Hubungan petindak dengan tindakannya ditentukan oleh kemampuan bertanggungjawab dari petindak. Ia menginsyai hakekat dari tindakan yang akan dilakukannya, dapat mengetahui ketercelaan dari tindakan dan dapat menentukan apakah akan dilakukannya tindakan tersebut atau tidak. Jika ia menentukan (akan) melaksanakan tindakan itu, maka bentuk hubungan itu adalah “sengaja” atau “alpa”. Dan untuk
penentuan tersebut, bukan sebagai aklibat atau dorongan dari sesuatu, yang jika demikian penentuan itu berada di luar kehendaknya sama sekali.16
Menurut Ruslan Saleh mengatakan bahwa :17
Tiada terdapat “alasan pemaaf ”, yaitu kemampuan ber-tang gungjawab, bentuk kehendak dengan sengaja atau alpa, tiada terhapus keselahannya atau tiada terdapat alasan pemaaf, adalah termasuk dalam pe ngertian kesalahan (schuld).
Pompe mengatakan bahwa:18
hubungan petindak dengan tindakannya ditinjau dari sudut “kehendak”, kesalahan petindak adalah meru-pakan bagian dalam dari kehendak tersebut. Asas yang timbul dari padanya ialah: “Tiada pidana, tanpa kesalahan”.
Menurut Martiman Prodjhamidjojo19 bahwa unsur subjektif adalah adanya suatu kesalahan dalam bentuk kesengajaan dan kealpaan, sehingga perbuatan yang melawan hukum tersebut dapat di pertanggungjawabkan.Unsur-unsur subjektif yaitu :
1. Kesalahan; 2. Kesengajaan; 3. Kealpaan; 4. Perbuatan; dan 5. Sifat melawan hukum;
16 Zainal Abidin Farid Andi,1995. Hukum Pidana I, Jakarta : Sinar Graika.
17 Kanter E.Y & S.R. Sianturi, Op. Cit. hal. 25.
18 Ibid. Hal. 25.
Unsur objektif adalah adanya perbuatan yang berten-tangan dengan hukum atau dengan kata lain harus ada unsur melawan hukum. Unsur-unsur objektif yaitu :
1. Perbuatan; dan 2. Sifat melawan hukum;
Dalam ilmu pidana alasan penghapus pidana dibagi atas dua bagian; yaitu pertama, penghapus pidana umum, yang berlaku kepada semua rumusan delik yg disebut dalam Pasal 44, 48 – 51 KUHP, kedua adalah alasan penghapus pidana khusus yang terdapat dalam pasal pasal tertentu saja, yaitu Pasal 122, 221 ayat(2), 261, 310 dan 367 ayat(1) KUHP. 20
Namun Pada kali ini, hanya akan di bahas mengenai alasan pemaaf saja, karena alasan pembenar sudah di bahas pada sub Bab sebelumnya.
Alasan pemaaf (schuldduitsluitingsgrond) yang diatur dalam Pasal 44 KUHP tentang “tidak mampu bertanggung jawab”, Pasal 48 KUHP tentang Daya Paksa (Overmacht), Pasal 49 ayat (2) KUHP tentang pembelaan terpaksa yang melampaui batas (Noodweer Execes), Pasal 51 ayat (2) KUHP tentang menjalankan perintah yang tidak sah tetapi menganggap perintah itu datang dari pejabat yang berwenang.
Alasan Penghapus pidana yang termasuk dalam alasan pemaaf yang terdapat dalam KUHP adalah ;
1. Daya Paksa Relatif (Overmacht) ;
Overmacht merupakan daya paksa relatif ( vis compulsive) seperti keadaan darurat. Daya paksa diatur dalam Pasal 48 KUHP. Dalam KUHP tidak terdapat pengertian daya paksa. Dalam memorie van toelichting (MvT) daya paksa
dilukiskan sebagai kekuatan, setiap daya paksa orang berada dalam dwangpositie ( posisi terjepit). Daya paksa ini merupakan daya paksa psikis yang berasal dari luar dari si pelaku dan daya paksa tersebut lebih kuat dari padanya. Asas subsidiaritas dan proporsionalitas harus diperhatikan dan dipenuhi. Pemahas lengkap mengenai daya paksa relatif ini sudah penulis bahas pada Bab sebelumnya bagian daya paksa absolute.
2. Pembelaan Terpaksa Yang Melampaui Batas ( Noodweer
exces) Pasal 49 ayat (2) KUHP
Pasal 49 ayat (2) menyatakan:
“Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung di sebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu tidak dipidana.”
Ada persamaan antara pembelaan terpaksa (noodweer) dan pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodweer exces), yaitu keduanya mensyaratkan adanya serangan yang melawan hukum yang dibela juga sama, yaitu tubuh, kehormatan kesusilaan, dan harta benda, baik diri sendiri maupun orang lain.
Perbedaannya ialah:
Pada pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodweer exces), pembuat melampaui bataskarena keguncangan jiwa yang hebat, aleh karena itu,
Maka perbuatan membela diri melampaui batas itu tetap me lawan hukum, hanya orangnya tidak dipidana karena ke guncangan jiwa yang hebat.
Lebih lanjut maka pembelaan terpaksa yang melampaui batas menjadi dasar pemaaf. Sedangkan pembelaan terpaksa (nood weer) merupakan dasar pembenar,
karena melawan hukumnya tidak ada.
