• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ketahaan hidup larva (hari)

Gambar 39. Hubungan antara tingkat kerja osmotik media (mOsm/L H2O) dan ketahanan hidup larva pada ikan nila

Pembahasan

Hasil pengamatan III menunjukkan bahwa induk ikan nila yang diberi perlakuan salinitas media berbeda semuanya dapat matang gonad, memijah, dan berhasil memproduksi larva. Waktu yang diperlukan mulai dari proses pematangan gonad sampai dengan pemijahan berbeda pada masing- masing perlakuan. Hal ini membuktikan bahwa perbedaan salinitas media dapat merespons kinerja reproduksi ikan nila. Sesuai dengan rentang salinitas media pemeliharaan yang bisa ditolerir oleh ikan nila baik untuk proses pertumbuhan

maupun reproduksi, yaitu kisaran 0 – 30o/oo, sehingga ikan nila dapat digolongkan sebagai organisme eurihaline (Watanabe 1985; Fineman-Kalio 1988).

Salinitas media yang diekspresikan dalam bentuk tekanan osmotik media merupakan faktor lingkungan yang sangat berpengaruh pada kehidupan organisme akuatik. Pengaruh tekanan osmotik pada pertumbuhan maupun reproduksi ikan dapat terjadi melalui osmoregulasi. Salinitas berperan sebagai

masking factor atau faktor yang dapat memodifikasi faktor lingkungan lain melalui suatu mekanisme pengaturan tubuh organisme akuatik karena pengaruh osmotik dapat mempengaruhi fisiologis organisme (Gilles dan Pequeux 1983; Ferraris et al. 1986). Penggunaan energi untuk keperluan osmoregulasi berkaitan erat dengan tingkat kerja osmotik yang dilakukan ikan dalam upayanya untuk melakukan respons terhadap perubahan tekanan osmotik media. Tingkat kerja osmotik yang semakin rendah akan menurunkan penggunaan energi untuk osmoregulasi sehingga proses reproduksi akan semakin besar. Hal ini terjadi pada kondisi media yang mendekati isosmotik (Ballarin dan Haller, 1982).

Tekanan osmotik media meningkat secara linier terhadap peningkatan salinitas, sementara tekanan osmotik ikan meningkat secara kuadratik. Di antara ke empat tekanan osmotik media di atas, tekanan osmotik media pada salinitas media 10o

/oo merupakan tekanan osmotik yang mendekati tekanan isosmotik pada ikan nila dengan tingkat kerja osmotik yang optimal. Nilai tingkat kerja osmotik ini dapat digunakan untuk mengetahui daya osmoregulasi, dimana salinitas merupakan faktor lingkungan yang berpengaruh pada reproduksi. Pada tingkat kerja osmotik yang rendah daya osmoregulasi ikan akan rendah dan sebaliknya pada tingkat kerja osmotik ikan yang tinggi daya osmoregulasi ikan juga akan tinggi. Keadaan sebaliknya terjadi pada kondisi hiposmotik dan hiperosmotik. Semakin besar tingkat kerja osmotik semakin besar bagian energi yang digunakan untuk osmoregulasi sehingga porsi energi untuk pertumbuhan maupun reproduksi akan semakin kecil (Holliday, 1969).

Hal ini diduga karena salinitas media 10o/oo merupakan kondisi lingkungan yang optimal dalam menentukan keseimbangan pengaturan tekanan osmose cairan tubuh sehingga memberi kemampuan reproduksi yang maksimal terhadap nilai fekunditas sebesar 470±31.09. Nilai fekund itas dari suatu spesies ikan dipengaruhi

oleh beberapa faktor antara lain pakan, ukuran ikan, dia meter telur, dan faktor lingkungan. Fekunditas merupakan suatu subjek yang dapat menyesuaikan dengan kondisi terutama respons terhadap lingkungan (Effendie 2002). Nilai fekunditas suatu spesies ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain ketersediaan pakan, ukuran panjang dan berat (Synder 1983), ukuran diameter telur, dan faktor lingkungan (Woynarovich dan Horvath 1980; Olatunde 1978). Istilah fekunditas untuk ikan nila yang mengerami telur dalam mulut adalah Brooding fecundity, yaitu jumlah telur yang dierami di mulutnya.

