• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tindak Pidana yang berkenaan dengan Pemungutan

BAB II TINDAK PIDANA YANG TERDAPAT DALAM PEMILIHAN

C. Tindak Pidana yang berkenaan dengan Pemungutan

Yang termasuk dalam tindak pidana ini antara lain yaitu:

1. Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan dan menghalang-halangi seseorang utnuk menggunakan hak pilihnya

2. Dengan sengaja memeberi atau menjanjikan uang atau materi lainnya kepada seseorang untuk tidak menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya menjadi tidak sah

3. Dengan sengaja mengaku dirinya sebagai orang lain untuk menggunakan hal pilih

4. Dengan sengaja menggunakan hak pilihnya lebih dari satu kali 5. Dengan sengaja menggagalkan pemungutan suara

6. Tidak memberikan kesempatan kepada bawahan atau pekerja untuk memberikan suaranya

7. Dengan sengaja mendampingi pimilih dalam bilik suara, kecuali dalam hal pemilih tunanetra, tunadaksa, atau mempunyai halangan fisik lain

8. Petugas yang membantu pemilih tunanetra, tunadaksa atau yang mempunyai halangan fisik lain, dengan sengaja memberitahukan pilihan pemilih kepada orang lain

9. Dengan sengaja melakukan perbuatan yang menyebabkan suara seorang pemilih menjadi tidak berharga, atau menyebabkan pasangan calon tertentu mendapat tambahan suara atau pengurangan suara

10.Dengan sengaja merusak atau menghilangkan hasil pemungutan suara yang sudah disegel

11.Karena kelalaian merusak atau menghilangkan hasil pemungutan suara yang sudah disegel

12.Dengan sengaja mengubah hasil penghitungan suaradan/atau berita acara dan sertifikat hasil penghitungan suara

13.Ketentuan tentang ancaman pidana bagi tindak pidana pilkada adalah sebagai berikut

14.Di samping pidana penjara, untuk semua tindak pidana ditetapkan pidana denda yang dapat dijatuhkan secara kumulatif atau alternatif (dan/atau); 15.Ditetapkan adanya pidana minimum khusus;

16.Pidana penjara berkisar dari paling singkat 15 hari sampai paling lama 3 tahun, dan pidana denda dari paling sedikit Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) sampai paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Dengan demikian, untuk kasus-kasus tindak pidana pilkada tidakdapat dikenakan penahanan.

17.Jika tindak pidana dilakukan dengan sengaja oleh penyelenggara atau pasangan calon, ancaman pidananya ditambah sepertiga dari pidana yang telah diatur.

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salah satu persyaratan pelaksanaan sistem demokrasi adalah keikutsertaan rakyat dalam proses pemerintahan. Masyarakat mempunyai akses ke sistem pemerintahan memberikan partisipasi dalam memilih siapa yang akan menjadi pemimpin mereka. Dalam sistem Negara dimana terbentuk Lembaga Perwakilan Rakyat, maka kemauan rakyat itu diwakilkan kepada mereka yang duduk dalam lembaga perwakilan rakyat.

Diberlakukannya otonomi daerah di Indonesia mempunyai tujuan untuk memberdayakan masyarakat lokal. Sebelumnya pemilhan kepala daerah seringkali turut dipengaruhi oleh pemerintah pusat atau oleh pemerintah provinsi untuk pemilihan kepala daerah kabupaten. Di era reformasi kewenangan untuk memilih seorang kepala daerah sepenuhnya dilakukan oleh rakyat.

Pemilihan kandidat politik untuk bursa eksekutif dan legislative di zaman serba terbuka sekarang ini, tampaknya seperti sedang mengadopsi model atau event pasar produk bisnis komersial. Tiba-tiba dengan tempo singkat, menyeret sejumlah besar pelaku terlibat langsung dan tidak langsung dalam menanggapi event ini. Di antara mereka saling menjajaki satu sama lain, membuka penawaran, saling berpromosi, adu kompetisi, memobilisasi resources, negosiasi alot, menggandeng spekulan, serta memacu mobilitas dan popularitas. Pemilihan langsung telah mendekatkan antara kandidat dengan masyarakat. Seleksi pimpinan Nasional sampai kepemimpinan lokal

dilaksanakan langsung. Pemilih akan menjatuhkan pilihannya kepada sang idola saat sudah berada di bilik suara. Pemilu 2004 menjadi pengalaman pertama rakyat menitipkan kepercayaannya langsung kepada tokoh pilihannya. Pemilihan DPR, DPD, serta Presiden dan Wakil Presiden yang berlangsung dua tahap ternyata menjadi ajang pencitraan publik figur bagi para kontestan di atas panggung Nasional.

