• Tidak ada hasil yang ditemukan

5 ANALISIS PERKEMBANGAN BISNIS HALAL MIHAS

4.2.3. Timur Tengah

Komunitas Muslim internasional dan konsumen di negara-negara Arab dan Teluk sangat identik dengan Islam karena faktor sejarah dan mayoritas agama yang dianut penduduknya. Hal ini berdampak pada konsumen lokal dan internasional yang pada umumnya menyakini bahwa segala bisnis dan produk apapun yang diproduksi atau bererdar di kawasan ini sudah pasti halal.

Kekuatan citra Islam dan halal pada negara-negara Arab dan Teluk sebenarnya dapat menjadi sesuatu kekuatan dalam menjadikannya sebagai produsen produk halal yang unggul. Pencitraan sebagai negara Muslim yang sangat erat selama ini adalah modal utama yang tidak dimiliki negara-negara produsen halal lain. Selain pencitraan Islam yang kuat, kekuatan pasar negara-negara Timur Tengah, terutama anggota Dewan Kerjasama Negara Arab Teluk (GCC) adalah pada penduduknya yang memiliki pendapatan jauh lebih tinggi dari kawasan lainnya di dunia.

Pendapatan yang tinggi berakibat pada pola konsumsi penduduknya yang juga diatas rata-rata kawasan lain. Pemenuhan atas kebutuhan produk halal menjadi tidak terelakkan, namun sayangnya kekuatan pencitraan Islam dan tingginya potensi permintaan pasar atas produk halal tidak dikuti dengan kemampuannya menjadi produsen dan pelaku utama produk halal dunia. Sebanyak 80 persen kebutuhan produk halal negara-negara Arab dan Teluk adalah impor. Lebih irosnisnya, produsen halal khususnya daging halal yang memenuhi pasarnya dikuasi oleh negara-negara non-Muslim.

Negara-negara seperti Brazil dan Australia saat ini menjadi negara pengekspor daging utama ke negara-negara Arab. Uni Emirat Arab mengimpor USD 45.6 juta produk makanan olahan dan daging dari Brazil yang telah disertifikasi oleh Cibal Halal atau the Brazilian Islamic Centre for Halal Food Stuff Association (Brazil Association of Brazilian Beef Exporters, 2009). Negara-negara Arab mengkonsumsi daging senilai USD 43.8 Miliar pada tahun 2009 (The Halal Journal, 2009) yang disuplai sebanyak 54 persen pasarnya oleh Brazil dan sembilan persen oleh Australia (Hashim, 2008).

Salah satu penyebab negara-negara Arab dan Teluk tidak dapat memenuhi sendiri kebutuhan produk halal-nya adalah dikarenakan penduduknya yang relatif lebih sedikit dibandingkan kawasan lain, regulasi standar produk halal Islam yang berlaku di negara-negara Arab yang tidak sejalan dengan regulasi di wilayah lain seperti Eropa, keadaan alam yang mengakibatkan kesulitan pemenuhan bahan baku, ketidakmampuan menyediakan infrastruktur penyembelihan dan pengolahan daging secara masal yang menyebabkan pengembangan produk halal-nya menjadi tidak ekonomis.

Dalam menghadapi kondisi saat ini, pemerintahan negara-negara Arab belum memiliki kebijakan yang jelas atas peluangnya mengembangkan potensi kekuatan citra Islam-nya dan potensi pasarnya sebagai nilai tambah yang besar dalam mengembangkan produk halal atau bahkan hanya sebagai pelaku re-ekspor ke negara lainnya. Kesempatan yang dimiliki negara-negara Arab dan Teluk dalam mengembangkan potensi pasar produk halal global dapat berjalan, dengan syarat jika dapat menyelenggarakan aliasi strategis antara mitra lokal dan internasional untuk mencapai skala ekonomi yang baik. Kemitraan tersebut diperlukan dalam menyelenggarakan proses produksi masal, penyediaan bahan baku, pengetahuan teknis dan dalam meningkatkan kemampuan rantai pasok dan distribusinya secara efisien untuk memenuhi kebutuhan pasar lokalnya.

