• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TUJUAN PUSTAKA

A. Tindak Pidana Pencabulan

Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dikenal dengan istilah Strafbaarfeit dan dalam kepustakaan tentang hukum pidana sering mempergunakan istilah delik, sedangkan pembuat undang-undang merumuskan suatu undang-undang mempergunakan istilah peristiwa pidana atau perbuatan pidana atau tindak pidana.

Sedangkan tindak pidana menurut Simons (Kansil, 2001: 106) adalah perbuatan manusia yang bertentangan dengan hukum. Perbuatan mana dilakukan oleh seseorang yang di pertanggung jawabkan, dapat disyaratkan kepada si pembuatnya atau pelaku.

Tindak pidana merupakan suatu istilah yang mengandung suatu pengertian dasar dalam ilmu hukum, sebagai istilah yang dibentuk dengan kesadaran dalam memberikan ciri tertentu pada peristiwa hukum pidana. Tindak pidana mempunyai pengertian yang abstrak dari peristiwa-peristiwa yang konkrit dalam lapangan hukum pidana, sehingga tindak pidana haruslah diberikan arti yang bersifat ilmiah dan ditentukan dengan jelas untuk dapat memisahkan dengan istilah yang dipakai sehari-hari dalam kehidupan masyarakat (Amir Ilyas,2012 : 18).

Para pakar asing hukum pidana menggunakan istilah tindak pidana atau perbuatan pidana atau peristiwa pidana, dengan istilah :

1. Strafbaar feit adalah peristiwa pidana;

2. Strafbare handlung diterjemahkan dengan perbuatan pidana, yang digunakan oleh para sarjana hukum pidana jerman; dan

3. Criminal act diterjemahkan dalam istilah Perbuatan Kriminal.

Delik yang dalam bahasa Belanda disebut Strafbaarfeit, terdiri atas tiga kata, yaitu straf, baar dan feit. Yang masing-masing memiliki arti :

Straf diartikan sebagai pidana dan hukum

Baar diartikan sebagai dapat dan boleh

Feit diartikan sebagai tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan.

Jadi istilah Strafbaarfeit adalah peristiwa yang dapat dipidana atau perbuatan yang dapat dipidana. Sedangkan delik dalam bahasa asing disebut delict yang artinya suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman (pidana).

Menurut Andi Hamzah (Amir Ilyas,2012:19) Delik adalah suatu perbuatan atau tindakan yang terlarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang (pidana).

Moeljatno (Amir Ilyas,2012: 19) mengartikan Strafbaarfeit itu sebenarnya adalah “suatu kelakuan manusia yang diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan.”

Sementara Jonkers (Amir Ilyas,2012: 20) merumuskan bahwa

Strafbaarfeit sebagai peristiwa pidana yang diartikannya sebagai “suatu

perbuatan yang melawan hukum (wederrechttelijk) yang berhubungan dengan kesengajaan atau kesalahan yang dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan”.

Simons (Amir Ilyas,2012: 20) merumuskan Strafbaarfeit adalah suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.

S.R. Sianturi memberikan rumusan, tindak pidana adalah sebagai suatu tindakan pada, tempat, waktu, dan keadaan tertentu yang dilarang (atau diharuskan) dan diancam dengan pidana oleh undang-undang bersifat

melawan hukum, serta dengan kesalahan di lakukan oleh seseorang (yang bertanggungjawab) (Amir Ilyas,2012: 22).

b. Unsur-unsur Tindak Pidana

Unsur-unsur tindak pidana dapat dibedahkan setidak-tidaknya dari dua sudut pandang, yaitu : (1) dari sudut teoritis; dan (2) dari sudut undang-undang. Teoritis artinya berdasarkan pendapat para ahli hukum, yang tercermin pada bunyi rumusannya. Sementara itu, sudut undang-undang adalah bagaimana kenyataan tindak pidana itu dirumuskan menjadi tindak pidana tertentu dalam pasal-pasal peraturan perundang-undangan yang ada.

