa protein misalnya fimbrial adhesin yang terdapat pada E. coli (CFA I, CFA II, K88, dan K99) (Gibson et al. 1997). Bifidobacteria juga menempel pada jaringan tepi melalui protein yang mirip adhesin (Gibson et al.

Dokumen terkait