• Tidak ada hasil yang ditemukan

tindak tutur tidak literal 5. tindak tutur langsung literal

C. Tujuan Penelitian

4. tindak tutur tidak literal 5. tindak tutur langsung literal

6. tindak tutur tidak langsung literal 7. tindak tutur langsung tidak literal 8. tindak tutur tidak langsung tidak literal

f. Tindak Tutur Direktif

Direktif merupakan salah satu jenis tindak tutur ilokusi. Searle (dalam Leech, 1993: 164) memberikan batasan mengenai tuturan direktif, yaitu tuturan yang bertujuan menghasilkan suatu efek berupa tindakan yang dilakukan oleh penutur. Senada dengan pendapat tersebut, Asim Gunawan (1994: 85--86) menyatakan bahwa tindak tutur direktif, yaitu tindak tutur yang dilakukan penuturnya dengan maksud agar si pendengar atau mitra tutur melakukan tindakan yang disebutkan di dalam ujaran itu (misalnya: menyuruh, memohon, menuntut, menyarankan, dan menantang). Direktif mengekspresikan sikap penutur terhadap tindakan prospektif oleh mitra tutur dan kehendaknya terhadap tindakan mitra tutur (Austin dalam Abd Syukur Ibrahim Ibrahim, 1993).

Austin (1962: 151), Searle (1980: 23), dan Leech (1983: 106) menempatkan tindak tutur direktif (directives) sebagai salah satu aspek makro tindak ilokusi. Adapun tindak ilokusi yang dimaksud adalah tindak yang berhubungan dengan apa yang dilakukan dalam tindak mengatakan sesuatu. Untuk lebih jelasnya, berikut ini bagan mengenai klasifikasi tindak ilokusi komunikatif yang di dalamnya terdapat tindak tutur direktif dengan klasifikasinya.

Tindak Ilokusi Komunikatif

Constatives · Assertives Directives · Requestives Comissives · Promises Acknowledgments · Apologize

· Predictives · Retrodictives · Descriptives · Ascriptives · Informatives · Confirmatives · Concessives · Retractives · Assentives · Dissentives · Disputatives · Responsives · Suggestives · Suppositives · Questions · Requirements · Prohibitives · Permisives · Advisories · Offers · Condole · Congratulate · Greet · Thank · Bid · Accept · Reject

Tindak tutur direktif (directives) sebenarnya tidak hanya mengekspresikan sikap penutur terhadap tindakan yang akan dilakukan oleh mitra tutur, tetapi direktif juga bisa mengekspresikan maksud penutur (keinginan, harapan) sehingga ujaran atau sikap yang diekspresikan dijadikan sebagai alasan untuk bertindak oleh mitra tutur (Abd. Syukur Ibrahin, 1993: 27). Berikut ini penjelasan secara singkat dari klasifikasi tindak tutur direktif tersebut.

Requetives (permohonan) mengekspresikan keinginan penutur sehingga mitra tutur melakukan sesuatu. Di samping itu, requestives mengekspresikan maksud penutur(atau, apabila jelas bahwa dia tidak mengharapkan kepatuhan, requestives requestives mengekspresikan keinginan atau harapan penutur) sehingga mitra tutur menyikapi keinginan yang terekspresikan ini sebagai alasan (atau bagian dari alasan) untuk bertindak (Abd. Syukur Ibrahin, 1993: 29--30). Contoh bentuk requestives ini

antara lain; meminta, memohon, menekan, mengundang, mendoa, mengajak, dan mendorong.

Questions (pertanyaan) merupakan requests (permohonan) dalam kasus yang khusus, yaitu khusus dalam pengertian bahwa apa yang dimohon itu adalah bahwa mitra tutur memberikan kepada penutur informasi tertentu (Abd. Syukur Ibrahin, 1993: 30). Contoh bentuk questions ini antara lain; bertanya, berinkuiri, dan menginterogasi.