Media bersalinitas isosmotik 10o/oo menghasilkan tingkat kerja osmotik rendah, waktu tetas singkat sehingga penggunaan energi penetasan telur lebih efisien. Tingkat kerja osmotik yang semakin rendah akan mengakibatkan penurunan porsi energi yang digunakan untuk osmoregulasi sehingga untuk proses reproduksi semakin besar. Hal ini terjadi pada kondisi media yang mendekati isosmotik (Ballarin dan Haller 1982).

Tang dan Affand i (2000) menyatakan bahwa asam lemak yang diberikan dalam pakan induk me mpunyai suatu peranan penting dalam proses reproduksi. Pada saat larva belum mendapat pakan dari luar, larva masih mengandalkan kandungan kuning telur sebagai sumber energi utama yang pada akhirnya akan mempengaruhi ketahanan hidup larva. Hasil pengamatan ketahanan hidup larva selama percobaan II tanpa diberi pakan, menunjukkan bahwa ketahanan hidup larva lebih tinggi pada perlakuan B, yaitu 6.1 ± 0.04 hari. Hal ini diduga karena salinitas media pada perlakuan B (10o/oo) merupakan salinitas media yang optimal dalam menentukan keseimbangan pengaturan tekanan osmose cairan tubuh larva yang baru menetas sehingga memberi kemampuan terhadap ketahanan hidup larva maksimal sehingga perlakuan B lebih baik dibandingkan dengan perlakuan lain. Larva ikan nila termasuk golongan organisme akuatik yang bersifat

eurihaline, artinya mempunyai kemampuan untuk hidup dan berkembang pada media dengan kisaran salinitas 0 – 35o/oo (Watanabe 1985; Fineman-Kalio 1988).

Peningkatan tekanan osmotik media memberikan pola respons berbentuk kuadratik terhadap tingkat kerja osmotik ikan nila. Dari pola tersebut terdapat 2 bentuk pola kerja osmotik, yaitu pada perlakuan D (30o/oo) dengan tekanan osmotik sebesar 655.25 mOsm/L H2O, ikan nila melakukan kerja hiperosmotik

terhadap medianya dan pada perlakuan A (0o/oo) dengan tekanan osmotik media sebesar 14.25 mOsm/L H2O ikan nila berada dalam keadaan hiposmotik.

Dari persamaan kuadratik diketahui bahwa nilai tingkat kerja osmotik minimum diperoleh pada tekanan osmotik media 245.75 mOsm/L H20 (salinitas media 10o/oo). Nilai tingkat kerja osmotik ini dapat digunakan untuk mengetahui daya osmoregulasi ikan nila, di mana pada tingkat kerja osmotik yang rendah daya osmoregulasi ikan akan rendah dan sebaliknya pada tingkat kerja osmotik ikan yang tinggi mengakibatkan daya osmoregulasi ikan juga akan tinggi.

Zairin (2003) menyatakan bahwa osmoregulasi adalah proses pengaturan air dan konsentrasi ion dalam tubuh suatu organisme. Osmoregulasi pada ikan laut berbeda dengan air tawar. Ikan air laut hidup dalam medium yang memiliki konsentrasi osmotik lebih tinggi dari cairan tubuhnya. Ditinjau dari segi ekofisiologis, organisme akuatik dibagi menjadi 2 golongan dalam menghadapi osmoregulasi media, yaitu osmokonformer dan osmoregulator (Mantel dan Farmer 1983). Pada umumnya organisme akuatik di laut mempunyai osmolaritas darah (tekanan osmotik cairan internal) berkisar antara 380-450 mOsm/kg, sedangkan tekanan osmotik di luar berkisar antara 800-1200 mOsm/kg sehingga air dalam tubuh akan senantiasa berdifusi ke luar.

