• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perwira itu dipersilakan duduk dan dia bercerita bahwa pasukannya mendapat perintah dari atasannya untuk mencari-cari Gubernur Hok yang kabarnya lenyap ketika mengiringkan Pangeran Yung Hwa sebagai utusan kaisar ke Propinsi Ho-nan.

“Semua pasukan disebar, akan tetapi tidak juga berhasil,” perwira itu berkata. “Siapa tahu, di tempat yang tidak kami sangka-sangka sama sekali ini, hamba berjumpa dengan Taijin.” Perwira itu berhenti sebentar untuk menenangkan jantungnya yang berdebar penuh ketegangan setelah dia bertemu dengan gubernur yang dicari-carinya dengan susah payah itu. “Marilah Taijin, hamba antar Taijin kembali pulang. Apakah Taijin ingin naik kereta, ataukah kuda?”

“Cui Lan, apakah engkau biasa menunggang kuda? Kalau tidak biasa, biar kita naik kereta saja,” tanya Hok-taijin kepada Cui Lan. Gadis itu tadinya melamun, karena pikirannya masih tertarik oleh berita tentang Siluman Kecil yang muncul di dusun ini. Betapa ingin dia

berjumpa dengan pendekar yang dipujanya itu. Betapa besar rasa rindu di hatinya ingin memandang wajahnya, mendengar suaranya, merasakan sinar matanya yang aneh tapi lembut.

“Eh.... saya.... hemmm, saya pun biasa naik kuda....“ jawabnya gagap.

“Bagaimana kabarnya dengan Pangeran Yung Hwa, Ciangkun?” Suma Kian Lee bertanya. Perwira itu memandang kepada Hok-taijin dan pembesar ini mengangguk.

“Kau boleh menceritakan apa pun juga kepada Suma-taihiap ini,” katanya. “Kalau tidak ada dia dan nona ini dan nikouw ini, kiranya engkau hanya dapat menemukan mayatku.”

Perwira itu terkejut dan cepat memberi hormat kepada mereka bertiga, kemudian menjawab kepada Kian Lee, “Kami tidak mendengar berita tentang Pangeran Yung Hwa. Tidak ada kabar apa-apa dan kami tidak ada yang berani melapor ke kota raja sebelum gubernur pulang.”

Kian Lee lalu berkata kepada gubernur itu, “Hok-taijin, kalau begitu sungguh

mengkhawatirkan sekali keadaan Pangeran Yung Hwa. Sekarang, Taijin telah bertemu dengan pasukan Taijin, maka kiranya tidak perlu lagi saya mengantar sampai ke ibu kota. Tentu daerah ini termasuk Propinsi Ho-pei dan Tai jin telah berada di daerah sendiri. Biarlah Taijin dan Nona Phang dikawal oleh pasukan, sedangkan saya sendiri hendak menyelidiki keadaan Pangeran Yung Hwa....“

Pada saat itu, Kian Lee memandang kepada Cui Lan dan kebetulan sekali gadis ini pun memandang kepadanya. Dua pasang mata bertemu, bertaut sebentar dan Kian Lee melihat, dengan jelas betapa gadis itu merasa amat berat untuk berpisah, agaknya tidak senang untuk ikut bersama pembesar itu ke istana gubernur. Mengapa? Dia merasa heran sendiri. Betapapun juga, dia merasa amat suka dan kagum kepada gadis ini, dan tentu saja rasa suka ini membuat dia pun merasa tidak senang untuk saling berpisah. Akan tetapi, tidak mungkin mereka akan terus berkumpul. Tak mungkin! Dia tidak tahu bahwa memang Cui Lan sebetulnya ingin terus bersama dengan dia untuk mencari Siluman Kecil.

“Benar, dan pinni pun harus kembali,” kata Liang Wi Nikouw. “Suthai....“ Cui Lan berkata akan tetapi ditahannya.

Nikouw yang sudah tua dan bijaksana ini dapat menangkap apa yang terkandung dalam hati gadis itu, maka dengan tenang dia berkata, “Engkau ingin agar pinni menyampaikan kepada dia bahwa engkau ikut bersama Hok-taijin ke Ho-pei, Nona?”

Kedua pipi gadis itu menjadi merah, matanya menjadi basah. Dia mengangguk dan menggumam, “Terima kasih, Suthai.... “

Kian Lee dan Liang Wi Nikouw lalu berpamit dan segera mereka berpisah dan meninggalkan tempat itu, dlikuti pandang mata Hok-tai dan Cui Lan.

“Suma-taihiap!” Tiba-tiba kakek itu berseru memanggil. Kian Lee cepat membalik dan menghampiri kakek itu yang sudah bangkit.

“Ada pesan apa yang hendak disampaikan oleh Taijin?”

Hok-taijin melangkah maju dan memegang tangan pemuda itu. “Suma-taihiap, betapa besar aku hutang budi kepadamu! Betapa inginku untuk membalas segala kebaikanmu itu. Sudikah engkau datang ke rumah kami dan menjadi tamuku yang terhormat agar kami dapat

menyatakan terima kasih kami kepadamu?”