Requirements (perintah) memiliki perbedaan dengan requeting (memerintah). Dalam requeting (memerintah), penutur mengekspresikan maksudnya sehingga mitra tutur menyikapi keinginan yang diekspresikan oleh penutur sebagai alasan untuk bertindak. Namun, di dalam requirements (perintah, permohonan), maksud yang diekspresikan penutur adalah bahwa mitra tutur menyikapi ujaran penutur sebagai alasan untuk bertindak, dengan demikian ujaran penutur dijadikan sebagai alasan penuh untuk bertindak. Akibatnya requirements tidak harus melibatkan ekspresi keinginan penutur supaya mitra tutur bertindak dalam cara tertentu (Abd. Syukur Ibrahin, 1993: 31). Contoh bentuk requirements ini antara lain; memerintah, menghendaki, mengomando, menuntut, mendikte, mengarahkan, menginstruksikan, mengatur, dan mensyaratkan)

Prohibitives pada dasarnya adalah requirements (perintah) supaya mitra tutur tidak mengerjakan sesuatu. Misalnya, melarang orang merokok sama halnya menyuruhnya untuk tidak merokok. Menurut Abd. Syukur Ibrahin (1993: 32) prohibitives ini diklasifikasikan secara terpisah karena

prohibitives menggunakan bentuk gramatikal yang berbeda dan terdapat sejumlah verba semacam itu. Contoh bentuk prohibitives ini antara lain; melarang dan membatasi.

Permissives mengekspresikan kepercayaan penutur dan maksud penutur sehingga mitra tutur percaya bahwa ujaran penutur mengandung alasan yang cukup bagi mitra tutur untuk merasa bebas melakukan tindakan tertentu. Alasan yang jelas untuk menghasilkan permissives adalah dengan mengabulkan permintaan izin atau melonggarkan pembatasan yang sebelumnya dibuat terhadap tindakan tertentu (Abd. Syukur Ibrahin, 1993: 32). Contoh bentuk permissives ini antara lain; menyetujui, membolehkan, memberi wewenang, menganugerahi, mengabulkan, membiarkan, mengizinkan, melepaskan, memaafkan, dan memperkenankan.

Dalam advisories apa yang diekspresikan penutur bukanlah keinginan bahwa mitra tutur melakukan tindakan tertentu, tetapi kepercayaan bahwa melakukan sesuatu merupakan hal yang baik, bahwa tindakan itu merupakan kepentingan mitra tutur. Penutur juga mengekspresikan maksud bahwa mitra tutur mengambil kepercayaan tentang ujaran penutur sebagai alasan untuk bertindak (Abd. Syukur Ibrahin, 1993: 33). Maksud perlokusi yang sesuai adalah bahwa mitra tutur menyikapi penutur untuk percaya bahwa penutur sebenarnya memiliki sikap yang dia ekspresikan dan mitra tutur melakukan tindakan yang disarankan untuk dilakukan. Contoh bentuk advisories ini antara lain; menasihatkan, memperingatkan, mengkonseling, mengusulkan, menyarankan, dan mendorong.

Nino dan Snow dalam Dardjowidjjo (2003: 266) mengistilahkan tindak tutur direktif dengan bentuk istilah proto-imperatif. Bentuk tindak tutur ini adalah dengan cara memanfaatkan bahasa tubuh untuk menyuruh mitra tutur melakukan permintaan penutur. Pemanfaatan bahasa tubuh sebagai bentuk tindak tutur direktif ini sering digunakan masyarakat tutur untuk tujuan komunikasi sehari-hari. Misalnya, untuk memerintah mitra tutur mengambilkan sesuatu, cukup dengan tersenyum, anggukan, lambaian tangan, kerlingan mata, dan sebagainya.

Tindak tutur direktif bersifat prospektif, artinya seseorang tidak bisa menyuruh orang lain suatu perbuatan pada masa lampau. Seperti tindak tutur yang lain, tindak tutur direktif mempresuposisikan suatu kondisi tertentu kepada mitra tutur sesuai dengan konteks. Kondisi-kondisi kelayakan (felicity conditions) tindak tutur direktif adalah kelayakan tindakan dan kemampuan mitra tutur untuk melakukannya.

