• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tingkat Inovasi dan Daya Saing Produk

9 PENENTUAN PRIORITAS STRATEGI PENGEMBANGAN

8.4. Analisis Kondisi Faktor-faktor Ekstrinsik di Setiap Negara

8.4.4. Tingkat Inovasi dan Daya Saing Produk

Peranan produk-produk inovatif dan daya saing produk menjadi salah satu faktor ekstrinsik kelembagaan terpenting yang menjadi pendorong terbesar berkembang dengan baiknya agroindustri halal. Penilaian faktor tersebut dinilai berdasarkan pemenuhan kriteria-kriteria yang terdiri dari berbagai macam produk inovatif yang dihasilkan, banyaknya variasi produk serta kualitas produk yang dihasikan.

Diantara enam negara yang diperbandingkan, Thailand merupakan negara yang memiliki tingkat inovasi dan daya saing produk halal terbaik dengan skor nilai 4,50. Nilai yang didapatkan tersebut adalah nilai yang mendekati sempurna. Produk-produk Thailand sudah lama sangat dikenal diseluruh dunia dengan keunikan, variasi dan inovasi-inovasi baik itu dari cita rasa maupun ragamnya. Malaysia juga memiliki nilai yang sangat baik diikuti oleh Singapura dengan skor

4,33 dan 4,17. Posisi Indonesia berada pada posisi empat dengan skor 3,33 yang termasuk kedalam kelompok dengan inovasi yang cukup baik bersama Brunei Darussalam dengan skor 3,17, sedangkan negara yang memiliki inovasi yang kurang baik hanya ditempati oleh Filipina dengan skor 2,17.

Posisi Thailand dan Malaysia sangat kuat dalam daya saing dan inovasi produk halal. Hal tersebut sejalan dengan kuatnya posisi kedua negara tersebut yang memiliki kekuatan sangat baik dalam dukungan riset dan pengembangan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan pengembangan agroindustri halal, sehingga memungkinkan banyak terciptanya inovasi-inovasi baru yang memiliki tingkat daya saing yang tinggi yang dapat dipertahankan secara berkesinambungan.

8.4.5. Kemampuan Lembaga Sertifikasi

Pada faktor kekuatan lembaga sertifikasi atau lembaga audit halal, Indonesia mendapatkan nilai 5,0 yang merupakan skor tertinggi dalam penilaian kekuatan faktor ekstrinsik kelembagaan sehingga kekuatan pada faktor tersebut sudah sangat baik. Dalam faktor kemampuan lembaga sertifikasi, kriteria yang dijadikan parameter adalah pemenuhan akan kriteria yang terdiri dari besarnya pengaruh internasional, jejaring kerjasama lembaga sertifikasi, dan kekuatan keilmuan dan riset yang melatarbelakangi keputusan-keputusan lembaga sertifikasi.

Lembaga sertifikasi di Indonesia adalah lembaga non pemerintah yang bernama Lembaga di bawah lembaga ulama bernama Majelis Ulama Indonesia (MUI). LPPOM-MUI memiliki kemampuan sertifikasi yang dinilai terbaik di seluruh dunia. Standar sertifikasinya dijadikan acuan bagi lembaga sertifikasi halal dunia yang lain. Thailand menempati posisi ke dua dengan nilai 4,50 yang berati juga memiliki kemampuan yang sangat baik. Hal tersebut didasari kemampuan Thailand dalam membuat sistem sertifikasi halal yang terintegrasi dengan konsep mutu yang berlaku secara internasional yang lebih dikenal dengan Hal-Q yang telah dikenal secara luas hingga negara-negara Eropa (Saifah, 2009). Pada posisi ke tiga, Malaysia mendapatkan nilai 4,17 kemudian Brunei

Darussalam, Singapura dan Filipina dengan skor masing-masing adalah 2,83, 2,67 dan 1,33.

8.4.6. Riset dan Penguasaan Teknologi

Faktor ekstrinsik kelembagaan riset dan penguasaan teknologi pada pengembangan agroindustri halal menjadi faktor multlak bagi pengembangan yang berkelanjutan untuk menciptakan berbagai inovasi baru sehingga mampu berdaya saing tinggi dengan produk-produk negara lain. Parameter yang digunakan dalam penilaian kekuatan riset dan penguasaan teknologi adalah jumlah penelitian dan pengembangan yang dilakukan, jumlah inovasi dan penemuan keilmuan yang berkaitan dengan halal serta penggunaan teknologi pada industri.