1. Unsur Tindak Pidana Menurut Beberapa Teoritisi

Di muka telah dibicarakan berbagai rumusan tindak pidana yang disusun oleh para ahli hukum, baik penganut paham dualism maupun paham monisme. Unsur-unsur yang ada dalam tindak pidana adalah melihat bagaimana bunyi rumusan yang dibuatnya. Beberapa contoh, diambilkan dari batasan tindak pidana oleh teoritisi yang telah dibicarakan di muka, yaitu: Moelijatno, R.Tresna, Vos, Jonkers, dan Schravendijk (Adami Chazawi,2002: 79).

Menurut Moeljatno (Adami Chazawi, 2002: 79), unsur tindak pidana adalah:

a. perbuatan;

b. yang dilarang (oleh aturan hukum);

c. ancaman pidana (bagi yang melanggar larangan).

Perbuatan manusia saja yang boleh dilarang, oleh aturan hukum. Berdasarkan kata majemuk perbuatan pidana, maka pokok pengertian ada pada perbuatan itu, tapi tidak dipisahkan dengan orangnya. Ancaman (diancam) dengan pidana menggambarkan bahwa tidak mesti perbuatan itu dalam kenyataannya benar-benar dipidana. Pengertian diancam pidana merupakan pengertian umum, yang artinya pada umumnya dijatuhi pidana. Apakah in concreto orang yang melakukan perbuatan itu dijatuhi pidana ataukah tidak merupakan hal yang lain dari pengertian perbuatan pidana (Adami Chazawi, 2002: 79).

Dari rumusan R. Tresna (Adami Chazawi, 2002: 80) di muka, tindak pidana tersebut dari unsur-unsur, yaitu:

a. perbuatan/rangkaian perbuatan (manusia);

b. yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; c. diadakan tindakan penghukuman.

Dari unsur ketiga, kalimat diadakan tindakan penghukuman, terdapat pengertian bahwa seolah-olah setiap perbuatan yang dilarang itu selalu

diikuti dengan penghukuman (pemidanaan). Berbeda dengan Moeljatno, karena kalimat diancam pidana berarti perbuatan itu tidak selalu dan tidak dengan demikian dijatuhi pidana (Adami Chazawi, 2002: 80).

Walaupun mempunyai kesan bahwa setiap perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang selalu diikuti dengan pidana, namun dalam unsur-unsur itu tidak terdapat kesan perihal syarat-syarat (subjektif) yang melekat pada orangnya untuk dapat dijatuhkannya pidana (Adami Chazawi, 2002: 80).

Menurut bunyi batasan yang dibuat Vos (Adami Chazawi, 2002: 80), dapat ditarik unsur-unsur tindak pidana adalah:

a. kelakuan manusia; b. diancam dengan pidana

c. dalam peraturan perundang-undangan.

Dapat dilihat bahwa pada unsur-unsur dari tiga batasan penganut paham dualism tersebut, tidak ada perbedaan, yaitu bahwa tindak pidana itu adalah perbuatan manusia yang dilarang, dimuat dalam undang-undang, dan diancam pidana bagi yang melakukannya. Dari unsur-unsur yang ada jelas terlihat bahwa unsur-unsur tersebut tidak menyangkut diri si pembuat atau dipidananya pembuat, semata-mata mengenai perbuatannya (Adami Chazawi, 2002: 80).

Akan tetapi, jika dibandingkan dengan pendapat penganut paham monism, memang tampak berbeda. Penulis mengambil dua rumusan saja yang di muka telah dikemukakan, yaitu Jonkers dan Schravendijk (Adami Chazawi, 2002: 81).

Dari batasan yang dibuat Jonkers (Adami Chazawi, 2002: 81) (penganut paham monisme) dapat dirinci unsur-unsur tindak pidana adalah:

a. perbuatan (yang);

b. melawan hukum (yang berhubungan dengan); c. kesalahan (yang dilakukan oleh orang yang dapat); d. dipertanggungjawabkan.