Holander dan Quick dalam Ibrahim (1996: 54) membagi tindak tutur direktif hanya menjadi empat bentuk saja, yaitu (1) memerintah, (2) memohon, (3) memberi saran, dan (4) memberi izin. Untuk mencapai empat maksut tindak tutur direktif berdasarkan empat taksonomi tersebut, Ibrahim (1996: 88—101) menjelaskan bahwa bentuk tindak tutur direktif dapat dilakukan dengan cara; imperatif, eksplisit, berpagar, mengharuskan, pesimis, pengandaian bersyarat, impersona, menyertakan alasan, sindiran, dan dengan cara kelakar.

Berdasarkan beberapa pendapat ahli di atas, dapat dirunut bahwa tindak tutur direktif mengekspresikan sikap penutur terhadap tindakan yang akan dilakukan oleh mitra tutur. Tindak tutur direktif tersebut mengekspresikan dua hal pokok, yaitu (a) proposisi berupa tindakan yang akan dilakukan dan ditujukan kepada mitra tutur dan (b) mengekspresikan maksud penutur supaya tuturan yang diekspresikan dijadikan alasan bagi mitra tutur untuk menindakkan sesuatu yang dimaksudkan dalam tuturan tersebut. Dengan demikian, tindak tutur direktif adalah tindak tutur yang dilakukan si penutur dengan maksud agar si mitra tutur melakukan tindakan yang disebutkan atau diekspresikan di dalam ujaran si penutur, seperti menyuruh, memohon, melarang, menuntut, menyarankan, memperingatkan, dan sebagainya.

Searle (1980) dan Leech (1983) dalam Harun Prayitno (2009: 79—80) mengklasifikasikan ragam tindak tutur direktif menjadi empat tipe dasar, yaitu (1) tindak memerintah, (2) tindak memohon, (3) tindak memberi saran, dan (4) tindak memberi izin. Dengan demikian, secara pragmatik tindak tutur direktif meliputi maksud perintah, permohonan, pemberian saran, dan pemberian izin.

Berdasarkan konteksnya, masing-masing bentuk tindak tutur direktif menurut Searle dan Leech dapat memiliki beberapa fungsi, yaitu kompetitif (competitive), bertentangan (conflictive), menyenangkan (convivial), dan bekerja sama (collaborative). Fungsi kompetitif bersaing dengan tujuan sosial. Fungsi konfliktif bertentangan dengan tujuan sosial. Fungsi

menyenangkan bernilai positif dengan tujuan sosial. Fungsi bekerja sama berupa pemeliharaan keseimbangan dan keharmonisan perilaku interaksi dalam konteks sosiokultural tertentu.

Kekuatan tindak tutur direktif yang berkaitan dengan fungsinya tersebut dapat dikarakterisasikan menurut: (a) situasi mental penutur dan mitra tutur yang dipresuposisi secara pragmatik, konteks latar dan informasi, serta penjelas yang dipahami oleh penutur dan mitra tutur; dan (b) situasi interaksi yang dihasilkan oleh tindakan dari tuturan direktif tersebut.

3. Peristiwa Tutur di Lingkungan SMA Negeri 1 Surakarta

Dalam keseluruhan proses pendidikan dan pengajaran di sekolah, salah satunya SMA Negeri 1 Surakarta berlangsung interaksi antara guru dan siswa ataupun antarsiswa dalam proses belajar mengajar yang merupakan kegiatan paling pokok. Jadi, proses belajar-mengajar merupakan proses kegiatan interaksi antara dua unsur manusiawi, yakni siswa sebagai pihak yang belajar dan guru sebagai pihak yang mengajar. Muhammad Faiq Dzaki (2009: 1) menjelaskan bahwa dalam proses interaksi tersebut dibutuhkan komponen pendukung atau ciri-ciri interaksi edukatif, yaitu sebagai berikut.

(1) Interaksi belajar mengajar memiliki tujuan, yakni untuk membantu anak dalam suatu perkembangan tertentu. Interaksi belajar mengajar

sadar tujuan, dengan menempatkan siswa sebagai pusat perhatian siswa mempunyai tujuan.

(2) Ada suatu prosedur (jalannya interaksi) yang direncanakan, didesain untuk mencapai tujuan yang telah dilaksanakan. Dalam melakukan interaksi perlu adanya prosedur, atau langkah-langkah sistematik yang relevan.