Dari kriteria di atas, urutan kekuatan pada bidang riset dan penguasaan teknologi yang berkaitan dengan agroindustri halal adalah sebagai berikut; kelompok negara yang kondisinya sangat baik meliputi Malaysia (4,67) dan Thailand (4,50), sedangkan yang cukup baik meliputi Singapura (2,83), Indonesia (2,83). Untuk negara yang kurang baik tingkat penguasaan riset dan penguasaan teknologinya adalah Brunei Darussalam (2,33) dan Filipina (2,00).

Lebih jauh, Malaysia dan Thailand memiliki komitmen yang kuat dalam penguasaan teknologi dan penciptaan-penciptaan paten yang berkaitan dengan halal yang kemudian digunakan secara baik oleh pihak industri dalam negarinya. Untuk negara-negara lain diluar ke dua negara tersebut belum memprioritaskan riset dan penguasaan teknologi yang ditujukan bagi pengembangan agroindustri halal.

8.4.7. Ketersediaan Bahan Baku

Penilaian atas faktor ekstrinsik kelembagaan ketersediaan bahan baku didasarkan atas parameter pemenuhan tiga kriteria penilaian yakni, besarnya variasi bahan baku, tingkat keberlanjutan bahan baku produksi dan tingkat ketersediaan bahan baku. Dari penilaian atas kriteria tersebut, Indonesia berada pada posisi pertama dengan skor 4,83. Di posisi ke dua Thailand mendapatkan skor 4,33, sedangkan pada posisi ke tiga adalah Filipina dengan skor 4,17,

diikuiti oleh Malaysia (3,33), Brunei Darussalam (1,33) dan posisi paling rendah adalah Singapura dengan skor 1,00.

Negara-negara di Asia Tenggara pada umumnya memlilki sumber daya alam yang melimpah dan mampu mencukupi kebutuhan bahan baku yang dibutuhkan agroindustri halal. Jika dilihat dari luasan dan potensi yang ada, sebagai contoh, Indonesia yang sedianya mampu menjadi penyedia bahan baku yang besar namun memiliki kendala dalam hal tingkat keberlanjutan serta persaingan yang ketat dimana negara pesaing seperti Thailand telah mampu menunjukkan kemapuannnya dalam menjaga pasokan bahan baku dengan kualitas baik dan berkelanjutan.

8.4.8. Pasar

Kekuatan potensi pasar dinilai dari pemenuhan beberapa parameter, yakni besarnya jumlah penduduk, captive market, dan tingkat daya beli yang terjadi pada negara yang bersangkutan. Dari hasil anlisa tingkat daya saing berdasarkan kekuatan potensi pasar, Indonesia mendapatkan skor 5,0. Skor tersebut merupakan skor terbaik jika dibandingkan Malaysia (2,83), Brunei Darussalam (1,67), Thailand (2,0), Filipina (1,67) dan Singapura (1,17).

Jumlah penduduk menjadi faktor yang sangat penting dalam menentukan besarnya potensi pasar, terutama jumlah penduduk muslim yang menjadi pasar utama produk halal. Penilaian atas jumlah penduduk juga diimbangi dengan penilaian atas tingkat pertumbuhan ekonomi negara yang bersangkutan yang berkaitan dengan tinggi tidaknya daya beli masyarakat. Keunggulan Indonesia yang memiliki penduduk mayoritas Muslim, menjadikan produk yang memiliki status halal menjadi pasar yang besar. Indonesia saat ini menjadi negara dengan pangsa pasar produk halal terbesar di dunia dengan nilai USD 78,5 juta per tahun (World Halal Forum, 2010).

8.4.9. Jejaring Kelembagaan

Jejaring kelembagaan menjadi salah satu faktor ekstrinsik kelembagaan yang dipersyaratkan untuk dipenuhi dalam mengembangkan agroindustri halal. Kekuatan jejaring kelembagaan dinilai berdasarkan pemenuhan tiga kriteria yakni,

koordinasi antar lembaga pemerintah, sinergisme pemerintah dan pihak industri, serta jejaring kerjasama pemerintah dan lembaga sertifikasi.