Sementara itu Schravendijk (Adami Chazawi, 2002: 81) dalam batasan yang dibuatnya secara panjang lebar itu, jika dirinci terdapat unsur-unsur sebagai berikut:

a. kelakuan (orang yang);

b. bertentangan dengan keinsyafan hukum; c. diancam dengan hukuman;

d. dilakukan oleh orang (yang dapat); e. dipersalahkan/kesalahan.

Walaupun rincian dari tiga rumusan di atas tampak berbeda-beda, namun pada unsur-unsur mengenai perbuatannya dengan unsur yang mengenai diri orangnya.

1. Unsur rumusan tindak pidana dalam undang-undang

Buku II KUHP memuat rumusan-rumusan perihal tindak pidana tertentu yang masuk dalam kelompok kejahatan, dan Buku III memuat pelanggaran. Ternyata ada unsur yang selalu disebutkan dalam setiap rumusan, yaitu mengenai tingkah laki/perbuatan walaupun ada perkecualian seperti Pasal 351 (penganiayaan). Unsur kesalahan dan melawan hukum kadang-kadang dicantumkan, dan seringkali juga tidak dicantunkan; sama sekali tidak dicantumkan mengenai unsur kemampuan bertanggung jawab. Di samping itu, banyak mencantumkan unsur-unsur lain baik sekitar/mengenai objek kejahatan maupun perbuatan secara khusus untuk rumusan tertentu (Adami Chazawi, 2002: 81).

Dari rumusan-rumusan tindak pidana tertentu dalam KUHP itu, dapat diketahui adanya 11 unsur tindak pidana, yaitu:

a. Unsur tingkah laku; b. Unsur melawan hukum; c. Unsur kesalahan;

d. Unsur akibat konstitutif;

e. Unsur keadaan yang menyertai;

f. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dituntut pidana; g. Unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana; h. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana; i. Unsur objek hukum tindak pidana;

j. Unsur kualitas subjek hukum tindak pidana;

k. Unsur syarat tambahan untuk memperingan pidana.

Dari 11 unsur itu, di antaranya dua unsur, yaitu kesalahan dan melawan hukum yang termasuk unsur subjektif, sedangkan selebihnya berupa unsur objektif. Unsur melawan hukum adakalanya bersifat objektif, misalnya melawan hukumnya perbuatan mengambil pada pencurian (Pasal 362 KUHP) terletak bahwa dalam mengambil itu di luar persetujuan atau kehendak pemilik (melawan hukum objektif). Atau pada Pasal 251 KUHP pada kalimat “menggunakan cap asli secara melawan hukum” adalah berupa melawan hukum objektif. Akan tetapi, ada juga melawan hukum subjektif misalnya melawan hukum dalam penipuan (oplicbting, Pasal 378), pemerasan (afpersing, Pasal 368), pengancaman (afdreiging, Pasal 369) di mana disebutkan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum. Begitu juga unsur melawan hukum pada perbuatan memiliki dalam penggelapan (Pasal 372) yang bersifat subjektif, artinya

terdapat kesadaran bahwa memiliki benda orang lain yang ada dalam kekuasaannya itu merupakan celaan masyarakat (Adami Chazawi, 2002: 82).

Mengenai kapan unsur melawan hukum itu berupa melawan hukum objektif atau subjektif bergantung dari bunyi redaksi rumusan tindak pidana yang bersangkutan (Adami Chazawi, 2002: 83).

Unsur yang bersifat objektif adalah semua unsur yang berada di luar keadaan batin manusia/si pembuat, yakni semua unsur mengenai perbuatannya, akibat perbuatan dan keadaan-keadaan tertentu yang melekat (sekitar) pada perbuatan dan objektif tindak pidana. Sementara itu, unsur yang bersifat subjektif adalah semua unsur yang mengenai batin atau melekat pada keadaan batin orangnya (Adami Chazawi, 2002: 83) .

