• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tingkat Konsentrasi Penjual atau Pembel

Dalam dokumen ISI DISERTASI (LAILA 2007 ) (Halaman 191-195)

Pola Perusahaan Inti Rakyat

VII. STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA EKONOMI PERUSAHAAN INTI RAKYAT KELAPA SAWIT

1. Tingkat Konsentrasi Penjual atau Pembel

Tingkat konsentrasi penjual/pembeli mencerminkan kekuatan tawar pelaku pasar baik sebagai penjual atau pembeli. Makin tinggi tingkat konsentrasi pelaku pasar maka makin kuat posisinya sebagai penentu harga produk. Dalam pasar produk TBS dengan pola PIR, maka penjual adalah sejumlah rumahtangga petani plasma yang menghadapi inti sebagai pembeli. Luas kebun plasma adalah berkisar 6 000 ha hingga 8000 ha untuk setiap lokasi kebun.

Jika ditinjau dari luas kebun kebun plasma secara kolektif (skala usaha) umumnya lebih besar dibandingkan skala usaha kebun inti kecuali untuk pola PIR- Sus Sungai Lengi. Perbandingan luas luas kebun plasma dengan kebun inti adalah 70.00% : 30.00% (pola PIR-Sus Betung Barat), 45.00% : 55.00% (pola PIR-Sus Sungai Lengi), 59.00% : 41.00% (pola PIR-Trans PT Aek Tarum, OKI), 63.00% : 37.00% (pola PIR-Trans PT Hindoli, Muba) dan 92.00% : 8.00% (pola PIR-KUK PT Selapan Jaya, OKI). Kebun plasma yang relatif lebih luas tersebut dimiliki oleh banyak petani yaitu sekitar 3 000 hingga 4 000 rumahtangga petani dan sulit terkonsentrasi secara baik pada saat transaksi. Konsentrasi pelaku transaksi justru terdapat pada pihak pembeli (perkebunan inti), karena untuk setiap lokasi kebun plasma hanya terdapat satu inti yang memiliki satu atau lebih pabrik PKS.

Kepemilikan pabrik PKS sebagai aset khusus perusahaan inti dan karakteristik buah sawit dari kebun plasma yang harus segera diolah menjadi penentu posisi tawar pelaku pasar kelapa sawit. Kondisi ini secara otomatis menjadikan inti sebagai pembeli tunggal dan penentu harga pproduk (price maker). Meskipun ada pembeli lain (non inti), akan tetapi karena transaksi ini sangat jarang dilakukan (bersifat illegal), sehingga keberadaan non inti tidak menjadi pesaing penting dalam pemasaran produk kelapa sawit dalam proyek PIR.

Berdasarkan ulasan sebelumnya maka mekanisme penentuan harga TBS pada lokasi kebun plasma untuk semua pola PIR cenderung bersifat tidak kompetitif dimana pembeli tunggal (inti) berhadapan dengan banyak penjual (petani plasma). Sejauh ini lembaga ekonomi yang ada (koperasi atau kelompok tani) yang seharusnya menjadi wadah petani plasma (sebagai penjual) untuk bernegosiasi dengan pihak inti (sebagai pembeli) belum berfungsi secara optimal, lembaga petani tersebut hanya berfungsi sebagai lembaga perantara dalam pemasaran hasil dan belum mampu mewakili petani plasma dalam transaksi dengan inti.

Hal yang harus diperhatikan adalah tingkat harga TBS yang ditentukan berdasarkan rumus harga oleh Menteri Kehutanan dan Perkebunan tahun 1998 seharusnya menghasilkan harga beli TBS yang kompetitif untuk menghindari penjualan TBS di luar jalur resmi (sesuai kontrak). Petani akan selalu mencari informasi harga jual TBS yang lebih tinggi, karena informasi harga TBS di pasar dapat diakses cukup baik oleh petani plasma baik melalui radio maupun telepon seluler (umumnya petani plasma mempunyai fasilitas telepon seluler dengan menambah instalasi antena pribadi, terutama pada lokasi kebun PIR-Trans Musi Banyuasin).

