• Tidak ada hasil yang ditemukan

T- hitung Peluang α

5.2. Pendapatan Daerah Kota Bogor

5.2.2. Tingkat Kemampuan Keuangan Daerah Kota Bogor

Pendapatan utama yang sering kali menjadi parameter untuk menentukan derajat desentralisasi fiskal yang dimiliki oleh suatu daerah adalah pendapatan yang diperoleh pemerintah daerah, yaitu pendapatan yang diterima yang berasal dari sumber-sumber yang dikelola oleh pemerintah daerah itu sendiri. Pendapatan

Asli Daerah (PAD) dan dana bagi hasil merupakan faktor penting bagi kemampuan daerah dalam melaksanakan pemerintahan daerah. Tingkat kemampuan daerah tercermin dari kontribusi pendapatan daerah sendiri (PAD dan dana bagi hasil) terhadap total pendapatan daerah. Besarnya nilai rasio pendapatan daerah sendiri menunjukkan tingkat kemandirian keuangan daerah. Sepanjang tahun 1993 hingga tahun 2007, kontribusi pendapatan daerah sendiri terhadap total pendapatan daerah berkisar antara 26,36 persen hingga 51,54 persen.

Sumber : BPS Kota Bogor, 1993-2007 (diolah)

Gambar 5.14. Tingkat Kemampuan Keuangan Daerah Kota Bogor

Pendapatan daerah Kota Bogor sebagian besar berasal dari dana transfer. Sejak tahun 1997, kontribusi dana transfer terhadap total pendapatan daerah relatif lebih besar dan meningkat setiap tahunnya, yaitu berkisar antara 29,33 persen hingga 69,17 persen (Gambar 5.14). Peningkatan rasio dana transfer tertinggi terjadi pada tahun 2001. Sepanjang tahun 2001 hingga 2007, kontribusi dana transfer terhadap pendapatan daerah mengalami penurunan.

Pada studi kasus kota Bogor ini, walaupun pemerintah Kota Bogor telah berhasil meningkatkan PAD dan dana bagi hasil, namun beban pemerintah daerah akibat desentralisasi fiskal meningkat sangat pesat sehingga kontribusi pendapatan

0 10 20 30 40 50 60 70 80 R_LOSHR R_TRSF

daerah sendiri terhadap APBD pada era desentralisasi fiskal relatif lebih rendah. Selang tertinggi antara rasio pendapatan daerah sendiri dan rasio dana transfer terjadi pada tahun 2001. Hal ini terjadi karena dana transfer yang diperoleh Kota Bogor meningkat tajam akibat pelimpahan pegawai. Sejak tahun 2002 hingga 2007 selang antara kedua rasio tersebut semakin kecil. Hal ini menunjukkan bahwa kontribusi pendapatan daerah sendiri terhadap total pendapatan daerah meningkat sedangkan kontribusi dana transfer relatif menurun. Artinya pada masa desentralisasi fiskal, tingkat kemampuan keuangan daerah Kota Bogor cenderung meningkat.

5.2.3. Potensi Keuangan Daerah

Pelaksanaan desentralisasi fiskal memberikan kewenangan bagi pemerintah daerah untuk meningkatkan pendapatan daerah. Kewenangan yang dimiliki pemerintah daerah dimanfaatkan untuk membuat kebijakan dalam rangka meningkatkan pendapatan daerah, seperti kebijakan peningkatan PAD, dana bagi hasil dan dana transfer. Potensi keuangan yang dianalisis dalam model dugaan terdiri dari pajak daerah, retrubusi daerah, laba usaha daerah, dana bagi hasil dan dana transfer.

5.2.3.1. Pajak Daerah

Pajak merupakan salah satu komponen PAD Kota Bogor. Kota Bogor melakukan pungutan terhadap enam jenis pajak, yang dari hasil pemungutan pajak tersebut diharapkan dapat membiayai tugas-tugas penyelenggaraan pemerintahan

dan pembangunan di Kota Bogor dalam rangka mencapai masyarakat adil dan makmur. Pendapatan pajak daerah Kota Bogor sepanjang tahun 1993 hingga 2007 mengalami peningkatan setiap tahunnya.

Tabel 5.7. Perkembangan Pajak Daerah Kota Bogor

Tahun Pajak Daerah (Juta Rupiah) Pertumbuhan (%)

1993 1.926,36 1994 2.759,52 43,25 1995 3.713,92 34,59 1996 4.906,46 32,11 1997 5.926,39 20,79 1998 5.691,48 -3,96 1999 7.398,62 29,99 2000 7.638,15 3,24 2001 12.668,42 65,86 2002 14.635,49 15,53 2003 17.881,73 22,18 2004 20.962,98 17,23 2005 27.289,32 30,18 2006 32.238,37 18,14 2007 37.504,97 16,34

Sumber : BPS Kota Bogor, 1993-2007 (diolah).