Demikianlah kelak pemilihan kandidat politik di tingkat lokal. Rakyat memilih langsung siapa yang pantas sesuai menjadi Kepala Daerah di wilayahnya. Bupati, Walikota dan gubernur adalah jabatan-jabatan publik untuk siapa saja yang ingin maju tampil menjadi kontestan. Bursa pencalonan lebih terbuka, kompetitif dan partisipatif. Sementara siklus dan rotasi kepemimpinan di pastikan berjalan dinamis sambil memberi ruang-ruang kebebasan sepanjang proses transisi demokratik yang tak mungkin lagi terhindarkan. Sekarang siapa yang dapat menjadi kandidat politik? Kesempatan terbuka bagi siapapun yang ingin optimal meraihnya.2

Permasalahan yang muncul adalah adanya berbagai macam tindak pidana yang dilakukan yang merebak diberbagai daerah dalam memilih seorang kepala daerah. Sampai sekarang pun ada kesulitan untuk mendapatkan bukti-bukti tertulis guna memprosesnya secara hukum. Padahal hukum di Indonesia senantiasa menuntut adanya bukti-bukti tertulis itu untuk dapat mengajukan seseorang ke pengadilan dengan tuduhan telah melakukan tindak pidana dalam pemilihan kepala daerah.

2

Agung wibawanto, Memenangkan Hati dan Pikiran Rakyat, PEMBARUAN, Yogyakarta, 2005, hal.6

Saat ini di berbagai daerah setelah pilkada marak dengan aksi protes atas hasil pilkada, di mana protes-protes yang ada, terkadang menjurus ke penggunaan kekuatan fisik. Tuntutan keberatan atas hasil pilkada banyak dilakukan oleh pasangan calon yang kalah, yang pada umumnya bermuara pada kehendak untuk membatalkan hasil pilkada dan dilakukan pilkada ulang.Tuntutan atau gugatan dilakukan dengan cara mengajukan permohonan keberatan atas hasil pilkada ataupun tuntutan penyelesaian segera dugaan tindak pidanayang terkait dengan pelaksanaan pilkada. Hal ini merupakan sesuatu yang wajar, namun ironis dan sangat memprihatinkan, karena dengan banyaknya gugatan pasangan calon yang kalah, justru membuktikan bahwa masyarakat negeri ini kebanyakan belum memiliki kedewasaan dalam berpolitik dan berdemokrasi. 3

Sulit memang menerima kekalahan dengan lapang dada, karena pada dasarnya setiap diri manusia selalu menginginkan kemenangan, bukan kekalahan. Sayangnya, mereka hanya berfikir kemenangan, sehingga hanya siap menang tetapi tidak siap kalah. Ketika kalah, emosi lebih dikedepankan. Kemarahan, kebencian, dan ketidakpuasan meledak, serta tindakan perlawanan atas kemenangan orang lain dilakukannya. Secara psikologis, hal itu pasti diliputi suasana permusuhan, labil, dan mudah terprovokasi. Mengutip apa yang dikatakan Edward Stevens dalam bukunya yang berjudul "The Morals Game" (1974)4. Dalam "penjara sosial", terkadang seseorang termakan oleh ideologi kelompok yang begitu kuatnya, sehingga tidak dapat membedakan antara sesuatu yang benar dengan propaganda.Sebenarnya, tuntut

3

Ibid.,hal7

4

menuntut atau gugat menggugat tidak perlu terjadi, apabila kita semua dapat mengendalikan emosi ataupun ambisi pribadi, serta mau mawas diri. Pengajuan tuntutan atau gugatan itu sesuatu hal yang wajar, karena pada hakekatnya hal tersebut merupakan hak pribadi. Namun demikian, hak tersebut perlu juga diperhatikan, serta yang terpenting harus mendasarkan ketentuan hukum yang berlaku. Jangan sampai kita menuntut hak, tetapi justru melanggar hak orang lain, bahkan melanggar hukum.

