• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tindak Tutur Tidak Langsung Literal

Tindak tutur yang diungkapkan dengan maksud yang tidak sesuai dengan maksud pengutaraannya, tetapi kata-kata yang menyusunnya sesuai dengan apa yang dimaksudkan penutur disebut tindak tutur tidak langsung literal. Maksud memerintah diutarakan dengan kalimat berita atau kalimat tanya. Perhatikan tuturan (47), dan (48) berikut ini :

Tuturan dalam BMR (47) + Rumah ne tide disapu.

- le lah, biar awak sapu genari.

(48) + Kemane bunge tenan ?

- Sekejap ye ,awak carike.

TDBI (47) + Rumah ini tidak disapu.

- Ialah, biar penulis sapu sekarang. (48) + Kemana anak gadis tadi pergi ?

- Sebentarlah, penulis carikan. E. Tindak Tutur Langsung Tidak Literal

Tindak tutur yang diutarakan dengan modus kalimat yang sesuai dengan maksud tuturan, tetapi kata-kata yang menyusunnya tidak memiliki makna yang sama dengan maksud penuturnya disebut tindak tutur langsung tidak literal.

Maksud memerintah diungkapkan dengan kalimat perintah, dan maksud menginformasikan diungkapkan dengan kalimat berita. Untuk jelasnya perhatikan contoh di bawah ini :

Tuturan dalam BMR (49) Suaremu merdu betul

(50) Kalau duduk biar nampak sopan, naikke kakimu

Tidak tutur langsung tidak literal yang dimaksudkan penutur pada (49) yakni untuk menyatakan bahwa suara lawan tuturnya tidak bagus. Sementara tuturan (50) penutur menyuruh lawan tuturnya untuk tidak menaikkan kaki saat duduk agar terlihat sopan.

Tindak tutur tidak langsung tidak literal (indirect non literal speech act) yakni tindak tutur yang diutarakan dengan modus kalimat dan makna kalimat yang tidak sesuai dengan maksud yang hendak diutarakan. Untuk menyuruh anak menyapu lantai yang kotor, ibu bisa menggunakan tuturan (51). Demikian juga bila hendak menyuruh adik untuk mengecilkan volume televisi, penutur dapat mengutarakan kalimat berita dan kalimat tanya (52), dan (53) berikut ini :

Tuturan dalam BMR (51) Lantainye bersih betol

(52) Televisinye telalu pelan,tide kedengaran

(53) Ape radio yang pelan begian dapat engko dengar?

Penutur bahasa umumnya menggunakan dua jenis makna yakni makna harfiah dan makna tidak harfiah. Makna harfiah merupakan makna yang sama dengan makna bahasa, sedangkan yang dimaksud dengan makna tidak harfiah yakni makna yang berbeda dengan makna bahasa.

Dibicarakan mengenai makna pada awal pembahasan ini karena untuk mengindentifikasi dan mengelompokkan tipe-tipe eufemisme dalam BMS terlebih dahulu harus dilihat status maknanya.

Apakah makna pada kata tersebut harfiah atau tidak. Jika makna pada suatu kata merupakan makna tidak harfiah, maka kata tersebutlah yang diduga

(cenderung) eufemisme. Selanjutnya, kata-kata yang diduga (cenderung) eufemisme ini bukan berarti sudah dapat dikategorikan ke dalam eufemisme. Harus dilihat pula apakah makna pada kata tersebut mengandung unsur halus, sopan, ataupun merupakan penghindaran terhadap kata-kata yang dianggap tabu. Jika salah satu unsur sebagaimana yang telah disebutkan tadi terpenuhi, barulah kata-kata ini dapat digolongkan ke dalam eufemisme.Hal inilah yang mengakibatkan semua aspek kehidupan dalam BMR banyak di sampaikan dengan eufemisme.

Sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi budaya maka MMR tidak saja menghargai keberadaan dirinya, namun mengharigai sang pencipta dan makhluk lain yang diciptakan-Nya.Salah satu hal yang merupakan perwujudan dari menghargai yang diciptakan di luar dirinya dapat dilihat dalam penggunaan terhadap sapaan.MMR tidak dapat langsung menyapa seseorang, ada tiga hal yang penting yang harus diperhatikannya sebelum menyapa yakni sebagai berikut : (1) usia, (2) jenis kelamin, (3)urutan kelahiran.

Usia menentukan seseorang untuk disapa, apakah usia di atas pesapa, di bawah atau sebaya dengan pesapa. Apakah usia di atas orang tua pesapa, di bawah atau sebaya dengan orang tua pesapa.Meski seseorang sudah diketahui keberadaan usianya, harus diketahui jenis kelamin pesapa. Seseorang yang berada di atas pesapa harus di panggil akak atau abah, untuk itu usia dan jenis kelamin sangat menentukan di sini.

Tidak hanya kedua hal di atas yakni usia dan jenis kelamin yang harus dilihat, tetapi juga urutan kelahiran sangat menentukan dalam BMR. Seseorang tidak saja disapa dengan uwak, abah atau akak harus jelas uwak yang mana? Wak

yong, wak ngah, wak alang, dan seterusnya sesuai urutan kelahiran. Demikian juga untuk abah dan akak. Jadi urutan ini umum sifatnya untuk seluruh sapaan.