Komponen pajak merupakan salah satu sumber pendapatan daerah yang mengalami peningkatan cukup signifikan pada masa desentralisasi fiskal. Pada masa sebelum desentralisasi fiskal, pajak daerah Kota Bogor berkisar antara 1.926,36 juta rupiah hingga 7.638,15 juta rupiah sedangkan pada masa desentralisasi fiskal berkisar antara 12.668,42 juta rupiah hingga 37.504,97 juta rupiah. Pada tahun 2000, pajak daerah yang diperoleh Kota Bogor sebesar 7.638,15 juta rupiah dan meningkat hingga sebesar 12.668,42 juta rupiah dengan laju pertumbuhan sebesar 65,86 persen pada tahun 2001.

Untuk menduga faktor-faktor yang mempengaruhi pajak daerah di Kota Bogor, maka dirumuskan model dugaan pajak daerah. Berbagai variabel yang

diduga mempengaruhi pajak daerah antara lain : PDRB per kapita, jumlah populasi, inflasi, jumlah hotel dan dummy desentralisasi. Hasil regresi model dugaan pajak daerah terlihat pada Tabel 5.8 di bawah ini :

Tabel 5.8. Model Dugaan Pajak Daerah Kota Bogor

Variabel Parameter Dugaan T-hitung Peluang α

Intersep -15211,85 -3,818 0,004

PDRB per kapita 3819,073 4,616 0,001*

Populasi 0,014829 4.628 0,001*

Inflasi -26,54479 -1,311 0,222

Jumlah Kamar Hotel 0,530458 0,290 0,778

Dummy desentralisasi 1024,239 0,969 0,358

R2=0,965 R2-adj=0,946 F-hitung=50,173(0,000) DW=1,571

Hasil pengolahan model dugaan pajak daerah menunjukkan bahwa penerimaan pajak daerah di Kota Bogor secara signifikan dipengaruhi oleh PDRB per kapita dan jumlah populasi pada taraf nyata 5 persen (Tabel 5.8). Variabel PDRB per kapita berpengaruh positif terhadap pajak daerah. Artinya, jika PDRB per kapita meningkat satu juta rupiah, maka pajak daerah akan meningkat sebesar 3819,073 juta rupiah. Pernyataan ini didukung oleh pola hubungan antara PDRB per kapita dan pajak daerah yang secara nyata menunjukkan pola hubungan yang cenderung positif. PDRBC TA X 4.8 4.6 4.4 4.2 4.0 3.8 3.6 3.4 3.2 17500 15000 12500 10000 7500 5000 Scatterplot of TAX vs PDRBC

Sumber : BPS Kota Bogor, 1993-2007 (diolah).

Gambar 5.15. Pola Hubungan antara PDRB per Kapita (PDRBC) dan Pajak Daerah (TAX)

Tidak hanya variabel PDRB per kapita saja yang berpengaruh positif, variabel populasi pun berpengaruh positif dan nyata terhadap pajak daerah dengan nilai parameter dugaan sebesar 0,014829. Artinya, jika terjadi peningkatan populasi sebanyak satu orang, maka pajak daerah akan meningkat sebesar 0,014829 juta rupiah. Pernyataan ini didukung oleh pola hubungan antara populasi dan pajak daerah yang menunjukkan hubungan yang cenderung positif (Gambar 5.16). POP TA X 900000 800000 700000 600000 500000 400000 300000 200000 17500 15000 12500 10000 7500 5000

Scatterplot of TAX vs POP

Sumber : BPS Kota Bogor, 1993-2007 (diolah).

Gambar 5.16. Pola Hubungan antara Populasi (POP) dan Pajak Daerah (TAX)

Variabel inflasi, jumlah kamar hotel dan dummy desentralisasi tidak berpengaruh signifikan terhadap pajak daerah. Inflasi daerah tidak berpengaruh nyata terhadap pajak daerah. Hal ini diduga terjadi karena pajak merupakan iuran wajib yang dilakukan oleh badan atau pribadi kepada daerah. Oleh karena itu walaupun tingkat inflasi daerah mengalami peningkatan atau penurunan, para wajib pajak tetap harus membayar pajak daerah kepada pemerintah daerah. Tidak hanya itu, pelaksanaan desentralisasi fiskal tidak berpengaruh secara nyata terhadap pajak daerah. Peningkatan pajak daerah pada masa desentralisasi fiskal lebih dipengaruhi oleh peningkatan PDRB per kapita dan populasi.