Beberapa perusahaan Arab Saudi dan UEA yang mulai memasuki pasar Internasioal adalah Al-Radwa Farms, Al-Watania, Nash, Sunbullah, Al-Islami Foods, Al-Babeer, Al-Areesh, Arctic Gold, Royal dan Emirates. Ketergantungan negara-negara Arab pada produk halal impor merupakan kelemahan yang perlu dicermati. Pada masa yang akan datang harga bahan makanan cenderung

mengalami tren yang meningkat, hal ini didorong oleh kenaikan pendapatan per kapita dan perubahan pola konsumsi. Perubahan di atas lebih banyak dipengaruhi oleh budaya barat dan tingkat ketergantungan yang semakin besar terhadap negara produsen lain dan meningkatkan resiko kemanan pangan (Hashim, 2008).

4.2.4. Amerika

Populasi Muslim di Amerika Utara meningkat jumlahnya mencapai 9,7 juta jiwa pada tahun 2010. Mayoritas Muslim di Amerika Serikat adalah imigran dan keturunannya yang mendiami wilayah-wilayah yang juga merupakan sepuluh pasar makanan halal terbesar dengan nilai mencapai USD 13.1 Miliar pada tahun 2010, yakni (1) New York City, New Jersey, dan wilayah metropolitan Long Island; (2) Los Angeles, (3) Chicago; (4) Detroit; (5) Houston; (6) Dallas / Fort Worth; (7) South Florida; (8) San Francisco; (9) Atlanta, dan (10) Washington, DC (Kassim, 2010).

Sebanyak 60 persen Muslim di Amerika Serikat berusia dibawah 40 tahun dengan pendapatan perkapitanya sebanyak 66 persen mencapai USD 50,000, dan 26 persennya mencapai lebih dari USD $100,000 dengan potensi pasarnya mencapai USD 30-40 juta per tahun (AAHC, 2010). Konsumen Muslim Amerika Serikat memiliki gaya hidup sibuk, yang pada umumnya tidak lagi memungkinkan untuk menyiapkan makanan di rumah, sehingga ketersediaan makanan siap saji halal semakin penting dan potensi bisnis yang besar.

Kondisi di atas ditanggapi oleh beberapa perusahaan yang meluncurkan produk halal untuk memenuhi tuntutan konsumen seperti pizza, daging beku dan daging unggas. Sebagian besar perusahaan membuat produk makanan olahan halal pada awalnya hanya untuk orientasi ekspor, namun lambat laun berkembang untuk memenuhi pangsa pasar domestik. Saat ini pasar produk halal belum seluruhnya tercukupi, karena saat ini pembelanjaan produk halal di Amerika Utara totalnya baru mencapai USD 16.2 juta pada tahun 2010 (World Halal Forum, 2010).

Produk halal di Amerika Serikat belum begitu lengkap tersedia di pasaran, sehingga alternatif yang digunakan konsumen adalah produk kosher, walaupun kosher tidak sama dengan halal. Sebanyak 16 persen pasar kosher di Amerika

Serikat dibentuk oleh konsumen Muslim, dan berdasarkan riset oleh Midamar Corp pada tahun 2010, menerangkan bahwa 92 persen konsumen Muslim Amerika akan membeli produk halal jika tersedia dipasaran dan sejumlah penyedia produk halal sudah mulai berkembang ke tempat-tempat publik seperti sekolah swasta, penjara, pasar, industri penerbangan (World halal Forum, 2010). Produk halal di Amerika Serikat, tingkat popularitasnya masih di bawah produk Kosher yang dikonsumsi umat Yahudi. Produk Kosher jauh lebih dipercaya oleh Muslim di Amerika Serikat dengan perbandingan 86 : 1 (Dahlan, 2009).