Sebagai masyarakat yang taat dalam menjalankan aturan agama, maka sapaan untuk Tuhan sangat banyak ditemukan dalam BMR. Dalam hal ini sesuai dengan agama islam satu-satunya agama yang dianut masyarakat Melayu. Untuk itu sapaan kepada Tuhan diambil dari ajaran agama Islam yang didasarkan pada bahasa sumbernya yakni bahasa Arab.

Kepada makhluk ciptaan Tuhan harus dijaga hubungan sosial, jangan sampai makhluk tersebut marah sehingga mengakibatkan terganggunya kelangsungan hidup yang penuh tentram dan harmonis. Untuk itu dijumpai sapaan terhadap binatang seperti ‘ular’ yang harus di sapa dengan akar agar ia tidak menggigit dan mengejar, ‘harimau’ disapa dengan datuk dan juga ‘lipan’ disapa dengan pengantin. MasyarakatMelayu Riau merupakan masyarakat yang menjunjung tinggi adat istiadat yang secara turun temurun diuraikan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Adat istiadat itu dipelihara dan dijalankan dalam kehidupan sehari-hari.

Salah satu hal dari adat istiadat tersebut dijumpai larangan-larangan yang merupakan ‘tabu’ yang harus dihindari disebabkan dalam MMR diyakini bahwa siapa pun yang berani melanggar larangan tersebut akan datang bencana (bala) baik kepada dirinya, keluarganya maupun masyarakt sekitarnya.

Berbeda halnya jika seseorang yang tidak menggunakan pemakaian eufemisme dengan tepat, maka hanya ia yang dianggap sebagai orang yang tidak tahu bersopan santun atau tidak mempunyai adat. Hal ini menyebabkan

masyarakat Melayu khususnya MMR lebih merasa takut jika melanggar larangan tabu, dibandingkan bila ia melanggar larangan eufemisme.

Makna dalam eufemisme dikaji dari sudut pandang pragmatik karena menentukan makna tergantung pada konteks. Hanya dari kontekslah dapat diketahui makna yang terkandung dalam kalimat maupun ucapan seseorang. Ada lima hal yang dikaji untuk menjelaskan makna eufemisme yakni :

a. penutur dan lawan tutur yang mencakup : (1) usia diperkirakan 40 tahun. Hal ini mengingat banyaknya rangkaian acara yang harus diikuti dengan aktif , (2) latar belakang sosial ekonomi menengah ke atas. Penutur yang kelas ekonominya menengah kebawah tidak dapat mengikuti dan aktif. Karena ia harus memenuhi nafkah keluarganya , (3) Jenis kelamin laki-laki. Tidak ada dijumpai penutur dalam acara adat perempuan, (4) tingkat keakraban ternyata tidak akrab karena baru pertama kali berjumpa pada saat itu. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan , anak beru menunggu izin, Dari keluarga Datuk Husny b. konteks tuturan. Dalam hal ini semuanya sudah terpenuhi yakni kesesuaian

antara penutur dan lawan tutur, waktu dan tempat tuturan.

c. tujuan tuturan, dapat berbeda-beda tergantung kepada maksud dan tujuan tertentu dari si penutur. Bentuk dan bermacam-macam dapat mengungkapkan maksud yang sama.

Same umur setahun jagung Same darah setampuk pinang Same akal tumbuh keluar

d. tuturan sebagai tindakan atau aktivitas. Meliputi penutur, lawan tutur, tempat dan waktu tuturan.

e. tuturan sebagai produk tindak verbal. Vandijk (1977) sebagaimana dilaporkan Astuti 2001 : 170 – Tindak tutur merupakan pusat dalam pragmatik. Itulah sebabnya jenis-jenis tuturan sangat banyak dijumpai sebagaimana yang dikemukakan berikut ini :

1. Tindak tutur langsung yakni penggunaan kalimat disesuaikan dengan fungsinya. Hal ini merupakan yang sangat biasa digunakan. Kalimat berita dipakai untuk menginformasikan sesuatu. Kalimat tanya untuk bertanya.

2. Tindak tutur tidak langsung merupakan kebalikan dari tindak tutur langsung. Kalimat berita dapat digunakan untuk bertanya atau memerintah.

3. Tindak tutur literal yakni tindak tutur yang maksudnya sama dengan makna kata-kata yang menyusunnya contoh. Penari Yen, bagus tariannye.

4. Tindak tutur tidak literal. Kalimat yang digunakan berlawanan dengan makna kata yang disusunnya. Mendai nilaimu, tapi usahlah engko sekolah .

5. Tindak tutur langsung literal, modus tuturan dan makna sama dengan maksud penutur. Maksud memuji digunakan mendai betul bajumu.

6. Tindak tutur tidak langsung literal, modus kalimat tidak sesuai dengan maksud pengutaraan, sedangkan makna kata sesuai dengan maksud penutur. Maksud memerintah diutarakan dengan kalimat berita atau kalimat tanya.

Contoh : Rumahne kotor

7. Tindak tutur langsung tidak literal, modus kalimat sesuai dengan tuturan kata-kata tidak mempunyai maksud yang sama dengan maksud penutur.

Contoh :

Biar nampak cantikmu, usah ko berbedak.

Maksudnya pakailah bedak, agar engkau kelihatan cantik.

8. Tindak tutur tidak langsung tidak literal, modus dan makna kalimat tidak sesuai dengan apa yang dimaksudkan.

Contoh : seorang ibu yang akan menyuruh anaknya mengecilkan tape ketika sedang belajar mengatakan,

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Dokumen terkait