5.1.3.2. Retribusi Daerah

Retribusi daerah merupakan komponen kedua yang memberikan kontribusi yang besar terhadap pendapatan asli daerah Kota Bogor. Pendapatan retribusi daerah Kota Bogor pada masa sebelum desentralisasi fiskal berfluktuasi, berkisar antara 5.998,02 juta rupiah hingga 12.100,14 juta rupiah. Retribusi daerah Kota Bogor pada masa desentralisasi fiskal mengalami peningkatan yang cukup pesat. Retribusi daerah pada tahun 2000 sebesar 7.638,15 juta rupiah dan meningkat hingga sebesar 12.668,42 juta rupiah dengan pertumbuhan sebesar 54,21 persen pada tahun 2001.

Tabel 5.9. Perkembangan Retribusi Daerah Kota Bogor

Tahun Retribusi Daerah (Juta Rupiah) Pertumbuhan (%)

1993 5.998,02 1994 7.611,80 26,91 1995 9.647,13 26,74 1996 11.277,00 16,89 1997 12.100,14 7,30 1998 7.859,63 -35,05 1999 7.675,35 -2,34 2000 7.276,74 -5,19 2001 11.221,26 54,21 2002 12.823,88 14,28 2003 18.736,97 46,11 2004 22.557,86 20,39 2005 23.951,25 6,18 2006 27.284,33 13,92 2007 28.319,58 3,79

Sumber : BPS Kota Bogor, 1993-2007 (diolah).

Untuk menduga faktor-faktor yang mempengaruhi retribusi daerah, maka dirumuskan model dugaan retribusi daerah. Model dugaan retribusi daerah dipengaruhi oleh PDRB per kapita, inflasi, jumlah wisatawan, retribusi tahun lalu dan dummy desentralisasi. Nilai R2 dan R2–adj sebesar 0,959 dan 0,936 (Tabel

5.10). Nilai ini menunjukkan bahwa model dugaan retribusi daerah tersebut sangat baik menginterpretasikan kondisi yang sebenarnya. Retribusi daerah secara signifikan dipengaruhi oleh inflasi daerah, jumlah wisatawan dan penerimaan retribusi tahun lalu pada taraf nyata sebesar 5 persen.

Tabel 5.10. Model Dugaan Retribusi Daerah Kota Bogor

Variabel Parameter Dugaan T-hitung P-value

Intersep -1869,160 -0,586 0,572

PDRB per kapita -673,2295 -0,846 0,419

Inflasi -248,6573 -8,875 0,000*

Jumlah wisatawan 0,003382 3,689 0,005*

Retribusi tahun lalu 1,116110 12,471 0,000*

Dummy desentralisasi fiskal 1643,328 2,047 0,071

R2=0,959 R2-adj=0,936 F-hitung=41,691(0,000) DW=2,743 h=-1,535

Variabel jumlah wisatawan dan retribusi daerah tahun lalu berpengaruh positif terhadap retribusi daerah dengan nilai dugaan parameter sebesar 0,003382 dan 1,116110. Artinya jika terjadi peningkatan jumlah wisatawan sebanyak satu orang (ceteris paribus), maka pendapatan retribusi daerah Kota Bogor akan meningkat sebesar 0,003382 juta rupiah. Pernyataan ini diperkuat dengan pola hubungan antara jumlah wisatawan dengan retribusi daerah yang cenderung positif (Gambar 5.16). REC NTA X 2200000 2000000 1800000 1600000 1400000 1200000 1000000 22000 20000 18000 16000 14000 12000 10000 8000 6000

Scatterplot of NTAX vs REC

Sumber : BPS Kota Bogor, 1993-2007 (diolah).

Gambar 5.17. Pola Hubungan antara Jumlah Wisatawan (REC) dan Retribusi Daerah (NTAX)

Begitu pula variabel retribusi daerah tahun lalu yang berpengaruh positif terhadap retribusi daerah. Peningkatan retribusi daerah tahun lalu (tahun ke t-1) akan mendorong peningkatan retribusi yang diperoleh Kota Bogor saat ini (tahun ke-t) (ceteris paribus).

Variabel inflasi berpengaruh negatif terhadap retribusi daerah dengan nilai parameter dugaan sebesar -248,6573. Hal ini berarti bahwa jika inflasi meningkat sebesar satu persen, maka jumlah penerimaan retribusi daerah akan menurun sebesar 248,6573 juta rupiah. Pernyataan ini diperkuat dengan pola hubungan antara inflasi dan retribusi daerah yang cenderung negatif (gambar 5.18).

INF NT AX 60 50 40 30 20 10 0 22000 20000 18000 16000 14000 12000 10000 8000 6000

Scatterplot of NTAX vs INF

Sumber : BPS Kota Bogor, 1993-2007 (diolah).