4.3. ASEAN Halal-Hub

Dalam lingkup ASEAN, halal menjadi topik yang berkembang sejak tahun 1998 ketika untuk pertama kalinya konsep halal standar ASEAN mulai dibicarakan dan didiskusikan di Hanoi, Vietnam. Dalam perkembangannya hingga kini masih diperdebatkan mengingat terdapatnya perbedaan-perbedaan prinsipil yang sulit dipecahkan antarnegara anggota. Untuk menyikapi permasalahan tersebut maka dibentuk Kelompok Kerja Produk Pangan halal atau ASEAN Working Group on Halal yang memiliki tugas untuk mempromosikan kerjasama, pertukaran informasi, dan harmonisasi regulasi sektor makanan halal dan kebijakan di negara-negara ASEAN, serta melakukan tinjauan atas pengolahan dan pemasaran makanan halal di kawasan ASEAN dalam wadah ASEAN Food Safety Network (AFSN) dan pada tahun 2009, sekretariat ASEAN mengeluarkan

ASEAN General Guidelines On The Preparation And Handling Of Halal Food

(Sekretariat ASEAN, 2009)

Selama penelitian berlangsung, didapatkan bahwa berbagai upaya tengah diusahakan oleh beberapa Negara ASEAN untuk menggunakan logo halal bersama ASEAN. Logo halal bersama dimaksudkan untuk memberikan pedoman pelaksanaan bagi industri makanan halal, dan sebagai syarat bagi sertifikasi produk yang akan diperdagangkan dalam pasar ASEAN. Walaupun ide yang digulirkan adalah ide yang baik, namun pada pelaksanaannya sulit dilakukan mengingat adanya perbedaan kepentingan di setiap negara. Perbedaan tujuan pengembangan industri dan perdagangan di setiap negara yang berbeda-beda. Di negara-negara ASEAN misalnya, Malaysia, Singapura dan Thailand memiliki

kepentingan untuk melakukan kepentingan ekspansi pasar karena pasar lokalnya tidak cukup besar untuk diekplorasi. Di lain pihak, di Filipina, meskipun Muslim merupakan penduduk minoritas, namun pemerintah setempat mendukung Office of

Muslim Affair (OMA) untuk memberi sertifikasi kepada produk-produk ekspor asal

negara-negara tersebut, s

Diantara negara-negara ASEAN berpenduduk muslim seperti, Malaysia dan Brunei Darussalam adalah negara yang paling memiliki komitmen dalam memajukan industri halal-nya. Malaysia hadir dengan berbagai kebijakan strategisnya yang sangat maju, sedangkan Brunei Darussalam berupaya menggabungkan identitas negaranya sebagai negara Islam dengan Australia sebagai produsen daging utama dunia untuk menjadi pemimpin dalam industri berbasis daging halal yang aman dikonsumsi. Brunei Darussalam juga menekuni upaya pencitraan yang instensif sebagai produsen makanan berkualitas dengan membuka Brunei Halal Park serta mengembangkan Brunei Halal Brand secara internasional sebagai identitasnya.

edangkan Indonesia, orientasi pengembangan produk halal adalah hanya untuk melindungi konsumen muslim di dalam negeri dan hal tersebut pun adalah visi dari lembaga auditor halal LPPOM-MUI.

Negara-negara ASEAN berpenduduk mayoritas non-Muslim pun, seperti

Thailand, Singapura dan Filipina juga telah teridentifikasi upayanya dalam mengambil langkah-langkah untuk memasuki pasar halal global. Sebagai contoh, Singapura mengambil sejumlah langkah agar mampu menjadi halal hub

internasional dengan melakukan berbagai kampanye iklan di Timur Tengah. Di lain pihak, Thailand dengan dukungan penuh pemerintah dengan diorganisir oleh

The Central Islamic Committee of Thailand (CICOT), bekerjasaman dengan Kementerian Agama dan Kementerian Dalam Negeri telah berhasil mengembangkan Thailand sebagai pusat kuliner dan produk halal yang juga unggul dalam pengembangan keilmuan serta pengujian indsutri halal-nya dengan konsep Hal-Q yang mulai diterima di pasar Internasional (Songsumud, 2009).