(3) Interaksi belajar mengajar ditandai dengan satu penggarapan materi yang khusus. Materi didesain sehingga dapat mencapai tujuan dan dipersiapkan sebelum berlangsungnya interaksi belajar mengajar.

(4) Ditandai dengan adanya aktivitas siswa. Siswa sebagai pusat pembelajaran, maka aktivitas siswa merupakan syarat mutlak bagi berlangsungnya interaksi belajar mengajar.

(5) Dalam interaksi belajar mengajar guru berperan sebagai pembimbing. Guru memberikan motivasi agar terjadi proses interaksi dan sebagai mediator dan proses belajar mengajar.

(6) Dalam interaksi belajar mengajar membutuhkan disiplin. Langkah-langkah yang dilaksanakan sesuai dengan prosedur yang sudah ditentukan.

(7) Ada batas waktu. Setiap tujuan diberi waktu tertentu, kapan tujuan itu harus dicapai.

(8) Unsur penilaian. Untuk mengetahui apakah tujuan sudah tercapai melalui interaksi belajar-mengajar.

Gagne dalam Abdillah dan Abdul (1988 : 17) mengatakan bahwa belajar merupakan suatu proses yang dapat dilakukan oleh makhluk hidup yang memungkinkan makhluk hidup ini merubah perilakunya cukup cepat dalam cara kurang lebih sama, sehingga perubahan yang sama tidak harus pada setiap situasi baru. Adapun Dahar (1988) dalam (Muhammad Faiq Dzaki, 2009: 2) mendefinisikan belajar sebagai suatu proses dimana organisme perilakunya sebagai akibat pengalaman. Belajar bukanlah menghafalkan fakta-fakta yang terlepas-lepas, melainkan mengaitkan konsep yang baru dengan konsep yang telah ada dalam struktur kognitif, atau mengaitkan konsep pada umumnya menjadi proposisi yang bermakna, termasuk dalam kegiatan berbahasa.

Merujuk pada kaum kontruktivis bahwa belajar merupakan proses aktif dalam mengkonstruksi arti teks, dialog, pengalaman fisik, dan lain-lain. Lebih lanjut dikemukakan bahwa belajar juga merupakan proses mengasimilasikan dan menghubungkan pengalaman atau apa yang dipelajari dengan apa yang sudah dipunyai seseorang (Suparno, 1997 : 61).

Berdasarkan beberapa pendapat tentang belajar tersebut dapat disimpulkan bahwa belajar merupakan suatu proses usaha yang dilakukan individu secara sadar untuk memperoleh perubahan tingkah laku tertentu baik yang dapat diamati secara langsung maupun yang tidak dapat diamati secara langsung sebagai pengalaman (latihan) dalam interaksinya dengan lingkungan. Atau dapat dikatakan bahwa belajar sebagai suatu aktivitas mental atau psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan

lingkungan dan menghasilkan perubahan dalam pengetahuan dan pemahaman, keterampilan serta nilai-nilai dan sikap.

Mengajar bukanlah kegiatan memindahkan pengetahuan dari guru ke siswa, melainkan suatu kegiatan yang memungkinkan siswa membangun sendiri pengetahuannya. Mengajar berarti partisipasi dengan siswa dalam membentuk pengetahuan, membuat makna, mencari kejelasan, bersikap kritis, dan mengadakan justifikasi. Jadi mengajar adalah suatu bentuk belajar sendiri. (Bettencournt, 1989 dalam Suparno,1997 : 65)

Proses belajar harus tumbuh dan berkembang dari diri anak sendiri, dengan kata lain anak-anak yang harus aktif belajar sedangkan guru bertindak sebagai pembimbing. Pandangan ini pada dasarnya mengemukakan bahwa mengajar adalah membimbing kegiatan belajar anak. ”Teaching is the guidance of learning activities, teaching is for the purpose of aiding the pupil learn” (Hamalik, 2002:58). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa belajar mengajar merupakan proses kegiatan komunikasi dua arah. Proses belajar mengajar merupakan kegiatan yang integral (terpadu) antara siswa sebagai pelajar yang sedang belajar dengan guru sebagai pengajar yang sedang mengajar. Selanjutnya proses belajar mengajar merupakan aspek dari proses pendidikan.