Pada dasarnya pedoman harga yang ditetapkan pemerintah hanya menetapkan harga rata-rata sebagai “harga minimum” yang harus dibayar oleh inti pada waktu membeli TBS petani. Seharusnya pihak inti menyesuaikan lagi harga TBS yang sudah ditetapkan tersebut berdasarkan kondisi kebun plasma yang dibinanya, yaitu memperhatikan juga variasi rendemen untuk umur tanaman yang berbeda, variasi kualitas buah akibat teknik pemanenan dan pasca panen (Informasi lisan pada Rapat Penentuan Harga Bulan April 2005 di Palembang).

Hasil wawancara dan informasi rapat penentuan harga TBS ternyata harga TBS yang telah ditetapkan tersebut justru dijadikan “harga maksimum” oleh inti untuk membeli TBS petani plasma sehingga sering menimbulkan konflik. Pada dasarnya rumus harga yang ditetapkan oleh Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan tahun 1998 dan tahun 2000 (Lampiran 8 dan 9) bertujuan untuk mempertahankan efektivitas kemitraan inti-plasma karena : (1) dapat meredam dampak fluktuasi harga minyak sawit dari pasar dunia dan domestik selama satu bulan terhadap tingkat harga TBS tingkat petani, (2) menilai kualitas kebun plasma berdasarkan hamparan agar kualitas TBS lebih seragam dan kekompakan anggota kelompok tani dipertahankan, dan (3) petani mendapat kepastian tempat penjualan TBS karena sesuai kontrak maka perusahaan inti diwajibkan membeli TBS petani minimal 75.00% dari kapasitas pabrik PKS Inti.

Menurut hasil kajian Mulyana (2003), harga jual yang ditetapkan pemerintah ini pada dasarnya telah mengurangi “eksploitir inti kepada plasma”, dimana jika pemerintah tidak mengatur harga jual TBS pada kebun plasma, maka harga beli TBS petani hanya 71.67% dari harga TBS setelah ditetapkan pemerintah melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan tersebut. Berdasarkan hasil estimasi persamaan perilaku produksi ternyata faktor harga jual produk sangat

penting bagi peningkatan produktivitas kebun plasma, karena pengaruh perubahan harga TBS terhadap produktivitas sangat signifikan meskipun produktivitas TBS terhadap harga TBS tidak responsif (in elastis). Kenaikan harga TBS diharapkan akan memotivasi petani untuk mengelola kebun lebih baik. Hasil simulasi juga membuktikan bahwa dampak kenaikan harga TBS dengan persentase yang lebih kecil (15.00%) dibandingkan kenaikan harga input variabel dengan persentase yang lebih besar (20.00%) ternyata masih memberikan dampak positif pada kinerja rumahtangga petani plasma terutama produktivitas kebun plasma, penerimaan dan pendapatan kelapa sawit dan mempercepat periode pelunas kredit.

Selanjutnya menurut Bamin (2000), jika pemerintah tidak mengawasi mekanisme penentuan harga jual TBS kebun plasma maka dihawatirkan harga produk TBS cenderung menjadi alat eksploitasi monopsonistik oleh perusahaan inti terhadap petani plasma. Rendahnya posisi tawar petani plasma terhadap inti menurut Mulyana (2003) karena petani plasma sebagai penjual produk kelapa sawit mempunyai respon penawaran kurang elastis dibandingkan respon permintaan inti sebagai pembeli produk TBS terhadap perubahan harga produk TBS itu sendiri. Pihak inti mempunyai lebih banyak pilihan untuk memenuhi kapasitas pabrik PKS yaitu produksi dari kebun sendiri dan dari kebun plasma sehingga penundaan pembelian TBS petani oleh inti dapat dilakukan dengan alasan-alasan yang bersifat teknis. Hal sebaliknya terjadi pada petani plasma, dimana mereka harus menjual semua produknya kepada inti karena terikat kontrak dan dalam waktu yang singkat untuk mencegah penurunan kualitas buah sawit. Jika menjual kepada PKS-non inti mereka dikenakan sanksi karena dianggap melanggar perjanjian kemitraan.

Dalam dokumen ISI DISERTASI (LAILA 2007 ) (Halaman 191-195)