Jejaring kelembagaan yang memiliki tingkatan paling baik adalah Malaysia dengan skor 5,0 dan Thailand yang menempati posisi kedua dengan skor 4,83 yang juga memiliki yang merupakan nilai tertinggi. Nilai tersebut didapatkan Malaysia dan Thailand atas pemenuhan ketiga kriteria kekuatan jejaring kelembagaan di atas. Malaysia menjadi acuan dimana pembangunan jejaring kelembagaan berlangsung sinergis sehingga dapat memajukan agroindustri halalnya untuk dapat bersaing di pasar global.

Jejaring kelembagaan yang berkembang baik saat ini juga dilakukan oleh Brunei Darussalam yang mendapatkan skor 4,33. Singapura, Filipina dan Indonesia dinilai kurang baik dalam mengupayakan jejaring kelembagaan untuk pengembangan agroindustri halal, dengan skor masing-masing 3,0, 2,50 dan 2,50. Skor yang didapatkan Indonesia merupakan skor terendah bersama Filipina mengindikasikan bahwa kurang kuatnya sinergisme dan kerjasama antar pemangku kepentingan dalam mengembangkan agroindustri halal.

8.4.10.Infrastruktur Logistik

Pengembangan agroindustri halal tidak terlepas dari kemampuan pemerintahan suatu negara dalam menyediakan infrastruktur logistik yang baik dan mampu memjamin ke-halalan produk selama produk tersebut mengalami proses perubahan bentuk, fungsi dan perpindahan lokasi. Penilaian atas kekuatan faktor ekstrinsik kelembagaan infrastruktur logistik meliputi beberapa kriteria yang harus dipenuhi yakni, kondisi dan jaringan jalan, ketersediaan pelabuhan yang halal compatible dan berstandar internasional serta ada tidaknya insentif pajak pagi para pelaku industri halal.

Dari kriteria tersebut, skor infrastruktur logistik terbaik diraih oleh Singapura dengan skor 4,83. Singapura telah siap dengan infrastruktur yang memenuhi syarat halal dengan dukungan pelayanan logistik yang terbaik di dunia (World Competitiveness Index, 2010). Dilain pihak, Malaysia yang memiliki skor yang sama dengan Singapura, namun lebih unggul dalam penyediaan infrastruktur yang benar-benar didedikasikan bagi industri halal. Hal

yang sama juga dilakukan oleh Thailand, industri halal Thailand difokuskan di daerah selatan dengan perolehan skor untuk kematangan faktor logistik sebesar 2,50. Nilai terendah di didapatkan oleh Indonesia dengan skor 1,33, dan Filipina dengan skor 1,17. Skor tersebut menunjukan bahwa infrastruktur yang dimiliki termasuk ke dalam kondisi yang sangat kurang dan perlu segera dibenahi.

8.4.11.Sistem Sertifikasi Halal

Sistem sertifikasi halal menjadi salah satu faktor penting yang dipertimbangkan sebagai penopang kekuatan agroindustri halal di suatu negara. Kriteria-kriteria pemenuhannya meliputi tingkat penerimaan standar sertifikasi di tingkat internasional dan domestik, pengakuan sertifikasi di tingkat internasional serta penerimaan industri dalam dan luar negeri.

Hasil penilaian berdasarkan faktor ekstrinsik kelembagaan sistem jaminan halal, Indonesia memiliki skor 4,83. Skor tersebut menunjukkan bahwa Indonesia memiliki kekuatan yang sangat baik dalam sistem sertifikasi halal, hal tersebut dikarenakan banyaknya lembaga-lembaga dan negara internasional yang menerima dan mengacu pada sistem sertifikasi yang diterapkan. Setidaknya terdapat 41 lembaga sertifikasi halal dunia merujuk kepada Sistem Jaminan halal (SJH) LPPOM-MUI. Lembaga-lembaga tersebut antara lain berasal dari negara-negara ASEAN, Kanada, Inggris, Belanda, Belgia, Turki, Jepang dan Amerika Serikat (LPPOM-MUI, 2010).

Sistem sertifikasi halal Indonesia adalah sistem yang terbaik dibandingkan dengan enam negara lain di ASEAN lainnya. Thailand mendapatkan posisi ke dua dengan skor 4,33 sedangkan Malaysia, Brunei Darussalam memiliki sistem sertifikasi yang cukup baik dengan skor 3,83 dan 3,0. Di lain pihak, Singapura dan Filipina menjadi negara yang sistem sertifikasinya kurang baik dengan skor 2,67 dan 1,17.