Gambar 5.18. Pola Hubungan antara Inflasi (INF) dan Retribusi Daerah (NTAX)

Kondisi ini berbanding terbalik dengan hipotesis semula. Hal ini diduga disebabkan oleh pengaruh inflasi yang akan mengurangi kecenderungan masyarakat untuk memanfaatkan jasa pemerintah daerah. Sebagaimana diketahui bahwa retribusi daerah merupakan pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian ijin tertentu yang khusus disediakan dan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. Kenaikan inflasi ini menyebabkan masyarakat Kota Bogor mengurangi konsumsi atas jasa yang

disediakan dan diberikan oleh pemerintah, seperti jasa atas tempat rekreasi dan olah raga, sehingga mengurangi pendapatan daerah yang bersumber dari retribusi daerah.

Variabel PDRB per kapita tidak berpengaruh nyata terhadap retribusi daerah pada taraf nyata 5 persen. Hal ini diduga terjadi karena peningkatan PDRB per kapita tidak serta-merta mendorong masyarakat untuk meningkatkan konsumsinya atas jasa publik dan pemberian ijin yang disediakan oleh pemerintah Kota Bogor. Pernyataan ini didukung oleh pola hubungan antara PDRB per kapita dengan retribusi daerah dimana pola tersebar acak dan tidak berpola (Gambar 5.19). Selain itu, pelaksanaan desentralisasi fiskal tidak serta-merta meningkatkan retribusi daerah. Peningkatan retribusi daerah pada masa desentralisasi fiskal lebih didorong oleh faktor-faktor lain seperti jumlah wisatawan dan lain sebagainya.

PDRBC NT AX 4.8 4.6 4.4 4.2 4.0 3.8 3.6 3.4 3.2 22000 20000 18000 16000 14000 12000 10000 8000 6000 Scatterplot of NTAX vs PDRBC

Sumber : BPS Kota Bogor, 1993-2007 (diolah).

Gambar 5.19. Pola Hubungan antara PDRB per Kapita (PDRBC) dan Retribusi Daerah (NTAX)

5.2.3.3. Laba Perusahaan Daerah

Kota Bogor memiliki tiga perusahaan daerah yang memberikan pelayanan kepada masyarakat pada umumnya. Perusahaan daerah yang dimiliki Kota Bogor antara lain : Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirta Pakuan, Perusahaan

Daerah Bank Pasar dan Perusahaan Daerah Transportasi. Pengelolaan perusahaan daerah tersebut harus dilakukan secara efektif dan efisien untuk menghasilkan kinerja perusahaan daerah yang baik.

Tabel 5.11. Perkembangan Laba Perusahaan Daerah Kota Bogor

Tahun Laba Perusahaan Daerah (Juta Rupiah) Pertumbuhan (%)

1993 1.168,32 1994 1.562,85 33,77 1995 1.552,94 -0,63 1996 1.777,49 14,46 1997 1.866,64 5,02 1998 1.274,85 -31,70 1999 778,96 -38,90 2000 693,81 -10,93 2001 1.528,04 120,24 2002 1.771,93 15,96 2003 980,42 -44,67 2004 718,58 -26,71 2005 3.652,55 408,30 2006 4.266,52 16,81 2007 5.391,23 26,36

Sumber : BPS Kota Bogor, 1993-2007 (diolah).

Laba perusahaan daerah merupakan komponen PAD yang mengalami fluktuasi sepanjang tahun 1993 hingga 2007. Pada masa sebelum desentralisasi fiskal, laba perusahaan daerah Kota Bogor relatif rendah, yaitu berkisar antara 693,81 juta rupiah hingga 1.866,64 juta rupiah. Pada tahun 2000, laba perusahaan daerah Kota Bogor sebesar 693,81 juta rupiah dan mengalami peningkatan hingga sebesar 1.528,04 juta rupiah pada tahun 2001. Laba perusahaan daerah selama desentralisasi fiskal mengalami fluktuasi namun relatif lebih besar dibandingkan sebelum desentralisasi fiskal. Laba perusahaan daerah lebih didorong oleh kinerja perusahaan daerah itu sendiri.

Berbagai variabel diduga mempengaruhi laba bersih perusahaan daerah, antara lain PDRB per kapita, suku bunga, jumlah konsumsi air minum, laba perusahaan daerah tahun lalu dan dummy desentralisasi. Model dugaan laba perusahaan daerah berdasarkan Tabel 5.12 menunjukkan bahwa laba perusahaan daerah secara signifikan dipengaruhi oleh laba perusahaan daerah tahun lalu pada taraf nyata 5 persen.

Tabel 5.12. Model Dugaan Laba Perusahaan Daerah Kota Bogor

Variabel Penjelas Parameter

Dugaan

Dokumen terkait