• Tidak ada hasil yang ditemukan

“Lihat, sedikit tulisan yang sampai kubaca tadi menyebutkan tentang pelajaran

Halaman 54 58 tidak ada

Kakek itu seperti sembuh seketika dan dia pun menyibukkan dirinya di dalam dapur perapian tempat dia membuat pedang itu. Bongkahan batu yang ternyata merupakan logam mulia itu dibakar dan digemblengnya menjadi sebatang pedang yang diberi nama Koai-liong-pokiam. Diberi nama Pedang Naga Siluman karena ternyata “naga” itu ternyata tidak mendatangkan berkah. Semenjak membuat pedang itu, Kakek Cu Hak menderita sakit. Akan tetapi dia memaksa diri menyelesaikan pedang itu, dan kemudian pedang itu selesai dan sempurna, dia pun meninggal dunia setelah meninggalkan pesan tentang rahasia yang terkandung dalam gagang pedang.

“Nah, demikianlah riwayat pedang kami itu.” Cu Han Bu melanjutkan. “Akan tetapi, hanya beberapa bulan setelah pedang itu jadi, pedang itu pun lenyap dari sini. Kami tahu siapa yang mengambilnya, akan etapi itu merupakan rahasia keluarga kami dan tidak dapat kami ceritakan kepada siapapun juga. Karena itu kami tak pernah ribut-ribut dan menganggap

bahwa pedang itu sudah lenyap begitu saja. Samai kemudian setelah kami bertiga saudara menjadi dewasa, kami mendengar bahwa pedang itu tahu-tahu sudah berada di gudang pusaka istana Kaisar! Setelah mengetahui akan pedang kami itu, Toa-so kami lalu turun tangan, datang ke kota raja dan mengambil kembali pedang pusaka kami itu. Akan tetapi, dia bertemu dengan Yeti dan selanjutnya Cu-wi telah mengetahui. Demikianlah riwayat pedang itu, yang berada di tangan kaisar selama puluhan tahun tanpa kami ketahui dan sekarang pedang pusaka itu telah kembali ke dalam lingkungan keluarga kami. Maka harap Cu-wi maklumi dan tidak menjadi penasaran. Tentu saja untuk jerih payah Cu-wi, kami tidak akan tinggal diam dan kami hendak membekali Cu-wi dengan hadiah sekadarnya.”

“Nanti dulu....!” Tiba-tiba Si Ulat Seribu, wanita muda bermuka mengerikan itu berkata dan dia sudah bangkit dari kursinya. Mukanya yang bopeng dan pletat-pletot itu kelihatan merah, tanda bahwa arak tua telah mulai mempengaruhinya. Semua orang memandang kepadanya dan pihak tuan rumah juga memandangnya dengan penuh perhatian.

“Kami berterima kasih kepada keluarga Cu yang telah menerima kami sebagai tamu. Akan tetapi kami, terutama aku sendiri, bukanlah sebangsa pengemis yang datang untuk minta-minta sedekah!” Dia melirik ke arah Sai-cu Kai-ong yang tadi telah merugikannya. Kemudian, melihat betapa kakek ini tidak mempedulikannya, dia melanjutkan. “Akan tetapi kami adalah orang-orang gagah yang terus terang saja tertarik untuk memperebutkan pedang pusaka yang dicuri dari istana kaisar. Kini ternyata pedang itu adalah milik keluarga Cu di sini. Biarpun kami melihat buktinya, namun tentu saja sebagai orang-orang yang biasa memandang kepada kegagahan, kami merasa ragu-ragu apakah pedang pusaka itu patut dimiliki oleh keluarga Cu. Oleh karena itu, ingin sekali aku melihat apakah sudah selayaknya dan sepantasnya keluarga Cu menjadi majikan pedang itu.” Setelah berkata demikian, tanpa nampak dia bergerak, tahu-tahu tubuhnya sudah melayang ke tengah ruangan itu. Memang Si Ulat Seribu ini adalah seorang ahli gin-kang yang luar biasa. Tubuhnya dapat bergerak sedemikian ringannya seolah-olah dia pandai terbang saja!

Bagi para tokoh yang hadir, ucapan itu sudah cukup jelas. Wanita bermuka aneh mengerikan ini jelas menantang pihak tuan rumah itu untuk mengadu ilmu! Memang ada semacam “penyakit” yang hinggap di dalam batin hampir semua tokoh kang-ouw, yaitu mereka ini haus sekali akan ilmu silat dan adu kepandaian. Mereka belum merasa puas kalau belum menguji ilmu orang lain yang terkenal pandai, bahkan untuk kesenangan mengadu ilmu ini mereka tidak akan menyesal andaikata harus kehilangan nyawa dalam pi-bu (adu kepandaian silat) itu!

Sebelum Cu Han Bu menjawab, terdengar suara tertawa merdu dan Tang Cun Ciu, wanita yang cantik dan berpakaian mewah berlagak genit itu, yang disebut toanio oleh pihak tuan rumah, telah bangkit dari duduknya.

“Hi-hi-hik, Si Ulat Seribu boleh berlagak di luar tempat ini, akan tetapi di sini tidak akan laku lagakmu. Akulah yang mencuri pedang dan kalau ada yang tidak terima dan meragukan kemampuan kami, boleh menguji kepandaiannya dengan aku. Toa-cek (Paman Terbesar), biarkan aku menandingi Si Ulat Seribu!” kata-kata terakhir ini ditujukan kepada Cu Han Bu. Wanita ini adalah isteri dari kakak angkat Cu Han Bu, maka dia memanggil Han Bu dengan

sebutan toa-cek, kemudian kepada Seng Bu dia menyebut ji-cek (paman ke dua) dan kepada Kang Bu menyebut sam-cek (paman ke tiga), yaitu sebutan lajim dari seorang kakak ipar untuk menyebut adik-adik suaminya, yang menyebutnya untuk anaknya, sungguhpun Tang Cun Ciu ini tidak mempunyai anak dalam pernikahannya dengan mendiang suaminya, yaitu Cu San Bu, anak angkat dari ayah keluarga Cu itu.