Berdasarkan hasil percobaan terlihat bahwa salinitas media 10o/oo dengan tekanan osmotik media sebesar 245.75 mOsm/L H20 memberikan penampilan reproduksi ikan nila paling tinggi pada indeks gonad somatik, diameter telur, fekunditas, jumlah induk memijah, derajat tetas telur, dan ketahanan hidup larva. Tekanan osmotik salinitas media 10o/oo adalah sebesar 245.75 mOsm/L H20 yang merupakan tekanan osmotik media yang mendekati tekanan isosmotik bagi ikan nila. Artinya, tingkat kerja osmotik ikan yang dipelihara pada media tersebut paling rendah sehingga proses osmoregulasi ikan nila pada media tersebut lebih efisien. Keadaan isosmotik atau gradien osmotik media rendah akan memberikan osmoregulasi yang lebih efisien, yang merupakan salah satu indikator penampilan osmoregulasi terbaik. Sebaliknya, gradien osmotik yang lebih tinggi merupakan indikator penampilan osmoregulasi yang kurang baik.

Tingkat kerja osmotik ikan nila yang rendah pada tekanan osmotik media 245.75 mOsm/L H20 perlakuan B (10o/oo) ini mengurangi beban kerja

enzim Na +- K+-ATPase serta pengangkutan aktif Na+, K+ dan Cl-. Akibatnya, energi (ATP) yang digunakan untuk osmoregulasi mengecil dan sebaliknya makin banyak porsi yang tersedia bagi reproduksi. Hasil ini didukung oleh pendapat Payne et al. (1988), yang menyatakan bahwa penggunaan energi berhubungan dengan osmoregulasi ikan. Bila kebutuhan energi untuk omsoregulasi tinggi, pembagian energi untuk pemeliharaan dan pertumbuhan menjadi berkurang yang mengakibatkan reproduksi terhambat atau menjadi negatif.

Keadaan diatas menunjukkan bahwa ikan yang dipelihara dalam kondisi isosmotik akan menguntungkan karena adanya penghematan energi sehingga kebutuhan energi tersedia untuk pertumbuhan maupun reproduksi meningkat (Stickney 1979). Dalam kaitannya dengan efisiensi pemanfaatan pakan, ini menunjukkan bahwa pakan akan lebih efisien pada ikan yang dipelihara pada tekanan osmotik (salinitas) media yang mendekati isosmotik. Akibatnya, pemanfaatan protein pakan akan efisien dan selanjutnya makin besar energi yang tersedia untuk pertumbuhan dan reproduksi. Pada tekanan osmotik media yang mendekati isosmotik, yaitu 245.75 mOsm/L H20 pada media bersalinitas 10o/oo, sel-sel tubuh berada dalam kondisi yang ideal sehingga proses fisiologis dalam tubuh ikan dapat berjalan dengan normal. Banyaknya pakan yang dikonsumsi serta rendahnya penggunaan energi bagi metabolisme dan kerja osmotik tubuh akan menyebabkan pakan lebih banyak yang dikonversi menjadi daging sehingga pakan yang diberikan lebih efisien. Dengan kata lain, efisiensi pemanfaatan pakan oleh ikan nila memberikan nilai yang tinggi. Kondisi di atas sejalan dengan pendapat dari Jobling (1994) yang menyatakan bahwa energi untuk osmoregulasi dapat ditekan apabila ikan dipelihara pada media yang isosmotik sehingga pemanfaatan pakan menjadi efisien serta pertumbuhan dan reproduksi ikan dapat meningkat.

Schmidt-Nielsen (1987) menyatakan bahwa ikan air laut pada kondisi hiposmotik dimana air sebagai media hidup akan cenderung masuk ke dalam tubuh ikan, permeabilitas kulit ikan akan tinggi sehingga menyebabkan banyak kehilangan ion dari cairan tubuh. Untuk mengatasi keadaan tersebut, ikan melakukan pengaturan hiperosmotik dengan cara melakukan penyerapan ion

media eksternal melalui mulut dan membran insang. Selanjutnya, melalui proses osmoregulasi, ikan akan menghasilkan urine yang hiposmotik melalui organ ekskresi. Kondisi ini mengakibatkan penggunaan energi untuk homeostasis menjadi lebih besar dan sebaliknya porsi energi untuk pertumbuhan menjadi semakin kecil.