Berdasarkan orientasi proses belajar mengajar siswa harus ditempatkan sebagai subjek belajar yang sifatnya aktif dan melibatkan banyak faktor yang mempengaruhi, maka keseluruhan proses belajar yang harus dialami siswa dalam kerangka pendidikan di sekolah dapat dipandang

sebagai suatu sistem, yang mana sistem tersebut merupakan kesatuan dari berbagai komponen (input) yang saling berinteraksi (proses) untuk menghasilkan sesuatu dengan tujuan yang telah ditetapkan (output), salah satunya menjadi siswa yang memiliki budi pekerti yang luhur, termasuk di dalamnya memiliki kemampuan berbahasa yang santun dengan siapa saja.

Dalam kegiatan berbahasa, interaksi (interaction) mengandung pengertian hubungan komunikasi timbal balik antara penutur dan mitra tutur. Dalam dunia pendidikan biasanya dikenal interaksi belajar-mengajar, yang dapat diartikan komunikasi timbal balik antara guru dan siswa untuk mencapai tujuan belajar-mengajar (Sardiman: 2001: 7). Dalam interaksi belajar-mengajar itu secara sederhana dapat diasumsikan bahwa unsur-unsur yang terlibat dalam komunikasi interaktif itu, antara lain; guru dan siswa (peserta tutur), bahan atau materi pelajaran (pesan), dan wacana lisan atau bahasa (media/salurannya).

Guru yang memiliki peran penting dalam kegiatan mengajar dan mengelola kelas, diharapkan dapat mempertahankan dan menarik perhatian siswa, menyuruh mereka berbicara ataukah diam, menyuruh mereka mengatakan sesuatu ataukah menuliskan sesuatu, dan mencoba mengecek apakah siswa-siswanya mengikuti apa yang sedang di lakukan di kelas pada saat belajar-mengajar (Abd Syukur Ibrahim: 211). Oleh karena itu, tuturan guru sangat berbeda dengan tuturan profesi lain, seperti dokter, pengacara, wartawan, pengkhotbah, dan sebagainya. Tuturan guru dikarakterisasi dengan banyaknya tuturan yang menindakkan tindak tutur tertentu, antara

lain; menginformasikan, menjelaskan, menanyakan, membenarkan, menarik perhatian, memerintah, melarang, dan menyuruh. Tuturan guru diharapkan harus selalu berhati-hati sebab apa yang dituturkan atau dikatannya, bagi siswa adalah sesuatu yang benar. Demikian juga cara bertutur atau cara mengatakan sesuatu harus benar dan baik karena akan diperhatikan dan kemudian akan ditiru siswanya (Kunardi Hardjoprawiro, 2005: 26).

Dalam penelitian ini tidak hanya memfokuskan pada analisis wacana lisan di dalam kelas pada saat kegiatan belajar-mengajar, tetapi juga wacana lisan di luar kelas yang justru ditemukan bentuk tuturan direktif yang variatif. Wacana lisan di luar kelas yang dimaksud dalam penelitian ini adalah wacana lisan yang diperoleh di luar kelas, tetapi masih di lingkungan sekolah SMA Negeri 1 Surakarta, misalnya peristiwa tutur di perpustakaan, di kantin, di ruang Tata Usaha, di Ruang Piket, di UKS, di halaman sekolah, dan sebagainya.

Untuk lebih jelasnya, berikut ini akan dipaparkan perbedaan wacana lisan di dalam kelas dan wacana di luar kelas menurut Subyakto-Nababan (2000: 22).

Tabel 1. Perbedaan Wacana di Dalam Kelas dan di Luar Kelas Wacana di Dalam Kelas Wacana di Luar Kelas 1. Komunikasi dalam situasi yang

terkendali: baik antara guru dan siswa maupun antara siswa dan siswa, atas pengarahan guru. 2. Pertanyaan guru (disebut

elisitasi) menuntut jawaban

1. Komunikasi antara pembicara