2. Jenis-jenis Tindak Pidana

Dalam membahas hukum pidana, nantinya akan ditemukan beragam tindak pidana yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat. Tindak pidana dapat dibedakan atas dasar-dasar tertentu, yakni sebagai beriktu:

1. Menurut sistem KUHP, dibedakan antara kejahatan yang dimuat dalam Buku II dan pelanggaran yang dimuat dalam Buku III.

Alasan pembedaan antara kejahatan dan pelanggaran adalah jenis pelanggaran lebih ringan dari pada kejahatan. Hal ini dapat

diketahui dari ancaman pidana pada pelanggaran tidak ada yang diancam dengan pidana penjara, tetapi berupa pidana kurungan dan denda, sedangkan kejahatan lebih di dominasi dengan ancaman pidana penjara (Amir Ilyas, 2012: 28).

2. Menurut cara merumuskannya, dibedakan antara tindak pidana formal dan tindak pidana materil.

Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga memberikan arti bahwa inti larangan yang dirumuskan itu adalah melakukan suatu perbuatan tertentu. Perumusan tindak pidana formil tidak memerlukan dan/atau tidak memerlukan timbulnya suatu akibat tertentu dari perbuatan sebagai syarat penyelesaian tindak pidana, malainkan semata-mata pada perbuatannya (Amir Ilyas, 2012: 29).

3. Berdasarkan bentuk kesalahan, dibedakan antara tindak pidana sengaja (dolus) dan tindak pidana tidak dengan sengaja (culpa). Tindak pidana sengaja adalah tindak pidana yang dalam rumusannya dilakukan dengan kesengajaan atau mengandung unsur kesengajaan. Sedangkan tindak tidak sengaja adalah tindak pidana yang dalam rumusannya mengandung culpa (Amir Ilyas, 2012: 30).

4. Berdasarkan macam-macam perbuatannya, dapat dibedakan antara tindak pidana aktif/positif dapat juga disebut tindak pidana

komisi dan tindak pidana pasif/negative, disebut juga tindak pidana omisi.

Tindak pidana aktif adalah tindak pidana yang perbuatannya berupa perbuatan aktif, perbuatan aktif adalah perbuatan yang untuk mewujudkannya disyarakatkan adanya gerakan dari anggota tubuh orang yang berbuat. Dengan berbuat aktif orang melanggar larangan, perbuatan aktif ini terdapat baik dalam tindak pidana yang dirumuskan secara formil maupun secara materil. Bagian terbesar tindak pidana yang dirumuskan dalam KUHP adalah tindak pidana aktif (Amir Ilyas, 2012: 30).

Tindak pidana pasif ada dua macam yaitu tindak pidana pasif murni dan tindak pidana pasif yang tidak murni. Tindak pidana pasif murni ialah tindak pidana yang dirumuskan secara formil atau tindak pidana yang pada dasarnya semata-mata unsur perbuatannya adalah berupa perbuatan pasif. Sementara itu, tindak pidana pasif yang tidak murni berupa tindak pidana yang pada dasarnya berupa tindak pidana positif, tetapi dapat dilakukan dengan cara tidak berbuat aktif, atau tindak pidana yang mengandung suatu akibat terlarang, tetapi dilakukan dengan tidak berbuat/atau mengabaikan sehingga akibat itu benar-benar timbul (Amir Ilyas, 2012: 31).

5. Berdasarkan saat dan jangka waktu terjadinya, maka dapat dibedakan antara tindak pidana terjadi seketika dan tindak pidana terjadi dalam waktu lama atau berlangsung lama/berlangsung terus.

Tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga untuk terwujudnya atau terjadinya dalam waktu seketika atau waktu singkat saja, disebut juga dengan aflopende delicten. Sebaliknya ada tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa, sehingga terjadinya tindak pidana itu berlangsung lama, yakni setelah perbuatan dilakukan, tindak pidana itu masih berlangsung terus, yang disebut juga dengan voordurende dellicten. Tindak pidana ini dapat disebut sebagai tindak pidana yang menciptakan suatu keadaan yang terlarang.