8.4.12.Kekuatan Pelaku Bisnis Agrondustri Halal

Faktor ekstrinsik kelembagaan kekuatan pelaku bisnis agroindustri halal dinilai berdasarkan pemenuhan kriteria jumlah pelaku industri halal baik industri besar ataupun industri menengah serta kriteria adanya komitmen pemerintah

dalam menciptakan industri-industri halal baru Hasil penilaian faktor ekstrinsik kelembagaan kekuatan pelaku industri halal, Indonesia memiliki skor 3,00 yang berarti cukup baik.

Posisi Indonesia berada di bawah Thailand dan Malaysia yang mendapatkan skor 4,83 dan 4,67, Brunei Darussalam 2,50, Singapura 2,00 dan Filipina 1,33. Jika dibandingkan dengan negara lain seperti Thailand dan Malaysia, untuk membangun kekuatan bisnis agroindustri halal dalam jangka panjang, kebijakan yang dilakukan adalah dengan menciptakan dan menyiapkan para pelaku usaha kelas menengah untuk menjadi pemain besar dengan tingkat daya saing yang tinggi. Program tersebut lebih dikenal dengah program Halal Champions.

8.5. Analisis Kekeuatan Faktor- Faktor Ekstrinsik Kelembagaan Di Setiap Negara

Malaysia menjadi negara yang memiliki skor 4,54 atas kondisi faktor-faktor ekstrinsik kelembagaan agroindustri halalnya. Dengan skor tersebut menempatkan Malaysia dalam kategori yang sangat baik bersama dengan Thailad dengan skor 4,25, sedangkan Brunei Darussalam memiliki konsisi yang baik bersama dengan Singapura dengan perolehan skor 3,43 dan 3,11. Indonesia memiliki skor 2,73 dengan kondisi faktor ektrinsik yang kurang baik mendukung pengembangan agroindustri halal. Posisi paling akhir adalah Filipina yang mendapatkan skor 1,79 yang merupakan pendatang baru dalam bisnis halal ASEAN. Hasil total yang didapatkan dari penilaian terhadap penguasaan faktor-faktor ektrinsik kelembagaan ditampilkan pada Gambar 52 berikut.

Gambar 52. Skor Akhir Faktor Ekstrinsik Kelembagaan 4,54 4,25 3,43 3,11 2,73 1,79 Malaysia Thailand Brunei Darussalam Singapura Indonesia Filipina

Dari gambaran di atas, dapat diketahui bahwa persaingan yang cukup ketat terjadi antara Malaysia dan Thailand yang dinilai sangat baik dalam mensinergikan faktor-faktor ekstrinsik kelembagaan yang dibutuhkan dalam pengembangan agroindustri halal. Posisi Brunei Darussalam yang berada lebih tinggi dari Indonesia adalah dalam beberapa hal, terutama pada komitmen pemerintahannya dalam pemenuhan kriteria-kriteria yang ditetapkan. Di lain pihak, meskipun Indonesia unggul dalam beberapafaktor yang bobot kepentingan faktor kepentingan rendah. Hal tersebut menyebabkan posisi kekuatan Indonesia berada pada posisi lima dari enam negara yang dinilai. Filipina berada pada posisi ke-enam dengan skor 1,79. Walaupun dikategorikan sebagai kurang baik, hal tersebut lebih banyak disebabkan oleh karena agroindustrimya memang tidak diarahkan untuk penguasaan bisnis halal. Secara lebih detail, keunggulan faktor-faktor ektrinsik pada setiap negara diperlihatkan pada Tabel 23 berikut.

Tabel 23. Perolehan Skor Faktor Ekstrinsik Kelembagaan Agroindustri Halal Di Enam Negara ASEAN

No. Faktor Eksintrik

Kelembagaan Indonesia Malaysia

Brunei

D. Thailand Filipina Singapura

1 Kebijakan dan Komitmen Pemerintah 2,50 4,67* 4,33 4,00 1,33 2,33 2 Tingkat Kesadaran Masyarakat dan Industri 3,83 4,67* 4,83 4,17 1,83 3,33 3 Advokasi Internasional dan Lokal 2,00 4,83* 3,50 4,00 1,83 3,17