Dari penelaahan di atas, negara-negara anggota ASEAN tersebut tengah mengedepankan produk halalnya sebagai produk yang dipandang penting bagi agroindustrinya. Pada Tabel 11 berikut diperlihatkan intisari yang disintesakan oleh peneliti untuk menggambarkan perkembangan agroindustri halal yang berkembang di tiga negara ASEAN yang paling maju agroindustri halalnya.

Tabel 11. Komparasi Perkembangan Kebijakan Pendorong Bisnis Halal Di Tiga Negara ASEAN (dikompilasikan dari berbagai sumber)

Kebijakan Malaysia Thailand Brunei Darussalam

•Menjadi pusat halal internasional tahun 2010

• Meningkatkan pangsa pasar halal dunia dari 1% menjadi 5% pada 2010 • Menjadi pusat produksi dan distribusi

halal Kitchen of the World • Pusat produk-produk halal premium

• Produk halal meningkat 24.5% . dari RM 26.8 juta menjadi RM 33.4 juta di

tahun 2006.

• Produksi 200 ton produk halal per hari,

60%nya diekspor (Johnson dan Huzayen, 2007).

• Bekerja sama dengan Australia • Kuat dalam advokasi dan standar

hidup Muslim, • Australia dikenal produsen yang

bersih dan bermutu tinggi • Mendirikan Pusat Komersial Halal • Mengembangkan Brunei Halal Brand

• Mengembangkan 263 hektar lahan untuk Halal Park

• Bantuan keuangan pada wirausaha produk halal

• Identifikasi zona halal • Pengawasan Halal sangat ketat.

• Insentif perencanaan dan pengembangan bisnis. • Insentif Perbaikan produk dan proses

produksi.

• Penerapan Label akreditasi halal Brunei

• Insentif Perbaikan produktivitas dan sertifikasi mutu.

• Pengawasan produk halal yang sangat ketat.

• Kewenangan Sertifikasi • CICOT (The Central Islamic Committee of Thailand)

• Pemerintah pusat memberikan sertifikat halal untuk konsumsi lokal.

• Kementrian Perdagangan dan Kementrian Perindustrian • Lima tahun kelonggaran pajak investasi

100 % bagi produsen halal • Standar kesehatan.yang tinggi

• Mempromosikan Merek, produk dan jasa halal di pasar global.

• Meningkatkan jumlah industri yang tersertifikasi Halal • Mempromosikan Merek, produk

dan jasa halal di pasar global. • Menerapkan sistem mutu dan

sertifikasi Hal-Q • MS 1480, standar keamanan pangan

HACCP

• Pusat Ilmu dan Penelitian Makanan Halal • MS 1514, mengenai prinsip umum

kebersihan pangan. Hukum Syariah sebagai panduan dasar

dalam mengembangkan standar halalnya. • Pusat training bagi calon auditor halal

Lembaga yang Berwenang Dalam Pengembangan Produk Halal Kebijakan yang telah diambil Kondisi Umum Visi • Pengemba-ngan teknologi informasi dan logistik Halal Super

Highway

• Mengembang-kan teknologi

finger printing atau pengujian DNA babi.

• Mengembang-kan pengujian asam lemak untuk mengidentifikasi

produk tidak halal • Pendirian outlet ritel halal Halmart

pertama dunia. • Meningkatkan aspek pendukung perdagangan, logistik, perbankan, dan

sertifikasi halal.

• Ekspor langsung pada agen Arab Saudi • Mempomosikan pangan halal • Mendirikan pusat penelitian dan

pengembangan produk halal. • Mendirikan Halal Park

• Mengembangan produk halal sebagai jaminan bagi aktifitas ekonominya

setelah minyak dan gas bumi • Berusaha menjadi pusat dalam

ilmu dan pengujian kehalalan produk.

Kebijakan yang telah diambil

• Logo halal Brunei diharapkan dapat menjadi sebuah logo produk halal yang dapat diterima di pasar Asia Tenggara

dan Internasional • Mengembang-kan diri untuk

menjadi pusat logistik halal.

• Jasa pendukung untuk mengembangkan berbagai sektor yang

berkaitan dengan industri halal, • Pusat Kesehatan Halal dan Pelabuhan

Halal (http://ww.brudirect.com).