6. Berdasarkan sumbernya, dapat dibedakan antara tindak pidana umum dan tindak pidana khusus.

Tindak pidana umum adalah semua tindak pidana yang dimuat dalam KUHP sebagai kodifikasi hukum pidana materil (Buku II dan III). Sementara itu tindak pidana khusus adalah semua tindak pidana yang terdapat diluar kodifikasi KUHP (Amir Ilyas, 2012: 31). 7. Dilihat dari sudut subjektif, dapat dibedakan antara tindak pidana

dan tindak pidana propria (tindak pidana yang harus dapat dilakukan oleh orang yang berkualitas tertentu).

Pada umumnya tindak pidana itu dibentuk dan dirumuskan untuk berlaku pada semua orang, dan memang bagian terbesar tindak pidana itu dirumuskan dengan maksud yang demikian. Akan tetapi, ada perbuatan-perbuatan yang tidak patut yang khusus hanya dapat dilakukan oleh orang yang berkualitas tertentu saja, misalnya pegawai negeri (pada kejahatan jabatan) atau nakhoda (pada kejahatan pelayaran), dan sebagainya.

8. Berdasarkan perlu tidaknya pengaduan dalam hal penuntut, maka dibedakan antara tindak pidana biasa dan tindak pidana aduan.

Tindak pidana biasa yang dimaksudkan ini adalah tindak pidana yang untuk dilakukannya penuntutan terhadap perbuatannya, tidak disyaratkan adanya pengaduan diri yang berhak, sementara itu tindak aduan adalah tindak pidana yang dapat dilakukan penuntutan pidana apabila terlebih dahulu adanya pengaduan oleh yang berhak mengajukan pengaduan, yakni korban atau wakilnya dalam perkara perdata, atau keluarga tertentu dalam hal-hal tertentu atau orang yang diberi kuasa khusus untuk pengaduan oleh orang yang berhak.

9. Berdasarkan berat-ringannya pidana yang diancamkan, maka dapat dibedakan antara tindak pidana bentuk pokok, tindak pidana yang diperberat dan tindak pidana yang diperingan.

Dilihat dari berat ringannya, ada tindak pidana tertentu yang dibentuk menjadi:

1. Dalam bentuk pokok disebut juga bentuk sederhana atau dapat juga disebut dengan bentuk standar;

2. Dalam bentuk yang diperberat; dan 3. Dalam bentuk ringan.

Tindak pidana dalam bentuk pokok dirumuskan secara lengkap, artinya semua unsurnya dicantumkan dalam rumusan, sementara itu pada rumusan yang diperberat dan/atau diperingan, tidak mengulang kembali unsur-unsur bentuk pokok itu, melaikan sekedar menyebut kualifikasi bentuk pokoknya atau pasal bentuk pokoknya, kemudian disebutkan atau meringankan secara tegas dalam rumusan. Karena ada faktor pemberatnya atau faktor peringannya, ancaman pidana terhadap tindak pidana terhadap bentuk yang deperberat atau yang diperingan itu menjadi lebih berat atau lebih ringan dari pada bentuk pokoknya (Amir Ilyas, 2012: 32).

10. Berdasarkan kepentingan hukum yang dilindungi, maka tindak pidana tidak terbatas macamnya, sangat tergantung pada

kepentingan hukum yang dilindungi dalam suatu peraturan perundang-undangan.

Sistematika pengelompokan tindak pidana bab per bab dalam KUHP didasarkan pada kepentingan hukum yang dilindungi. Berdasarkan kepentingan hukum yang dilindungi ini maka disebutkan misalnya dalam Buku II KUHP. Untuk melindungi kepentingan hukum terdapat keamanan Negara, dibentuk rumusan kejahatan terhadap keamanan Negara (Bab I KUHP), untuk melindungi kepentingan hukum bagi kelancaran tugas-tugas bagi penguasa umum, dibentuk kejahatan terhadap penguasa umum (Bab VIII KUHP), untuk melindungi kepentingan hukum terhadap hak kebendaan pribadi dibentuk tindak pidana seperti Pencurian (Bab XXII KUHP), Penggelapan (Bab XXIV KUHP), Pemerasan dan Pengancaman (Bab XXIII KUHP) dan seterusnya (Amir Ilyas, 2012: 33).