4 Tingkat Inovasi dan

Daya Saing Produk 3,33 4,33 3,17 4,50* 2,17 4,17 5 Kemampuan Lembaga Sertifikasi 5,00 4,17 2,83 4,50* 1,33 2,67 6 Riset dan Pengusasaan Teknologi 2,83 4,67* 2,33 4,50 2,00 2,83 7 Ketersediaan Bahan Baku 4,83* 3,33 1,33 4,33 4,17 1,00 8 Potensi Pasar 5,00* 2,83 1,67 2,00 1,67 1,17 9 Jejaring Kelembagaan 2,50 5,00 4,33 4,83 2,50 3,00 10 Infrastruktur Logistik 1,33 4,83 3,50 4,50 1,17 4,83 11 Sistem Sertifikasi Halal 4,83* 3,83 3,00 4,33 1,17 2,67 12 Jumlah Pelaku Industri Halal 3,00 4,67 2,50 4,83* 1,33 2,00

Pada Tabel 22 di atas dijabarkan hasil rekapitulasi penilaian responden terhadap faktor-faktor ektrinsik yang telah ditetapkan. Untuk mendapatkan posisi kekuatan yang dianalisis dari faktor-faktor ekstrinsik kelembagaan yang dapat diperbandingkan dengan negara-lain agar dapat menilai kekuatan dan kelemahan secara total, maka nilai-nilai tersebut dikalikan dengan bobot kepentingannya. Secara jelas tingkat kematangan agroindustri halal di setiap negara digambarkan pada Gambar 53 berikut.

Gambar 53. Perbandingan Tingkat Kematangan Faktor Ekstrinsik Kelembagaan

Agroindustri Halal Di Enam Negara ASEAN

Pada Gambar 52 di atas, dapat dilihat jejaring yang dimiliki setiap negara yang menunjukkan penguasaan dan tingkat perkembangan agroindustri halal di setiap negara. Tingkat kekuatan dilihat dari besarnya luasan yang didapatkan dalam pemenuhan jejaring, Semakin luas jejaring dapat dipenuhi maka semakin baik kondisi negara yang bersangkutan dalam memenuhi faktor-faktor ekstrinsik kelembagaan yang menjadi kriteria. Selain luas jejaring yang dipenuhi, pola yang dibentuk juga menggambarkan tingkat sinergisme antar faktor yang dikembangkan oleh negara yang bersangkutan. Semakin bulat dan besar pola yang

dibentuk, maka semakin baik tingkat sinergisme dan pengembangannya. Pola tersebut menunjukkan faktor-faktor kuat mana saja yang harus dipertahankan, serta faktor-faktor lemah mana saja yang harus segera diatasi.

Malaysia tampak sebagai negara dengan jejaring yang hampir sempurna. Luas jejaring yang ditunjukkan adalah yang paling luas terpenuhi dengan pola yang mendekati bulat sempurna. Hal tersebut menunjukkan bahwa Malaysia memiliki keunggulan diberbagai faktor yang ditetapkan dengan tingkat sinergisme yang baik yang diperlihatkan dengan pola yang menuju bulat sempurna.

Perbedaan kondisi penguasaan dan kekuatan faktor-faktror ekstrinsik kelembagaan agroindustri halal disetiap negara terlihat dengan jelas dari luasan pemenuhan jejaring yang paling baik ditunjukkan oleh Malaysia, sedangkan yang paling kurang penguasaanya seperti yang diperoleh oleh Filipina. Untuk tingkat konsistensi dan sinergisme pengembangan dapat terilhat bahwa Malaysia memiliki kesenjangan yang paling kecil antar faktor sedangkan Indonesia memiliki kesenjangan yang terbesar diantara ke enam tersebut. Hal tersebut mencerminkan bahwa Indonesia memiliki sinergisme pengembangan yang kurang baik dibandingkan dengan negara-negara lainnya. Untuk lebih lengkap deskripsi setiap negara dapat ditampilkan sebagai berikut.

8.5.1.1.Malaysia

Penguasaan faktor-faktor ekstrinsik kelembagaan dalam pengembangan agroindustri halal oleh Malaysia merupakan yang terbaik secara keseluruhan dari enam negara yang diperbandingkan. Kekuatan yang dimiliki Malaysia hampir merata dalam semua faktor yang tergolong sangat baik kecuali pada potensi pasar yang memiliki skor 2,83. Gambar 54 berikut menjelaskan secara detail kekuatan faktor ekstrinsik kelembagaan bisnis dan agroindustri halal Malaysia.