Pada pembelaan terpaksa yang melampaui batas, batas pem belaan yang perlu dilampaui, jadi tidak proporsional. Melampaui batas pembelaan ada dua macam. Per tama, orang yang diserang sebagai akibat keguncangan jiwa yang hebat melakukan pembelaan pada mulanya sekejap pada saat di serang (Hoge Raad 27 Mei 1975 N.J. 1975, no. 463). Jadi, di sini ada dua fase, pertama ialah noodweer exces. Bentuk kedua ialah orang yang berhak membela diri karena terpaksa karena akibat ke guncangan jiwa yang hebat sejak semula memakai alat yang me lampaui batas.
3. Menjalankan Perintah Jabatan yang Tidak Sah, Tetapi Terdakwa Mengira Perintah Itu Sah, Pasal 51 ayat (2) KUHP
Perintah berasal dari penguasa yang tidak berwenang, namun pelaku menganggap bahwa perintah tersebut berasal dari penguasa yang berwenang. Pelaku dapat dimaakan jika pelaku melaksanakan perintah tersebut dengan itikad baik, mengira bahwa perintah tersebut sah dan masih berada dalam lingkungan pekerjaannya. Hal ini diatur dalam Pasal 51 ayat (2) KUHP.
Menurut Vos, mengenai ketentuan ayat (2) Pasal 51 KUHP itu, perintah jabatan yang diberikan oleh yang tidak berwenang untuk lolos dari pemidanaan, harus memenuhi dua syarat:
1) Syarat subyektif, yakni pembuat harus dengan itikad baik me mandang bahwa perintah itu datang dari yang berwenang: dan
2) Syarat obyektif, yakni pelaksanaan perintah harus terletak dalam ruang lingkup pembuat sebagai bawahan.
Jadi seorang agen polisi diperintah oleh atasannya. Untuk menganiaya tahanan walaupun ia beritikad baik, bahwa ia harus memenuhi perintah itu, tidak menjadikan ia lepas, karena perbuat an seperti itu bukan tugasnya. Di sini bedanya dengan ayat (1), pada ayat (2) ini diharuskan adanya hubungan atasan-bawahan (secara langsung). Menurut Pompe hubungan atasan-bawahan itu tetap dinyatakan ada walaupun bersifat sementara.
Berdasarkan pemaparan di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa dasar pemaaf terdiri atas: 1. Daya paksa Relatif (overmacht), (Pasal 48 KUHP); 2. Pembelaan terpaksa melampaui batas (Noodweer),
(Pasal 49 Ayat 2 KUHP); dan
3. Perintah jabatan yang tidak sah, namun ketika melakukan perbuatan pelaku mengiranya sah, (Pasal 52 ayat (2) KUHP).
Bagan 14 : Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana (Andi Zainal Abidin Farid)
93
Amir Ilyas
DASAR HUKUM DASAR PEMBENAR DASAR PEMAAF A. BERDASAR KETENTUAN
UNDANG-UNDANG A.1. SECARA UMUM
A2. SECARA KHUSUS
Daya paksa relatif dan keadaan darurat (Pasal 48 KUHP).
Daya paksa mutlak melampaui keadaan darurat (Pasal 48 KUHP).
Pembelaan terpaksa (Pasal 49 ayat (1) KUHP). Pembelaan terpaksa melampaui keadaan darurat (Pasal 49 ayat (2) KUHP).
Menjalankan peraturan undang-undang (Pasal 50 KUHP).
-Perintah jabatan yang sah (Pasal 51 ayat (1) KUHP).
Perintah jabatan yang tidak sah, tetapi terdakwa mengira sah (Pasal 51 ayat (2) KUHP).
Pasal 186, 310 ayat (3), dan 314 KUHP. Pasal 110 ayat (4), 166, 221 ayat (2) KUHP). B. DI LUAR
UNDANG-UN-DANG
(termasuk yurisprudensi)
Hak mendidik orang tua.
Pekerjaan dokter, tatib, apoteker dan lain-lain.
Lain orang yang dirugikan.
Zaak waarneming (Pasal 1354 BW).
Tidak melawan hukum secara material.
Olahraga tinju.
Keine Strafe ohne Schuld.
Dasar pemaaf yang putatif.
Penulis kurang sependapat dengan Prof. Dr. Andi Hamzah mengenai kategorisasi perbuatan yang termasuk alasan pembenar dan alasan pemaaf.Menurut penulis untuk menggolongkan daya paksa mana yang termasuk sebagai alasan pembenar ataupun pemaaf harusnya dikembalikan kepada hakikat adanya alasan pembenar dan alasan pemaaf itu sendiri.
Sebagaimana sudah menjadi pendapat umum bahwa alasan pembenar timbul ketika perbuatan seseorang memang tidak memiliki nilai melawan hukum sehingga bukanlah orangnya yang dimaakan akantetapi perbuatannya yang harus dianggap benar sedangkan alasan pemaaf timbul ketika perbuatan seseorang memiliki sifat melawan hukum namun karena alasan tertentu maka orangnya dimaakan.
Dari hakikat perbedaan antara alasan pembenar dan alasan pemaaf dapatlah disimpulkan bahwa sesungguhnya alasan pembenar memiliki derajat yang lebih tinggi dari pada alasan pemaaf, hal ini pulalah yang mendasari bahwa alasan pembenar bermuara pada putusan bebas sedangkan alasan pemaaf bermuara pada putusan lepas.
Jika dihubungkan dengan daya paksa absolute dan daya paksa relative maka nampak jelas bahwa daya paksa absolute memiliki kedudukan lebih tinggi sebagai alasan pengecualian pidana dibanding daya paksa relatif.Sehingga daya paksa absolute harus digolongkan sebagai alasan pembenar sedangkan daya paksa relatif digolongkan sebagai alasan pemaaf.