11. Dari sudut berapa kali perbuatan untuk menjadi suatu larangan, dibedakan antara tindak pidana tunggal dan tindak pidana berangkai.

Tindak pidana tunggal adalah tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga untuk dipandang selesainya tindak pidana dan dapat dipidananya pelaku cukup dilakukan satu kali

perbuatan saja, bagian terbesar tindak pidana dalam KUHP adalah berupa tindak pidana tunggal. Sementara itu yang dimaksud dengan tindak pidana berangkai adalah tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga untuk dipandang sebagai selesai dan dapat dipidananya pelaku, disyarakatkan dilakukan secara berulang (Amir Ilyas, 2012: 34).

3. Pengertian Tindak Pidana Pencabulan dan Jenisnya

Pengertian perbuatan cabul (ontuchtige handelingen) adalah segala macam wujud perbuatan, baik yang dilakukan pada diri sendiri maupun dilakukan pada orang lain mengenai dan yang berhubungan dengan alat kelamin atau bagian tubuh lainnya yang dapat merangsang nafsu seksual (Adami Chazawi, 2005: 80).

KUHP menjelaskan perbuatan cabul sebagai berikut:

“segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan yang keji, semuanya itu dalam lingkungan nafsu birahi kelamin, misalnya : Cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada, dsb. Persetubuhan masuk pula dalam pengertian cabul”.

Lebih tegas Adami Chazawi mengemukakam perbuatan cabul sebagai “ segala macam wujud perbuatan baik yang dilakukan pada diri sendiri maupun pada orang lain mengenai dan yang berhubungan dengan alat kelamin atau bagian tubuh lainnya yang dapat merangsang nafsu seksual. Misalnya : mengelus-elus atau

menggosok-gosok penis atau vagina, memegang buah dada, mencium mulut seorang perempuan dan sebagainya” Adami Chazawi (2005: 80).

Adapun beberapa jenis istilah tentang pencabulan yaitu sebagai berikut :

1. Exhibitionism : Yaitu sengaja memamerkan alat kelamin kepada orang lain.

2. Voyeurism : Yaitu mencium seseorang dengan bernafsu. 3. Fondling : Yaitu mengelus/meraba alat kelamin seseorang. 4. Fellatio : Yaitu memaksa seseorang untuk melakukan kontak mulut.

KUHP menggolongkan tindak pidana pencabulan ke dalam tindak pidana kesusilaan. KUHP belum mendefinisikan dengan jelas maksud dari pada pencabulan itu sendiri dan terkesan mencampuradukkan pengertiannya dengan perkosaan ataupun persetubuhan, sedangkan dalam konsep KUHP yang baru ditambahkan kata “persetubuhan” disamping pencabulan, sehingga pencabulan dan persetubuhan dibedakan. Menurut R. Soesilo (1996: 209), yang dimaksud dengan “persetubuhan” ialah peraduan antara anggota kemaluan laki-laki dan perempuan yang biasa dijalankan untuk mendapatkan anak, jadi anggota kemaluan laki-laki harus masuk ke dalam

anggota kemaluan perempuan, sehingga mengeluarkan air mani, sesuai dengan Arriest Hoge Raad 5 Februari 1912 (W, 9292). Dalam pengertian persetubuhan di atas disimpulkan bahwa suatu tindakan dapat dikatakan suatu persetubuhan jika alat kelamin laki-laki masuk ke dalam alat kelamin perempuan sampai mengeluarkan air mani yang dapat mengakibatkan kehamilan.

Persetubuhan adalah persetuhan sebelah dalam dari kemaluan si laki-laki dan perempuan, yang pada umumnya dapat menimbulkan kehamilan. Tidak perlu bahwa telah terjadi pengeluaran mani dalam kemaluan si perempuan. Pengertian “bersetubuh” pada saat ini diartikan bahwa penis telah penestrasi (masuk) ke dalam vagina (Leden Marpaung, 2008, 53).

Berdasarkan uraian diatas bahwa pengertian bersetubuh berdasarkan dengan yang diungkapkan oleh R.Soesilo karena disini tidak disyaratkan terjadi pengeluaran air mani dari penis laki-laki yang dapat menyebabkan kehamilan.