• Pejabat Setiausaha (Mengeluarkan ijin produk halal impor) Bahagian Halal Haram Jabatan Hal Ehwal Syariah, Kem. Hal Ehwal Ugama, Negara Brunei

Darussalam Halal Industry Development

Corporation (HIDC) dan Department of Islamic Development Malaysia (JAKIM),

di seluruh wilayah Federal Malaysia

The Institute for Halal Food Standard of Thailand

• Label halal Malaysia terdaftar di Trade Mark Act 1976 dan Trade Mark

Regulations 1997

• Standar halal Malaysia, MS 1500:2004

Halal Food – Production, Preparation, Handling and Storage – General Guidelines mengadopsi konsep pangan

halal.

• Produk halal dengan mutu tinggi dan memenuhi Elemen kunci Brunei Halal

Brand adalah kerjasama antara badan pemerintah dan MIPR, yang menjamin

sertifikat halal yang ketat. • Kerjasama internasional melibatkan Australia dan Cina. Lisensi pemasaran

ayam potong ke Timur Tengah,

• Rencana kerja sama Malaysia, Filipina, dan Indonesia dalam membangun perusahaan bersama,

4.3.1. Thailand

Di Kerajaan Thailand mayoritas penduduknya adalah penganut Budha, sedangkan Islam adalah minoritas dengan enam juta penduduk atau sekitar sepuluh persen dari total penduduk dan hanya terdapat di bagian selatan Thailand. Meskipun penduduk Muslim adalah minoritas, perkembangan produk halal Thailand menjadi ukuran keberhasilan internasional dalam mengembangkan produk halalnya. Orientasi ekspor dikembangkan hanya untuk pasar luar negerinya saja, sedangkan untuk pasar dalam negerinya pengembangan produk halal-nya tidak ditekankan sebagaimana dilakukan pada produk ekspornya. Namun demikian pemerintah Thailand memiliki komitmen yang kuat dalam upaya pengembangan industri halalnya dengan memiliki visi yang strategis yakni untuk menjadi pusat dalam ilmu dan pengujian status produk halal (Saifah, 2009). 4.3.1.1. Komitmen Pemerintah Thailand

Dalam upayanya mewujudkan visi menjadi pusat dalam ilmu dan pengujian status produk halal, pemerintah melibatkan The Central Islamic Committee of Thailand (CICOT), The Institute for Halal Food Standard of Thailand didukung oleh berbagai Kementerian dan berbagai lembaga non pemerintah untuk membentuk jejaring kerjasama yang kuat. Pemerintah secara konsisten fokus dalam mendukung lembaga-lembaga yang terlibat dengan menyiapkan strategi untuk mengembangkan pusat kegiatan pangan halal (halal hub) di lima provinsi di wilayah selatan, yakni Pattani, Yala, Narathiwat, Satun dan Songkhla untuk menjadi basis produksi bagi produk halal (Songsumud, 2009).

Perkembangan industri halal Thailand dimulai pada tahun 1998 dimana Thailand secara resmi mengadopsi standar halal Codex sebagai standar halal Thailand. Kemudian pada tahun 1999 dikembangkan secara bersama dengan negara-negara ASEAN untuk mengembangkan standar halal masing-masing di setiap negara. Pada tahun 2001 The Central Islamic Commitee of Thailand

(CICOT) menerbitkan standar sertifikasi halal yang berlaku menyeluruh di semua wilayah Thailand. Perkembangan yang cepat tersebut direspon oleh pemerintah Thailand dengan membuat strategi untuk mendirikan pusat makanan halal di

wilayah selatan Thailand pada tahun 2002 serta menyediakan dana bagi pembiayaan pengembangan sistem Halal-HACCP. Pemerintah Thailand juga mensponsori berdirinya institut standar halal Thailand dibawah supervisi CICOT. Perhatian kerajaan dalam pengembangan industri halal di Thailand juga ditunjukkan dengan alokasi dana kerajaan bagi pendirian pusat informasi ilmiah dan laboratorium pengembangan makanan halal atau Halal-CELSIC di Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Chulalongkorn Bangkok (CICOT, 2003).