Maraknya gugatan keberatan hasil pilkada yang ada saat ini, pada umumnya diajukan tanpa terkait dengan kesalahan hasil perhitungan suara, tetapi lebih banyak mengarah pada mekanisme dalam pelaksanaan pilkada khususnya terkait dengan kebijakan yang dikeluarkan KPUD. Gugatan dengan objek surat edaran KPUD ataupun keputusan-keputusan KPUD lainnya yang berisi petunjuk teknis pelaksanaan pilkada tentunya tidak tepat, karena KPUD selaku Panitia Pelaksana pilkada punya kewenangan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan untuk menetapkan peraturan teknis yang menyangkut mekanisme atau tata cara atau proses pelaksanaan pilkada itu sendiri, dan UU juga telah tegas membatasi bahwa kompetensi atau kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam menangani sengketa pilkada ditentukan hanya sebatas penetapan hasil pilkada oleh KPUD saja, serta keputusan yang dikeluarkan oleh KPUD terkait dengan petunjuk teknis pelaksanaan pilkada, tidak termasuk objek keberatan. Karena itu, jika yang diajukan penggugat/pemohon tidak terkait dengan petunjuk teknis pelaksanaan pilkadan atau mengenai masalah di luar hasil penghitungan suara, secara juridis, gugatan tersebut tidak memenuhi persyaratan

materiil dan formal, dan permohonan harus dinyatakan tidak diterima. Dengan sendirinya berarti gugatan selayaknya harus ditolak.

Banyak kalangan yang meyakini bahwa pemilihan kepala daerah memiliki potensi memicu konflik dimasyarakat. Sumber potensi konflik terkait dengan dua hal,

pertama berasal dari karakteristik politik lokal dan tingkah laku rata-rata elit atau pemilih yang belum sepenuhnya kondusif bagi sebuah penyelenggaraan pemilihan langsung. Kedua Sumber rawan konflik berikutnya yaitu terdapatnya kelemahan pada beberapa ketentuan didalam peraturan perundang-undangan tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), baik UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah maupun Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005 mengenai Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Kelemahan dimaksud terdeteksi pada seluruh siklus Pilkada mulai dari tahap persiapan hingga setelah Pilkada. Dengan kata lain, ketentuan-ketentuan Pilkada belum dapat berfungsi sebagai aturan main guna membatasi tingkah laku pemilih, pendukung dan kandidat pilkada. Konsekuensinya, ketentuan perundang-undangan berpotensi besar untuk gagal berfungsi sebagai mekanisme penegakan hukum dalam proses Penyelenggaraan Pilkada.5

5

Donni Edwin, Pilkada Langsung Demokratisasi Daerah dan Mitos Good Governance,

B. Permasalahan

1. Tindak Pidana apa saja yang terdapat dalam Pemilihan Kepala Daerah?

2. Bagaimanakah Pertanggungjawaban pelaku yang melakukan Tindak Pidana dalam Pemilihan Kepala Daerah?

3. Bagaimana peran Lembaga Peradilan dalam menyelesaikan Sengketa dalam Pemilihan Kepala Daerah?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan dari penulisan skripsi ini adalah :

1. Untuk mengetahui bagaimana pertanggungjawaban pelaku yang melakukan Tindak Pidana dalam Pemilihan Kepala Daerah

2. Untuk mengetahui bagaimana Peran Lembaga Peradilan dalam menyelesaikan sengketa dalam pemilihan Kepala Daerah

3. Untuk mengetahui tentang Tindak Pidana apa saja yang terdapat dalam Pemilihan Kepala Daerah

Sedangkan manfaat penulisan skripsi ini adalah :

1. Manfaat Teoritis

a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sekedar sumbangan pemikiran dalam rangka perkembangan ilmu hukum pada umumnya, perkembangan

Hukum Pidana dan khususnya mengenai Tindak Pidana yang terdapat dalam Pemilihan Kepala Daerah.

b. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada pembuat undang-undang dalam menetapkan kebijaksanaan lebih lanjut sebagai upaya untuk memberikan pertanggungjawaban yang sesuai dengan perbuatan tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang dalam Pemilihan Kepala Daerah.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada penegak hukum dan lembaga penegak hukum seperti Kepolisian, Kejaksaan, Mahkamah Konstitusi dan lembaga-lembaga lainnya dalam menyelesaikan permasalahan yang berkaitan dengan Pemilihan Kepala Daerah sesuai dengan undang-undang yang berlaku.