Berdasarkan hasil kajian di atas terlihat bahwa meskipun ikan nila termasuk dalam golongan eurihaline, untuk mencapai tingkat reproduksi yang maksimum diperlukan media hidup dengan tingkat salinitas yang optimal. Berdasarkan hasil percobaan terlihat bahwa pada media bersalinitas 10o/oo dengan tekanan osmotik media sebesar 245.75 mOsm/L H20 memberikan penampilan reproduksi ikan nila paling baik terhadap indeks go nad somatik, diameter telur, fekunditas, jumlah induk memijah, derajat tetas telur, dan ketahanan hidup larva .

Hasil Pengamatan IV: Pengaruh salinitas media berberda pada kinerja reproduksi serta efek lanjut dari pascastress

Kadar glukosa darah ikan nila pada salinitas media berbeda selama percobaan hasil pengamatan IV disajikan pada Tabel 19.

Tabel 19. Nilai rataan kadar glukosah darah (mg/ml) ikan nila Glukosa Darah (mg/ml) hari ke-

Perlakuan 0 14 28 42 56 70 Nilai rataan 0o/oo 165.75 166.25 167.76 169.45 166.45 169.50 167.53±1.65a 10o/oo 195.65 230.56 239.55 223.13 215.45 210.50 219.14±15.51b 20o/oo 250.45 260.35 238.56 202.99 199.45 195.50 224.55±28.59b 30o/oo 295.85 286.35 260.54 248.97 210.65 209.65 252.00±36.57c

Hasil pengamatan terhadap kadar glukosa darah secara keseluruhan diperoleh pada ikan nila yang dipelihara pada media bersalinitas 0o/oo dan 30o

/oo,

nilai rataan glukosa darah berkisar antara 167.53±1.65 mg/ml dan 252.00 ± 36.57 mg/ml disajikan pada Gambar 40 dan Lampiran 26.

0 14 28 42 56 70 0 o/oo 10 o/oo 20 o/oo 30 o/oo 0 50 100 150 200 250 300 Glukosa darah (mg/ml)

Pengamatan hari

Ikan yang dipelihara pada media salinitas yang tertinggi diperoleh pada 30o/oo , yaitu sebesar 252.00 ± 36.57 mg/ml, selanjutnya secara berturut-turut diikuti oleh media bersalinitas 20o

/oo sebesar 224.55±28.59 mg/ml dan media bersalinitas 10o

/oo, yaitu sebesar 219.14 ± 15.51 mg/ml dan pada media bersalinitas 0o

/oo, yaitu sebesar 167 ± 1.65.

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa salinitas media mempengaruhi kadar glukosa darah (P<0.05) (Lampiran 26), dimana berpolakan kuadratik mengikuti persamaan y = 210.26-2.89x+0.24x2. Artinya, kadar glukosa darah meningkat dengan peningkatan salinitas media sehingga mencapai nilai optimal sebesar 220.29, dengan nilai r2 = 0.92 (Gambar 41).

y =210.26-2.89x+ 0.24x2 r2 = 0.92 0 50 100 150 200 250 300 350 400 0 10 20 30 Salinitas (o/oo) Glukosa darah (mg/ml)

Gambar 41. Hubungan antara salinitas media berbeda dan glukosa darah pada ikan nila

Pada awal percobaan, kadar glukosa darah ikan yang dipelihara pada salinitas 0o/oo dan 10o/oo masih rendah. Dengan bertambahnya waktu percobaan, kadar glukosa darah pada kelompok ikan perlahan-lahan meningkat. Sebaliknya, ikan yang dipelihara pada salinitas 20o/oo dan 30o/oo pada awal percobaan ini mempunyai nilai kadar glukosa darah tinggi, kemudian dengan bertambahnya waktu percobaan perlahan- lahan, kadar tersebut cend erung menurun.