Keberhasilan Thailand dalam mengembangkan industri halal-nya juga adalah karena keyakinan pemerintahannya mendorong para ilmuwan mengembangkan produk halal berbasiskan ilmu dan teknologi dan juga bagaimana memberikan jaminan manajerial yang baik bagi pengembangannya.

Dalam proses sertifikasi, pemerintah tidak berambisi mengambil alih proses sertifikasi, namun kebijakan yang diambil adalah dengan memberikan insentif berupa dukungan finansial dalam mengembangakan sistem Halal-HACCP. Selain itu dukungan infrastruktur dan advokasi dilakukan pemerintah Thailand kepada agroindustri halalnya agar dapat memasuki pasar-pasar halal internasional.

Dari sudut pengembangan keilmuan untuk mendukung industri halal-nya, pemerintah mendanai The Institute for Halal Food Standard of Thailand dibawah supervisi CICOT untuk pengembangan Pusat Laboratorium dan Informasi Sains bagi Pengembangan Produk Pangan Halal (CELSIC) di Universitas Chulalongkorn, Bangkok

Selain hal di atas, pemerintah Thailand memandang besarnya potensi pasar halal perlu dikembangkan dengan mengembangkan sistem yang terintegrasi dengan sistem manajemen mutunya. Dengan dukungan penuh Kementerian peindustrian dan perdagangannya, Thailand kemudian mengembangkan platform

yang mengintegrasikan halal sebagai suatu sistem mutu tertinggi dalam pengolahan pangan yang diberi nama Hal-Q.

(Saifah, 2009).

Hal-Q dikembangkan sebagai platform pengembangan dan pelacakan produk halal serta menyiapkan diri sebagai menjadi pusat logistik halal untuk kawasan Asia Tenggara. Dari sisi teknologi, Thailand juga mengembangkan teknologi pendukung industri halalnya seperti pengembangan teknologi informasi

dan logistik dalam bentuk Thailand Halal Super Highway, pengembangan teknologi finger printing atau pengujian DNA babi, serta pengembangan pengujian asam lemak untuk mengidentifikasi produk haram (Saifah, 2009).

4.3.1.2. Bisnis Halal Thailand

Populasi umat Muslim yang mencapai lebih dari seperempat populasi dunia, yakni sekitar 1,8 Miliar jiwa, merupakan peluang ekspor yang menguntungkan bagi Thailand. Dengan peluang tersebut, pemerintah Thailand berkomitmen menyediakan dana sebesar 264 juta Baht pada tahun 2010 yang dikucurkan melalui program stimulus ekonomi Thai Khem Khaeng (Thailand yang kuat), didalamnya terdapat alokasi pengembangan sembilan proyek makanan halal sebagai bagian dari rencana pembangunan ekonomi nasional. Di bawah rencana lima tahun mulai tahun 2009 menghabiskan hingga 5 Miliar Baht ke pasar halal untuk konsumen Muslim internasional (Songsumud, 2009).

Thailand memiliki kemampuan memproduksi makanan halal yang sanggup bersaing di pasar Internasional. Namun untuk produk ternak seperti ayam dan daging sapi, Thailand masih kurang kuat sehingga dalam perencanaan kedepan komoditas daging di atas menjadi sasaran pengembangan berikutnya. Rencana peningkatkan ekspor makanan halal Thailand ditargetkan minimal mencapai sepuluh persen per tahun antara 2010-2014, yang mencakup produk sayuran, buah-buahan, perikanan, produk peternakan, jasa, pariwisata dan kesehatan. Strategi tersebut juga mencakup rencana untuk mendorong pengusaha hotel dan restoran operator untuk meningkatkan pelayanannya untuk memenuhi kebutuhan beragam pengunjung Muslim. Nilai ekspor produk halal mengalami kenaikan menjadi 5,19 milyar Baht pada tahun 2008, naik sebesar 53,3 persen dari 3,38 miliyar Baht pada tahun 2007. Pada tahun 2009, ekspor Thailand terus meningkat menjadi 8,36 Milyar Baht(Songsumud,2009).