D. Keaslian Penulisan

Berdasarkan pemeriksaan dan hasil penelitian di Perpustakaan, skripsi yang berjudul Analisis terhadap tindak pidana yang terdapat dalam pemilihan Kepala Daerah ini belum ada yang memiliki atau membahas baik dalam bentuk disertasi, makalah, majalah, artikel, bahan-bahan diskusi, seminar dan lokakarya. Oleh karena itu maka dapat dianggap penulisan skripsi ini memiliki keaslian.

Apabila ditemukan ada skripsi yang berjudul dengan permasalahan yang sama, maka penulis akan bertanggungjawab sepenuhnya.

E. Tinjauan Pustaka

1. Pengertian Tindak Pidana.

Banyak sekali terdapat diantara sarjana-sarjana dalam bidang Hukum Pidana yang menggunakan istilah yyang berbeda-beda untuk menunjuk kepada Tindak Pidana.

Moeljatno, memakai istilah “ Perbuatan Pidana”. Beliau tidak menggunakan istilah Tindak Pidana. Perbuatan pidana menurut beliau dirumuskan sebagai berikut :

“Perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana barangsiapa yang melanggar larangan tersebut.”6

Sedangkan Utrecht menggunakan istilah “Peristiwa Pidana”. Demikian juga penggunaan istilah yang berbeda untuk menunjuk kepada tindak pidana diberikan oleh Mr. M. H. Tirtaamidjaja, beliau menggunakan istilah “Pelanggaran Pidana”

Namun diantara keanekaragaman penggunaan istilah tersebut pada dasarnya adalah menunjuk kepada pengertian yang sama, yakni yang berasal dari strafbaar feit. Strafbar Feit adalah diambil dari bahasa belanda yang apabila diterjemahkan secara harafiah berarti peristiwa pidana.

Menurut Simons, bahwa strafbar feit ialah perbutan melawan hukum yang berkaitan dengan kesalahan (shculd) seseorang yang mampu bertanggungjawab.

6

Kesalahan dalam pengertian ini termasuk juga kesalahan dalam arti luas yang meliputi dolus (sengaja) dan culpalate(alpa dan lalai).7

Van Hamel menjelaskan bahwa strafbar feit sebagai perbuatan manusia yang diuraikan oleh Undang-undang, melawan hukum, patut atau bernilai unutuk dipidana (strafwaardig), dan dapat dicela karena kesalahan.8

Sedangkan sarjana Pompe menguraikan dua macam definisi tentang strafbaar feit ini 9, yakni :

a. Defenisi yang bersifat teoritis

Maksudnya ialah berupa pelanggaran terhadap norma (kaidah/tata hukum), yang diadakan karena kesalahan pelanggar, dan yang harus dijatuhkan pidana untuk dapat mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum. Defenisi ini sekaligus merujuk kepada tujuan hukum pidana yaitu mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum yang sesuai dengan UUD 1945.

b. Defenisi yang bersifat hukum positif

memberikan pengertian bahwa starbaar feit ialah suatu peristiwa yang oleh undang-undang ditentukan mengandung perbuatan (handeling) dan pengabaian (nelaten), tidak berbuat/berbuat pasif, biasanya dilakukan dalam beberapa

7

A. Zainal Abidin.,Hukum Pidana I, Sinar Grafika, Jakarta, 1995, hal. 224

8

Ibid., hal.225

9

keadaan, merupakan bagian dari suatu peristiwa. Uraian perbuatan dan keadaan ikut serta itulah yang disebut uraian delik.

Lain lagi defenisi yang diberikan oleh sarjana Vos. Beliau memberikan pengertian yang singkat bagi strfbaar feit, yaitu kelakuan atau tingkah laku manusia, yang oleh peraturan perundang-undangan diberikan pidana.10

Demikianlah beberapa rumusan-rumusan tentang Tindak Pidana (Strafbaar Feit) yang diberikan oleh para sarjana ahli dalam hukum pidana.

Pada umumnya tindak pidana disinonimkan dengan “delik” yang berasal dari bahasa latin yakni kata delictum. Sedangkan pengertian delik itu sendiri dalam bahasa indonesia adalah : “Delik: perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang Tindak Pidana.”11

Dapat disimpulkan bahwa batasan terhadap delik pada umumnya adalah sebagai berikut :

“suatu perbuatan aktif atau pasif, yang untuk delik materil disyaratkan terjadinya akibat yang mempunyai hubungan yang kausal dengan perbuatan, yang melawan hukum formil dan materil, dan tidak ada dasar yang membenarkan perbuatan itu.”