Gambar 54. Tingkat Kematangan Faktor Ekstrinsik Kelembagaan Agroindustri Halal di Malaysia

Dalam pengembangan agroindustri halal, Malaysia memiliki tingkat sinergitas yang tinggi. Hal tersebut ditunjukkan dengan pola jejaring yang hampir bulat sempurna. Nilai tertinggi diraih pada faktor jejaring kelembagaan dengan skor 5,0. Jejaring kelembagaan di Malaysia menjadi acuan bagi negara lain terutama dalam membangun sistem birokrasi. Hal tersebut menggambarkan bahwa pemerintahannya memiliki fokus yang jelas dalam mengembangkan bisnis halal dengan platform halal sebagai pondasi utamanya, memiliki kesamaan visi dan misi pengembangan agroindustri halal, yang diadopsi oleh lembaga-lembaga yang berkepentingan, serta jejaring kerjasama yang dikembangkan hingga tingkat internasional dengan tujuan mengembangkan potensi pasar dan investasi.

Keunggulan Malaysia adalah dalam hal berjejaring dan kemampuan advokasi yang kuat dan luas, yang dilakukan oleh pemerintah dengan mengeluarkan kebijakan perindustrian yang sinkron dengan kebijakan perdagangan. Kekuatan advokasi yang diimbangi dengan jejaring kelembagaan secara internasional membuat Malaysia mampu meyakinkan dunia internasional terhadap produk dan standar sertifikasi halal yang dikembangkannya. Hal tersebut dibuktikan dengan berhasilnya Malaysia dalam memperluas pemahaman produk dan pasar halal di Eropa, Asia dan dan Amerika. Sebagai bukti keberhasilan Malaysia dalam pelaksanaan advokasinya adalah penyelenggaran World Halal Forum yang digagas Halal Development Coorporation (HDC) Malaysia di London, Inggris pada tahun 2011.

Malaysia memiliki skor keseluruhan yang tinggi dan termasuk ke dalam kategori sangat baik. Faktor-faktor yang memiliki bobot kepentingan yang tertinggi yakni, komitmen dan kebijakan pemerintah (4,67), infrastruktur logistik (4,83), tingkat kesadaran masyarakat dan industri (4,67), tingkat inovasi dan daya saing produk (4,33), kemampuan lembaga sertifikasi (4,17), riset dan penguasaan teknologi (4,67), jejaring kelembagaan (5,0), dan kekuatan pelaku industri halal (4,67). Skor yang menunjukan kondisinya baik terletak pada faktor-faktor yang memiliki bobot kepentingan relatif rendah seperti ketersediaan bahan baku (3,33), potensi pasar (2,83) dan sistem sertifikasi halal (3,83). Dengan kondisi tersebut, Malaysia mendapatkan posisi terbaik dalam penguasaan faktor-faktor ekstrinsik kelembagaan agroindustri halal.

8.5.2. Thailand

Thailand memiliki tingkat keberhasilan yang besar terhadap bisnis halal. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan posisinya yang menempati posisi dua dalam kekuatan faktor-faktor ekstrinsik kelembagaan pengembangan agroindustri halal. Gambar 55 menunjukkan secara detail kekuatan faktor-faktor ekstrinsik kelembagaan Thailand.

Gambar 55. Tingkat Kematangan Faktor Ekstrinsik Kelembagaan Agroindustri Halal di Thailand

Skor tertinggi yang diperoleh Thailand berada pada jumlah pelaku agroindustri halal yang dimilikinya. Besarnya pelaku agroindustri halal dilatarbelakangi oleh kebijakan dan komitmen pemerintah yang tinggi (4,0) dalam

mengembangankan bisnis berbasiskan agroindustri halal. Kebijakan tersebut diterjemahkan pada pengembangan infrastruktur yang sangat baik (4,50), pengembangan dan penguatan jejaring kelembagaan yang mensinergikan program-program bermotif bisnis yang melibatkan lembaga-lembaga di sektor perdagangan, perindustrian, pertanian, pariwisata serta program kebijakan politiknya yang mnenyangkut perlindungan penduduk minoritas.

Pola jaringan yang terlihat pada Gambar 56 di atas sudah menunjukkan sinergitas pengembangan yang cukup berimbang. Hal tersebut terlihat dari bentuk jejaring yang hampir membentuk sebuah lingkaran. Potensi pasar yang kurang besar mengakibatan gambaran jejaring yang tampak menjadi tidak sempurna. Potensi pasar lokal yang kecil disiasati pemerintah dengan mengembangkan kebijakan agroindustri mendorong pelaku industrinya untuk melakukan ekspansi pada pasar internasional.