Dalam menata produk halalnya para pemangku kepentingan di Thailand berkoordinasi membentuk jejaring yang kuat dengan melibatkan, antara lain Kementerian Luar Negeri, Kementerian Pariwisata dan Olahraga, Kementerian Perindustrian, Kementerian Agama, Kementerian Peternakan, Dewan Pengembangan Ekonomi Sosial Nasional, Biro Komoditas Pertanian dan

Standarisasi Pangan Nasional, Kantor Promosi Usaha Kecil dan Menengah, Biro Sertifikasi dan Standarisasi Peternakan, Otoritas Pariwisata Thailand, Kantor Pengembangan Pariwisata, Pusat Ilmu Produk Halal Universitas Chulalongkorn, Pusat Pengembangan Bisnis dan Promosi Pariwisata Halal Thailand, Institut Pangan Nasional, Yayasan Pusat Islam Thailand, Komite Islam Pusat, Institut Pengembangan UKM, Bank Islam Thailand, Pusat Promosi Muslim Thailand, Well Being Promotion Fot Muslim Thai Program, dan World Assembly of Muslim Youth (Saifah, 2009).

Industri halal di Thailand mulai dirasakan urgensinya ketika ASIAN GAMES di Chiangmai Thailand pada tahun 1995 dilaksanakan. Banyak negara-negara peserta yang mayoritas Muslim meminta jaminan pemerintah Thailand untuk menjamin perserta ajang olah raga tersebut untuk mendapatkan makanan yang terjamin halal. Pemerintah menanggapi dengan serius dan sekaligus melihat potensi bisnis yang sangat besar untuk dikembangkan di kemudian hari.

Berbeda dengan negara-negara ASEAN lainnya, motivasi Thailand mengembangkan industri halal-nya adalah murni karena motivasi bisnis. Secara internasional perkembangan pasar halal terjadi cukup signifikan dan Pemerintah Thailand menyadari untuk memanfaatkan potensi dengan melakukan pengembangan produk agroindustrinya yang berorientasi ekspor dan mengedepankan halal sebagai bagian strategi bisnisnya. Keyakinan pemerintah Thailand akan besarnya potensi halal dilatarbelakangi antara lain oleh hal-hal berikut (Saifah, 2009) :

a) Eksportir produk pangan halal terbesar ternyata berasal dari negara-negara non-Muslim seperti Uni Eropa, Amerika Serikat, Brazil, India, Rusia dan Kanada.

b) Pelaku usaha, baik produsen maupun pedagang yang menekuni dan menguasai pasar di negara-negara Muslim pada umumnya adalah non Muslim.

c) Kekuatan pembelian dari konsumen Muslim membuat Amerika Serikat dan Uni Eropa menjadi pasar utama produk halal dunia sebesar USD 17.5 Miliar dan USD 26.3 Miliar.

d) Produk-produk Kosher menjadi produk-produk alternatif dengan pasar yang terbesar diluar produk halal yang dipercaya diantara umat Muslim di Amerika Utara.

Pasar ekpor produk halal Thaiand juga terbilang unik, jika Malaysia membidik pasar Asia Tenggara pada awalnya, maka Thailand mengawalinya dengan berupaya untuk masuk ke dalam pasar Eropa. Pasar Uni Eropa terbuka luas bagi pasar produk-produk makanan dan minuman Asia, dan memiliki tren yang meningkat. Konsumen Asia di Eropa jika ditelaah dari profilnya, terlihat bahwa konsumen Muslim memiliki jumlah yang signifikan, sehingga Thailand melihat hal ini peluang bisnis untuk memenuhi pasar makanan Asia, sekaligus memenuhi kriteria halal.

Dalam perkembangannya produk halal juga mulai diakui oleh warga Eropa dikarenakan memiliki keunggulan kualitas dibandingkan dengan produk nonhalal. Terlebih ketika merebaknya berbagai kasus produk pangan yang aman seperti

Dokumen terkait