Sedangkan apabila dilihat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maka pengrtian delik itu sendiri tidak dapa ditemukan. Tiap-tiap Pasal dari KUHP

10

Ibid., hal. 225

11

hanya menguraikan unsur-unsur delik yang berbeda-beda, sesuai dengan jenis perbuatan yang diaturnya.

2. Unsur-unsur Tindak Pidana

Yang dimaksudkan disini adalah untuk mengetahui unsur-unsur dari suatu tindak pidana. Untuk itu harus terlebih dahulu mengetahui pengertian dari unsur. Unsur adalah semua syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi suatu perbuatan untuk dapat dikategorikan sebagai perbuatan/tindakan yang melawan/melanggar hukum.

Unsur-unsur dari tindak pidana menurut Van Hamel meliputi :

a. Perbuatan,

b. perbuatan itu ditentukan oleh hukum pidana tertulis(asa legalitas) merupakan perbuatan melawan hukum,

c. bernilai atau patut dipidana.

Sedangkan menurut Van Bemelen Unsur-unsur dari suatu tindak pidana diantaranya ialah adanyan unsur-unsur kesalahan, kemampuan bertanggungjawab dan sifat melawan hukum dariperbuatan tersebut.

Lain lagi unsur-unsur dari suatu tindak pidana yang diberikan oleh Prof. Simons. Menurut Beliau tindak pidana memuat beberapa unsur, yakni :12

1. suatu perbuatan manusia

12

Leden Marpaung,, Tindak Pidana Lingkungan Hidup dan Masalah Prevensinya, Sinar Grafika, Jakarta 1997, hal.9

2. perbuatan itu dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang

3. perbuatan itu dilakkan oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan

unsur-unsur dari tindak pidana adalah jelas berbeda-beda, tergantung dari bentuk tindak pidananya. Walaupun unsur-unsur setiap delik/tindak pidana berbeda-beda namun pada dasarnya mempunyai unsur-unsur yang sama, yakni :13

a. perbuatan aktif/positif atau pasif/negative

b. akibat yang terjadi

c. melawan hukum formil yang berkaitan dengan asas legalitas, dan melawan hukum materil, dan

d. tidak adanya alasan pembenar

Di dalam Pasal-Pasal KUHP ada unsur-unsur delik yang disebutkan secara tegas (expressis verbis) di dalam Pasal itu sendiri. Namun disamping itu ada juga unsur-unsur dari delik yang tidak disebutkan dalam Pasal-Pasal KUHP tersebut, walaupun demikian retap diakui sebagai unsur-unsur dari delik/tindak pidana. Misalnya unsur melawan hukum dan tidak adanya alasan pembenar.

Unsur-unsur yang tidak dicantumkan secara tegas di dalam Pasal-Pasal KUHP tersebut dinamakan unsur diam-diam, dan diterima sebagai asumsi.

Adapun cara-cara yang digunakan untuk menguraikan unsur-unsur dari delik ada tiga cara, yaitu :

13

1. Dengan menerangkan atau menguraikannya, contohnya rumusan delik menurut Pasal 279,281,286 KUHP. Dari keterangan atau uraian dalam Pasal-Pasal tersebutdapatlah diketahui unsur-unsurnya

2. Dari rumusan delik yang terdapat dalam Pasal-Pasal tersebut, lalu ditambah dengan kualifikasi atau sifat dan gelar dari delik itu sendiri. Contohnya pencurian (Pasal 362 KUHP), Penggelapan (Pasal 372 KUHP), Penipuan (Pasal 378 KUHP)

3. Apabila Pasal-Pasal hanya menyebutkan kualifikasi (sifat,gelar) tanpa uraian unsur-unsur perbuatan lebih lanjut, maka uraian unsur-unsur dari delik itu diserahkan kepada yurisprudensi dan doktrin. Contohnya penganiayaan (Pasal 351 KUHP). Pasal ini tidak menjelaskan arti perbuatan tersebut. Menurut teori dan yurisprudensi, penganiayaan diartikan sebagai “menimbulkan nestapa atau derita atau rasa sakit pada orang lain”