Kian Lee tersenyum. Dia tahu bahwa pembesar ini, adalah seorang tua yang baik budi. “Baiklah, Taijin. Kelak, kalau sudah tidak terlalu banyak urusan yang harus kuselesaikan, saya pasti akan berkunjung kepada Taijin.”

Mereka pun berpisah dan Hok-taijin lalu dikawal oleh para perajuritnya, bersama Cui Lan pergi ke rumah penginapan untuk bermalam di situ semalam sambil membuat segala persiapan. Pembesar yang bijaksana ini melihat bahwa jumlah perajurit pengawal itu hanya dua puluh orang, maka dia mengambil keputusan untuk tetap menyamar sebagai seorang petani.

Pada keesokan harinya, Hok-taijin dan pengawalnya melanjutkan perjalanan. Rombongan ini bergerak perlahan dan belum lama mereka meninggalkan kota, mereka mendengar derap kaki banyak kuda lari dari arah belakang.

Perwira pengawal memberi aba-aba agar pasukannya berhenti dan menepi, membiarkan belasan orang berkuda itu lewat. Cui Lan melihat bahwa belasan orang yang berpakaian sebagai pendekar itu tergesa-gesa lewat sehingga kuda mereka menimbulkan debu mengebul tinggi.

Cui Lan memandang kagum. Sudah banyak ia bertemu orang-orang gagah, pendekar-pendekar budiman. Sudah banyak ia menerima pertolongan para pendekar-pendekar, terutama sekali dari Kian Lee yang dianggapnya seorang pemuda yang amat baiknya, paling baik di dunia ini sesudah Siluman Kecil tentunya! Dan karena dia merasa betapa setiap langkah kuda yang ditungganginya itu makin menjauhkan dia dari dusun di mana Siluman Kecil pernah muncul, hatinya merasa sedih.

Tak lama kemudian, kembali terdengar derap kaki kuda dari belakang. Ketika mereka menoleh, kelihatan tiga ekor kuda membalap dari belakang. Perwira itu menyerukan aba-aba agar semua kuda berhenti karena jalan itu sempit, agar tiga orang yang datang

membalapkan kuda itu dapat lewat lebih dulu. Mereka berhenti dan memandang tiga orang penunggang kuda yang bertubuh tegap itu. Kuda terdepan ditunggangi oleh seorang laki-laki tinggi besar yang memboncengkan seorang anak laki-laki di depannya.

“Heiiiii.... Enci Lan....!!” Tiba-tiba anak itu berseru. Tiga orang penunggang kuda itu menoleh dan mereka pun melihat Cui Lan, lalu mereka menahan kuda mereka.

“Ah, kiranya engkau, Hong Bu....!” Cui Lan berseru girang sekali dan cepat dia turun dari kudanya. Tiga orang laki-laki itu bukan lain adalah Sim Hoat, Sim Tek, dan Sim Kun tiga orang pemburu di tengah hutan yang pernah menolong Cui Lan, dan anak itu adalah Sim Hong Bu, putera dari Sim Hoat.

“Sam-wi Twako, kalian baik-baik saja?” Cui Lan menegur dan tiga orang itu menjura kepada Cui Lan, juga kepada Hok-taijin yang mereka tahu adalah seorang sahabat dari nona ini. Mereka menghormati Cui Lan yang mereka anggap sebagai sahabat baik dari Siluman Kecil. “Terima kasih, Nona,” jawab Sim Kun, saudara termuda yang paling ramah dan pandai bicara dibandingkan dengan dua orang kakaknya yang kasar dan kaku.

“Eh, kalian hendak ke manakah? Kelihatan tergesa-gesa amat. Dan siapa pula mereka yang tadi melewati kami? Ada belasan orang berkuda yang juga kelihatan tergesa-gesa melewati kami menuju ke depan,” Cui Lan bertanya.

Mendengar ini, Sim Hoat tertawa girang. “Ha-ha, kiranya saudara-saudara kita pun sudah berangkat!” katanya kepada dua orang adiknya yang juga kelihatan gembira.

“Sebetulnya ada urusan apakah?” Cui Lan bertanya lagi, penuh perhatian tentu saja karena orang-orang ini termasuk sahabat-sahabat dari Siluman Kecil dan dia justeru mengharapkan

berita dari Siluman Kecil! Kini Hok-taijin juga sudah turun dari kudanya dan ikut

mendengarkan, sedangkan para perajurit tetap menanti di atas kuda sambil berjaga-jaga karena mereka itu betapapun juga merasa curiga terhadap tiga orang yang kelihatannya kasar-kasar seperti gerombolan perampok itu. Heran sekali mereka melihat gubernur mereka dan gadis yang cantik itu dan yang diperkenalkan oleh sang gubernur sebagai anak

angkatnya kelihatan begitu bebas bergaul dengan segala macam orang kasar seperti tiga orang penunggang kuda itu.

“Kami hendak membantu penolong kami, Pendekar Siluman Kecil.”

“Ehhhhh....?” Cui Lan berseri wajahnya dan dia maju selangkah. “Apa yang terjadi?” tanyanya penuh gairah.

“Kami hanya mengetahui urusan itu sebagai kabar angin saja, akan tetapi bagaimanapun juga, kami ingin membantu beliau,” kata Sim Kun. “Entah benar entah tidak kabar angin itu, kami pun tidak tahu.”

Dokumen terkait