Kebijakan pemerintah Kerajaan Thailand dalam pengembangan agroindustri halal juga dituangkan dalam pengembangan riset dan penguasaan teknologi yang memiliki skor yang sangat baik (4,50). Thailand adalah negara pertama yang mengembangkan pusat penelitian makanan halal diantara negara-negara ASEAN. Ditambah dengan kemampuan advokasi yang sangat baik, Thailand mampu mentransformasikan kemampuan agoindustrinya menjadi kekuatan ekonomi dengan menguasai pasar makanan asia di Eropa dan Asia. Kesadaran industrinya akan kehalalan produk juga termasuk baik (4,17) yang dibuktikan dengan besarnya jumlah industri Thailand yang bersertifikat halal.

Dari gambaran di atas terilihat perkembangan agroindustri khususnya industri makanan Thailand yang berkembang pesat dengan memperhatikan mutu dan keunggulan bersaing produknya. Berbagai kebijakan yang strategis dan konsisten membawa Thailand sebagai negara yang berhasil mengembangkan industi halal dengan baik. Berbagai indikator keberhasilan di atas adalah cerminan kesuksesan Thailand dalam membangun bisnis dengan platform halal. Dengan skor faktor yang dijelaskan di atas maka Thailand yang kuat di faktor-faktor ekstrinsik kelembagaan berbobot tinggi hanya sedikit berada di bawah Malaysia (5,45) dengan skor total 4,24.

8.5.3. Brunei Darussalam

Posisi ke tiga dalam kekuatan faktor-faktor eksintrik adalah Brunei Darussalam. Konteks agroindustri halal yang dinilai dalam penelitian ini membuat faktor-faktor kebijakan, infrastruktur, advokasi, dan jejaring kelembagaan memiliki bobot yang tinggi. Brunei Darussalam memiliki hasil skor yang tinggi dalam beberapa faktor tersebut. Gambar 56 berikut memperlihatkan kekuatan faktor-faktor ekstrinsik kelembagaan yang dimiliki oleh Brunei Darussalam.

Gambar 56. Tingkat Kematangan Faktor Ekstrinsik Kelembagaan Agroindustri Halal di Brunei Darussalam

Skor dengan kategori sangat baik diperoleh Brunei Darussalam pada faktor kesadaran masyarakat dan industri (4,83) dan jejaring kelembagaan (4,33) dan kebijakan dan komitmen pemerintah (4,33). Pada aktor-faktor yang termasuk dalam kategori baik meliputi, advokasi internasional dan lokal (3,50), infrastruktur logistik (3,50), tingkat inovasi dan daya saing produk (3,17), sistem sertifikasi halal (3,00) dan jumlah pelaku industri halal (3,00). Faktor-faktor lain yang memiliki skor relatif randah antara lain adalah kemampuan lembaga sertifikasi (2,83), riset dan penguasaan teknologi (2,33), ketersediaan bahan baku (1,33), potensi pasar (1,67),

Dikarenakan Brunei Darussalam memiliki kelemahan dalam ketersediaan bahan baku, potensi pasar dan riset dan penguasaan teknologi, Brunei Darussalam kemudian memilih untuk mengembangkan kerjasama dengan pemasok bahan baku seperti Australia dan Selandia Baru, memberikan perhatian pada

peningkatan inovasi dan daya saing produknya dengan kekuatan jejaring kelembagaannya serta advokasi internasional. Pelaksanaan strategi dari hal tersebut adalah dengan mengembangkan memiliki visi untuk menjadi pusat produk-produk halal premium yang dikembangkan secara global sebagai jaminan bagi aktifitas ekonominya setelah minyak dan gas bumi. Advokasi diwujudkan dengan menjalin kemitraan dengan berbagai negara penghasil bahan baku terutama daging sapi untuk diolah menjadi produk halal bernilai tambah tinggi yang dijadikan komoditas ekspor utamanya.

Konsistensi kebijakan dan kekuatan faktor-faktor ekstrinsik kelembagaan Brunei Darussalam berada pada faktor-faktor yang memiliki bobot kepentingan yang tinggi. Hal tersebut menyebabkan Brunei Darussalam berada pada posisi

Dokumen terkait