• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tidak Cukup Freeport, Sawit Masuk Wilayah Suku Kamoro

disampaikan bahwa tidak ada penanaman baru yang dilakukan pada tahun 2012, karena aktivitas penebangan dan pembukaan hutan telah ditangguhkan. Mempertimbangkan bahwa skala ekonomi tidak dapat diperoleh dalam kondisi ini, dan mempertimbangkan bahwa pengkajian ulang atas penebangan hutan tidak bisa ditentukan dalam waktu dekat, maka pihak manajemen memutuskan untuk membubarkan tim kerja yang mengurus perkebunan di lokasi dan membatalkan aset biologis yang bernilai kurang lebih HK$

78

9.579.000.”

Meski demikian, Merdeka Group berharap dapat kembali melanjutkan operasinya jika situasi berangsur menjadi lebih ramah. Pada tahun 2013, perusahan mencatat bahwa pihaknya telah “menjual sejumlah alat berat dan perangkat kerja yang terbengkalai demi mempertahankan sumber finansial perusahaan sebelum proyek

79

kehutanan ini dapat diteruskan lagi”. Perusahaan ini tetap bertahan di wilayah Mimika, dengan kontrak dagang untuk pembelian 0,8 juta ton tailings (limbah tambang) dari tambang Freeport. Dalam sebuah laporan pada bulan Agustus 2014, Merdeka Group menjelaskan bahwa walaupun staf perusahaan sudah tidak ada di kota Timika akibat konflik antar-suku di sana, masih ada penduduk lokal yang menjadi konsultan mereka dan akan memberi nasihat tentang proses

80

perizinan. Sepertinya mereka masih berharap perkebunan ini akan jadi.

Tahun 2012, perusahaan PT Pusaka Agro Lestari (PAL) mulai membabat hutan di arah barat dekat Kota Timika. PT. PAL memiliki izin lokasi seluas 38.000 hektar, rencananya lahan seluas 30.817

78 Merdeka Annual Report 2012 http://www.merdeka.com.hk/wp-content/upload/1364443987.pdf 79 Merdeka 2013 interim Report http://www.merdeka.com.hk/wp-content/upload/1376474707.pdf

80 http://www.merdeka.com.hk/wp-content/uploads/2013/12/GLN20140814197-Interim-Report.pdf 81 http://www.rspo.org/file/acop2013/submissions/NOBLE%20PLANTATIONS%20PTE%20LTD.pdf

82 http://bintangpapua.com/index.php/lain-lain/papua/papua-selatan/item/13158-skp-perkebunan-kelapa-sawit-ancam-warga-kamoro

hektar akan ditanami bibit kelapa sawit. PT PAL baru didirikan pada 2004, lalu dibeli oleh Noble Group, sebuah perusahaan perdagangan

81

komoditas asal Hong Kong senilai US$ 30,9 juta pada tahun 2011. Kini kepemilikan perusahaan ini sudah beralih ke tangan perusahaan Cofco dari Cina. Noble Group sendiri sebelumnya sudah pernah membeli perusahaan kelapa sawit lainnya, yaitu PT Henrison Inti Persada di Sorong.

Perusahaan PAL mengklaim bahwa pihaknya telah membayar kompensasi hak ulayat terhadap semua marga pemilik tanah di wilayah ini, meskipun tidak ada informasi lebih terperinci soal isi kesepakatan dan seberapa besar angka yang mereka bayar. Sekretariat Keadilan dan Perdamaian (SKP) dari Keuskupan Timika sempat melontarkan kekhawatirannya akan dampak dari perkebunan kelapa sawit ini bagi masyarakat Suku Kamoro yang tinggal di hilir sungai. Suku Kamoro adalah masyarakat semi-nomaden yang selalu berpindah, kehidupannya sangat bergantung dan senantiasa mengikuti kondisi sungai. Mereka tinggal dan pergi kemanapun menggunakan sampan

82

tradisional mereka dan sagu adalah makanan pokok dari suku ini.

PT PAL juga pernah dilumpuhkan selama beberapa hari oleh para karyawan yang menuntut peningkatan gaji dari 75.000 Rupiah per hari

83

menjadi100.000 Rupiah per hari.

Sepanjang tahun 2014, setelah ribuan hektar hutan sudah dibabat, banyak kritik terhadap operasi PT. PAL mulai muncul, termasuk dari

84

Uskup Timika. Akhirnya Bupati Mimika Eltinus Omaleng memutuskan untuk mencabut izin PT. PAL dengan alasan untuk melindungi masyarakat suku Kamoro yang berdiam dipesisir. Tanggal

16 Desember 2014, Bupati mendatangi lokasi perusahaan bersama Kapolres dan Komandan Kodim untuk membaca surat keputusan

85

penghentian operasional kegiatan perkebunan. Belum jelas kalau pihak perusahaan akan menggugat keputusan bupati ini ke pengadilan. Perusahaan lainnya, PT Tunas Agung Sejahtera (TAS) kini masih berada dalam proses perizinan perkebunan untuk lahan seluas 40.000 hektar. Tanah yang sedang diincar ini terletak nun jauh di sisi barat Mimika, di antara Sungai Aindua dan Sungai Umar, tidak jauh dari perbatasan Kabupaten Mimika-Kaimana. Pada tahun 2013, proses AMDAL mulai dievaluasi dan pada awal 2014, PT TAS mengajukan permohonan pelepasan kawasan hutan kepada Departemen Kehutanan.