Dengan demikian terlihat jelas perbedaan antara pencabulan dan persetubuhan yaitu jika seseorang melakukan persetubuhan itu sudah termasuk perbuatan cabul sedangkan ketika seseorang melakukan perbuatan cabul, belum dikategorikan telah melakukan persetubuhan karena suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai suatu persetubuhan jika

disyaratkan masuknya penis ke dalam vagina perempuan kemudian laki-laki mengeluarkan air mani yang biasanya menyebabkan terjadinya kehamilan sehingga jika salah satu syarat tidak terpenuhi maka bukan dikategorikan sebagai suatu persetubuhan melainkan perbuatan cabul. Selain itu perbuatan cabul tidak menimbulkan kehamilan (Leden Marpung, 2008: 70).

4. Unsur-unsur Perbuatan Tindak Pidana Pencabulan

Untuk mengetahui unsur-unsur dari perbuatan cabul, penulis akan menjabarkan unsur-unsur dari pasal-pasal yang menyangkut dengan perbuatan cabul. Ketentuan mengenai perbuatan cabul diatur dalam Pasal 289 KUHP sebagai berikut :

“Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diamcam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama Sembilan tahun.”

Apabila rumusan Pasal 289 KUHP tersebut dirinci, akan terlihat unsur-unsurnya sebagai berikut (Adami Chazawi, 2005: 78):

1. Perbuatannya: Perbuatan cabul dan memaksa caranya dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan

2. Objeknya: Seseoarang untuk melakukan atau membiarkan melakukan.

Adami Chazawi memberikan pengertian perbuatan memaksa sebagai perbuatan yang ditujukan pada orang lain dengan menekan kehendak orang lain yang bertentangan dengan kehendak orang lain itu agar orang lain tadi menerima kehendak orang yang menekan atau sama dengan kehendaknya sendiri (Adami Chazawi, 2005: 63).

Adapun yang dimaksud dengan kekerasan diutarakan oleh R.Soesilo (1996: 98) sebagai “mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani yang tidak kecil secara tidak sah”. Sementara M.H.Tirtaamidjaja (Leden Marpaung, 2008: 52) memberikan pengertian kekerasan sebagai setiap perbuatan yang dilakukan dengan kekuatan badan yang agak hebat. Berdasarkan beberapa pendapat dari pakar di atas dapat disimpulkan bahwa kekerasan merupakan setiap perbuatan yang ditujukan pada orang lain dengan menggunakan kekutan badan yang besar dimana kekuatan itu mengakibatkan orang lain tidak berdaya (Leden Marpaung, 2008: 52)

Mengenai ancaman kekerasan, Adami Chazawi mengutarakan bahwa yang dimaksud dengan ancaman kekerasan adalah ancaman kekerasan fisik yang ditujukan pada orang, yang pada dasarnya juga berupa perbuatan fisik, perbuatan fisik mana dapat saja berupa perbuatan persiapan untuk dilakukan perbuatan fisik yang besar atau lebih besar yang berupa kekerasan, yang akan dan mungkin segala

dilakukan/diwujudkan kemudian bilamana ancaman itu tidak membuat hasil sebagaimana yang diinginkan pelaku (Adami Chazawi, 2005: 65).

Perbuatan cabul terhadap anak diatur pada Pasal 290 KUHP, Pasal 292 KUHP, Pasal 293 KUHP, Pasal 294 ayat (1) KUHP, dan Pasal 295 KUHP serta Pasal 82 Undag-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, terkait dengan pokok masalah yang dibahas dalam skripsi khususnya untuk jenis kelamin yang sama.

Pasal 292 KUHP menentukan :

“Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang belum dewasa dari jenis kelamin yang sama, sedang diketahuinya atau patut harus disangkanya hal belum dewasa itu, dihukum penjara selama-lamanya lima tahun”.

Adapun unsur-unsur dari pasal tersebut adalah sebagai berikut:

Dokumen terkait