Pembahasan

Hasil pengamatan IV menunjukkan bahwa nilai rataan kadar glukosa darah pada salinitas tinggi, yaitu salinitas media 30o

/oo menghasilkan nilai rataan glukosa darah sebesar 252.00 ± 36.57 mg/ml. Penambahan minyak ikan 30 g/kg dan vitamin E sebesar 150 mg/kg pakan menghasilkan puncak kadar glukosa darah pascastres terendah untuk perlakuan 10o/oo, yaitu pada minggu pertama dan perlakuan 20o/oo terjadi pada minggu ke tiga serta perlakuan 30o/oo terjadi pada minggu ke dua . Selanjutnya kadar glukosa darah sudah berada pada kondisi normal, yaitu pengamatan pada hari ke-70. Perubahan salinitas media secara

cepat pada media 10o

/oo menghasilkan nilai rataan glukosa darah sebesar 219.14±15.51 mg/ml yang direspons oleh tubuh ikan dengan mensekresikan hormon glukokortikoid (kortisol) dan katekholamin yang mengontrol tubuh untuk mengatasi terjadinya stres (Barthon 1980; Woodward 1982). Oleh karena itu, stres dapat me nyebabkan peningkatan kadar glukosa dalam darah. Tingginya kadar glukosa darah dan bertahan pada tinggkat yang tinggi mengindikasikan terjadinya tingkat stres yang sangat tinggi (Brown 1993).

Stres adalah suatu respons fisiologis yang terjadi pada saat he wan berusaha untuk mempertahankan atau memelihara homeostatis. Penyebab stres dapat berasal dari perubahan lingkungan dan respons organisme lain (Wedemeyer dan Mc Leay 1981). Bila ikan mengalami stres, ikan tersebut menanggapinya dengan mengembangkan suatu kondisi hemeostatis yang baru dengan cara mengubah metabolismenya. Respons terhadap stres biasanya dikontrol oleh suatu sistem endokrin melalui kortisol dan katekholamin (Barton 1980; Woodward 1982).

Pada umumnya stres dirangsang oleh sistem neuroendokrin secara bertingkat dengan melibatkan sekresi katekolamin dan aktivasi poros hipotalamus- hipofisis- interrenal (Zairin 2003). Aktivasi sempurna dari poros ini lebih lambat daripada respons katekolamin karena perlu waktu bagi stimulasi syaraf dalam melepaskan corticotropin releasing factor (CRF) dari hipotalamus yang menyebabkan kelenjar hipofisis mensintesis dan mensekresikan

menuju jaringan interrenal untuk merangsang sintesis dan sekresi hormon glukokortikoid (kortisol)

Keberadaan glukosa darah ditentukan oleh pakan, waktu akhir makan, status simpanan glikogen hati, stadia perkembangan, dan musim (Mazeaud dan Mazeaud 1981). Selain itu, stres juga mempengaruhi tingkat glukosa darah. Beberapa mekanisme yang berperan dalam mempertahankan kestabilan glukosa darah adalah glikogenolisis, glukoneogenesis, lipolisis, glikogenesis, dan lipogenesis. Dilihat dari mekanisme yang berperan dalam mempertahankan homeostatis glukosa darah, kestabilan glukosa darah menjadi amat penting bagi kesehatan bahkan kehidupan (Piliang dan Djojosoebagio 2000). Peningkatan laju metabolisme memicu pergerakan pernapasan dan konsumsi oksigen. Peningkatan laju respirasi dari ikan nila (Oreochromis niloticus) pada stres akut lebih tinggi dari pada kebanyakkan hewan, dan juga memperlihatkan konsumsi simpanan karbohidrat hati yang lebih tinggi, serta kematian yang lebih awal selama hipoksia progresif (Wendelaar 1997).