Selain daripada itu ada juga beberapa Pasal dari KUHP yang hanya merumuskan perbuatan yang melawan hukum saja, sedangkan akibat dari perbuatan itu tidak disyaratkan adanya untuk dapat menjatuhkan pidana bagi orang yang mewujudkan perbuatan tersebut. Hal ini disebutkan dengan delik formil atau delik yang dirumuskan secara formil.14

Adapula delik materil atau delik yang dirumuskan secara materil. Materil diartikan dengan substantif, yang menjadi syarat untuk dipidananya si pembuat delik

14

M. Sudrajat Bassar, Tindak-Tindak Pidana Tertentu, Remadja Karya, Bandung, 1984, hal.5.

yaitu dengan terwujudnya akibat. Misalnya Pasal 338 KUHP, mensyaratkan si korban harus mati.15

Selain itu terdapat pula delik yang memerlukan syarat tambahan untuk dapat dipidananya pembuat delik. Misaalnya untuk delik-delik mengenai kepailitan (Pasal 396 KUHP), pembuat delik barulah dapat dipidana kalau diikuti oleh keadaan pailit.

Untuk jenis-jenis tindak pidana/delik itu sendiri, sistem Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia mengenal pembagian delik dibedakan atas pelanggaran dan kejahatan. Perbedaan mendasar antara kedua jenis ini antara lain terletak pada sanksi yang dijatuhkan. Kalau pada kejahatan maka sanksi yang diancamkan jauh lebih berat daripada pelanggaran.16

3. Pengertian Pilkada

Pemilihan Kepala daerah adalah Kepala daerah dan Wakil Kepala daerah dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum bebas, rahasia, jujur dan adil. Pasangan calon diajukan Partai Politik atau gabungan Partai Politik.

Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) yang bertanggungjawab kepada DPRD. Dalam melaksanakan tugasnya, KPUD menyampaikan laporan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah kepada DPRD.

15

Ibid, hal.5.

16

Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, PT Eresco, Bandung-Jakarta, 1996, hal.26.

Dalam mengawasi penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, dibentuk panitia pengawas pemilihan kepala daerah, dibentuk panitia pengawas pemilihan kepala daerah yang keanggotaannya terdiri atas unsur kepolisian, kejaksaan, perguruan tinngi, pers dan tokoh masyarakat.

Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah warga negara Republik Indonesia yang memenuhi syarat:

a. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

b. setia kepada Pancasila sebagai Dasar Negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945, dan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia serta Pemerintah;

c. berpendidikan sekurang-kurangnya sekolah lanjutan Tingkat Atas dan/atau sederajat;

d. berusia sekurang-kurangnya 30 (tigapuluh) tahun;

e. sehat jasmani dan rohani berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan menyeluruh dari tim dokter;

f. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;

g. tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;

h. mengenal daerahnya dan dikenal oleh masyarakat di daerahnya;

i. menyerahkan daftar kekayaan pribadi dan bersedia untuk diumumkan;

j. tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau secara badan hukum yang menjadi tanggungjawabnya yang merugikan keuangan negara;

k. tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh

kekuatan hukum tetap;

l. tidak pernah melakukan perbuatan tercela;

m. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau bagi yang belum mempunyai NPWP wajib mempunyai bukti pembayaran pajak;

n. menyerahkan daftar riwayat hidup lengkap yang memuat antara lain riwayat pendidikan dan pekerjaan serta keluarga kandung, suami atau istri;

o. belum pernah menjabat sebagai kepala daerah selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama; dan

p. tidak dalam status sebagai pejabat kepala daerah.

4. Pengertian Tindak Pidana Pilkada

Yang dimaksud dengan tindak pidana pilkada adalah serangkaian tindak pidana yang diatur secara khusus dalam perundang undangan yang mengatur tentang pilkada.

Tindak Pidana yang diatur dalam perundang-undangan pilkada tidak selalu berupa tindak pidana baru yang belum pernah diatur dalam perundang-undangan lain. Beberapa tindak pidana pilkada merupakan tindak pidana yang sebelumnya sudah diatur dalam KUHP, seperti memalsukan surat (Pasal 263), money politic (Pasal 149), dan sebagainya. Di luar tindak pidana yang diatur dalam perundang-undangan yang mengatur tentang pilkada masih terdapat berbagai tindak pidana yang dapat

Dokumen terkait