Si Ulat Seribu sudah menghadapi Tang Cun Ciu dan memandang tajam sekali.

Dia tahu bahwa orang yang mampu mencuri pedang dari dalam gedung pusaka istana tanpa diketahui orang, tentu memiliki ilmu kepandaian yang hebat. Akan tetapi anehnya, dia belum pernah mendengar nama wanita ini atau bertemu padanya, padahal hampir semua nama orang-orang kang-ouw yang terkenal telah dikenalnya.

“Orang menamakan aku Si Ulat Seribu, dan aku tidak pernah melakukan pi-bu (adu ilmu silat) dengan orang yang tidak kukenal namanya.” kata Si Ulat Seribu dengan sikapnya yang keren.

Tang Cun Ciu tertawa dan semua orang harus mengakui bahwa di samping gesit, wanita ini memang cantik dan mempunyai daya tarik atau daya pikat yang amat kuat. Apalagi kalau tertawa nampak deretan giginya yang seperti mutiara, biarpun usianya sudah tiga puluh tahun akan tetapi dia nampak masih seorang gadis remaja saja!

“Hi-hi-hik, Ulat Seribu! Sungguh julukan yang menjijikkan. Aku Tang Cun Ciu memang tidak suka memamerkan nama di dunia kang-ouw, akan tetapi orangorang menyebutku dahulu Cui-beng Sian-li. Nah, kalau engkau ada kepandaian, majulah.”

Diam-diam Si Ulat Seribu terkejut. Ternyata dia pernah mendengar nama Cui-beng Sian-li (Dewi Pengejar Arwah)! Akan tetapi sudah lama sekali, sedikitnya sepuluh tahun yang lalu, di perbatasan Sin-kiang muncul nama ini yang amat menggemparkan, lalu nama itu lenyap bersama orangnya. Kiranya orangnya telah berada di Lembah Suling Emas!

“Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu! Bagus, ternyata aku melakukan pi-bu dengan orang yang telah bernama besar dan memiliki kepandaian yang pantas untuk bertanding melawanku. Nah, mari kita mencoba ilmu silat masing-masing! Awas serangan!” Baru saja ucapan itu berhenti, orangnya sudah mencelat ke depan dan mengirim serangan dengan kecepatan yang mengejutkan sekali.

Akan tetapi, hanya terdengar Tang Cun Ciu tertawa merdu dan tubuh wanita cantik ini pun sudah mencelat dan lenyap, tahu-tahu dia sudah berada di tempat tinggi dan kini tubuhnya melayang turun dan melakukan serangan balasan dengan tendangan dahsyat!

lawannya ini pun merupakan seorang ahli gin-kang yang hebat. Dia cepat mengelak dan kini kedua orang wanita yang wajahnya sungguh amat berlawanan itu, yang seorang amat buruk dan yang seorang lagi amat cantik, mulai serang-menyerang dengan gerakan-gerakan yang cepat sekali. Bukan hanya cepat, akan tetapi juga dari setiap serangan mereka itu menyambar hawa pukulan yang kadang-kadang mengeluarkan suara bercuitan saking kuatnya!

Berbeda dengan tadi ketika berkelahi untuk memperebutkan pedang pusaka, Si Ulat Seribu tidak menggunakan ulat-ulatnya. Dia tahu bahwa dia berada di tempat musuh, di tempat berbahaya dan bahwa pertandingan ini hanya merupakan adu ilmu silat belaka, untuk menguji siapa yang lebih pandai. Maka dia hanya mengandalkan ilmu silatnya yang aneh dan gin-kangnya yang tinggi. Ilmu silat dari wanita bermuka buruk ini memang luar biasa sekali. Tubuhnya melejit-lejit ke atas dengan tubuh melengkung-lengkung, seperti loncatan semacam ulat. Dan gerakannya amat gersitnya sehingga beberapa kali Tang Cun Ciu sendiri

sampai terkejut.

Akan tetapi, ternyata bahwa tingkat kepandaian silat Dewi Pengejar Arwah ini masih lebih unggul, dan dasar ilmu silatnya lebih aseli dan lebih tinggi. Bahkan dalam gerakan yang mengandalkan gin-kang yang lihai, ternyata Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu juga lebih tinggi dan matang. Si Ulat Seribu hanya menang aneh saja, namun intinya kalah kuat.

Itulah sebabnya maka setelah lewat lima puluh jurus, Si Ulat Seribu mulai terdesak hebat dan tidak mampu balas menyerang lagi karena dia sibuk harus menghindarkan diri dari serangan yang amat cepat, bertubi-tubi dan teratur baik, kuat dan indah. Dan akhirnya, Cui-beng Sian-li mengeluarkan lengking panjang yang menggetarkan jantung, tubuhnya mencelat ke atas menukik turun dan seperti garuda menyambar ular dia menyerang dari atas. Si Ulat Seribu berusaha menghindar, namun dia kalah cepat dan pundaknya kena didorong oleh Cui-beng Sian-li. Tidak dapat dihindarkan lagi, Si Ulat Seribu terpelanting roboh bergulingan. Lawannya meloncat dan hendak menyusulkan tamparan berikutnya, akan tetapi terdengar bentakan Cu Han Bu, ”Cukup, Toa-so!”

Dokumen terkait