Tingginya kadar glukosa darah mengindikasikan tingginya tingkat stres akibat meningkatnya salinitas media. Pada tingkat stres yang sangat tinggi, yang diikuti oleh peningkatan kadar glukosa darah yang cepat dan tetap berada pada tingkat yang tinggi akan diikuti oleh kematian ikan (Brown 1993). Kenaikan salinitas media secara mendadak menghasilkan naiknya kadar glukosa darah pada ikan nila. Naiknya kadar glukosa darah pada ikan tersebut menunjukan terjadinya stres akibat perlakuan yang diberikan

Mazeaud dan Mazeaud (1981) menyatakan bahwa adanya stres pada ikan- ikan elasmobranchi, teleostei, dan siklostoma menyebabkan meningkatnya kadar glukosa darah. Bahkan dikatakan pula bahwa pada kegiatan budi daya seperti penangkapan dan penanganan sebagian besar akan menyebabkan

hyperglycemia. Kadar glukosa darah dapat digunakan sebagai parameter stres yang sederhana, efektif, dan memadai untuk berbagai macam stresor, sementara itu pengukuran kortikosteroid, dan katekholamin biayanya sangat mahal dan tidak praktis dalam aplikasi untuk pembenihan ikan.

Respons stres sekunder dapat berupa mobilisasi substrat kaya energi dengan menurunkan cadangan glikogen hati, meningkatkan kadar glukosa plasma,

mempengaruhi asam lemak bebas yang beredar, dan menghambat sintesis protein. Stres juga terlihat pada keseimbangan hidromineral, menyebabkan kelebihan air pada ikan yang hidup di air tawar dan kehilangan air pada ikan yang hidup di air laut. Stres juga dapat mengganggu sistem imunitas; stres umumnya diyakini menurunkan kemampuan imunitas yang akan berdampak buruk pada pertumbuhan maupun reproduksi ikan. Penambahan vitamin E dalam pakan dengan jumlah yang optimal dapat meningkatkan sistem kekebalan dan humoral antibodi (Pilliang dan Djojosoebagio 2000). Hasil pengamatan IV pada pemberian pakan dosis minyak ikan 30 g/kg dan vitamin E sebesar 150 mg/kg pakan memberi respons positif terhadap kinerja reproduksi meliputi tingkat kematangan gonad, waktu pemijahan (ovulasi), derajat tetas telur dan ketahanan hidup larva.

KESIMPULAN DAN SARAN

1. Penambahan kombinasi minyak ikan dan vitamin E pakan induk ikan nila memperlihatkan respons terbaik terhadap kinerja performans reproduksi yang meliputi perkembangan gonad, jumlah induk yang memijah, kualitas telur, derajat tetas telur, dan ketahanan hidup larva.

2. Pakan uji yang memberi hasil terbaik untuk memperbaiki kualitas telur dan larva adalah kombinasi minyak ikan 30 g /kg dan vitamin E 150 mg /kg dalam pakan.

3. Hasil pemeriksaan terhadap estradiol-17ß dalam plasma darah secara umum memperlihatkan kinerja dan respons terbaik pada siklus reproduksi khususnya proses vitelogenesis tahap awal perkembangan gonad.

4. Tingkat kerja osmotik media terbaik terhadap respons dan kinerja performans reproduksi ikan nila adalah salinitas media 10o/oo dengan tingkat kerja osmotik sebesar 245.75 mOsm/L H2O.

Saran

1 Perlu pengkajian yang lebih mendalam tentang manajemen penyusunan suatu formula pakan induk khusus untuk proses pematangan gonad ikan nila, yang sebaiknya me nggunakan kombinasi minyak ikan 30 g/kg dan vitamin E 150 mg/kg dan dalam pakan.

2 Perlu pengkajian yang lebih mendalam tentang faktor lingkungan khususnya salinitas media terhadap ikan uji pada pembenihan ikan nila dengan menggunakan media air laut untuk mempermudah proses adaptasi ikan nila dari lingkungan air tawar ke air laut disarankan ukuran benih 10 -15 g.

3 Proses pembenihan ikan nila sebaiknya dilakukan di media air laut disarankan untuk calon induk yang digunakan harus berasal dari habitat tambak atau air laut sehingga proses adaptasinya lebih mudah.

Dokumen terkait