PT TAS diduga dimiliki oleh Pusaka Agro Sejahtera Group, sebuah perusahaan yang telah mendapat izin perkebunan di berbagai penjuru Tanah Papua. Meski demikian, perusahaan ini terendus beroperasi secara sembunyi-sembunyi. Tidak ada secuil pun profil soal perusahaan yang terpublikasi secara resmi ataupun informasi terang apapun yang bisa diakses publik. Untuk informasi lebih lanjut tentang PT Pusaka Agro Sejahtera bisa dilihat dalam penjabaran Kabupaten Maybrat yang sudah dituliskan di atas.

Pada Juni 2014 lalu, satu perusahaan bernama PT Prima Sarana Graha juga telah mengajukan permohonan izin untuk pelepasan kawasan hutan seluas 28.774 kepada Departmen Kehutanan. Belum ditemukan informasi lebih lanjut soal kepemilikan perusahaan ini ataupun lokasi persis lahan yang tengah diurus perizinannya ini.

83 http://suluhpapua.com/read/2013/10/24/pt-pal-tanam-ribuan-kelapa-sawit/ 84 http://suarapapua.com/read/2014/25/2068/uskup-timika-perkebunan-kelapa-sawit-di-timika-ancaman-bagi-masyarakat-pesisir 85 http://papua.antaranews.com/berita/448472/bupati-mimika-resmi-hentikan-operasional-perkebunan-sawit-pt-pal84 http://suarapapua.com/read/2014/25/2068/uskup-timika-perkebunan-kelapa-sawit-di-timika-ancaman-bagi-masyarakat-pesisir

P

erusahaan kelapa sawit juga bisa dijumpai di beberapa lokasi paling terpencil di Tanah Papua. Kampung Tokuni di Kabupaten Yahukimo, misalnya, tidak memiliki akses jalan darat yang layak. Jika tidak memakai pesawat, maka satu-satunya cara untuk tiba ke kampung ini adalah dengan menggunakan kapal yang melintasi Sungai Eilanden dari Pantai Asmat. Perjalanan menuju pedalaman ini jelas bukan perjalanan singkat dan sangat melelahkan. Pun dalam kondisi demikian, warga setempat telah melaporkan bahwa pada awal tahun 2014, sebuah perusahaan bernama PT Dewi Graha Indah telah melakukan kegiatan survei terkait perkebunan kelapa sawit di hutan sekitar kampung.

Sejauh ini, belum diketahui apakah perusahaan yang beralamat di kota

Jayapura ini telah memegang izin lokasi untuk beroperasi. 86 http://www.up4b.go.id/index.php/prioritas-p4b/10-sosial-budaya/item/108-suku-korowai-batu-bangun-lapangan-terbang-dengan-kapak-batu “Sungguh saya sedih dan mau menangis, hampir 70 tahun negara ini ada ternyata masih ada yang hidup telanjang,”

Kampung Tokuni adalah tanah suku Koroway dan Kombay, suku-suku di Papua yang terkenal atas adat kebiasaan mereka membangun rumah pohon di kanopi hutan yang teramat tinggi sebagai tempat tinggal. Kala cara hidup orang Korowai kerap diulas dengan penuh minat dalam banyak majalah dan dokumenter tentang mayarakat adat yang “eksotis”, namun bagi kaum birokrat di Indonesia, mereka adalah simbol suku primitif terbelakang yang dianggap perlu diselamatkan dengan pembangunan.

Mantan jenderal TNI Bambang Darmono yang ditunjuk oleh Presiden sebagai kepala Unit Percepatan Pembangunan di Papua dan Papua Barat (UP4B) pernah memberikan contoh yang teramat jelas atas sikap semacam ini. Setelah melakukan kunjungan terhadap suku Korowai, ia berujar, “Sungguh saya sedih dan mau menangis, hampir 70 tahun

86

negara ini ada ternyata masih ada yang hidup telanjang,”

Bagaimana masyarakat nomaden Korowai dan Kombay dapat mempertahankan keberlangsungan hidupnya jika perkebunan kelapa sawit merenggut keberadaan hutan-hutan mereka? Pengalaman menunjukkan, tiap kali kelapa sawit merangsek dan berkembang di Papua, hampir selalu masyarakat adat setempat mengeluhkan kehidupan mereka yang justru kian terpinggirkan dan terabaikan oleh pembangunan perkebunan-perkebunan tersebut. Bagaimana bisa suku yang memiliki ikatan begitu erat dengan hutan, dipaksakan untuk beradaptasi dan membiasakan diri menjadi buruh-buruh perkebunan? Memang sulit dibayangkan bahwa pembangunan agribisnis di wilayah

A S M A T , M A P P I , YA H U K I M O

Jejak Industri Sawit Menjangkau Pedalaman Komunitas Koroway